“MONTAMBUN”ADAT SUKU MADI’ (SALUAN)
Penulis Mahasiswa S3. Univ.Negeri Makassar;
Peneliti dan Pemerhati Pendidikan
Sulawesi Tengah
==============================================
Suku Madi’ tergolong atau biasa dan lazim dikenal
dengan sebutan suku “Saluan”, namun sesuai hasil penelitian ternyata terjadi
dua perbedaan besar dalam penamaannya. Apabila melakukan penamaan satu suku
melalui pendekatan bahasa, maka suku yang sejak zaman dahulu sekitar abad X M.
Telah mendiami daerah daratan yang membujur dari barat ke timur Sulawesi Tengah
ini dinamakan dengan suku “Madi” karena kata madi’ artinya tidak ada.
Selanjutnya apabila ditinjau dari perilaku, maka penamaan suku saluan
sesungguhnya didasarkan terhadap perilaku komuniktas ini yang selalu berpindah
menyeberangi pengunungan julutumpu dan Tompotika pada saat dikejar-kejar oleh
bala tentara Tobelo dari ternate. Saluan artinya “selalu melintasi” berasal
dari kata “sa’ malaluan”, saluan juga
bermakna filosofis selalu tidak boleh mengambil hak yang bukan haknya, walaupun
hanya ditanda dengan satu jepitan daun atau dahan pada pohon yang berdiri
sesuai dengan arah panah, contoh; cabang ranting pohon yang di jepitkan di pohon pangkalnya menghadap
timur maka kawasan itu menjadi milik satu rumpun keluarga.
Suku Madi’ (Saluan) mempunyai satu budaya yang
hampir dilupakan, namun dalam konteks komoderenan dan ke Indonesiaan saat ini,
sangatlah relavan, adat tersebut adalah adat “MONTAMBUN”. Montambul pada zaman dahulu, dilaksanakan di suatu HAGUM (kawasan / area) SIGAHUMAN (tempat
khusus untuk berkumpul).
Montambun menjadi amat strategis saat ini karena
sifat dan fungsinya sebagai pengembangan demokratisasi, oleh karena itu disini
ditegaskan bahwa suku Madi’ (Saluan) adalah suku yang demokratis karena
kegiatan KANTUMUU’AN (kehidupan) dan SINAI MIIHI (kematian) dilaksanakan
melalui media montambun, karena montambun acara intinya adalah membicarakan
secara bersama-sama apa yang akan dilakukan yang berdampak kepada komunitas
mereka, seperti membuka lahan baru, meninggalkan lahan yang pernah di garap
untuk kemudian digarap kembali setelah menjadi hutan belantara kembali.
Membiracarakan perjodoan, atau pencarian pasangan
hidup dilaksanakan melalui proses montambun di HAGUM SIGAHUMAN. Pada prosesi ini perempuan gadis di satukan pada
satu hagum, dan jejaka demikian pada
hagum yang lain, setelah tiba saatnya kepala sukumelakukan ritual sang
jejaka dipersilahkan mengitari gadis yang semuanya ditutupi wajah dan seluruh
tubuhnya, kecuali telapan kekaki dan ibu jari. Apabila jejaka mendekati suatu
gadis dengan ditemani kepala suku gadis
yang tidur menggerakan ibu jari, maka
keduanya akan diasingkan dalam HAGUM SIGAHUMAN yang lain menunggu panen dan
kelengkapan permintaan orang tua gadis terpenuhi seperti; toik, besi, dan
sebagainya.
Upacara “MONTAMBUN” dihadiri seluruh masyarakat yang
ada disuatu kawasan, sepeti dikenal dengan; kawasan Sinaa Sinaion; Kinii
Kinion, Mantan, dan sebagainya, dalam pertemuaan di SIGAHUMAN dipertontonkan keahlian berperang dari setiap
laki-laki dan dilakukan selama 4-7 hari, di samping keahlian perang yang
dipertunjukan juga membunyikan seruling dan menabuh gendang dari terbuat dari
bambu besar yang dilubangi.
Pada acara montambun selalu dikembangkan rasa
persaudaraan yang tinggi, masing-masing saling memberi dan memberi tahu apa
kekurangannya sehingga lainnya langsung memberikan bantuan, dan demikian terus
menerus ikatan persaudaraan mereka selalu disyaratkan dengan warnah merah darah,
kalau ada yang meninggal karena terbunuh maka pembunuh harus dibunuh oleh
keluarga yang terbunuh, di luar hal bunuh membunuh semuanya bisa dimaafkan dan
didahulukan kebersamaan demi menyelamatkan hidup mereka bersama.
Ciri khas HAGUMSIGAHUMAN tempat montambun dicirikan
dengan satu pokon yang namanya KOILI satu pohon besar, yang dibelakang hari ada
yang menterjemahkan dengan pohon beringin, tapi sesungguhnya KOILI adalah pohon
bertuah yang menjadi tempatnya para nenek moyang mereka yang telah meninggal.
Wallahu alam.