Minggu, 30 Desember 2012

kajian Modul 4 KEBIJAKAN PENDIDIKAN



BAB IV
IDEOLOGI-IDEOLOGI PENDIDIKAN
PEMBELAJARAN I
Berbicara masalah ideologi berarti juga membicarakan masalah konsep yang tersistem secara rapi atau boleh dikatakan ideologi itu sebuah teori. Namun lebih enaknya jika ideologi dijabarkan terlebih dahulu. Ideologi oleh Arif Rahman dalam bukunya yang berjudul ”Politik Ideologi pendidikan” mempunyai dua pengertian, pengertian secara fungsional dan secara struktural.
Secara fungsional, ideologi diartikan sebagai pemikiran yang digunakan untuk kebaikan bersama (common good). Dalam hal ini ideologi bisa muncul karena kekecewaan pada saat ini dan mempunyai niatan untuk memperbaiki di zaman akan datang.
Proses antara sekarang dengan zaman akan datang (tengah-tengahnya) itulah letak pemikiran ideologi yang digunakan sebagai dasar kerangka bangunan berfikir untuk meraih hal yang dianggapnya baik pada zaman yang akan datang. Dalam dunia pergerakan, Tan Malaka saat berjuang –memperjuangkan kaum buruh- juga tergetarkan hatinya saat melihat kaum buruh yang pada zaman kolonial selalu diperas tenaganya namun tidak ada ibalan yang sepadan yang diberikan oleh pemerintah kolonial.
Namun cara perjuangan yang dilakukan Tan Malaka masih bersifat konvesional, dengan cara agitasi, demonstrasi dan baikot. Mungkin pada waktu dulu cara itulah yang efektif guna melakukan perlawanan. Itu merupakan langkah-langkah revolusioner guna memunculkan bergaining posision dan di tindak lanjuti dengan merampas kekuasaan kaum borjuis kemudian di berikan kepada kaum buruh.
Cara seperti itu dalam teori sosial kritis tidak disetujui karena revolusi pragmatis akan melahirkan diktator baru. Apalagi Tan Malaka pernah berkecimpung dalam organisasi PKI yang di gawangi oleh uni soviet. Uni soviet merupakan negara penganut marxise leninisme, kekuasaan di percaya sebagai jalan yang paling efektif untuk menyebarkan faham sosialis. Dan boleh dilihat negara-negara modern sekarang yang menggunakan ideologi marxis leninesme rata-rata pemimpinnya jadi diktator kuat di negarnya.
Sedangkan ideologi struktural, diartikan sebagai alat pembenar bagi kebijakan dan tindakan kaum penguasa. Mungkin pada zaman orde baru kita masih teringat dengan namanya penataran P4. itu adalah alat yang digunakan pembenar bagi tidakan-tindakan negara kepada masyarakatnya. Seolah-olah perbuatan pemerintah itu semua benar dan wajib di ikuti. Sehingga yang tidak cocok dengan kebijakan serta tidak mau melaksanakannya akan di anggap pembangkang.
Bukan hanya dalam dunia ke-negaraan saja ideologi ini diterapkan, dalam dunia agama-pun ideologi seperti ini diterapkan. Seperti pembentukan wadah-wadah organisasi keturunan Nabi yang disebut Habib atau organisasi Islam puritan lainnya. Seoalah-olah apa yang di kehendakinya itu selalu benar karena sudah berlandaskan dengan teks-teks al-qur’an.
Mereka ingin memaksakan ajaranya kepada semua umat dan menyatukan ajaran yang akan berpusat pada dunia Arab, tanpa melihat faktor sosiologi dan geografi masyarakat sekitar. Coba bayangkan masyarakat Indonesia akan disamakan dengan masyarakat Arab, tentu tidak akan cocok karena sangat berbeda.
Arab menjadi dominan karena para Nabi kebetulan di lahirkan di ranah Arab, coba bayangkan, seumpama Islam diturunkan di Indonesia pasti pakaian yang digunakan kebanyakan orang adalah Kemben bagi yang putri dan yang putra pakainya seperti dipakai oleh para pejabat kerajaan dulu. Itu disebakan suasana di Indonesia di pengaruhi oleh iklim tropis sedangkan di Arab sangat wajar jika menggunakan jubah karena suasanannya sangat panas jadi sangat wajar.

4.1. IDIOLOGI PENDIDIKAN
Seiring pergantian zaman, paham-paham yang berkembang didunia mengalami berbagai perubahan. Hal ini dipengaruhi oleh pola pikir umat manusia yang berkembang pada zaman tertentu. Ada pertentangan-pertentangan yang senantiasa bertarung dan secara silih berganti mendominasi pola pemikiran masyarakat.
Misalnya pertarungan antara agama dan sains. Pada zaman pertengahan, agama mendominasi, dan sains termarjinalkan. Selanjutnya pada zaman renaissance hingga sekarang, sains mendominasi dan menjadi alat ukur kebenaran sedangkan agama lebih cenderung dimarjinalkan. Dalam tataran ideologi, pertarungan antara kapitalisme dan sosialisme mewarnai ideologi masyarakat dunia.
Kapitalisme yang dimotori oleh Amerika berpegang pada kebebasan individu secara mutlak, sedangkan sosialisme yang dimotori oleh Rusia berpegang pada pembatasan terhadap kebebasan individu dan semuanya diatur oleh Negara untuk kepentingan bersama. Pertarungan ini akhirnya dimenangkan oleh Amerika sebagai pembawa bendera kapitalis yang akhirnya berdampak pada berbagai sektor kehidupan masyarakat, salah satunya pada sektor pendidikan.
Pendidikan memiliki peranan penting dalam pengembangan kemampuan seseorang. Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan pengetahuan yang nantinya menjadi bekal dalam kehidupan ditengah masyarakat. Isu tentang pendidikan menarik dan senantiasa aktual pendidikan tidak pernah lekang oleh zaman, mulai dari zaman Adam sampai zaman kita sekarang bahkan juga pada zaman-zaman berikutnya.
Pendidikan juga tidak bisa lepas dari ideologi yang berkembang ditengah masyarakat. Ideologi ini turut mewarnai pendidikan sehingga pendidikan yang dilakukan ditengah masyarakat memiliki karakteristik tertentu yang identik dengan ideologi tertentu pula. Setidaknya ada tiga ideologi yang berkembang dalam dunia pendidikan, yaitu konservatif, liberal dan kapitalis. Perbedaan dari ketiga ideologi tersebut terkait dengan bagaimana pandangan manusia terkait dengan apa yang menimpanya. Hal ini akan berdampak pada metode dan cara pembelajaran yang diberikan oleh pendidikan dengan ideologi tertentu.
Kapitalisme global berimplikasi pada pengakuan terhadap hak individu. Hal ini menimbulkan paham liberalisme yang menekankan kebebasan pada masing-masing individu dalam segala hal. Dalam menghadapi hal tersebut, pendidikan dituntut untuk mempersiapkan generasi-generasi yang mampu berinteraksi dengan keadaaan yang terjadi sekarang. Untuk itu kemudian ideologi pendidikan liberal muncul. Selanjutnya tulisan ini akan membahas tentang ideologi pendidikan liberal saat ini.
Disisi lain, penulis dalam menulis makalah ini didasarkan atas empat alasan, yaitu: Pertama, terkait dengan istilah ‘ideologi’ pada dasarnya digunakan dengan merujuk pengertiannya yang luas yaitu konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Implikasi penggunaan ideologi dalam pendidikan adalah keharusan adanya konsep cita-cita dan nilai-nilai yang secara eksplisit dirumuskan, dipercayai dan diperjuangkan. Kedua, filsafat dan teori pendidikan lebih kental dengan muatan akademisnya sedangkan ideologi agak kurang tuntutan akademisnya, akan tetapi lebih diarah kepada aksi. Ketiga, didalam benturan peradaban sebagai dampak globalisasi, terjadi pergumulan ideologi dunia. Sementara Islam yang sarat dengan nilai-nilai universal dan transedental seharusnya dapat ditawarkan sebagai paradigma ideologi alternatif. Terlebih lagi, pendidikan sebagai wahana sangat strategis dalam membangun peradaban alternatif perlu diformulasikan dengan pendekatan ideologis sehingga memiliki daya pengikat dan penggerak untuk aksi. Keempat, di tengah-tengah munculnya semangat Islam progresif saat ini yang berorientasi pada Islam liberal dan humanis perlu ada acuan yang bertolak dari nila-nilai dasar Islam yang sejatinya sangat humanis, sehingga semangat progresivisme dan liberalisme tidak kehilangan akar akidahnya.
Pada prinsipnya, yang dijadikan paradigma ideologi adalah prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat universal, yaitu Humanisme-Teosentris. Implementasi ajaran ini dalam praktik kehidupan dan pendidikan dapat fleksibel, selama substansinya tetap terpelihara, yaitu: menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana hakikat ajaran Islam, sebagai agama fitrah, memang ditujukan untuk kebutuhan manusia itu sendiri.
4.2. IDEOLOGI PENDIDIKAN LIBERAL
Berdasarkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), liberal memiliki arti bersifat bebas; berpandangan bebas (luas dan terbuka).
Jadi berdasarkan pengertian diatas, paradigma ideologi pendidikan liberal dapat diartikan sebagai model dalam teori ilmu pengetahuan dalam usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat yang sesuai dengan paham, teori dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik yang bebas berpandangan luas dan terbuka.
Dalam pendidikan DI masyarakat terjadi banyak masalah termasuk urusan/masalah pendidikan. Namun mereka beranggapan masalah pendidikan tidak akan ada sangkut paut dengan persoalan politik dan ekonomi masarakat. Tetapi pendidikanlah yang bisa menyesuaikan dengan perubahan arah politik dan perkembangan dunia perekonomian.
Cara menyesuaikannya melalui reformasi diri secara ”kosmetik”. Dengan cara melengkapai sarana-prasarana seperti perlengkapan alat tulis, ruang kelas maupun perpustakaan. Pengadaan itu semua bertujuan untuk menyeimbangkan rasio antara murid dengan guru. Tetapi kenyataannya walaupun lembaga pendidikan mempunyai sarana dan prasarana yang komplik belum tentu menghasilkan manusia yang cerdas yang bisa membangun bangsa tetapi hanya melaihrkan nilai-nilai angka yang tinggi terhadap para siswanya dan bisa dipastikan hanya akan menjadi buruh kapitalis.
Walaupun konsep ideologi konservatif dan liberal berbeda dalam menafsirkan pendidikan, namun sesungguhnya mepunyai tujuan yang sama yaitu memandang bahwa dunia pendidikan itu harus bersifat apolitik. Pendidikan tidak boleh terbawa arus politik yang berkembang namun sebagai sarana untuk menstabilkan nilai dan norma masayarakat.
Ideologi liberal ini memang lahir dari cita-cita individualisme barat, bangsa barat menggambarkan manusia ideal itu adalah rasionalis liberal. Pada dasarnya manusia mempunyai potensi tingkatan yang sama dalam intelektual, baik dalam tatanan alam maupun tatanan sosial yang dapat ditangkap dengan akal. Kelemahan ideologi liberalisme terletak pada pengaruh faham positivistik yang sangat kuat, karena adanya pemisahan antar fakta dengan nilai menuju pemahaman obyektif.


Berkaitan dengan pendidikan, kaum liberal beranggapan bahwa persoalan pendidikan terlepas dari persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Dan pendidikan tidak memiliki kemudian lebih diarahkan pada penyesuaian atas sistem dan struktur sosial yang berjalan. Yang lebih diperhatikan adalah bagaimana meningkatkan kualitas dari proses belajar mengajar sendiri, fasilitas dan kelas yang baru, modernisasi peralatan sekolah, penyeimbangan rasio guru-murid. Selain itu juga berbagai investasi untuk meningkatkan rnetodologi pengajaran dan pelatihan yang lebih effisien dan partisipatif, seperti kelompok dinamik (group dynamics) 'learning by doing', 'experimental learning', bahkan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) sebagainya.
Kaum Liberal sama-sama berpendirian bahwa pendidiakan adalah politik, dan ‘excellence’ haruslah merupakan target utama pendidikan. Kaum Liberal beranggapan bahwa masalah mayarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang berbeda. Mereka tidak melihat hubungan pendidikan dalam struktur kelas dan dominasi politik dan budaya serta diskriminasi gender dimasyarakat luas. Bahkan pendidikan bagi salah satu aliran liberal yakni ‘structural funrtionalisme’ justu dimaksud sebagai sarana untuk menstabilkan norma dan nilai masyarakat. Pendidikan justru dimaksudkan sebagai media untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar agar masyarakat luas berfungsi secara baik.
Pendekatan liberal inilah yang mendominasi segenap pemikiran tentang pendidikan yang berarti berbagai macam pelatihan. Akar dan pendidikan ini adalah Liberalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedom), serta mengidentifikasi problem dan upaya perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang.
Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakar pada cita-cita Barat tentang individualisme. Ide palitik liberalisme sejarahnya berkait erat dengan bangkitnya kelas liberalisme dalam pendidikan dapat dianalisa dengan melihat komponen komponennya. Komponen pertama, adalah komponen pengaruh filsafat Barat tentang model manusia universal yaitu manusia yang ‘rational liberal’. Ada beberapa asumsi yang mendukung konsep manusia ‘rational liberal’ seperti: Pertama, bahwa semua manusia memiliki potensi sama dalam intelektual. Kedua, baik tatanan alam maupun norma sosial dapat ditangkap oleh akal. Ketiga, adalah ‘individualis’ yakni adanya angapan bahwa manusia adalah atomistik dan atanom (Bay,1988). Menernpatkan individu socara atomistik, membawa pada keyakinan bahwa hubungan sosial sebagai kebetulan, dan masyarakat dianggap tidak stabil karena interest anggotanya yang tidak stabil.
Pengaruh liberal ini kelihatan dalam pendidikan yang mengutamakan prestasi melalui proses persaingan antar murid. Perankingan untuk menentukan murid terbaik, adalah implikasi dari paham pendidikan ini. Pengaruh pendidikan liberal juga dapat dilihat dalam berbagai training management, kewiraswastaan, dan training-training yang lain.
Komponen kedua adalah Positivisme. Positivisme sebagai suatu paradigma ihnu sosial yang dominan sewasa ini juga menjadi dasar bagi model pendidikan Liberal. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode dan teknik ilmu alam yang memahami realitas. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat berakar pada tradisi ilmu ilrnu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme and generalisasi, melalui metode determinasi, ‘fixed law’ atau kumpulan hukum teori (Schoyer, 1973). Positivisme berasumsi bahwa penjelasan tungal dianggap ‘appropriate’ untuk semua fenomena.
Oleh karena itu riset sosial ataupun pendidikan dan pelatihan harus didekati dengan positivisme yang melibatkan unsur-unsur seperti obyektivitas, empiris, tidak memihak, rasional dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang bersifat universal, prosedur harus dikuantifisir dan diveritikasi dengan metode ‘scientific’. Dengan kata lain, positivism mensaratkan pemisahan fakta dan nilai dalam rangka menuju pada pemahaman obyektif atas realitas sosial.
Pendidikan dan pelatihan dalam positivistik bersifat fabrikasi dan mekanisasi untuk memproduksi keluaran pendidikan yang harus sesuai dengan ‘pasar kerja’. Dalam pola pemikiran positivistic, murid dididik untuk tunduk pada struktur yang ada. Dari sana, bisa kita lihat bahwa pada paradigma liberal pendidikan biasanya lebih melanggengkan system yang ada dengan melahirkan anak-anak didik yang berperan dalam mempertahankan system tersebut.
Tradisi liberal telah mendominasi konsep pendidikan hingga saat ini. Pendidikan liberal menjadi bagian dari globalisasi ekonomi ‘liberal’ kapitalisme. Dalam konteks lokal, paradigma pendidikan liberal telah menjadi bagian dari sistim developmentalisme, dimana sistim tersebut ditegakkan pada suatu asumsi bahwa akar ‘underdevelopment’ karena rakyat tidak mampu terlibat dalam sistim kapitalisme. Pendidikan harus membantu peserta didik untuk masuk dalam sistim developmentalisme tersebut, sehingga masyarakat memiliki kemampuan dalam kompetisi di dalam sistem kapitalis.
4.3 IDEOLOGI PENDIDIKAN KRITIS
Liberalisasi pendidikan merupakan salah satu aliran dalam pendidikan dewasa ini yang mulai menjadi mainset berfikir dalam memahami makna dari pendidikan itu sendiri baik dikaji dari makna filosofosnya maupun makna normatifnya.
Ciri utama pendidikan yang berideologi liberal adalah selalu berusaha menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan. Hal ini terlihat pada benang merah kebijakan Mendiknas beberapa tahun terakhir. Oleh karenanya kompetensi yang harus dikuasai peserta didik merupakan upaya untuk memenuhi dan menyesuaikan tuntutan dunia kerja sebagaimana dikemukakan dalam setiap pergantian kurkulum baru kita (Mansour Fakih, 2002).
Kenyataan lainnya dari liberalisme ini adalah mahalnya sekolah dan kuliah. UGM yang dulu dikenal kampus rakyat sekarang tidak lagi. Rencana menjadikan universitas negeri sebagai PTBHP sebagai langkah awal privatisasi pendidikan juga nyata sebagai langkah liberalisasi. Di level sekolah, elitisme pendidikan mengancam kesempatan rakyat miskin untuk mengenyam pendidikan memadai
(Eko Prasertyo, 2005).
Materialisme yang melingkupi liberalisme menjadikan reformasi yang dilakukan pun sebatas fisik saja seperti pemenuhan fasilitas baru dan gedung baru; kapitalisme pun mengarahkan bagaimana agar pembelajaran dapat lebih efektif-efisien, dan dihitung dalam bentuk untung rugi serta balikan investasinya karena mengandaikan Education as human investment.
Singkat cerita, liberalisme yang diagung-agungkan dan diacu oleh system pendidikan kita telah merusakkan sendi-sendi negara bangsa Indonesia. Darmaningtyas (2005) mengatakan bahwa pendidikan kita rusak-rusakan, dan Depdiknas merupakan satu dari dua Departemen terkorup di Indonesia satunya lagi Depag. Mulai afair buku paket, korupsi seragam sekolah, penyelewengan dana Beasiswa dan BOS, sampai kekerasan dan tindak cabul guru pada siswinya; di kalangan siswa pun merebak mulai dari sekadar bolos sekolah, nyabu, sampai bunuh diri dan seks bebas. Ini efek negatif yang luar biasa besarnya, dan tentu tak dapat diabaikan begitu saja.
Melihat kondisi tersebut layak dan tepat benar jika menghadirkan ideologi pendidikan kritis yaitu ideologi yang hadir sebagai tandingan liberalisme pendidikan. Paradigma kritis memaknai pendidikan sebagai upaya refleksi kritis terhadap ‘the dominant ideologi’ ke arah transformasi sosial. Pendidikan kritis bukan pendidikan yang mengambil jarak dengan masyarakat (detachment), tetapi yang menyatu dengan masyarakat dan tidak netral, namun memihak rakyat tertindas (marginal). Visinya adalah melakukan kritik terhadap sistem dominan terutama liberalism sekarang sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk menciptakan sistem sosial baru yang lebih adil. Sebagai penentang utama liberalisme, maka pendidikan kritis berupaya ‘memanusiakan’ kembali manusia akibat dehumanisasi sistem liberal yang tidak adil (O’neill, 2002).
Pendidikan alternatif yang muncul belakangan ini di Indonesia pascareformasi pada hakikatnya merupakan bentuk dari konsep pendidikan kritis. Pemikiran kritis ini di Barat yang memang terang-terangan menentang kaum kapitalis-liberalis. Dalam pendidikan, pemikiran kritisisme dipopulerkan salah satunya oleh Paulo Freire (1921-1997) di Brazil yang terkenal dengan teori kesadarannya yaitu kesadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis. Selaras dengan itu, apa yang dikatakan Erich fromm (salah satu pemikir dari mazhab Frankfurt) mengatakan bahwa pendidikan perlu sekiranya mengedapankan nilai-nilai kemanusaiaan dalam proses transformasi pendidikan (Humanism Education). Proses menjadikan manusia berfikir kritis merupakan keharusan untuk mengungkap sebuah kebenaran tentang segala sesuatu yang ada di alam ini, tak terkecuali kritis terhadap segala bentuk sistem yang menafikan hakekat Humansime yang jauh dari keberpihakan.
Di Indonesia kita dapat melihat tumbuhnya beberapa model pendidikan kritis di akar rumput. Pendidikan alternatif seperti yang didirikan Bahruddin di Kalibening Salatiga dengan SLTP Qaryah Tayyibah-nya terbukti mampu menyadarkan masyarakat dan siswa bahwa mereka ternyata mampu mandiri dan akhirnya tidak minder ketika menghadapi mereka yang berasal dari sekolah formal. Hal yang sama juga dilakukan oleh budayawan Cak Nun dengan Kiai Kanjeng-nya yang setiap turun ke akar rumput berupaya menggugah kesadaran masyarakat akan realitas dan problem sosial yang mereka hadapi. Cak Nun selalu membakar semangat masyarakat bahwa ketidakadilan akibat sistem liberal harus dilawan dan masyarakat sebenarnya mampu, hanya saja selama ini dibodohi terus.
Kita semua sering mengotak-atik metode pembelajaran, fasilitas pembelajaran, dan kurikulumnya, tapi tidak pernah mengkaji secara serius determinan pendidikan utama, yaitu filosofi dan ideologinya. Akhirnya yang terjadi adalah mismatch antara realitas empiris, ideologi yang diambil, kebijakan yang dirumuskan serta penerapannya.
Akhirnya, kesadaran kritis kitalah yang mampu menyingkap realita yang terjadi pada proses pendidikan di negeri ini. Dimana, landasan filosofis pendidikan dan ideologi pendidikan harus di maknai lebih kontekstual dalam membangun tatanan moral masyarakat yang lebih baik. di samping, itu proses kemanusiaan dalam sistem pendidikan harus menjadi sebuah kesadaran kolektif. Sehinnga hakekat pendidikan dan kemanusiaan berjalan selaras, meminjam istilah Erich Fromm “Mencintai negara tanpa mencintai kemanusiaan sama saja dengan menyembah berhala”. Sedangkan pendidikan bagi kaum ini merupakan arena sebuah perjuangan politik, jadi penulis mendifinisakan bahwa pendidikan itu digunakan sebagai wahana untuk menyebarkan famam politik dan secara otomatis pendidikan itu mempunyai tujuan sesuai dengan politik yang mempengaruhinya. Jika kaum konservatif pendidikan di gunakan untuk menjaga kelanggengan setatus quo, sedangkan kaum liberal pendidikan dia arahkan untuk perubahan secara moderat, maka ideologi kritis radikal menginginkan dunia pendidikan di gunakan untuk perubahan struktural secara fundamental, baik dalam ekonomi, gender dan politik.
Cara seperti ini pernah dilakukan oleh teman-teman Tan Malak yang mendirikan sekolah rakyat, kebetulan sekolah rakyat pertama itu berdomisili di Kota Semarang. karena semarang dulunya menjadi basis pergerakan buruh yang di pelopori oleh Tan Malak dan kawan-kawan. Sehingga untuk meneruskan perjuangan beliau maka ia mendidik masyarakat agar mempunyai pemahan yang memberontak pada kemapanan. Namun karena kurangnya dukungan dari rezim yang berkuasa saat itu sekolah rakyat menghilang bagai ditelan zaman.
Pandangan kritis radikal ini bisa dikatakan bertentangan dengan kaum liberal yang mengatakan pendidikan itu tidak ada penggolongan kelas dan gender dalam masyarakat. ini dilandaskan dari tidak semua orang bisa meraih pendidikan secara sama kualitas, karena masing-masing mempunyai kekuatan yang berbeda. Jadi yang dihasilkan dari pendidikan yang satu dengan pendidikan yang lainpun berbeda.
Pandangan kritis radikal mempunyai perhatian utama dalam pendidikan itu bisa menerapkan cara pandang siswa agar bisa merefleksi secara kritis terhadap ideologi yang dominan kearah transformasi sosial. Cara seperti ini digunakan untuk mengawal penguasa biar tidak berbuat sewenag-wenang.
Faham ini juga memberikan ruang untuk berfikir secara bebas, sehingga menuntut manusia itu bersikap kritis terhadap keadaan sistem atau kebijakan yang dirasa bisa menindas. Sesungguhnya pendidikan itu tidak bisa netral dari fenomena-fenomena yang berkembang di masyarakat. untuk menciptakan itu maka faham kritis radikal menerapkan visi pada pendidikan adalah kritik terhadap sistem yang dominan
4.4 IDEOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
Selain pada muamalah yang berkenaan dengan عقيدة (keimanan) dan ibadah khusus (محضة) yang bersifat baku dan operasional, Islam hanya memberikan pedoman hidup yang bersifat fundamental dengan nilai-nilai transcedental yang sesuai dan menjadi kebutuhan hidup manusia. Dengan kata lain, nilai-nilai implementasinya sebagian besar diserahkan kepada manusia.
Akan halnya pendidikan, yang merupakan معاملة دنياوية, maka secara fitrah telah menjadi tugas manusia untuk memikirkan dan mengembangkannya secara terus menerus, seirama dengan perubahan dan tantangan zaman. Ini menuntut para pendidik muslim untuk menyusun konsep pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan zaman dan mampu menjawab setiap tantangan berdasarkan nilai-nilai dasar Islam.
Sejak awal abad ke-20 sampai sekarang humanisme merupakan konsep kemanusiaan yang sangat berharga karena konsep ini sepenuhnya memihak pada manusia, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dsan menfasitasi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia untuk memelihara dan menyempurnakan keberadaannya sebagai makhluk mulia. Demikian berharganya konsep ini humanisme ini, maka terdapat sekurang-kurangnya empat aliran penting yang mengklaim sebagai pemilik asli konsep humanisme, yaitu : Liberalisme Barat, Marxisme, Eksistensialisme dan Agama.
Keempatnya memiliki titik-titik kesepakatan mengenai prinsip-prinsip dasar kemanusiaan sebagai nilai universal. Dalam hal ini Ali Syari’ati mendeskripsi kedalam tujuh prinsip, yaitu:
1.        Manusia adalah makhluk asli, artinya ia mempunyai substansi yang mandiri di antara makhluk-makhluk lain, dan memiliki esensi kemuliaan.
2.        Manusia adalah mekhluk yang memiliki kehendak bebas yang merupakan kekuatan paling besar dan luar biasa. Kemerdekaan dan kebebasan memilih adalah dua sifat ilahiah yang merupakan ciri menonojol dalam diri manusia.
3.        Manusia adalah makhluk yang sadar (berpikir) sebagai karakteristik manusia yang paling menonjol. Sadar berarti manusia dapat memahami realitas alam luar dengan kekuatan berpikir.
4.        Manusia adalah makhluk yang sadar atas dirinya sendiri, artinya dia adalah makhluk hidup satu-satunya yang memuliki pengetahuan budaya dan kemampuan membangun perasadaban.
5.        Manusia adalah makhluk kreatif, yang menyebabkan manusia mampu menjadikan dirinya makhluk sempurna didepan alam dan dihadapan tuhan.
6.        Manusia makhluk yang punya cita-cita dan merindukan sesuatu yang ideal, artinya dia tidak menyerah dan menerima ‘apa yang ada’, tetapi selalu berusaha megubahnya menjadi ‘apa yang semestinya’.
7.        Manusia adalah makhluk moral, yang hal ini berkaitan dengan masalah nilai (value).
Humanisme yang diangkat menjadi paradigma ideologi Islam pada dasarnya juga bertolak dari ketujuh prinsip dasar kemanusiaan tersebut yang implisit dalam konsep fitrah (فطرة) manusia. Namun demikian, humanisme dalam pandangan Islam tidak dapat dipisahkan dari prinsip teosentrisme. Dalam hal ini, keimanan ‘tauhid’ sebagai inti ajaran Islam, menjadi pusat seluruh orientasi nilai. Namun perlu dijelaskan bahwa semua itu kembali untuk manusia yang dieksplisitkan dalam tujuan risalah Islam, رحمة لالعالمين (rahmat bagi seluruh alam).
Islam sebagai pandangan hidup yang berlandaskan nilai-nilai ilahiyah, baik yang termuat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul diyakini mengandung kebenaran mutlak yang bersifat transedental, universal dan eternal (abadi), sehingga akidah diyakini oleh pemeluknya akan selalu sesuai dengan fitrah manusia, artinya memenuhi kebutuhan manusia kapan dan dimanapun  (لكل زمان و مكان).
Dengan demikian, karena pendidikan Islam adalah upaya normatif yang berfungsi untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia, maka harus didasarkan pada nilai-nilai tersebut di atas baik dalam menyusun teori maupun praktik pendidikan.
Dasar pendidikan Islam adalah yang tergolong intrinsik, fundamental, dan memiliki posisi paling tinggi adalah tauhid karena merupakan seluruh fondasi seluruh bangunan ajaran Islam.
Pandangan hidup tauhid bukan sekedar pengakuan akan keesaan Allah, tetapi juga meyakini kesatuan penciptaan ‘unity of creation’, kesatuan kemanusiaan ‘unity of mankind’, kesatuan tuntunan hidup (unity of guidance), dan kesatuan tujuan dari kesatuan hidup ‘unity of Godhead’.
Dengan dasar tauhid ini, tampak jelas bahwa pendidikan Islam berlandaskan pandangan teosentrisme (berpusat pada Tuhan). Perlu juga dijelaskan bahwa pandangan hidup yang melandasi pendidikan Islam merupakan perpaduan antara teosentrisme dan humanisme, sehingga terbentuklah istilah humanisme-teosentris.
Karena pendidikan Islam juga berlandaskan humanisme, maka nilai-nilai fundamental yang secara universal dan obyektif merupakan kebutuhan manusia perlu dikemukakan sebagai dasar pendidikan Islam, walaupun posisinya dalam konteks tauhid sebagai nilai instrumental. Nilai-nilai yang dimaksud meliputi kemanusiaan, kesatuan umat manusia, keseimbangan, dan rahmat bagi seluruh alam. (رحمة لالعالمين).
Menurut Sikun Pribadi, tujuan pendidikan merupakan masalah inti dalam pendidikan, dan saripati dari seluruh renungan pedagogik. Dengan demikian, tujuan pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan jalannya pendidikan sehingga perlu dirumuskan sebaik-baiknya sebelum semua kegiatan pendidikan dilaksanakan.
Suatu rumusan tujuan akan tepat apabila sesuai dengan fungsinya. Oleh karena itu perlu ditegaskan fungsi dari pendidikan itu sendiri. Di antara para ahli didik ada yang berpendapat bahwa fungsi tujuan pendidikan ada dua yang kesemuanya bersifat normatif:
1.        Memberikan arah bagi proses pendidikan. Sebelum kita menyusun kurikulum, perencanaan pendidikan dan berbagai aktivitas pendidikan, langkah yang harus dilakukan pertama kali ialah merumuskan tujuan pendidikan. Tanpa kejelasan tujuan, seluruh aktivitas pendidikan akan kehilangan arah, kacau bahkan menemui kegagalan.
2.        Memberikan motivasi dalam aktivitas pendidikan karena pada dasarnya tujuan pendidikan merupakan nilai-nilai yang ingin dicapai dsan diinternalisasikan pada anak atau subjek didik.
Tujuan pendidikan islam merupakan kriteria atau ukuran dalam evaluasi pendidikan. Menurut Omar Muhammad Attoumy Asy-Syaebani, tujuan pendidikan Islam memiliki empat ciri pokok
1.        Sifat yang bercorak agama dan akhlak.
2.        Sifat kemenyeluruhannya yang mencakup segala aspek pribadi pelajar (subjek didik), dan semua aspek perkembangan dalam masyarakat.
3.        Sifat keseimbangan, kejelasan, tidak adanya pertentangan antara unsur-unsur dan cara pelaksanaannya.
4.        Sifat realistik dan dapat dilaksanakan, penekanan pada perubahan yang dikehendaki pada tingkah laku dan pada kehidupan, memperhitungkan perbedaan-perbedaan perseorangan diantara individu, masyarakat dan kebudayaan dimana-mana dan kesanggupannya untuk berubah dan berkembang bila diperlukan.

SIMPULAN-SIMPULAN
Ada beberapa kesimpulan yang dapat penulis simpulkan dari keterangan diatas seperti:
Kaum liberal beranggapan bahwa persoalan pendidikan terlepas dari persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Dan pendidikan tidak memiliki kemudian lebih diarahkan pada penyesuaian atas sistem dan struktur sosial yang berjalan. Yang lebih diperhatikan adalah bagaimana meningkatkan kualitas dari proses belajar mengajar sendiri, fasilitas dan kelas yang baru, modernisasi peralatan sekolah, penyeimbangan rasio guru-murid.
Ideologi pendidikan kritis adalah ideologi yang hadir sebagai tandingan liberalisme pendidikan. Paradigma kritis memaknai pendidikan sebagai upaya refleksi kritis terhadap ‘the dominant ideologi’ ke arah transformasi sosial.
Ideologi pendidikan Islam adalah upaya normatif yang berfungsi untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia, maka harus didasarkan pada nilai-nilai tersebut di atas baik dalam menyusun teori maupun praktik pendidikan.
Dibawah ini adalah perbandingan dari beberapa aspek yang terkandung dalam ideologi pendidikan liberal, ideologi pendidikan kritis dan ideologi pendidikan Islam yang masing-masing menjadi ciri dan karakteristik dari masing-masing ideologi tersebut sebagai berikut:


No.
Aspek
Liberal
Kritis
Islam
1
Objek Pendidikan
Peserta didik
Ilmu Pengetahuan
Peserta didik
2
Tokoh
John Dewey
Paulo Freire
Ibnu Taimiyah
3
Konsep Pendidikan
Individualisme
Pendidikan Alternatif
Humanisme
4
Asal
Barat
Brazil
Timur Tengah
5
Tujuan
Freedom
Kritik Liberalism
Islamik


PEMBELAJARAN 2


Salah satu persoalan dasar yang menyebabkan masih buramnya kondisi pendidikan Indonesia adalah menyangkut problem kebijakan. Paling tidak ada tiga kelemahan berkaitan dengan kebijakan pendidikan kita, yaitu: elitisme perumusan kebijakan, distorsi implementasi, serta keseluruhan prosesnya cenderung bersifat instan. Sehingga dikesankan masyarakat terhadap seringnya perubahan kebijakan itu sebagai proses yang involutif semata. Hal ini mengindikasikan adanya kerapuhan dalam hal dasar –dasar ideologis terhadap kebijakan pendidikan yang digunakan. Oleh karenanya, pilihan ideologi menuju kebijakan yang mendorong tumbuhnya sikap kritis - partisipatoris menjadi sangat penting.
 
 

















AKAR IDEOLOGIS PROBLEM
KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
Kalangan ahli berpendapat bahwa potret pembangunan pendidikan Indonesia sampai saat ini masih belum menggembirakan. Paling tidak masih ada tiga persoalan dasar berkaitan dengan kebijakan pendidikan: pertama, pola perumusan kebijakan pendidikan yang masih b erpusat pada elit kekuasaan dengan sistem top-down di satu sisi sementara partisipasi masyarakat relatif masih minimal di sisi lain. Meskipun sekarang ini sudah memasuki era otonomi daerah, namun praktek dengan kultur birokrasi politik lama masih tetap mengemuka.
Kedua, banyaknya rumusan kebijakan pendidikan yang sudah dirancang secara rumit dan mahal ternyata ketika sampai pada tataran implementasi mengalami distorsi dan banyak penyimpangan. Aneka distorsi pemaknaan dan penyimpangan implementasi kebijakan di lapangan masih sering terjadi. Contoh paling nyata terhadap hal ini antara lain berkaitan dengan paket sekolah unggul dan life skill yang sekarang sudah menjadi bukti dari aneka bukti lain kegagalan kebijakan pendidikan Indonesia.
Ketiga, berbagai paket kebijakan tentang inovasi pendidikan hampir selalu dilakukan dengan serba cepat (instant) dan kurang mempertimbangkan berbagai implikasi secara matang. Contoh paling dekat terhadap hal ini adalah penghapusan Ebtanas untuk jenjang Sekolah Dasar pada awal t ahun 2002. Akibatnya semua paket kebijakan di atas menjadi sekedar proyek dan terkesan involutif semata.
Dari tiga kondisi tersebut yakni adanya elitisme, distorsi, serta proses yang serba instant dalam setiap perumusan dan impelemntasi kebijakan pendidikan secara akumulatif telah mendorong pada munculnya pandangan skeptis masyarakat. Beberapa kalangan masyarakat mengeluhkan bahwa seringnya terjadi perubahan kebijakan pendidikan yang belum mampu menghasilkan perbaikan secara signifikan. Keluhan awam yang s ering muncul adalah terungkap dalam plesetan:“Ganti menteri ganti kurikulum”.

Pada bagian lain, Mochtar Buchori (1994:12 -13) melihat bahwa banyak
tindakan pembanguan pendidikan yang diambil dan dilakukan belum berupa sebuah tindakan membangun yang sebenarn ya (genuine development act), tetapi masih berupa tindakan membangun semu (pseudo-development act) serta tindakan membangun hanya bersifat nominal (nominal development act). Hal ini menurutnya, disebabkan belum adanya sikap dasar pembangunan yang benar di bidang pendidikan.
Bahkan ditambahkan oleh Silberman (O’Neil, 2001:8) bahwa gagalnya perbaikan dan praktek pendidikan selama ini lebih dikarenakan sikap dan tindakan ‘tanpa pikir’ para pelaku pendidikan di semua tingkat. Hal ini jelas mengindikasikan masih belum kokohnya dasar -dasar ideologis pendidikan di Indonesia. Aneka kebijakan yang mengarah kepada perbaikan pendidikan masih mendasarkan pada fondasi ideologis yang rapuh, atau dengan kata lain tidak jelas dasar-dasar ideologisnya.
Dengan mencermati paparan tersebut, maka pertanyaan yang muncul adalah bagiamanakah sebuah kebijakan pendidikan bila dilihat dari kerangka akar ideologisnya? Mengapa pilihan terhadap sebuah dasar ideologis terhadap praktek pendidikan menjadi sangat penting? Alternatif apa saja yang patut menjadi dasar ideologis pendidikan serta manakah diantara itu semua yang paling tepat dalam membangun pendidikan Indonesia masa depan?
Akar Ideologis Kebijakan Pendidikan.
Pada umumnya praktek penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat dilatarbelakangi adanya pertimbangan -pertimbangan subyektif masing-masing masyarakatnya berupa preferensi nilai serta suatu prinsip yang dipilih. Aneka pertimbangan subyektif tersebut sebenarnya bisa dimengerti, mengingat praktek pendidikan merupakan bagian dari bentuk aktualisasi atas keinginan –keinginan masyarakat dalam mewujudkan kehendaknya -- Edward Stevens dan George H.Wood (1987: 149) lebih memilih dengan istilah cita -cita sosial (social ideals).
Dengan merunut pertimbangan dari kehendak masyarakat atau cita -cita sosial (social ideals) di atas, maka praktek penyelenggaraan pendidikan --baik di sekolah maupun luar sekolah-- pada umumnya mempunyai dua peran penting yang berbeda.
Pada satu sisi, proses pendidikan dapat melegitimasi bahkan melanggengkan formasi sosial yang ada (status quo); pada sisi lain justru sebaliknya pendidikan berperan membangun atau merubah tatanan sosial menuju yang lebih adil.
Kedua peran yang berlawanan tersebut sebenarnya merupakan pantulan (reflection) dari kehendak serta cita-cita sosial yang berbeda dari suatu masyarakat. Menurut William F. O’Neil (2001:8) perbedaan arah praktek penyelenggaraan pendidikan pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan ideologi yang digunakan oleh masing-masing masyarakat. Dalam hal ini, pengertian Ideologi bila kita menengok pendapat Sargent dalam bukunya Contemporary Political Ideologies yang dikutip William F. O’Neil (2001:32-33), diartikan sebagai sistem nilai atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu. Ideologi berupaya menggambarkan mengenai karakteristik -karakteristik umum tentang alam dan masyarakat; serta keterkaitan antar hakikat dunia dengan hakekat moral, politik, dan panduan-panduan perilaku lainnya yang bersifat evaluatif. Oleh karenanya, ia tidak sekedar memberi informasi tentang dunia ini sebenarnya tetapi juga merupakan petunjuk yang bersifat imperatif bagaimana seharusnya manusia/masyarakat bertindak. Prinsip dan petunjuk nilai yang bersifat imperatif sekaligus evaluatif tersebut pada akhirnya mempengaruhi bagaimana tatanan sosial masyarakat dibangun. Dengan kata lain, ideologi sosial suatu masyarakat mempengaruhi formasi sosial yang hendak diwujudkan oleh masyarakat itu sendiri.
Selanjutnya formasi sosial masyarakat yang hendak dibangun di atas pada dasarnya merupakan wadah bagi warganya untuk mengekspresikan segala tindakannya. Biasanya wadah formasi sosial diatur oleh adanya norma sosial (social norms) yang diciptakan secara kolektif. Norma sosial yang mengatur wadah formasi sosial tersebut banyak wujudnya seperti: kebiasaan (folkways), adat istiadat (customs atau mores), norma hukum (law), serta tabu (taboo). Kesemuanya itu dalam rangka memberikan kerangka acuan (term of reference) bagi tindakan-tindakan yang dilakukan oleh semua anggotanya (Soerjono Soekanto, 1982:176). Dengan harapan para anggotanya bisa bertingkah laku dan bertindak sesuai dengan norma sosial yang telah disepakati.
Kedudukan norma sosial di atas memiliki dua fungsi: Pertam a, fungsi direktif yakni memberikan arah atau acuan yang benar bagi tingkah laku anggotanya sebagaimana dikehendaki oleh kelompok. Kedua, fungsi konstraintif yakni membatasi atau memaksa terhadap semua tingkah laku anggota masyarakat tersebut agar tidak menyimpang dari acuan moral (terms of reference) kelompoknya. Dengan fungsi direktif dan konstraintif ini diharapkan muncul tindakan-tindakan moral yang memiliki kadar moralitas sebagaimana dikehendaki oleh mayoritas anggota masyarakat dalam semua lapisan.
Dalam perkembangan masyarakat, aneka macam norma sosial yang semakin mendapatkan tempat sebagai acuan formal dalam kehidupan kelompok adalah norma hukum. Seperti perundang -undangan dan keputusan-keputusan hasil kebijakan penyelenggara negara yang bersifat publik, sehingga dikenal dengan istilah kebijakan publik.
Kebijakan publik adalah semua perundang-undangan atau keputusankeputusan yang bersifat mengikat kepada semua warga masyarakat atau negara. Suatu keputusan dikatakan mengikat apabila anggota -anggota masyarakat merasa bahwa mereka harus mentaati kewenangan yang ada (Ramlan Surbakti,1992:17).
Dalam hal ini Ramlan Surbakti secara implisit menyebut kebijakan publik dengan keputusan politik oleh karena semua kebijakan publik dihasilkan melalui proses politik. Pertanyaannya, mengapa sebagian anggota masyarakat mentaati keputusan politik, sedangkan sebagian anggota yang lain tidak mentaatinya ? Mengapa ada kelompok yang memberikan dukungan (legitimation) sementara kelompok lain menolak (delegitimation) terhadap keputusan-keputusan politik. Pertanyaan-pertanyaan tersebut, paling tidak ada dua jawaban terhadap mereka yang mentaati peraturan. Pertama, para warga masyarakat merasa terikat pada kewenangan yang ada karena takut akan paksaan fisik dari penyelenggara negara yang memiliki monopoli dalam penggunaan paksaan. Kedua, disamping alasan takut paksaan, ada alasan lain yakni karena tradisi, menguntungkan, serta kesadaran hukum.
Sedangkan bagi mereka yang membangkang atau menolak peraturan kemungkinan mendasarkan diri pada salah satu alasan berikut: pertama, bahwa pemerintah sudah dianggap tidak lagi mempunyai kewenangan membuat dan melaksanakan keputusan politik. Kedua, substansi keputusan atau kebijakan politik tersebut sangat merugikan dirinya (Ramlan Surba kti, 1992: 17-18).
Kebijakan politik yang memiliki daya ikat dan daya paksa terhadap semua warga negara atau warga masyarakat wujudnya banyak sekali. Ada kebijakan politik yang mengikat dalam dimensi kehidupan sosial warga. Ada pula kebijakan politik yang membatasi dalam dimensi kehidupan ekonomi, politik, serta kebudayaan anggota masyarakat. Pun pula ada kebijakan politik yang mengatur khusus pada dimensi kehidupan pendidikan masyarakat.
Dari uraian di atas akhirnya dapat digambarkan secara hirarkhis ske ma nilai dimulai dari nilai dasar yang paling dijunjung tinggi yaitu prinsip nilai yang mendasari lahirnya prinsip moral, prinsip moral mendasari lahirnya kebijakankebijakan sosial yang dalam hal ini menurut penulis adalah filsafat sosial, filsafat sosial melahirkan ideologi politik, yang akhirnya sampai pada wujudnya kebijakan pendidikan.
Secara skematis, dapat digambarkan kedudukan akar nilai, filsafat, dan ideologi pendidikan terhadap lahirnya kebijakan pendidikan. Dalam hal ini skema yang dipaparkan merupakan skema yang dibuat William O’Neil (2001:42) dengan sedikit penambahan penulis sebagai berikut:

PRINSIP-PRINSIP NILAI
Apa yang ideal ?
(Apakah yang memiliki kebaikan teringgi?)

PRINSIP MORAL
(ETIKA MORAL)
Apa pengaruh ‘yang ideal’ terhadap perilaku manusia ?
(Perilaku apakah yang paling bermoral?)

FILSAFAT/ IDEOLOGI
SOSIAL
Tindakan macam apa yang disyaratakan oleh prinsip moral tersebut bila dilihat dalam kondisi sekarang/ riil? (Tindakan apa yang praktis?)

IDEOLOGI POLITIK
Kondisi-kondisi sosial politik seperti apa,
lembaga-lembaga apa, serta hubungan antar lembaga yang seperti apakah yang perlu ada bagi penanaman kebijakan moral di atas?)

IDEOLOGI PENDIDIKAN
Pengetahuan macam apakah yang diperlukan seseorang sehingga memiliki karakteristik sebagai warga negara yang diharapkan ?

KEBIJAKAN-KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Bagaimanakah pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan itu dibagikan dan diberikan kepada
orang-orang lain?




Beberapa Faham Ideologi Pendidikan
Beberapa faham ideologi pendidikan telah banyak dikemukakan para ahli, yang terakhir diantaranya diungkapkan oleh William F. O’Neil. Pemetaan faham ideologi pendidikan yang disampaikan O’Neil ini sebenarnya merupakan koreksi atas pemetaan yang telah dibuat oleh Theodore Brameld dalam bukunya Toward a Reconstructed Philosophy of Education , (1956). Brameld membagi ada empat macam ideologi pendidikan yang dia sebut sendiri dengan istilah aliran filsafat pendidikan. Keempat ideologi tersebut adalah: Perenialisme, Esensialisme, Progresivisme, dan Rekonstruktivisme.
Menurut Perenialisme, sasaran yang perlu dicapai dalam pendidikan adalah “kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran, dan nilai yang abadi dan tak terikat ruang dan waktu”. Ia menga jukan keberadaan pola-pola yang tak bisa berubah dan bersifat universal sejak jaman Yunani kuno sampai, abad pertengahan, dan abad dewasa ini atau sekarang yang melatari dan menentukan seluruh obyek serta peristiwa yang ada dalam kenyataan. Ia berakar dari tradisi filsafat Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas.
Aliran Esensialisme berpandangan, bahwa alam semesta beserta segala unsurnya diatur oleh hukum yang mencakup semuanya serta tatanan yang sudah mapan sebelumnya. Karenanya, tugas utama manusia adalah memahami hukum dan
tatanan tersebut sehingga mereka bisa menghargai dan menyesuaikan diri dengannya. Menurut esensialisme, sasaran utama sekolah adalah untuk mengenakan siswa kepada karakter dasar alam semesta yang sudah tertata. Oleh karena itu, anak harus dikenalkan kepada warisan budaya sekaligus sebagai pelestari budaya. Progresifisme berpendapat, tujuan utama sekolah adalah untuk meningkatkan kecerdasan praktis, yang membuat siswa lebih efektif dalam menghadapi dan memecahkan problem dalam kehidupan s ehari-hari. Progresifisme menekankan pendidikan harus bersifat duniawi, eksperimentatif, eksploratif, aktif, dan evolusioner. Sehingga ia sering disebut faham eksperimentalisme. Faham ini ditopang oleh filsafat Pragmatisme Amerika.
Sedangkan faham Rekonstruktivisme menekankan bahwa sekolah semestinya diabdikan kepada pencapaian tatanan sosial yang demokratis. Orientasi utama sekolah haruslah pembangunan masyarakat. Namun, akibat dari adanya beberapa kejanggalan atas pembagian ideologi pendidikan yang dilakukan oleh Brameld, terutama berkaitan dengan dasar penggolongan. Maka William F. O’Neil mengajukan secara berbeda. Dalam hal ini O’Neil (2001:24-25) mengkritik teori penggolongan ideologi pendidikan dari pendahulunya itu memiliki empat kelemahan utama: pertama, bahwa penggolongan yang telah dibuatnya hanya tepat untuk menggambarkan fenomena ideologi pendidikan tahun limapuluhan. Kedua, Brameld terlalu menyederhanakan kekayaan dan keragaman di dalam wilayah filsafat/ ideologi pendidikan kontemporer. Ketiga, dasar penggolongan yang dipakai Brameld tidak sejajar. Perbedaan perenialisme, esensialisme, dan progresifisme didasarkan atas ‘apa tujuan pendidikan ?’ dan ‘apa yang musti diajarkan ?’. Sedangkan rekonstruksionisme menekankan dasar penggolongannya pada ‘apa hubungan yang tepat antara sekolah dengan masyarakat ?’ Adapun kelemahan keempat pada teori penggolongan Brameld adalah belum adanya penjelasan kuat tentang keterkaitan antara aliran filsafat pendidikan dengan aliran filsafat. Misalnya tidak semua pragmatis pasti eksperimentalis dan tidak semua konservatis selalu esensialis. Oleh karena itu O’Neil (2001: 99 -129) membuat penggolongan baru yang lebih longgar yang meliputi tiga macam ideologi pendidikan, yaitu: konservatisme, liberalisme, dan kritis-radikal.
Ideologi Konservatif
Faham ideologi ini memandang, bahwa ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah. Perubahan sosial bagi penganut faham ini bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Dalam bentuknya yang paling klasik, kaum konservatif berkeyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan
atau paling tidak mempengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhanlah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya Dia yang tahu makna dibalik semua itu. Dengan demikian, kaum konservatif lama tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka.
Dalam pandangan kaum ini, mereka yang menderita --seperti mereka yang termasuk kelompok miskin, buta huruf, tertindas, dipenjara -- menjadi demikian disebabkan kesalahan mereka sendiri. Karena toh banyak orang lain yang ternyata  bisa bekerja keras akhirnya mampu meraih sesuatu. Banyak orang ke sekolah dan belajar untuk berperilaku baik dan oleh karenanya tidak dipenjara. Kaum miskin haruslah sabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka datang, karena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Sehingga dalam hal ini, kaum konservatif sangat menjunjung tinggi adanya harmoni serta menghindari konflik.
Ideologi Liberal
Penganut ideologi ini berangkat dari keyakinan bahwa dalam masyarakat terjadi banyak masalah termasuk ur usan pendidikan, namun masalah dalam pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat.Sehingga tugas pendidikan tidak ada sangkut pautnya persoalan politik dan ekonomi. Namun demikian, proses pendidikan tidak boleh lepas sama sekali dengan kondisi-kondisi eksternal, dalam hal ini ekonomi dan politik. Pendidikan harus bisa menyesuaikan diri terhadap kondisi-kondisi ekternal tersebut, dengan cara memecahkan berbagai masalah internal melalui mereformasi diri secara ‘kosmetik’. Seperti: pengadaan sarana prasarana yang memadai (ketercukupan ruang kelas, perpustakaan, laboratorium yang canggih, dan peralatan komputer yang komplit), menyeimbangkan rasio murid -guru, penciptaan metode pembelajaran baru (CBSA, modul, remedial learning, learning by doing, experiental learning, dll), penataan manajemen sekolah (MPMBS, competency based leadership, dll). 
Penganut ideologi konservatif dan liberal, memandang sama bahwa pendidikan adalah apolitik dan excellent haruslah merupakan target utama pendidikan. Kaum liberal terutama tidak melihat kaitan pendidikan dalam struktur kelas dan dominasi politik, budaya, serta gender. Bahkan pendidikan --menurut fungsionalisme struktural (salah satu aliran dalam ideologi liberal) -- justru dimaksud sebagai sarana untuk menstabilkan nilai dan norma masyarakat.
Pendidikan merupakan media untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai tata susila dan keyakinan agar masyarakat luas sebagai sistem berfungsi secara baik. Ideologi liberalisme ini berakar pada cita-cita individualisme Barat. Menurut cita-cita ini gambara manusia ideal adalah manasia ‘rasionalis liberal’. Yakni, semua manusia memiliki potensi sama dalam intelektual; baik tatanan alam maupun sosial dapat ditangkap oleh akal; serta individu -individu di dunia adalah atomistik dan otonom. Ideologi liberalisme ini juga dipengaruhi oleh positivisme. Seperti pendewaan terhadap metode ‘scientific’ serta adanya pemisahan antara fakta dengan nilai menuju pemahaman obyektif.
Ideologi Kritis-Radikal
Pendidikan bagi kaum kritis ini merupakan arena perjuangan politik. Jika bagi kaum konservatif, pendidikan diarahkan untuk menjaga status quo, sedang kaum liberal pendidikan diorientasikan untuk perubahan moderat; maka ideologi kritis ini menghendaki pendidikan sebagai sara na perubahan struktur secara fundamental dalam politik, ekonomi, serta gender. Bagi kaum kritis, diskriminasi kelas serta gender dalam masyarakat tercermin pula dalam dunia pendidikan.
Sehingga kaum kritis-radikal ini sangat bertentangan dengan kaum liberal dimana pendidikan dianggap terlepas dari persoalan kelas dan gender dalam masyarakat. Pandangan kritis-radikal melihat, perhatian utama pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap ‘the dominant ideology’ ke arah transformasi
sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang berfikir serta bertindak untuk selalu kritis terhadap keadaan sistem serta struktur yang tida k adil dan menindas. Pendidikan tidak mungkin bisa bersikap netral, obyektif, dan mengambil jarak dengan masyarakat (sebagaimana dianjurkan positivisme). Maka visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistem dominan beserta kelas dominan yang ada sebagai perwujudan atas pemihakan terhadap rakyat kecil, kelompok miskin, atau kelas tertindas umumnya dalam rangka mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih adil.
Dilihat dari ketiga ideologi pendidikan di atas, nampaknya para penentu kebijakan pendidikan di Indonesia masih terkesan samar -samar dalam memilih dan mendasarkan diri sebagai basis ideologis dalam setiap kebijakannya. Apologi yang muncul dari mereka biasanya mengatakan telah mendasarkan diri atas ideologi Pancasila. Padahal ideologi Pancasila belum terderifasi secara mantap menjadi ideologi pendidikan Pancasila. Ataupun juga, pemakaian ideologi pendidikan Pancasila hanya sebatas simbolik namun substansinya masih dipertanyakan Akibatnya, basis ideologis yang digunakannya lagi -lagi menjadi kabur. sehingga sering terjadi konstruksi dan formulasi paradigma kebijakan yang dibangun juga menjadi tidak jelas serta kering akan argumentasi (lihat Suryadi dan Tilaar, 1994: 63-66).
Oleh karenanya, sangat wajar bahwa terhadap keseluruhan kebijakan pendidikan yang sering dibuat pemerintah cenderung bersifat involutif bahkan terkesan mengulang-ulang atau blunder. Bahkan yang paling menyedihkan adalah banyak kebijakan pendidikan yang dibuat oleh mereka demi memuaskan kelompok kepentingan tertentu bukan kepada pemberd ayaan bangsa secara keseluruhan.
Kebijakan Pendidikan: Suatu Pendekatan Dilematis
Secara teoritis, suatu kebijakan pendidikan dirancang dan dirumuskan untuk selanjutnya dapat diimplementasikan, sebenarnya tidak begitu saja dibuat. Kebijakan pendidikan yang dirumuskan secara hati -hati lebih-lebih yang menyangkut persoalan krusial atau pe rsoalan makro, maka hampir pasti perumusan kebijakan pendidikan tersebut dilandasi oleh suatu faham teori tertentu. Dalam proses perumusannya, para pemegang kewenangan dalam pengambilan kebijakan (decision maker) terlebih dahulu mempertimbangkan secara masak-masa (rasionalitas, proses, hasil, serta efek samping yang ada).
Menurut pandangan Hodgkinson, dalam semua jenis perumusan kebijakan selalu berkaitan dengan aspek metapolicy, karena akan menyangkut hakekat (substance), sudut pandang (perspective), sikap (attitude), dan perilaku (behaviour) yang tersembunyi maupun yang nyata dari aktor -aktor yang bertanggung jawab
(Solichin Abdul Wahab, 1997:45). Metapolicy mempersoalkan mengapa dan bagaimana sebuah kebijakan (termasuk pendidikan) dipikirkan dan dirumuskan.
Bahkan kajian metapolicy ini bisa mengarah kepada kajian yang bersifat filosofik. Dalam bahasan ini, penulis tidak akan terlalu menelusuri dan mengupas lebih jauh sampai kepada kajian filosofik yang mendetail dari sebuah kebijakan, namun dalam hal ini catatan penting yang perlu diketengahkan dalam tulisan ini adalah semua kebijakan termasuk dalam kebijakan pendidikan selalu dirumuskan dengan pertimbangan-pertimbangan filosifis dan teoritis tertentu.
Secara teoritik, suatu kebijakan pendidikan dirumusk an dengan mendasarkan diri pada landasan pemikiran yang lebih ilmiah empirik. Kajian ini menggunakan pola pendekatan yang beragam sesuai dengan faham teori yang dianut oleh masing - masing penentu kebijakan. Dalam kajian ini, paling tidak ada dua pendekatan yang
dapat direkomendasikan kepada para penentu/ berwenang dalam merumuskan suatu kebijakan pendidikan. Dua pendekatan dalam perumusan kebijakan pendidikan tersebut adalah: (1) Social demand approach, dan (2) Man-power approach.
Social demand approach adalah suatu pendekatan dalam perumusan kebijakan pendidikan yang mendasarkan diri pada aspirasi, tuntutan, serta aneka kepentingan yang didesakkan oleh masyarakat. Pada pendekatan jenis ini para pengambil kebijakan akan terlebih dahulu menyelami dan mendeteks i terhadap aspirasi yang berkembang di masyarakat sebelum mereka merumuskan kebijakan pendidikan yang ditanganinya. Bahkan kalau perlu mereka melakukan hearing dan menangkap semua aspirasi dari bawah secara langsung.
Pada masyarakat yang sudah maju, proses penjaringan aspirasi dari masyarakat lapisan bawah (grass-root) bisa dilakukan melalui banyak cara, misalnya: melalui jajak pendapat, arus wacana yang berkembang, penelitian, atau dengan cara pemilihan umum. Sedangkan yang berlaku pada masyarakat yang masih belum maju, proses penjaringan aspirasi dari bawah biasanya melalui rembug deso, jagong, sarasehan, dan sebaginya.
Pendekatan social demand sebenarnya tidak semata-mata merespon aspirasi masyarakat sebelum dirumuskannya kebijakan pendidikan, akan tetap i juga merespon tuntutan masyarakat setelah kebijakan pendidikan diimplementasikan. Partisipasi warga dari seluruh lapisan masyarakat diharapkan terjadi baik pada masa perumusan maupun implementasi kebijakan pendidikan. Dengan mencermati uraian tersebut, social demand approach dalam perumusan kebijakan dapat digolongkan ke dalam tipe perumusan kebijakan yang bersifat pasif. Artinya, suatu kebijakan baru dapat dirumuskan apabila ada tuntutan dari masyarakat terlebih dahulu. Dengan demikian, para pejabat berw enang hanya bersifat menunggu dan hanya selalu menunggu. Namun dari sisi positif, model pendekatan ini lebih demokratis sesuai dengan aspirasi dan tuntutan masyakat, sehingga pada saat kebijakan tersebut diimplementasikan dimungkinkan akan mendapat dukungan mayoritas dari masyarakat. Oleh sebab itu, dengan pendekatan jenis ini tingkat ketercapaian dari implementasi kebijakan relatif tinggi dan resiko kegagalannya akan rendah.
Pendekatan kedua adalah man-power approach, yakni sebuah pendekatan yang lebih menitik-beratkan kepada pertimbangan-pertimbangan rasional dalam rangka menciptakan ketersediaan sumberdaya manusia (human resources) yang memadai di masyarakat. Pendekatan man-power ini tidak melihat apakah ada permintaan dari masyarakat atau tidak, apakah masyarakat menuntut untuk dibuatkan suatu kebijakan pendidikan tertentu atau tidak; tetapi yang terpenting adalah menurut pertimbangan-pertimbangan rasioal dan visioner dari sudut pandang  pengambil kebijakan.
Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yan g mampu menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinannya dan juga sebagai seorang visioner. Ia tidak hanya sekedar menjalankan tugas-tugas rutin dan ritual dalam memimpin masyarakatnya; akan tetapi ia juga bisa melihat jauh ke depan cita -cita yang akan dicapai masyarakatnya serta cara-cara untuk mencapainya.
Dengan kemampuan visoner dari sang pemimpin yang mampu melihat jauh ke depan cita-cita yang akan menjadi tujuan masyarakatnya, maka sang pemimpin tersebut bisa membuat langkah-langkah antisipasi dan adaptasi dalam mengarahkan masyarakatnya sesuai dengan arah yang benar, tanpa harus terlebih dahulu
menunggu adanya tuntutan dari anggota -anggota masyarakatnya.
Dalam pendekatan man-power, pemerintah sebagai pemimpin suatu bangsa pada umumnya melihat bahwa suatu ba ngsa akan bisa maju manakala memiliki banyak warga yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang memadai. Dengan kata lain, memiliki kualitas sumberdaya manusia (human resources) yang dapat
diandalkan. Salah satu indikator empirik dari penguasaan kualitas dari masingmasing warga bangsa adalah tingkat pendidikan formal para anggotanya. Oleh karena itu pemerintah sebagai pemimpin yang berwenang merumuskan suatu kebijakan memiliki legitimasi kuat untuk merumuskan kebijakan pendidikan dengan alasan-alasan sebagaimana di atas.
Beberapa catatan yang dapat dipetik dari man-power approach di atas adalah bahwa pendekatan ini secara umum lebih bersifat otoriter. Man-power approach pada umumnya kurang menghargai proses demokratis dalam perumusan kebijakan pendidikan, terbukti perumusan kebijakannya tidak diawali dari adanya aspirasi dan tuntutan masyarakat, akan tetapi langsung saja dirumuskan sesuai dengan tuntutan masa depan sebagaimana dilihat oleh sang pemimpin visioner. Sehingga terkesan adanya cara-cara otoriter dalam pendekatan jenis kedua ini. Namun dari sisi positifnya, pendekatan man-power lebih efisien dalam proses perumusannya serta lebih berdimensi jangka panjang.
Menuju Formulasi Kebijakan Pendidikan Kritis -Partisipatif
Dengan mendasarkan diri pada filsafat sosial yang berlanjut kepada filsafat dan ideologi politik sebagaimana dijelaskan di muka, maka terdapat implikasi beragamnya teori berkenaan dengan formulasi kebijakan pendidikan. Sebagaimana dikemukakan Hudson (Arif Rohman, 2002: 78-81) yang telah mengelompokkan
teori perumusan kebijakan pendidikan menjadi lima teori. Kelima teori tersebut menurut Hudson adalah: (a) teori radikal, (b) teori advokasi, (c) toeri transaktif, (d) teori sinoptik, dan (e) teori incremental.
Teori radikal (radical theory) menekankan kebebasan lembaga lokal dalam menyusun sebuah kebijakan pendidikan. Semua kebijakan pendidikan yang menyangkut penyelenggaraan dan perbaikan penyelenggaraan pendidikan di tingkat daerah diserahkan kepada daerah. Sehingga negara atau pemerintah pusat tidak perlu repot-repot menyusun sebuah rencana kebijakan pendidikan bila pada akhirnya kurang sesuai dengan kondisi lokal. Lebih -lebih kondisi masing-masing daerah memiliki tingkat keragaman dan kekhasan sendiri -sendiri yang tidak bisa disamakan satu sama lain.
Teori ini berasumsi bahwa ‘tidak ada lembaga atau organ pendidikan lokal yang persis sama satu sama lain’ . Sehingga untuk menyusun kebijakan pendidikan yang dianggap terbaik adalah diserahkan sepenuhnya kepada l embaga-lembaga lokal yang secara hakiki memiliki karakteristik yang relatif plural, serta yang mengetahui persoalan untuk dirinya sendiri. Hal ini amat relevan dengan semangat otonomi daerah yang sekarang sedamg bergulir. 
Dari sini nampak jelas bahwa teori radikal ini sangat menghargai desentralisasi dalam perumusan kebijakan
pendidikan. Teori advokasi (advocacy theory) agak berbeda dengan teori radikal di atas. Teori advokasi ini tidak menghiraukan perbedaan -perbedaan seperti karakteristik lembaga, lingkungan sosial dan kultural, lingkungan geografis, serta kondisi lokal lainnya. Kesemua macam corak karakteristik dan perbedaan lingkungan tersebut menurut teori ini hanyalah perbedaan yang didasarkan pada pengamatan empirik semata. Sebaliknya, teori advokasi ini lebih mendasarkan pada argumentasi yang rasional, logis, dan bernilai. Sehingga dalam hal ini pemerintah pusat sangat perlu menyusun kebijakan pendidikan yang bersifat nasional demi kepentingan umum, serta demi melindungi lembaga -lembaga dan organ-organ pendidikan yang relatif
masih marginal dibanding lembaga atau organ pendidikan lain yang sudah maju.
Teori advokasi bersumber dari akar teori konflik yang merekomendasikan pemberian kewenangan negara atau pemerintah pusat untuk membatasi kelas atau kelompok-kelompok dominan yang bisa merugikan kelas marginal. Dalam hal ini pemerintah pusat harus mampu menyeimbangkan kemajuan pendidikan antar daerah. Dengan demikian ketimpangan pendidikan antar da erah bisa dieliminir.
Teori transaktif (transactive theory) menekankan bahwa perumusan kebijakan sangat perlu didiskusikan secara bersama terlebih dahulu dengan semua pihak. Proses pendiskusian ini perlu melibatkan sebanyak mungkin pihak -pihak terkait, termasuk dalam hal ini adalah dengan personalia lembaga pendidikan di tingkat lokal. Hasil dari proses diskusi tersebut kemudian dievolusikan atau digelindingkan terlebih dahulu secara perlahan -lahan.
Pada dasarnya, teori transaktif ini sangat menekankan har kat individu serta menjunjung tinggi kepentingan masing -masing pribadi. Keinginan, kebutuhan, dan nilai-nilai individu diteliti satu persatu dan diajak bersama dalam perumusan kebijakan pendidikan.
Teori sinoptik (synoptic theory) lebih menekankan bahwa dalam menyusun sebuah kebijakan supaya menggunakan metode berfikir sistem. Obyek yang dirancang dan terkena kebijakan, dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dengan tujuan yang sering disebut dengan ‘misi’. Oleh karena itu, teori ini sering juga disebut teori sistem, atau teori pendekatan sistem rasional , atau teori rasional komprehensif.
Teori inkremental (incremental theory) adalah teori yang menekankan pada perumusan kebijakan pendidikan yang berjangka pendek serta berusaha menghindari perencanaan kebijakan yang berjangka panjang. Penekanan semacam ini diambil disebabkan karena masalah -masalah yang dihadapi serta performa dari para personalia pelaksana kebijakan dan kelompok yang terkena kebijakan sulit diprediksi. Setiap saat, setiap tahun, dan setia p periode waktu mengalami perubahan yang sangat kompleks. Oleh karena itu menurut teori inkremental ini, amatlah sulit dan amatlah kurang cermat manakala sebuah kebijakan pendidikan yang berdimensi jangka panjang akan diterapkan pada suatu keadaan yang se lalu berubah. Kebijakan pendidikan yang paling tepat adalah kebijakan yang berjangka pendek yang relevan
dengan masalah pada saat itu juga.
Demikianlah beberapa teori perumusan kebijakan pendidikan yang telah dideskripsikan panjang lebar. Tentu saja masing -masing teori yang ada tersebut memiliki kekhasan dan implikasi positif dan negatifnya sendiri -sendiri bila diterapkan. Ia hanya akan tepat atau memiliki banyak nilai positif manakala diterapkan pada konteks masalah yang relevan. Namun tidak tertutup kemun gkinan bahwa satu masalah akan bisa dipecahkan dengan menggunakan beberapa teori secara eklektis-sinergis. Misalnya dalam mengatasi persoalan ketimpangan antar daerah soal mutu pendidikan yang menjadi problem bangsa Indonesia sejak tahun 1970 -an sampai sekarang, maka pemecahan kebijakan yang relevan adalah dengan menggunakan teori radikal, advokasi, dan sinoptik secara eklektis-sinergis. Aspek-aspek yang bisa ditangani dan diselesaikan oleh lembaga lokal hendaknya diserahkan kepada kreatifitas lokal, sedangkan hal-hal yang mestinya ditangani pemerintah pusat supaya diupayakan pusat. Terhadap keseluruhan upaya tersebut dilakukan dalam kerangka sistem.
Dengan menggunakan teori secara eklektis -sinergis maka partisipasi lokal dan masyarakat pada umumnya diharapk an bisa meningkat secara signifikan serta daya kritis mereka dalam mempertimbangkan antara tuntutan dengan kemampuan juga akan semakin berkembang.
Penutup
Berdasar paparan di muka maka dapat dipetik beberapa intisari sebagai kesimpulannya, diantaranya adalah bahwa salah satu persoalan dasar yang menyebabkan masih buramnya kondisi pendidikan Indonesia adalah menyangkut problem kebijakan. Kebijakan yang semula diarahkan untuk menyelesaikan aneka problem pendidikan yang ada ternyata dalam dirinya terdapat p roblem tersendiri, sehingga pada gilirannya aneka problem pendidikan yang ada bukannya semakin terselesaikan tetapi justru semakin kompleks. Paling tidak ada tiga kelemahan berkaitan dengan kebijakan pendidikan kita, yaitu: elitisme perumusan kebijakan yang cenderung bersifat top-down meskipun di era otonomi daerah, distorsi implementasi, serta keseluruhan prosesnya cenderung bersifat instan. Sehingga dikesankan oleh masyarakat terhadap seringnya perubahan kebijakan itu sebagai proses yang involutif semata.
Salah satu penyebab terhadap hal tersebut adalah adanya kerapuhan dalam dasar-dasar ideologisnya. Bahkan landasan ideologis yang dipakai cenderung berganti-ganti dan tidak jelas. Akibatnya kebijakan pendidikan yang diambil menjadi kehilangan ‘daya grege t’ dan konsistensinya. Oleh karenanya, pilihan ideologi menuju kebijakan yang mendorong tumbuhnya sikap kritis -partisipatoris menjadi sangat penting.
Secara teoritik, ada tiga kelompok faham ideologi pendidikan yang bersumber dari ideologi politik, yaitu: konservatisme, liberalisme, dan kritisradikal.
Ketiganya memiliki kelemahan dan kelebihan beserta segenap implikasi yang ditimbulkannya. Termasuk pula implikasi pendekatan yang akan digunakan dalam formulasi kebijakan apakah menggunakan man-power approach atau social demand approach. Untuk itu, dengan mempertimbangkan terhadap aneka ideologi,
teori, dan pendekatan kebijakan yang ada secara kritis, kreatif dan konsisten dengan disertai semangat nasionalisme membangun pendidikan bangsa secara menyeluruh dan bukan untuk kepentingan tentatif apalagi sekedar ‘proyek’, maka diharapkan akan terwujud secara pelan tapi pasti berupa perbaikan kualitas pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Buchori, Mochtar. 1994. “Pendidikan dan Pembangunan”. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
O’Neil, William F. 2001. “Ideologi-Ideologi Pendidikan”. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Rohman, Arif. 2002. “Kebijakan Pendidikan: Ideologi, Proses Politik, dan Peran
Birokrasi dalam Formulasi dan Implementasi Kebijakan
Pendidikan”. (Naskah buku yang sekarang sedang proses
editing untuk penerbitan di Pustaka Pelajar Yogyakarta).
Soekanto, Soerjono. 1982. “Sosiologi Suatu Pengantar”. Jakarta: Rajawali Press.
Stevens, Edward and Wood, George H. 1987. “Justice, Ideology, and Education”.
New York: Random House.
Surbakti, Ramlan. 1992. “Memahami Ilmu Politik”. Jakarta: Gramedia
Widiasarana.
Suryadi, Ace dan Tilaar, HAR. 1994. “Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu
Pengantar”. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wahab, Solichin Abdul. 1997. “Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi Ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara”. Jakarta: Bumi 












PEMBELAJARAN  II
IDEOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan Islam sebagai bagian integral dalam sistem pendidikan nasional memiliki fungsi dan peran yang strategis dalam membentuk karakter bangsa Indonesia. Peran pendidikan Islam setidaknya ada tiga hal yakni menjaga bangsa tetap religius, misi mencetak kader ulama yang mujaddid, dan kekuatan harokah diniyah bangsa Indonesia di mata dunia.
Pendidikan Islam hadir sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional dan wujud perjuangan pendidikan Islam yang sangat panjang sejak dahulu kala. Pendidikan Islam dari sisi ideologis dan politis juga diciptakan, dijaga dan dipertahankan oleh para pendiri bangsa guna membentuk karakter bangsa Indonesia.
Sebagai bagian dari bangsa-bangsa di dunia, Indonesia tentunya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh globalisasi dan modernisasi atau hal-hal yang bersifat material positivistik semata, melainkan Indonesia ikut dalam percaturan global dunia. Namun di sela-sela itu, Indonesia tidak bisa juga menjadi bangsa yang hedon dan tanpa nilai, bangsa Indonesia ikut modernisasi tanpa meninggalkan ajaran agama, dan nilai-nilai tersebut ditanamkan melalui jalur pendidikan.
Pendidikan Islam mempunyai visi untuk senantiasa memastikan adanya komunitas ahli agama dalam sebuah bangsa. Hal tersebut merupakan keharusan dalam ihwal negara yang beragama, “kita tidak ingin ada tindakan yang salah atas nama agama. Peran ulama atau ahli agama adalah menuntun agama sebuah bangsa sehingga sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan pendidikan sebagai sarana menyampaikan paham yang benar sangat diwajibkan.”
“Dengan pendidikan Islam, karakteristik Indonesia sebagai sebuah bangsa diwarnai juga dengan harokah diniyah (pergerakan keagamaan) semacam Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, dsb. Tanpa mereka mustahil bangsa ini bisa berdiri dan bertahan melalui berbagai rintangan peradaban. Jalan yang ditempuh mereka pun sebagian besar adalah melalui pendidikan, maka tumbuh dan berkembangnya perjuangan yang kuat sebagai bangsa yang berkarakter religius memberi visi kemana bangsa Indonesia harus melangkah,” ujar Affandi dalam arahannya.




A. PENDAHULUAN
Selain pada muamalah yang berkenaan dengan aqidah (keimanan) dan ibadah khusus (mahdah) yang bersifat baku dan operasional, islam hanya memberikan pedoman hidup yang bersifat fundamental dengan nilai-nilai transcendental yang sesuiai dan menjadi kebutuhan hidup manusia. Dengan kata lain, nilai-nilai implementasinya sebagian besar di serahkan manusia.
Akan hal pendidikan, yang merupakan muamalah duniawiah, maka secara fitrah telah menjadi tugas manusia untuk memikirkan dan mengembangkannya secara terus menerus, seiram dengan perubahan dan tantangan zaman.ini menuntut para pendidi muslim untuk menyusun konsep pendidikan berdasarkan ideologo pendidikan islam yang relefan dengan perubahan zaman dan mampu menjawab setiap tantangan berdasarkan nilai-nilai dasar Islam

B. HAKEKAT PENDIDIKAN ISLAM

Islam adalah satu-satunya agama yang diridhoi oleh allah swt. Dalam mengenalkan agama islam kepada seluruh umat manusia, allah swt mengutus seorang rosul yang berkewajiban diantaranya adalah mengenalkan allah kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini kemudian memperbaikinya supaya nantinya mereka akan kembali kepada allah dalam keadaan suci seperti halnya ketika mereka di lahirkan. Berangkat dari sinilah tidak mungkin tidak bahwa ketika rosulullah mengenalkan tuhannya yaitu allah swt pastilah melalui sebuah pendidikan. Dengan pendidikan inilah manusia mampu mencapai derajat yang lebih tinggi yaitu menjadi manusia yang berilmu atau berpendidikan (QS. Al Mujadilah (58) : 11). Mereka akan mengetahui jati dirinya, siapa dirinya, dan siapa yang menciptakan dirinya serta kenapa ia diciptakan.

Pendidikan merupakan satu kunci pokok untuk memperoleh ilmu. Karena memang tidak ada cara lain untuk memperoleh ilmu kecuali dengan pendidikan. Pendidikan dapat merubah masyarakat terburuk  menjadi masyarakat yang terbaik dikarenakan pendidikan memiliki banyak keutamaan dan kelebihan. Pendidikan mampu membentuk pemahaman Islam yang utuh dan menyeluruh, pemeliharaan terhadap apa yang telah dipelajarinya, dan pengembangan atas ilmu yang telah diperolehnya. Hasil dari pendidikan Islam inilah akan membentuk jiwa manusia menjadi tenang dan akal menjadi cerdas serta mampu meng-aplikasikannya di tengah-tengah kehidupannya. Demikianlah  betapa penting dan besarnya pedidikan dalam islam.

Bahkan Muadz bin Jabal ra. berkata: “Andaikata orang yang beakal. itu mempunyai dosa pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya dia cenderung masih bisa selamat dari dosa tersebut namun sebaliknya, andaikata orang bodoh itu mempunyai kebaikan dan kebajikan pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya ia cenderung tidak bisa mempertahankannya sekalipun hanya seberat biji sawi”.
Ada yang bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Ia menjawab, “Sesungguhnya jika orang berakal itu tergelincir, maka ia segera menyadarinya dengan cara bertaubat, dan menggunakan akal yang dianugerahkan kepadanya. Tetapi orang bodoh itu ibarat orang yang membangun dan langsung merobohkannya karena kebodohannya, ia terlalu mudah melakukan apa yang bisa merusak amal shalihnya.”
Kebodohan adalah salah satu faktor yang menghalangi masuknya cahaya Islam. Oleh karena itu, manusia butuh terapi agar menjadi makhluk yang mulia dan dimuliakan oleh Allah SWT. Kemuliaan manusia terletak pada akal yang dianugerahi Allah. Akal ini digunakan untuk mendidik dirinya sehingga memiliki ilmu untuk mengenal penciptanya dan beribadah kepada-Nya dengan benar. Itulah sebabnya Rasulullah SAW menggunakan metode pendidikan untuk memperbaiki manusia, karena dengan pendidikanlah manusia memiliki ilmu yang benar. Dengan demikian, ia terhindar dari ketergelinciran pada maksiat, kelemahan, kemiskinan dan terpecah belah.
Dalam dunia islam istilah pendidikan mengacu pada kata "tarbiyah","ta'dib" dan "ta'lim". diantara ketiga kata tersebut yang paling populer atau yang paling sering dipraktekan didunia pendidikan islam adalah "at-tarbiyah". sedang kata ta'dib dan ta'lim jarang sekali terdengar atau dipraktekkan dalam dunia pendidikan islam. Meskipun demikian dalam persoalan-persoalan tertentu ketiga kata tersebut memiliki kandungan makna yang sama. Namun secara esensial setiap kata diantara ketiga kata tersebut memiliki makna yang berbeda-beda baik secara tekstual maupun kontekstual.

        i.            Dasar Ideal Pendidikan Islam

            Dasar ideal pendidikan islam identik dengan ajaran islam yaitu al-qur'an dan as-sunah. pada hakekatnya kedua sumber ini memiliki tujuan yang sama yaitu sama-sama memberikan petunjuk jalan lurus kepada umat manusia dan berasal dari sumber yang sama pula yaitu allah SWT. Kedua sumber ini lalu oleh para sahabat dan generasi-generasi penerusnya dikembangkan menurut pemahamannya dalam bentuk ijtihad, qiyas, dll. Usaha yang dilakukan oleh para sahabat dan generasi-generasi penerusnya ini disebabkan karena pada saat itu - setelah wafatnya rosulullah - mulai bermunculan berbagai macam persoalan-persoalan baru yang tidak pernah ada dalam alqur'an dan as-sunah. Dari sinilah masyarakat islam dituntut untuk membuat metode baru dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang semakin berkembang seiring dengan perkembangan zaman yang mana permasalahan-permasalan tersebut belum pernah ada ketika Nabi SAW masih hidup.


      ii.            Pendidikan Islam Sebagai Suatu System

            Menurut Ryan “system” adalah sejumlah elemen (objek, orang, aktifitas, rekaman, informasi dan lain-lain) yang saling berkaitan dengan proses dan struktur secara teratur, dan merupakan kesatuan organisasi yang berfungsi untuk mewujudkan hasil yang dapat diamati (dapat dikenal wujudnya) sedangkan tujuan tercapai.

            Menurut Sanafiah Faisal "istilah sistem menuju kepada totalitas yang bertujuan dan tersusun dari rangkaian unsur dan komponen." Dari beberapa pendefinisian tersebut dapat disimpullkan bahwa sistem adalah kesatuan dari komponen-komponen yang masing-masing berdiri sendiri tetapi saling terkait satu dengan yang lainya, sehingga terbentuk suatu kebulatan yang utuh dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Berangkat dari sinilah sistem pendidikan terbagi menjadi 4 unsur utama yaitu :

a)      Kegiatan pendidikan yang meliputi : pendidikan diri sendiri, pendidikan oleh  lingkungan, pendidikan oleh seseorang terhadap orang lain.
b)      Binaan pendidikan, mencakup : jasmani, akal, qolbu.
c)      Tempat pendidikan, mencakup : rumah tangga, sekolah, dan masyarakat.
d)     Komponen pendidikan, mencakup : dasar, tujuan pendidikan, peserta didik, materi, metode, media dan evaluasi.

Berdasarkan kategori sistem pendidikan tersebut maka yang menjadi persoalan adalah "Apakah pendidikan islam memiliki sistem tersendiri. ataukah sistem pendidikan islam itu sama dengan sistem pendidikan kontemporer sambil mencantumkan beberapa ayat atau hadits yang relevan". Nampaknya berdasarkan telaah literatur pendidikan islam, terlihat secara jelas bahwa pendidikan islam memiliki sistem tersendiri yang berbeda dengan sistem pendidikan yang dikembangkan secara umum terutama barat.


    iii.            Perbedaan Sistem Pendidikan Islam Dengan Sistem Pendidikan Non Islam

            Apabila dianalisa lebih mendalam, terlihat bahwa titik perbedaan antara sistem pendidikan islam dengan non islam terletak pada :

1.      Sistem Ideologi

            Islam memiliki ideologi at-tauhid yang bersumber dari alqur'an dan as-sunah. sedangkan non islam memiliki berbagai macam ideologi yang bersumberkan dari materialisme, komunisme, ateisme, sosialisme, kapitalisme, rasionalisme, dan sebagainya. Dengan begitu terlihat jelas perbedaan kedua sistem tersebut yaitu muatan ideologinya yang ingin dicapai.

Apabila ide pokok ideologi islam berupa at-tauhid, maka setiap tindakan sistem pendidikan islam harus berdasarkan at-tauhid pula. Makna at-tauhid bukan hanya meng-esakan allah seperti yang dipahami oleh kaum monoteis. Makna at-tauhid dipahami sebagai “menyakinkan kesatuan penciptaan” (unity of creation), “kesatuan kemanusiaan” (unity of menkind), “kesatuan tuntutan hidup” (unity of purpose of life).

Jadi, dibidang ideologi, sistem pendidikan islam berbeda dengan pendidikan non islam, tetapi dibidang teknik-operasional baranag kali keduanya memiliki kesamaan.

2.      Sistem Nilai

            Pendidikan islam bersumber dari alqur'an dan as-sunah, sedangkan pendidikan non islam bersumberkan dari nilai yang lain. Formulasi ini relevan dengan kesimpulan diatas. Ideologi islam bermuatan nilai-nilai dasar alqur'ann dan as-sunah sebagai sumber asal dan ijtihad sebagai sumber tambahan. Sementara pendidikan non islam sebenarnya ada juga sumber nilainya, namun sumber nilainya hanya dari hasil pemikiran, hasil penelitian para ahli dan adat kebiasaan masyarakat. Nilai-nilai tersebut kemudian dipindahkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

3.      Orientasi Pendidikan

            Pendidikan Islam berorientasi kepada duniwi dan ukhrowi. Sedangkan pendidikan non islam, orientasinya duniawi semata. Didalalm islam, antara dunia dan akhirat merupakan satu kesatuan tujuan. Kehidupan dunia adalah media untuk kehidupan akhirat, sementara akhirat adalah kelanjutan dari dunia. Bahkan kualitas kehidupan akhirat merupakan konsekuensi atas kualitas kehidupan dunia. Segala perbuatan muslim dalam bidang apapun memiliki kaitan dengan akhirat.

            Islam sebagai agama yang bersifat universal berisi ajaran-ajaran yang dapat membimbing manusia kepada kebahagiaan hidup didunia dan akhirat.  Firman Allah SWT :

Artinya : “dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan allah kepadamu kebahagiaan negri akhirat dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari kenikmatan, dunia”(QS.23 : 77).
           
Untuk itu, islam mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa menjalin hubungan yang erat dengan Allah SWT dan sesama manusia. Dalam hubungan ini, Muhammad Saltut melihat bahwa ajaran islam pada dasarnya dibagi dalam 2 kelompok, yaitu akidah dan syari’ah. Muslim sejati disisi allah ialah orang yang beriman dan melaksanakan syari’ah. Barang siapa beriman tanpa bersyari’ah atau sebaliknya bersyri’ah tanpa beriman niscaya tidak akan berhasil.

Berdasarkan hal tersebut, maka pendidikan islam berfngsi untuk menghasilkan manusia yang dapat menempuh kehidupan yang indah didunia dan kehidupan yang indah di akhirat serta terhindar dari siksaan allah. Perbedaan dengan pendidikan barat yang bertitik tolak dari filsafat pragmatism, yaitu mengukur kebenaran menurut kepentingan waktu, tempat dan situasi, dan berakhir pada garis hajat.

    iv.            Tujuan Pendidikan Islam

Setiap tindakan dan aktifitas harus berorientasi pada tujuan atau rencana yang telah ditetapkan. Sebab dengan berorientasi kepada tujuan maka dapat diketahui bahwa tujuan dapat berfungsi sebagai alat standart untuk mengakhiri suatu perbuatan  yang sedang diusahakan, dan standart untuk menjadi titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain. Sehubungan dangan hal tersebut pendidikan islam harus memahami dan menyadari betul apa sebenarnya yang ingin dicapai dalam proses pendidikan . Berikut tujuan-tujuan pendidika diantaranya adalah :

a)    Menjadi Hamba Allah
·         Firman Allah : dan Aku (Allah) tidak menjadikan jin dan manusia melainkan untuk menyembahku. (QS.Al-Zhariat : 56).

Tujuan ini sesuai dengan hakekat dari tujuan kehidupan manusia sebagai makhluq yang bertuhan dan relevan dengan hakekat dari penciptaan manusia. Dalam hal ini pendidikan mengharuskan  manusia supaya ia benar-benar mampu  menghayati  dan memahami “siapakah tuhannya”, sehingga selulruh aktifitas yang bersifat peribadatan  senantiasa ia lakukan dengan penuh penghayatan dan kekhusyu’an terhadapNYa. Berangkat dari sinilah ia benar-benar mampu menjadi hamba allah sesuai yang allah harapkan.

b)    Mangantarkan Subjek Didik Manjadi Kholilfatullah Fil-ardh,

Yang mampu memakmurkan, mensejahterkan, dan melestarikan bumi seisinya serta mampu mewujudkan rahmat bagi alam sekiternya yang relevan dengan tujuan awal penciptaaanya.

·         Firman Allah : Dialah yang menjadikan kamu kholifah-kholifah dimuka bumi. Barang siapa yang kafir maka (akibat) kekafirannya akan menimpa dirinya sendiri. (QS. Al-An’am:165).
·         Firman Allah: ingatlah ketika tuhan berfirman kepada para malaikat “sesunggguhnya aku hendak manjadikan seorang kholifah fi  muka bumi. (Q.S, al-Baqoroh  : 20).
·         Firman Allah ; dan tiadalah kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Q.S al-Anbiya’ : 107).

Pemahaman dari beberapa ayat tersebut bahwa allah telah memberikan indikasi kepada manusia bahwa manusia diciptakan dengan tujuan diantaranya adalah untuk menjadi kholifah dimuka bumi. Seorang kholifah yang mampu mengemban amanat yang sangat besar, yaitu seorang kholifah yang sanggup memkmurkan bumi seisinya, mensejahterakannya, dan melestarikan seluruhnya. Untuk mewujudkan semua itu bukanlah dengan sembarang cara, atau katakanlah cara asal-asalan. Namun untuk mewudkannya perlu dibutuhkan yang namanya ilmu, atau pengetahuan tentang bagaimana cara menjadi kholifah yang baik, jujur dan bijaksana. Sedangkan menjadi kholifah tanpa ilmu atau pengetahuan, maka besar kemungkinan justru kehancuran yang akan terjadi meskipun ia baik dan jujur.

c)     Untuk Memperoleh Kesejahteraan dan Kebahagiaan Hidup di Dunia maupun di Akhirat.

·         Firman Allah : dan carilah apa yang dianugrahkan alllah kepadamu (kebahagiaan) kampong akhirat, dan jangalah kamu melupakan kebahagiaan dari (kenikmatan) duniawi. (QS. Al-Qoshosh :77) .
·         Sabda Nabi SAW : bekerjalah untuk urusan dunia seolah-seolah engkau akan hidup selama-lamanya, dan bekerjalah untuk urusan akhirat seolah-olah engkau akan mati besok hari. (Al-hadits).
Dalam memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan dunia maupun akhirat tentulah ilmu pengetahuan menjadi faktor utama yang harus dimiliki.


C. IDEOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
1. Pengertian Ideologi

Ideologi adalah kumpulan konsep bersisitem yang di jadikan asas pendapat atau kejadian yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungga hidup.
Ideologi oleh arip rahman dalam bukunya yang berjudul” politik ideologi pendidikan “ mempunyai dua pengertian, pengertian secara fungsional dan secara struktural. Secara fungsional, ideology diartikan sebagai pemikiran yang digunakan untuk kebaikan bersama (common goode). Dalam hal ini ideology bias muncul karena kekecewaan pada saat ini dan mempunyai niatan untuk memperbaiki di zaman akan dating.
Sedangkan ideology structural, diartikan sebagai alat pembenar bagi kebijakan dan tindakan kaum penguasa. Mungkin pada zaman orde baru kita masih teringat dengan namanya penataran P4. itu adalah alat yang digunakan pembenar bagi tindaka-tindakan Negara kepada masyarakatnya. Seolah-olah perbuatan pemerintah itu semua benar dan wajib di ikuti. Sehingga yang tidak cocok dengan kebijakan serta tidak mau melaksanakannya akan di anggap pembangkang.
2. Ideologi Pendidikan
Sehubungan dengan pendidikan, ideology di artikan sebagai perangkat aturan yang di yakini dan dijadikan landasan bagi pendidikan dalam rangka mencapai tujuan.sebuah ideology pendidikan akan bergantung pada aliran pendidikan itu sendiri, yaitu koservatif dan liberal.
a) Ideologi Konservatif
Dalam pandangan ideology konservatif ini memandang bahwa ketidak sederajatan masyarakat merupakan sesuatu yang alami, sesuatu hal yang sangat mustahil untuk kita hindari. Perubahan dalam faham yang merupakan sesuatu hal yang tidak perlu di perjuangkan karena faham ini percaya bahwa perubahan akan menciptakan sebuah kesengsaraan baru. Dan ideology pendidikan konservatif juga mempunyai tiga tradisi pokok, yaitu fundamentalisme pendidikn, intelelektualisme pendidikan dan koservasme pendidikan.
Fundamentalisme pendidikan pada dasarnya inti pada intelektualime, atau biasa dikatakan sebuah gerakan yang tidak mementingkan dasar-dasar filosofis atau menggunakan filsafati namun sedikit dan cenderung menerima diri tanpa melakukan aksi kritik pada sisitem yang sudah mapan.gerakan ini kalau di agama seperti gerakan puritan yang melakukan pembenaran terhadap teks-teks yang di wahyukan pada tuhannya. Sedangkan manusia menjadi saksi bisu, padahal bisa saja orang yang mengartikan al-qur’an itu adalah orang yang mempunyai kepentingan untuk dirinya sendiri, seperti kampaye dalam politik praktis.
Sedangkan intelektualisme pendidikan di landaskan dari konservatisme polotik yang melegimatis pemikiran filosofis atau religius otoritarian. Ideology ini ingin merubah praktek-praktek politik dan pendidikan demi menyesuaikan secara lebih sempurna dengan cita-cita intelektual atau rohaniah yang sudah mapan.
Dan konservatisme pendidikan berbeda dengan dua ideology diatas karena cenderung mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses budaya yang sudah teruji oleh wahyu. Konservatisme menaruh hormat terhadap hukum dan tatanan sebagai landasan social yang kontruktif.
b) Ideology Liberal
Dalam pendidikan ini berkeyakinan bahwa dalam masyarakat terjadi banyak masalah termasuk urusan masalah pendidikan. Namun mereka beranggapan masalah pendidikan tidak akan ada sangkut paut dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Tetapi pendidikanlah yang bisa menyesuikan dengan perubahan arah politik dan perkembangan perekonomian.
Ideology liberal ini memang lahir dari cita-cita individualisme barat, bangsa barat menggambarkan manusia ideal itu adalah rasionalis liberal. Pada dasarnya manusia mempunyai potensi tingkatan yang sama dalam intelektual, baik dalam tatanan alam maupun tatanan social yang dapat ditangkap dengan akal. kelemahan ideologi liberalisme terletak pada pengaruh faham positivistic yang sangat kuat, karena adanya pemisahan antar fakta dengan nilai menuju pemahaman obyektif.
3. Idelogi Pendidikan Islam
Konsep pendidikan islam secara normatif sarat dengan nilai-nilai transendeltal ilahiah dan insaniah. Semua itu dapat di wadahi dalam bingkai besar yang di sebut humanisme teosentris.
Implementasi ajaran ini dalam praktik kehidupan dan pendidikan dapat fleksibel atau luwes, selama substansinya tetap terpelihara, yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana hakikat ajaran islam, sebagai agama fitrah,memang ditujukan untuk kebutuhan manusia itu sendiri.
Sejak awal abad 20 sampai sekarang humanisme merupakan konsep kemanusiaan yang sangat berharga karena konsep ini sepenuhnya memihak pada manusia, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan memfasilitasi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia untuk memelihara dan menyempurnakan keberadaannya sebagai makhluk mulia. Dalam hal ini ali syari’ati mendeskripsikan ke dalam tujuh prinsip. Dasar kemanusiaan sebagai universal yaitu:
1) Manusia adalah mahkluk asli, artinya ia mempunyai substansi yang mandiri diantara mahkluk-makhluk yang lain, dan memiliki esensi kemuliaan.
2) Manusia adalah makhluk yang memilki kehendak bebas yang merupakan kekuatan paling besar dan luar biasa. Kemerdekaan dan kebebasan memilih adalah dua sifat illahiah yang merupakan ciri menonjol dalam diri manusia.
3) Manusia adalah mahkluk yang sadar (berfikir) sebagai karakteristik manusia yang paling menonjol. Sadar berarti manusia dapat memahami realitas alam luar dengan kekuatan berfikir.
4) Manusia adalah mahkluk yang sadar akan dirinya sendiri, artinya dia adalah mehkluk hidup satu-satunya yang memiliki pengetahuan budaya dan kemampuan membangun peradaban.
5) Manusia adalah makhluk kreatif, yang menyebabkan manusia mampu menjadikan dirinya mahkluk sempurna didepan alam dan dihadapan Tuhan.
6) Manusia mahkluk yang mempunyai cita-cita dan merindukan sesuatu yang ideal artinya dia tidak menyerah dan menerima “apa yang ada” tetapi selalu berusaha mengubahnya menjadi “ apa yang semestinya”.
7) Manusia adalah mahkluk moral yang hal ini berkaitan dengan masalah nilai (value).
Humanisme yang diangkat menjadi paradigma ideology islam pada dasarnyajuga bertolak dari ketutuh prinsip dasar kemanusiaan tersebut yang implicit dalam konsep fitrah manusia. Namun demikian, humanisme dalam padangan islam tidak dapat dipisahkan dari prinsip teosentrisme. Dalam hal ini, keimanan “tauhid” sebagai inti ajaran islam, menjadi pusat seluruh orientasi nilai.namun perlu diperjelas, bahwa semua itu kembali kepada manusia yang dieksplisitkan dalam tujuan risalah islam. Rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam).

Dalam kontek pendidikan islam dengan pancasila sebagai ideology dan demokrasi sebagai jalan besar menuju kesuburan nasionalisme pada masing-masing sector. Maka dalam pendidikan islam khususnya lembaga pendidikan NU harus dikembangkan berdasarkan paradigma yang berorientasi pada:
1. Paradigma pendidikan islam harus didasarkan pada filsafat teocentris dan antroprosentis sekaligus.pendidikan islam yang ingin dikembangkan adalah pendidikan yang menghilangkan atau tidak ada dikotomi antara ilmu dan agama, serta ilmu tidak bebas nilai tetapi bebas dinilai. Selain itu, mengajarkan agama dengan bahasa ilmu pengetahuan yang rasional tanpa meningkatkan sisi tradisional.
2. Pendidikan islam mampu mengembangkan keilmuan dan kemajuan kehidupan yang intregatif antara nilai spiritual, moral dan material bagi kehidupan manusia.
3. Pendidikan islam mampu membangun kompotisi manusia dan mempersiapkan kehidupan yang lebih baik berupa manusia demokratis, kompetetif, inovatif dan bermoral berdasarkan nilai-nilai islam.
4. Pendidikan Islam harus disusun atas dasar kondisi linkungan masrarakat, baik kondisi masa kini maupun kondisi masa yang akan datang, karena perubahan lingkungan merupakan tantangan dan peluang yang harus diproses secara cepat dan tepat. Pendidikan islam yang dikembangkan sulalu diorientasikan pada perubahan lingkungan, karena pendekatan masa lalu hanya cocok bahkan sering kali menimbulkan problem yang dapat memundurkan dunia pendidikan.
5. Pembaruan pendidikan Islam diupayakan untuk memberdayakan potensi umat yang disesuai dengan kebutuhan kehidupan masyarakat modern tanpa meninggalkan khasanah klasik. System pendidikan islam harus dikembangkan berdasarkan karakteristik masyarakat local yang demokratisasi, memiliki kemampuan partisipasi social, menta’ati dan menghargai supermasi hukum, menhargai hak asasi manusia, menghargai perbedaan (pluralisme), memiliki kemampuan kopetensi dan kemampuan inovatif.
6. Penyelenggaraan pendidikan islam harus diubah bedasarkan pendidikan demokratis dan pendidikan yang bersifat sentralistik baik dalam menejemen maupun dalam punyusunan kurikulum harus disesuikan dengan tuntutan pendidikan demokratis dan desentralitik. Pendidikan islam harus mampu mengembangkan kemampuan untuk berpartisipasi didalam dunia kerja, mengembangkan sikap dan kemampuan inovatif serta meningkatkan kualitas manusia.
7. Pendidikan islam lebih menekankan dan diorientasikan pada proses pembelajaran, diorganisir dalam struktur yang lebih bersifat fleksibel, menghargai dan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang untuk situasi masa lalu dan sering tidak tepat jika diterapkan pada kondisi berbeda memiliki potensi untuk berkembang, dan diupayakan sebagai proses berkesinambungan serta senantiasa beriteraksi dengan lingkungan.
8. Pendidikan islam harus diarahkan pada dua dimensi, yaitu “pertama, dimensi dialektika (horisotal) yaitu pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungan lingkungan sosiol dan manusia harus mengatasi tantangan dunia sekitarnya melalui pengembangan iptek, dan kedua, dimensi ketundukan vertical,yaitu pendidikan selain sarana untuk memantapkan, memlihara sumberdaya alam dan lingkungannya, juga memahami hubungannya dengan sang maha pencipta, yaitu allah SWT “
9. Pendidikan islam lebih diorientasikan pada upaya” pendidikan sebagai proses pembebasan, pendidikan sebagai proses pencerdasan, pendidikan menjunjung tinggi hak-hak manusia. Penidikan menghasilkan tindakan perdamaian,pendidikan sebagai proses pemberdayaan potensi manusia, pendidikan menjadikan anak berwawasan integatif, pendidikan sebagai wahana membangun watak persatuan, pendidikan menghasilkan manusia demokratis, pendidikan menghasilkan manusia perduli terhadap lingkungan” , dan harus dibangun suatu pandangan bahwa ”sekolah bukan satu-satunya instrument pendidikan”
Akan tetapi masyarakat dan semua tang bersinggungan dalam keseharian kita merupakan instrumen pendidikan. Dengan kesembilan poin dasar paradigma pedidikan islam ini, dapat kita simpulkan bahwa islam sebagai sebuah system keyakinan akan mampu memberikan perubahan dan kemajuan bangsa ini dari segala sector kehidupan tanpa harus mengorbankan golongan lain dengan alasan islamisasi atau formalisasi syariat islam yang telah nyata akan meruntuhkan kesatuan berbangsa dan bertanah air Indonesia.

Format idiologi Pendidikan Islam
Selain pada muamalah yang berkenaan dengan akidah (keimanan) dan ibadah khusus (mahdah) yang bersifat baku dan operasional, Islam hanya memberikan pedoman hidup yang bersifat fundamental dengan nilai-nilai transcedental yang sesuai dan menjadi kebutuhan hidup manusia. Dengan kata lain, nilai-nilai implementasinya sebagian besar diserahkan kepada manusia. Demikian halnya dengan pendidikan, maka secara fitrah telah menjadi tugas manusia untuk memikirkan dan mengembangkannya secara terus menerus, seirama dengan perubahan dan tantangan zaman. Ini menuntut para pendidik muslim untuk menyusun konsep pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan zaman dan mampu menjawab setiap tantangan berdasarkan nilai-nilai dasar Islam.


Pada paradigma pendidikan liberal, fokus utama terletak pada bagaimana membuat anak didik memiliki kemampuan sehingga mereka bisa bersaing di tengah sistem yang berlaku pada masyarakat. Pendidikan liberal tidak melihat masalah yang berkembang daiam masyarakat karena sistem sosial masyarakat tersebut, tetapi karena ketidaksiapan manusia dalam menghadapi sistem. Sehingga ini akan mengakibatkan pembelajaran yang bersifat memberikan pengetahuan dan keterampilan yang berguna sebanyak-banyaknya kepada anak didik, pengetahuan bersifat doktriner dan menilai sesuatu hanya dengan melihat kecerdasan intelektual yang dimiliki oleh anak didik.
Pendidikan alternatif yang muncul belakangan di Indonesia pasca reformasi pada hakikatnya merupakan bentuk dari konsep pendidikan kritis. Akhirnya, kesadaran kritis kitalah yang mampu menyingkap realita yang terjadi pada proses pendidikan di negeri ini. Dimana, landasan filosofis pendidikan dan ideologi pendidikan harus di maknai lebih kontekstual dalam membangun tatanan moral masyarakat yang lebih baik. di samping, itu proses kemanusiaan dalam sistem pendidikan harus menjadi sebuah kesadaran kolektif.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ideologi pendidikan Islam merupakan salah satu kekuatan ideologi pendidikan nasional. Ideologi pendidikan islam merupakan fondasi kuat dalam membangun karakter pendidikan bangsa. Implementasi ajaran ini dalam praktik kehidupan dan pendidikan dapat fleksibel atau luwes, selama substansinya tetap terpelihara, yaitu: menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana hakikat ajaran Islam, sebagai agama fitrah sehingga pendidikan Islam mampu menciptakan masyarakat yang baik dan sejalan dengan ketentuan al Qur’an dan as Sunnah.

NO.
Aspek
Pendidikan Liberal
Pendidikan Kritis
Pendidikan Islami
1.
Tokoh Pendidikan
McClelland
Paulo Freire
Muhammad SAW
2.
Asas
Achievement Motivation Training (AMT)
Teori kesadarannya yaitu kesadaran magis, kesadaran naïf, dan kesadaran kritis.
AL Quran dan AS Sunnah
DAFTAR PUSTAKA
Depdikans Indonesia, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Pusat Bahasa Pendidikan Nasional. Penerbit : Balai Pustaka; Jakarta
Pengantar Pendidikan [http:// Lena Unindrabiozal.Blogspot.com,03,2008]
O'neil William F. Ideologi-ideologi Pendidikan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Pendidikan Liberal,[http:// Aristhu. 03.files wordpress.com,10,2006]   
http://dzulkifly.student.umm.ac.id/2010/02/05/pendidikan-kritis/
resume-ii-ideologi-pendidikan-islam.html