Selasa, 23 Oktober 2012

MODUL 3 KBP STAIN 2012



MODUL 3

KEBIJAKAN DALAM KONTEKS DEMOKRATISASI PENDIDIKAN

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan salah satu faktor utama untuk dapat mencapai kemakmuran  suatu negara, sebagaimana diatur  secara  tegas  dalam  pasal 31 ayat  (1) Undang Undang  Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak  mendapat pendidikan. Ayat (2) menegaskan bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.  Ayat (3) menetapkan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan  bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Dengan demikian, jelaslah bahwa negara kita menempatkan pendidikan pada prioritas  pertama dengan mengutamakan anggaran terbesar dari semua sektor.  Pendidikan merupakan  sektor  yang  memang  perlu  diprioritaskan  negara karena menyentuh  langsung hak masyarakat, dan sangat terkait erat dengan pembangunan sumber daya manusia masa depan. Oleh karena itu pelaksanaan pendidikan harus demokratis. Demokrasi pendidikan, memang tidak menyembuhkan  berbagai penyakit  pembangunan, termasuk  untuk  mendapatkan  pendidikan  yang  bermutu,  tetapi  demokrasi  memberikan peluang terbaik bagi terlaksananya  keadilan dan terhormatinya harkat dan martabat  kemanusiaan.  Pendidikan yang  demokratis  akan  menghasilkan lulusan  yang  mampu  berpartisipasi  dalam  kehidupan  masyarakat dan mampu mempengaruhi  pengambilan  keputusan  kebijakan publik.
Setelah mengikuti perkuliahan mahasiswa diharapkan cakap dan kompeten dalam  mengetahui, memahami, menganalisis dan menjelaskan tentang:
1.        Makna demokrasi dalam pendidikan
2.        Sifat dan prinsip demokrasi pendidikan
3.        Perspektif demokrasi dalam pendidikan
4.        Persamaan dan perbedaan demokrasi pendidikan dengan demokrasi lainnya
5.        Hubungan pendidikan dan demokrasi
6.        Membangun sistem pendidikan yang demokratis
7.        Pandangan-pandangan ahli tentang demokrasi pendidikan
8.        Indikator pendidikan demokratis
9.        Mewujudkan demokrasi melalui proses pendidikan
10.   Pelibatan masyarakat dalam pendidikan

1.   Demokrasi dalam Perspektif Pendidikan
Demokrasi, secara etimologi, berasal dari bahasa Latin, dari akar kata demos yang berarti rakyat dan cratos yang berarti kekuasaan, sehingga secara sederhana demokrasi dapat diartikan sebagai kedaulatan ditangan rakyat. Secara terminologi, sebagaimana disampaikan Sparingga, demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan  langsung oleh mereka atau wakil-wakilnya yang dipilih lewat pemilihan bebas. Prinsip utama demokrasi adalah (a) kedaulatan di tangan rakyat, (b) pemerintahan berdasarkan persetujuan dari mereka yang diperintah, (c) kekuasaan mayoritas, (d) hak-hak minoritas, (e) jaminan hak-hak azasi manusia, (f) pemilihan yang bebas dan jujur, (g) persamaan di depan hokum, (h) proses hukum yang wajar, (i) pembatasan pemerintahan secara konstitusional, (j) pluralisme dalam aspek sosial ekonomi dan politik, (k) nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama dan mufakat.(Daniel Sparingga, 2000:3)
Bagaimana konsep demokrasi dalam perspektif pendidikan? Demokrasi pada dasarnya mengakui setiap warga negara sebagai pribadi yang unik, berbeda satu sama lain dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Demokrasi memberikan kesempatan yang luas bagi pelaksanaan dan pengembangan potensi masing-masing individu tersebut, baik secara fisik maupun mental spiritual. Demokrasi juga mengakui bahwa setiap individu mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Karena itu, pendidikan yang demokratis adalah pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai individu yng unik berbeda satu sama lain dan mempunyai potensi yang perlu diwujudkan dan dikembangkan semaksimal mungkin. Untuk itu pendidikan yang demokratis harus memberikan treatmen berbeda kepada sasaran didik yang berbeda sesuai dengan karakteristik masing-masing. Pendidikan yang demokratis juga menuntut partisipasi aktif peserta didik bersama guru dalam merencanakan, mengembangkan dan melaksanakan proses belajar-mengajar. Partisipasi orang tua dan masyarakat juga amat penting dalam merancang, mengembangkan dan melaksanakan proses pendidikan tersebut.
Demokrasi, dalam lingkup pendidikan, adalah pengakuan terhadap individu peserta didik, sesuai dengan harkat dan martabat peserta didik itu sendiri, karena demokrasi adalah alami dan manusiawi.( Iskandar Wiryo Kusuma, 2001: 2).) Ini berarti bahwa penelitian pihak-pihak yang terlibat dalam proses pendidikan harus mengakui dan menghargai kemampuan dan karakteristik individu peserta didik. Tidak ada unsur paksaan atau mencetak siswa yang tidak sesuai dengan harkatnya.( Iskandar Wiryo Kusuma, 2001: 2)
Dengan demikian, demokrasi berarti perilaku saling menghargai, saling menghormati, toleransi terhadap pihak lain termasuk pengendalian diri dan tidak egois. Dalam proses pendidikan, semua pihak yang terkait menyadari akan alam atau atmosfir yang bernuansa saling menghargai tersebut, yaitu antara guru dengan guru, antara guru dengan siswa dan antara guru dengan pihak-pihak anggota masyarakat termasuk orang tua dan lain-lain. Ini berarti bahwa dalam semangat demokrasi seorang harus tunduk kepada keputusan bersama atau kesepakatan bersama. Tidak terjadi keharusan penerimaan tanpa unsur paksaan, tetapi kesepakatan bersama yang akan menjadi sikap mereka semua. Dengan kata lain, seseorang menerima keputusan bersama dengan rasa ikhlas karena menomerduakan kepentingan pribadi dan tunduk kepada tuntutan kesejahteraan umum (I Nyoman Sudana Degeng, 2001:5).
Demokrasi dalam pendidikan dan pembelajaran menggunakan pengertian equal opportunity for all  (I Nyoman Sudana Degeng, 2001:6). Artinya, anak didik mendapat peluang yang sama dalam menerima kesempatan dan perlakuan pendidikan. Guru memberikan kesempatan yang sama kepada setiap individu untuk mengikuti setiap kegiatan pendidikan.
Agenda pembangunan sektor pendidikan kini dilakukan secara simultan dan komperhensif. Pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan dengan memberikan layanan sampai ke pelosok-pelosok, serta mengakomodasi pendidikan non-formal sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang diposisikan sama dengan pendidikan formal, sehingga progam-program layanan paket A,B dan C dijadikan sebagai alternatif untuk mengakselasikan akses masyarakat pada pendidikan, sehingga APK nasional bisa didorong mencapai angka ≥ 100%. Demikian pula pada pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren yang diatur dalam PP No. 55 tahun 2007, dengan memberikan penambahan-penambahan kompetensi serta lulus dari ujian nasional, maka lulusan lembaga-lembaga pendidikan memliki hak yang sama dengan lulusan sekolah formal. Ini semua dikembangkan semata untuk memperkuat akses masyarakat terhadap pendidikan, sehingga rating SDM bangsa kita bisa meningkat.
Kemudian, untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pendidikan, kebijakan nasional yang sangat radikal dalam pendidikan adalah demokratisasi. Isu tentang pendidikan demokratis di Indonesia memang relatif baru dan belum terbiasa dalam wacana akademik bidang kependidikan, walaupun pekerjaannya sudah dimulai sejak lama, bahkan mungkin sejak zaman orde baru, walaupun belum spesifik. Istilah demokratis, sebagaimana dalam literatur politik diambil dari bahasa Yunani kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu demos yang bermakna rakyat dan kratos yang berarti kekuasaan, dan apabila digabungkan menjadi bermakna kekuasaan di tangan rakyat (Tarcov, 1996: 2). Istilah demokrasi memang muncul dan dipakai dalam kajian politik, yang bermakna kekuasaan negara berada di tangan rakyat melalui undang-undang yang diputuskan rakyat, bukan oleh kekuasaan raja atau sulthan. Kemudian, presiden diangkat oleh rakyat dan harus bertanggung jawab terhadap rakyat melalui mekanisme perwakilan.
Mekanisme demokrasi dalam politik tidak sepenuhnya sesuai dengan mekanisme dalam kepemimpinan lembaga pendidikan, namun secara substantif, sekolah demokratis adalah membawa semangat demokrasi tersebut dalam perencanaan, pengelolaan dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Dalam konteks ini James A Beane dan Michael W.Apple, menjelaskan, berbagai kondisi yang sangat perlu dikembangkan dalam upaya membangun sekolah demokratis (Beane dan Apple, 1995: 7) adalah:
1.        Keterbukaan saluran ide dan gagasan, sehingga smua orang bisa menerima informasi seoptimal mungkin.
2.        Memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok dengan kapasitas yang mereka miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan sekolah.
3.        Menyampaikan kritik sebagai hasil analisis dalam proses penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan sekolah.
4.        Memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain dan terhadap persoalan-persoalan publik.
5.        Ada kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan hak-hak minoritas,
6.        Pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan demokrasi yang diidealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa membimbing kesuluruhan hidup manusia.
7.        Terdapat sebuah institusi yang dapat terus mempromosikan dan mengemban cara-cara hidup demokratis.
Inti dari teori James A Beane dan Michael W Apple di atas adlah, bahwa pendidikan demokratis itu akan terwujud jika semua informasi penting dapat dijangkau semua stokeholder sekolah/madarsah, sehingga semua unsur tersebut memahami pengembangan sekolah/madrasah, berbagai problem yang dihadapinya, serta langkah-langkah yang sedang dan akan ditempuh.
Dengan demikian, mereka akan bisa menganalisis relevansi kebijakan-kebijakan tersebut, memahami, mengkritisi dan memberi masukan,serta menentukan kontribusi serta partisipasi yang akan diberikannya untuk kesuksesan pelaksanaan program-program sekolah tersebut. Kemudian tidak cukup hanya sampai disitu, pendidikan demokratis juga harus dikembangkan dengan sikap trust atau kepercayaan, yakni orang tua percaya pada kepala sekolah/madrasah untuk mengembangkan program-program sekolah/madrasah menuju idealitas yang diinginkan, kemudian, kepala sekolah/madrasah juga percaya pada guru untuk mengembangkan program-program kurikulernya serta mengorganisir pelaksanaan program-programnya itu.
Kemudian, pendidikan demokratis juga harus diimbangi dengan perhatian yang kuat terhadap hak-hak asasi manusia. Oleh sebab itu, persoalan kesejahteraan para guru, serta semua yang terkait dengan pengelolaan sekolah/madrasah harus menjadi perhatian serius, dan manajemen harus dilakukan secara terbuka, khususnya dalam aspek-aspek yang termasuk wilayah publik harus dikelola secara transparan, sehingga senua ikut terlibat dalam menentukan dan memutuskannya. Dan bagian yang amat sensitif serta selalu menjadi persoalan universal, adalah hak-hak minoritas dalam komunitas sekolah/madrasah yang harus diperhatikan sama, tidak boleh ada diskriminasi atas dasar perbedaan ras, agama, atau warna kulit.
Sejalan dengan itu: James A Beane dan Michael W Apple mendefinisikan, bahwa pendidikan demokratis tiada lain adalah mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan sekolah/madrasah, yang secara umum mencakup dua aspek yakni strukrur organisasi dan prosedur kerja dalam struktur tersebut, serta merancang kurikulum yang bisa menghantarkan peserta didik memiliki berbagai pengalaman tentang praktik-praktik demokratis (Beane and Michael W Apple, 1995: 9). Dengan kata lain, pendidikan demokratis adalah pendidikan yang dikelola dengan struktur yang memungkinkan praktik-praktik demokratis itu terlaksana, seperti pelibatan masyarakat (stakeholders dan user sekolah) dalam membahas program-program sekolah/madrasah, dan prosedur pengambilan keputusan juga memperhatikan berbagai aspirasi publik, serta dapat dipertanggung jawabkan implementasinya kepada publik. Demikian pula dengan pola pembinaan siswa, bahwa pendidikan itu untuk semuanya, guru harus mampu memberikan perhatian yang sama pada semua siswa, tanpa membedakan antara yang sudah pintar dengan yang belum pintar, tidaklah membedakan antara yang rajin dan yang belum rajin, semuanya memperoleh perlakuan, walaupun bentuknya mungkin berbeda. Mereka yang belum pintar diberi waktu untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuannya di saat liburan umum, sehingga kompetensinya meningkat. Pola-pola pembinaan seperti ini, telah memberi pengalaman-pengalaman praktik demokrasi bagi anak-anak, yakni perhatian yang seimbang terhadap semua siswa, tanpa membedakan antara mayoritas dengan minoritas dalam sekolahnya.
Pengembangan sekolah/madrasah menuju model pendidikan demokratis ini relevan untuk dilakukan karena berbagai argumentasi, yang secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu tipologi sekolah abad ke-21, dan model pembelajaran yang sesuai. Dalam konteks pertama, Lyn Haas (Haas, 1994: 21) menjelaskan, bahwa lembaga-lembaga pendidikan sekarang harus dapat memenuhi beberapa kualifikasi ideal, yaitu:
1. Pendidikan untuk semua; yakni semua siswa harus memperoleh perlakuan yang sama, memperoleh pelajaran sehingga memperoleh peluang untuk mencapai kompetensi keilmuan sesuai batas-batas kurikuler, serta memiliki basis skill dan keterampilan yang sesuai dengan minat mereka, serta sesuai pula dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Paradigma yang memisahkan pendidikan akademik sebagai calon untuk memasuki pasar tenaga kerja, sudah tidak relevan lagi, karena perubahan yang menuntut masyarakatuntuk menjadi bagian dari kontribusi untuk kemajuan.
2. Memberikan skill dan keterampilan yang sesuai dengan kemajuan teknologi terkini, karena pasar menuntut setiap tenaga kerjanya memiliki keterampilan penggunaan alat-alat teknologi termodern, kemampuan komunikasi global, matematika, serta kemampuan akses pada pengetahuan.
3. Penekanan pada kerjasama, yakni menekankan pengalaman parasiswa dalam melakukan kerjasama dengan yang lain, melalui penugasan-penugasan kelompok dalam proses pembelajaran, sehingga mereka memiliki pengalaman mengembangkan kerjasama, karena trend pasar ke depan adalah pengembangan kerjasama, baik antar perusahaan, atau antara perusahaan dengan masyarakat dan yang lainnya, sehingga pengalaman mereka belajar akan sangat bermanfaat dalam artikulasi diri di lapangan profesi mereka.
4. Pengembangan kecerdasan ganda; yakni bahwa para siswa harus diberi kesempatan untuk mengembangkan multiple intelligence mereka, dengan memberi peluang untuk mengembangkan skill dan keterampilan yang beragam. sehingga mudah melakukan penyesuaian di pasar tenaga kerja.
5. Integrasi program pendidikan dengan kegiatan pengabdian pada masyarakat, agar mereka memiliki kepekaan sosial.
Kelima point di atas memperlihatkan adanya tuntutan kurikulum yang dinamis, progressif dan peka terhadap berbagai kemajuan dan perkembangan teknologi diluar sekolah, sehingga jika kurikulum dan perencanaan sekolah itu sangat ditentukan oleh struktur birokrasi yang kaku, sekolah bisa tertinggal oleh kemajuan, dan sekolah akan kehilangan relevansinya dengan berbagai perubahan, yang ada pada akhirnya akan ditinggalkan oleh stakeholdernya sendiri. Oleh sebab itu, argumen-argumen diatas memperkuat bahwa model sekolah demokratis itu amat relevan untuk dikembangkan.
Demikian pula dengan aspek pelaksanaan proses pembelajaran, sebagaimana dikemukakan oleh John I Goodlad, bahwa terpenuhinya misi pendidikan sangat tergantung pada kemampuan guru untuk menanamkan setting demokrasi pada siswa, dengan memberi kesempatan seluas-luasnya pada siswa untuk belajar (Goodlad, 1996: 113), Yakni bahwa sekolah menjadi tempat yang nyaman bagi siswa untuk semaksimal mungkin mereka belajar. Sekolah bukan tempat pertunjukan bagi guru, tapi tempat siswa untuk menambah dan memperkaya pengalaman belajarnya. Oleh sebab itu, guru, harus mampu mengembangkan strategi pembelajaran yang memberi peluang lebih besar bagi siswa untuk belajar. Inilah makna lain dari sekolah demokratis, yakni sekolah itu suntuk siswa bukan untuk guru dan kepala sekolahnya. Sekolah harus menjadi second home bagi para siswa, mereka betah menghabiskan waktunya di sekolah, dengan belajar, berdiskusi, menyelesaikan tugas-tugas kelompok, membaca dan aktifitas pembelajaran lainnya.
Tesis Goodlad ini sejalan dengan pandangan yang dikemukakan Jerry Aldridge dan Renitta Goldman, yang menurutnya, belajar itu harus memberi peluang besar bagi anak untuk berfikir, bekerja, dan biarkan mereka bergerak, terutama bagi anak-anak yang membangun keilmuannya melalui interaksi dengan lingkungan. Pengetahuan apa saja, matematika, sosial atau lainnya, akan lebih efektif dengan pendekatan aktifitas (Aldirdge and Renitta Goldman, 2002: 103). Model pembelajaran humanis ini terwadahi hanya dalam model sekolah demokratis, yakni pendidikan dengan konsep bahwa sekolah itu untuk siswa atau anak-anak belajar, bukan untuk guru mempertontonkan kepintarannya di hadapan siswa yang dibiarkan menjadi penonton.
Berbagai keunggulan model sekolah demokratis ini, sebagaimana dikemukakan oleh Dwight W Allen ketika menjelaskan sekolah untuk abad mendatang (ke-21), dalam kerangka penguatan model sekolah demokratis (Allen, 1992: 86), antara lain adalah:
1. Akuntabilitas; yakni bahwa kebijakan-kebijakan sekolah dalam semua aspeknya dapat dipertanggung jawabkan pada publik, yang meliputi pengangkatan guru sesuai dengan kategori kebutuhan dan keahlian, yang kemudian teruji loyalitasnya terhadap proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Guru yang diangkat harus yang memiliki keahlian dalam bidang ilmu yang akan diajarkannya, memilki keterampilan mengajar yang memadai, serta memiliki loyalitas keguruan yang teruji. Kemudian manajemen sekolah juga dapat dipertanggung jawabkan pada publik, dapat meminimalisir bias individual dalam berbagai keputusan, dan promosi seseorang benar-benar didasarkan pada keahlian dan pengalaman yang memadai. Dan dalam konteks akuntabilitas juga, sekolah demokratis selalu menjunjung tinggi collective judgement, yakni keputusan diambil bersam-sama.
2. Pelaksanaan tugas guru senantiasa berorientasi pada siswa, guru akan memberikan pelayanan pada siswa secara individul. Berbagai kesulitan siswa akan menjadi perhatian guru, dan dengan senang hati guru akan terus membantu sehingga siswa dapat menyelesaikan berbagai kesulitannya.
3. Keterlibatan masyarakat dalam sekolah; yakni dalam sekolah demokratis, sistem pendidikan merupakan refleksi dari keinginan masyarakat.
Masyarakat akan berpartisipasi dalam pendidikan, akan mempunyai rasa memiliki terhadapsekolah, dan akan reponsif dengan berbagai persoalan sekolah. Dengan demikian, para guru bekerja juga akan merasa tenang karena senantiasa bersama-sama dengan masyarakatnya, keputusan pimpinan sekolah juga akan menjadi keputusan yang bulat, karena disepakati bersama oleh masyarakatnya, dan sekolah akan selalu terkontrol oleh mekanisme yang diatur dalam sisitem penyelenggaraan sekolah tersebut.
Berbagai keuntungan tersebut bisa menjadi sebuah perspektif positif untuk pengembangan sekolah ke depan, karena jika pendidikan di Indonesia itu berkualitas rendah, penyelesaiannya adlah perbaikan mendasar, yakni kurikulum, bahan ajar dan guru sebagai pengajar. Dalam kerangka sekolah demokratis, guru dan pimpinan sekolah harus menginformasikan pada orang tua tentang besaran kurikulum yang akan diajarkan pada siswa, setidaknya berbagai kompetensi yang akan diberikan, serta berbagai perlakuan dalam pengembangan belajar siswa dalam upaya mencapai kompetensi-kompetensi tersebut. Setiap guru harus siap untuk dievaluasi, diberi masukan dan dikritisi secara positif, baik oleh siswa maupun orang tua siswa, sehingga mereka benar-benar menjadi profesional, dan bukan seorang tokoh penguasa feodal.
Memang ini gagasan reformasi radikal, namun Indonesia harus memulai, dan kini gagasan reformasi tersebut memperoleh tempat yang ideal di Indonesia, terutama setelah lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang kemudian direvisi dengan UU No. 33 tahun 2004 yang meletakkan sektor pendidikan sebagai slah satu yang diotonomisasikan, serta UU No. 20 tahun 2003 yang memberikan penguatan pada paradigma pendidikan demokratis serta mendorong optimalisasi peran serta masyarakat, pendidikan memasuki era baru dengan semangat demokratis, karena undang-undang tersebut disambut oleh daerah dengan memberi peluang pada sekolah/madrasah untuk mengembangkan networking horizontalnya dengan stakeholder dan user sekolah, dalam proses mengembangkan perencanaan sekolah, pengembangan kurikulum maupun penetapan berbagai kebijakan mendasar dari sekolah, tidak terkecuali sekolah negri, sementara pemerintah daerah hanya akan mengambil tugas dan kewenangan fasilitatif, penyedia sarana dan prasarana, pengajian dan pengembangan SDM serta koordinasi antar daerah kabupaten/kota, dan pemerintah pusat hanya pengembangan standar serta berbagai sisitem yang memberikan jaminan kualitas keluaran sekolah.
Implikasi besar dengan lahirnya UU No.33 tahun 2005 dan UU No.20 tahun 2003 adalah perubahan radikal dalam otoritas pengembangan pendidikan yang semula berada dalam kekuasaan pemerintah pusat melalui Depdiknas-nya, kini terdelegasikan pada sekolah dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Dan kini semangat perubahan radikal tersebut memperoleh tempat yang sangat kuat dalam UU No. 20 tahun 2003 yang menegaskan dalam pasal 4 ayat 1 bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Poin penting dalam ayat ini adalah penegasan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, artinya bahwa keterlibatan masyarakat dan otoritas pengelola serta institusi-institusi pendukungnya akan lebih besar daripada pemerintah pusat.
Bersamaan dengan itu pula dalam pasal 9 dinyatakan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Keikut sertaan masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk keterlibatkan mereka dalam komite sekolah atau dewan pendidikan daerah. Komite sekolah berhak ikut serta dalam merumuskan perencanaan pendidikan, tidak saja dalam perencanaan makro tapi pada kebijakan restrukturisasi kurikulum, walaupun dalam batas-batas gagasan besar dan tidak harus memasuki wilayah teknis, karena itu sudah menjadi otoritas guru dan kepala sekolahnya. Demikikan pula dengan evaluasi keberhasilan sekolah. menurut pasal 9 di atas, masyarakat berhak untuk melakukan evaluasi terhadap sekolah, tidak saja dalam kerangka program pendidikan secara makro, tapi pada wilayah mikro, kebijakan pengembangan sekolah dalam semua aspeknya.
Kemudian pemerintah daerah juga diberi kewenangan oleh undang-undang sebagaimana dicantumkan dalam pasal 10 dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan pada pasal 11 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Kemudian pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun.
Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang berlaku sudah memberi arah dan wadah pengembangan sekolah yang lebih demokratis, bahkan dalam rumusan tujuan pendidikan dinyatakan secara tegas pada pasal 3, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Undang-undang sudah mengamanatkan agar pendidikan mampu mengarahkan peserta didik menjadi warga negara yang demokratis. Oleh sebab itu, selain diberi pengetahuan tentang life skill sebagai warga negara demokratis melalui pendidikan kewarganegaraan, juga mereka harus mengalami langsung bagaimana waktu dan kultur demokrasi itu mewujud dalam kenyataan sekolah, yang mereka alami sehari-hari. Mereka harus memilki pengetahuan dan pengalaman bahwa masyarakat ikut terlibat dalam penyelenggaraan sekolah, baik dalam konteks sebagai kontributor pemikiran, konsep dan gagasan, maupun sebagai kontributor fasilitas dan yang lainnya. Masyarakat juga terlibat dalm pembahasan program-program sekolah, dan masyarakat juga terlibat dalam evaluasi keberhasilan sekolah menyelenggarakan pendidikan untuk siswa dan siswinya.
Instrumen hukum yang telah disiapkan pemerintah untuk menegakkan dan mengimplementasikan pendidikan demokratis, kini sudah disiapkan berbagai peraturan mentri Pendidikan Nasional, yang diawali dengan standar pengelolaan pendidikan yang benar-benar akuntabel, transparan dan melibatkan seluruh stakeholder sekolah. Pemerintah hanyalah fasilitator terhadap penyelenggaraan pendidikan, sedangkan school knowledge, SDM, waktu, alat dan penilaian, seluruhnya diserahkan pada sekolah, terkecuali dengan kelulusan akhir yang diatur sedemikian rupa, dimana siswa harus lulus dalam tiga ujian mata pelajaran, sekolah dan naional. Otonimisasi ini didorong sesuai dengan semangat pelibatan seluruh pemangku kepentingan agar potensi-potensi yang ada bermanfaat sebesar-besarnya untuk kemajuan sektor pendidikan. Pemerintah hanya meregulasi dengan standarisasi, termasuk standar isi, sarana, pembiayaan dan pendidik serta tenaga kependidikan. Kalau seluruh standar ini sudah teremplementasi dalam pendidikan kita, saya yakin, pendidikan kita tidak sekedar berkualitas tapi juga ekspektatif bagi masyarakat.

2.        Hubungan Pendidikan dan Demokrasi.

Dalam kaitan antara pendidikan dan demokrasi terdapat dua pendapat yang saling bertentangan.(Zamrono, 2001: 58) Pertama, muncul di lingkungan penganut paham demokrasi liberal yang menentang sekolah dijadikan sebagai instrumen sosialisasi politik yang menguntungkan penguasa. Sebab, pendidikan akan menghasilkan lulusan yang tidak memiliki kemandirian dan cenderung menjadi robot. Menurut kelompok ini pendidikan harus ditempatkan sebagai instrumen untuk mengembangkan watak demokratis, meningkatkan daya kritis, mendorong semangat untuk mengejar pengetahuan dan senantiasa menjunjung harkat dan martabat manusia. Kedua, menyatakan bahwa pendidikan merupakan suatu instrumen untuk mengembangkan kesadaran, sikap dan perilaku politik dengan harapan siswa menjadi warga masyarakat yang baik. Dalam pandangan ini pendidikan sebagai alat sosialisasi politik merupakan kenyataan yang tidak perlu dipungkiri lagi. Dewasa ini tidak ada satupun negara yang tidak menggunakan pendidikan sebagai instrumen sosialisasi politik, bahkan di Barat (AS) sekalipun yang dianggap sebagai pendekar Demokrasi dan HAM. Mereka tetap menjadikan pendidikan sebagai alat indoktrinasi politik. Dalam buku-buku teks Civics selalu ditekankan bahwa sistem kapitalitas paling baik dan sistem lain jelek. Demikian juga dalam setiap buku diuraikan bahwa kehidupan negara-negara sedang berkembang masih sangat terbelakang.
Demokrasi dan pendidikan, sesungguhnya, saling berkaitan satu sama lain dan mempunyai bubungan timbal balik. Misalnya: pendidikan jika dimaknai suatu proses bantuan untuk mengembangkan seluruh potensi peserta didik, maka pendidikan harus dilaksanakan secara demokratis (sering disebut dengan istilah demokrasi pendidikan). Pendidikan yang demokratis mempunyai ciri adanya suasana belajar yang berkemampuan optimal menumbuhkan potensi peserta didik untuk tujuan tertentu. (Suharjono, 200:4) Begitu juga sebaliknya, agar nilai-nilai demokrasi (hak-hak asasi), kebebasan, keadilan, persamaan dan keterbukaan) dapat dipahami dan memiliki peserta didik, maka perlu pendidikan.( Iskandar 2001:3) Pendidikan tersebut berfungsi menanamkan nilai-nilai demokrasi kepada peserta didik (pendidikan demokrasi atau pendidikan tentang demokrasi).
3.        Mewujudkan Demokrasi Lewat Pendidikan.
Pendidikan mempunyai cakupan luas, jalur sekolah, luar sekolah dan keluarga. Pendidikan sekolah sendiri terdiri atas jenjang pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi. Untuk mewujudkan demokrasi dalam dan lewat sekolah, menurut John Dewey, sekolah harus menjalankan tiga fungsi berikut, (1) sekolah harus memberikan lingkungan yang disederhanakan dari kebudayaan kompleks yang ada, yaitu dipilih dari segi fundamental yang dapat diserap oleh remaja, (2) sekolah sejauh mungkin mengeliminasi segi-segi yang tidak baik dari lingkungan yang ada, meniadakan hal-hal yang remeh dan tak berguna dari masa lampau dan memilih yang terbaik dan memungkinkan anak-anak menjadi warga negara yang lebih baik dan membentuk masyarakat masa depan yang lebih maju dan sejahtera, (3) sekolah hendaknya menyeimbangkan berbagai unsur dalam lingkungan sosial serta mengusahakan agar masing-masing individu mendapat kesempatan untuk melepaskan dirinya dari keterbatasan-keterbatasan kelompok sosial dimana dia lahir.( John Dewey, 1991:192)
Konsep tersebut sesuai dengan paradigma pendidikan sistematik organik yang menyatakan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki empat ciri sebagai berikut: (1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran daripada mengajar, (2) Pendidikan diorganisir dalam struktur yang fleksibel, (3) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri dan (4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan. (Zamroni, 2001:9)
Dengan demikian, perwujudan sekolah yang mensosialisakan paham dan sikap demokratis, seperti ditulis Zamroni, dapat dikaji berdasar empat aspek: (1) aspek status siswa, berorientasi pada pendidikan modern yang mempunyai asumsi bahwa pendidikan berlangsung dari lahir sampai mati. Artinya, sekolah adalah kehidupan itu sendiri dan sebaliknya kehidupan itu adalah sekolah atau pendidikan. Karena itu, sekolah merupakan kehidupan riel siswa itu sendiri bukan tempat mempersiapkan siswa bagi kehidupan mendatang. Hal ini sesuai dengan pendapat John Dewey sebagaimana dikutip Zamroni, school is not preparation for life but life itself  (sekolah bukan bekal untuk hidup tetapi kehidupan itu sendiri).( Zamroni, 2001: 60) Implikasi dari orientasi ini adalah anak didik merupakan subyek dalam proses pendidikan. Kehidupan sosial siswa merupakan sumber transformasi kehidupan. Peran penting dalam proses pendidikan bukan terletak pada mata pelajaran yang diberikan, melainkan terletak pada aktivitas sosial siswa sendiri.
Orientasi pendidikan modern ini memberikan penekanan dan tempat berkembangnya kreativitas, kemandirian, toleransi dan tanggung jawab siswa. (2) aspek fungsi guru: yaitu bahwa guru sebagai fasilitator dan motivator. Fungsi guru ini akan muncul jika siswa berstatus sebagai subyek dalam proses pendidikan, karena sebagai fasilitator dan motivator guru akan lebih banyak bersifat tut wuri handayani dengan memberikan dorongan dan motivasi agar siswa dapat memperluas kemampuan pandang untuk mengembangkan berbagai alternatif dalam aktivitas kehidupan dan memperkuat kemauan untuk mendalami serta mengembangkan apa yang telah dipelajari dalam proses pendidikan. (3) Dimensi Materi Pendidikan: yaitu materi pendidikan bersifat problem oriented, guru menyampaikan bahan pengajaran berangkat dari problem riel yang dihadapi siswa dan lingkungan masyarakatnya.
 Dengan demikian materi yang bersifat teoritis akan dihubungkan dengan realitas kehidupan siswa. Guru dituntut berperan aktif, kreatif dan berani membawa isue-isue kontroversial ke dalam proses belajar mengajar. Adapun para siswa mendapat kesempatan untuk mendiskusikan isue-isue yang sensitif tersebut. (4) Dimensi Manajemen Pendidikan: yaitu manajemen yang bersifat desentralisasi yaitu kebijakan pendidikan lebih banyak ditentukan pada level daerah, level sekolah dan level kelas. Dengan desentralisasi ini kreativitas dan daya inovatif guru sangat diperlukan. Dimensi manajemen yang bersifat desentralisasi diterapkan apabila dimensi siswa sebagai subyek pendidikan, fungsi guru sebagai dinamisator dan fasilitator dan materi pengajaran bersifat problem oriented.(Zamroni, 2001:61)
Orientasi pendidikan dengan keempat aspek yang dikemukakan Zamroni tersebut akan mewujudkan praktek pendidikan yang demokratis dan akan menghasilkan lulusan individu yang demokratis, kreatif, tolerans dan mandiri. Ciri-ciri lulusan semacam ini akan sangat berperan mewujudkan masyarakat demokratis.
4.   Membangun Sistem Pendidikan Demokratis.
Impian pendidikan berkualitas hanya dapat diwujudkan dalam alam demokrasi pendidikan dan demokrasi pendidikan hanya dapat diwujudkan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Namun, kenyatannya kehidupan yang demokratis masih lebih merupakan keinginan daripada kenyataan (Mastuhu, 2003:84).
Konsep sistem pendidikan yang demokratis terkait dengan bagaimana pendidikan tersebut disiapkan, dirancang dan dikembangkan sehingga memungkinkan terwujudnya ciri-ciri atau nilai-niklai demokrasi. Ini juga bersifat umum dalam arti mengemas sistem pendidikan dengan seluruh komponen, yaitu kurikulum, materi pendidikan, sarana prasarana, lingkungan siswa, guru dan tenaga pendidikan lainnya, proses pendidikan dan lainnya. Bisa juga bersifat khusus yaitu pengemasan komponen-komponen tertentu dari sistem pendidikan tersebut mislanya bagaimana kurikulum atau bahan pelajaran atau proses belajar mengajar dirancang sedemikian rupa sehingga mencerminkan dan memungkinkan terbentuknya nilai-nilai demokrasi (Arief Sadiman, 2001:1)
Dalam mengembangkan sistem pendidikan yang demokratis di Indonesia, perlu memperhatikan tujuh butir yang merupakan prinsip-prinsip dalam prosedur-prosedur yang demokratis dan mencerminkan pandangan serta jalan hidup demokratis yang diinginkan. Tujuh butir tersebut: (1) mengutamakan kepentingan masyarakat, (2) tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, (3) mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama, (4) musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan, (5) memiliki i'tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah, (6) musyawarah yang dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur, (7) keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung-jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan. (Santi Arbi, 1988:294)
Sistem pendidikan yang demokratis tersbeut perlu diperjelas secara makro di tingkat nasional yang berlaku untuk seluruh Indonesia atau tingkat mikro di lingkungan sekolah atau kelas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membangun sistem pendidikan yang demokratis sebagaimana yang dinyatakan Sadiman (2001: 5), sebagai berikut:
1.      Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga dapat memberikan ruang gerak bagi sekolah/daerah tertentu untuk menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan setempat tanpa harus kehilangan orientasi nasional dan global. Kurikulum juga harus menggariskan adanya mata pelajaran-mata pelajaran yang menggiring suasana demokratis dalam proses belajar mengajar dan pada gilirannya dapat menanamkan nilai-nilai demokratis pada diri anak didik.
2.      Tidak ada keharusan bagi sekolah atau lembaga pendidikan untuk menggunakan bahan belajar tertentu. Idealnya diberi kebebasan memilih sendiri bahan belajar (buku dan media) yang mereka nilai baik. Bahan belajar sendiri juga harus dikemas dengan mengakui bahwa setiap siswa berbeda satu sama lain dengan kelebihan dan kekurangannya memungkinkan adanya interaksi aktif dan menempatkan sasaran didik sebagai subyek bukan obyek pendidikan.
3.      Sarana prasarana pendidikan pun harus menunjang terwujudnya nilai-nilai demokrasi dalam praktek pendidikan atau belajar mengajara sehari-hari. Misalnya: ruang kelas dengan meja kursi bangku tidak kaku tetapi memiliki fleksibilitas yang tinggi, perpustakaan memiliki koleksi warna-warni yang tidak saja memotivasi siswa untuk mengunjungi dan membaca tetapi juga memberikan alternatif pilihan sumber belajar. Perpustakaan, baik perpustakaan kelas maupun perpustakaan sekolah hendaknya menjadi bagian yang menyatu dengan proses belajar mengajar di kelas. Sebagai individu anak hendaknya memiliki berbagai kebutuhan, maka sekolah atau lembaga pendidkan haruslah mampu memberikan lingkungan belajar yang bisa memenuhi kebutuhan biologis (makanan, minuman, rasa aman dan tempat istirahat), kebutuhan psikologis dan kebutuhan sosial (komunikasi dan interaksi dengan sesama manusia).
4.      Sebagai komponen sistem pendidikan, guru harus bersikap demokratis. Guru harus mampu menerima perbedaan, menghargai pendapat siswa tidak memaksakan kehendak, merasa paling tahu dan menciptakan suasana belajar yang demokratis. Peran guru bukan sebagai satu-satunya sumber belajar karena telah/makin banyak sumber belajar lain di sekitar kehidupan anak.
5.      Proses pendidikan atau belajar mengajar hendaknya mencerminkan nilai-nilai demokrasi.
Berkaitan dengan konsep kelima, Arief S. Sadiman (2001:6) menjelaskan bahwa proses pembelajaran yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi adalah sebagai berikut:
(a)   Menempatkan anak didik sebagai individu yang unik. Mereka memiliki minat, bakat, efisiensi alat indra, kecerdasan, cara merespon pelajaran yang diberikan, ketrampilan dan sikap berbeda satu sama lain sehingga perlu diberikan treatmen yang berbeda. Proses pendidikan hendaknya mampu menciptakan konsep diri yang positif pada anak didik. Masing-masing anak harus merasa sanggup, aman dan menemukan tempatnya masing-masing di dalam masyarakat sekolah. Tidak ada anak yang unknown semua baik yang pandai maupun yang lemah semua mendapat perhatian.
(b)  Pembelajaran hendaknya bersifat individual dalam arti tiap siswa mendapatkan cara penanganan sesuai dengan karakter masing-masing. Apabila hal ini masih sulit dilakukan maka bisa ditempuh cara pengelompokan siswa berdasarkan prestasi “acheivement grouping”. Kelompok ini bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan masing-masing individu. Strategi ini dimaksudkan memberi kesempatan pada anak untuk meningkatkan diri sejalan dengan kecepatan belajarnya.
(c)  Sebagai konsekuensi dari pembelajaran individual tersebut perlu diterapkan sistem maju berkelanjutan “continuous progress”. Pelaksanaan sistem ini memungkinkan siswa menyelesaikan pendidikan lebih cepat, lebih lambat atau tepat pada waktunya. Sistem maju berkelanjutan membuka peluang secara luas bagi perkembangan pribadi anak karena anak dapat maju tanpa hambatan, kelas atau tingkatan tidak lagi merupakan barrier untuk terus maju. Sistem ini tidak saja akan menguntungkan anak, akan tetapi juga bisa menjadi pemicu peningkatan atau percepatan-achievement.
(d)  Demokrasi menghargai kebebasan individu untuk mengekspresikan diri namun tetap menghargai norma dan etika. Proses pendidikan di sekolah bisa mewujudkan hal ini dengan sengaja dan memberikan paling tidak satu jam belajar bebas “independent study” setiap minggunya. Dalam pelajaran ini anak belajar bertanggungjawab atas kebebasan yang diberikan. Dengan menggunakan perpustakaan dan sumber belajar lain, anak belajar mengarahkan diri, menolong diri, disiplin dan mengontrol diri. Dengan mencari kesibukan yang sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangan masing-masing anak berusaha memenuhi kebutuhan. Pelajaran ini juga melatih siswa menghargai waktu, mengembangkan kemampuan anak untuk mengarahkan diri (self direction), mendisiplinkan diri (self discipline), menguasai diri (self control), menolong diri sendiri (self help), mengandalkan diri (self reliance) dan menyibukkan diri (self activity).
(e)  Untuk menetralisir tumbuhnya sikap individualistis perlu disiapkan pelajaran kelompok. Proses belajar dalam kelompok ini tidak saja membina sikap toleransi anak tetapi juga memberi kesempatan untuk mengadakan interaksi sosial, belajar bahwa masih ada orang di luar diri sendiri, bersikap terbuka terhadap perubahan dan saling membantu.
(f)   Proses belajar mengajar harus memberi kesempatan anak didik untuk mengekspresikan dirinya baik lesan maupun tertulis. Untuk metodologi pembelajaran yang dipilih harus memungkinkan hal tersebut. Misalnya: diskusi, seminar, observasi, eksperimen perorangan maupun kelompok dan sebagainya. Pelajaran mengarang yang sementara ini diabaikan karena berat dalam mengoreksi justru harus ditingkatkan dan diperhatikan. Tata krama secara lesan dan tertulis harus dipelajari anak. Dalam kaitan ini terasa penting perpustakaan yang terpadu dengan proses belajar mengajar di kelas.
(g)  Peran serta aktif anak didik tidak saja digalang dalam proses belajar mengajar di sekolah maupun di rumah, tetapi juga menetapkan tata tertib atau aturan yang harus ditaati sendiri. Juga dalam kegiatan seperti mengelola majalah sekolah. Ini jelas merupakan cerminan hidup demokratis.
(h)  Grafik prestasi kelas dan grafik prestasi pribadi yang dipasang di kelas menunjukkan posisi masing-masing anak dalam mata pelajaran tertentu. Keterbukaan ini mengajarkan pada anak kejujuran untuk mengakui kelemahan atau kekurangan diri dan kekurangan atau kelebihan orang lain sekaligus memotivasi anak untuk meningkatkan diri dan motivasi berprestasi.
(i)    Evaluasi dalam pendidikan yang demokratis tidak hanya menilai prestasi siswa tetapi juga menilai kinerja para guru/pendidik dan sistem secara keseluruhan. Guru hendaknya berjiwa besar atau berlapang dada untuk menerima penilaian dari siswa dengan tujuan meningkatkan mutu pendidikan di lembaga tersebut.

RANGKUMAN
Makna demokrasi dalam pendidikan mengandung unsur kemandirian, kebebasan dan tanggung jawab. Kemandirian untuk mengembangkan kepercayaan diri sekaligus kesadaran akan keterbatasan kemampuan individu sehingga bekerja sama dengan individu lain merupakan keharusan dalam kehidupan masyarakat. Kebebasan memiliki makna perlu dikembangkan visi kehidupan yang bertumpu pada kesadaran akan pluralitas masyarakat, bukan hanya mementingkan invidu atau kelompok dan menimbulkan konflik. karena itu kebebasan harus diiringi dengan rasa tanggung jawab.
Demokrasi dan pendidikan merupakan dua istilah yang saling berkaitan satu sama lain karena nilai demokrasi untuk difahami dan dimiliki masyarakat harus melalui pendidikan, begitu juga sebaliknya agar pendidikan dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kemandirian, daya kritis, dinamis, watak demokratis dan senantiasa menjunjung harkat dan martabat manusia, maka pendidikan harus dilaksanakan dengan demokrasi.
Indikator lembaga pendidikan yang demokratis adalah (a) manajemen pendidikan bersifat desentralisasi yaitu kebijakan pendidikan lebih banyak ditentukan pada level daerah, level sekolah dan level kelas; (b) materi pendidikan bersifat problem oriented, dimana guru menyampaikan bahan pengajaran berangkat dari problem riel yang dihadapi siswa dan lingkungannya dengan pendekatan konstruktivistik; (c) Siswa merupakan subyek dalam proses pendidikan (peserta didik) dan (d) guru sebagai fasilitator, dinamisator dan motivator yang lebih banyak bersifat tutwuri handayani dengan memberikan motivasi kepada siswa untuk mengembangkan kemandiriannya, kreativitasnya dan toleransinya.
Dalam membangun sistem pendidikan yang demokratis di Indonesia melibatkan seluruh pelaku pendidikan dalam mempersiapkan, merancang dan mengembangkan lembaga pendidikan yang berlandaskan prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi Pancasila. Nilai demokrasi harus melekat pada seluruh komponen pendidikan yaitu nilai demokrasi melekat pada guru, peserta didik, kurikulum, sarana pendidikan, proses pendidikan dan lingkungan pendiidkan.
TUGAS LATIHAN:
1          Kemukakan dan jelaskan apa yang anda ketahui tentang demokrasi dalam pendidikan ?
2          Bagaimana anda mamaknai/memahami sifat dan prinsip demokrasi pendidikan  ?
3          Bagaimana perspektif saudara dalam hal penerapanm demokrasi dalam pendidikan  ?
4          Berikan suatu analisis yang kritis dan obyektif  dan rasional persamaan dan perbedaan demokrasi pendidikan dengan demokrasi yang bukan tidak berkaitan dengan pendidikan seperti: kekuasaan,  perdagangan, hukum, politik dan sebagainya.  ?
5          Kemukakan dan jelaskan  hubungan antara pendidikan dan demokrasi   ?
6          Kemukakan pemikiran saudara tentang bagaimana membangun sistem pendidikan yang demokratis   ?
7          Kemukakan dan berikan komentar tentang pandangan-pandangan ahli tentang demokrasi pendidikan    ?
8          Kemukakan dan jelaskan singkat indikator pendidikan  yang demokratis    ?
9          Bagaimana mewujudkan  suatu demokrasi melalui proses pendidikan  di sekolah    ?
10     Berikan komentar dan pendapat saudara tentang ikhwal pelibatan masyarakat dalam pendidikan  di sekolah    ?
BAHAN BACAAN/RUJUKAN :
1          Aldridge, Jerry, and Renitta Goldman, 2002, : Current Issues and Trends in Education, Allyn and Bacon, Boston, USA,.
2          Allen, Dwight W, 1992, : School for a New Century, A Concervative Approach to Radical School Reform, Praeger, New York,.
3          Apple, Michael W, and James A Bene, 1995, :The Case of Democratic School, dalam Michael W Apple and James A Beane, Democratic School’, ASCD, Alexandria, Virginia,.
4          Departemen Pendidikan Nasional, Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Pustaka Widyatama, 2003
5          Dewey, John, Democracy and Education, New York, The Free Press, 1994
6          Djohar, Pendidikan Strategik, Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan, Jogjakarta: LESFI, 2003.
7          Goodlad, John I, Democracy, 1996, : Education and Community, dalam Roger Soder, Democracy, Education and the School, Jossey Bass, San Francisco,.
8          Kusuma, Iskandar Wiryo, Demokratisasi Belajar dan Pembelajaran Ditinjau dari Segi Pengalaman Empirik, Malang: Makalah Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran di Malang, 2001
9          Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Jogjakarta: Safiria Insania Press, 2003
10     Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 tahun 2007, Tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan.
11     Sadiman, Arif S., Paradigma Baru Pengemasan Pendidikan yang Demokratis Ditinjau dari Segi Aspek Kebijakan, Makalah Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran di Malang, 2001
12     Sparingga, Daniel, Paradigma Baru Pengemasan Pendidikan yang Demokratis Ditinjau dari Segi Sosiologi, Malang: IPTP, 2000
13     Statistic Indonesia, dalam www.statistic-indonesia.com. Badan Pusat Statistik bekerjasama dengan Australian National University dan Lembaga Demografi UI, 2008.
14     Sudana Degeng, I Nyoman, Paradigma Baru Pendidikan Memasuki Era Demokratisasi Belajar, Makalah Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran di Malang, 2001.
15     Suhardjono, Haruskah Demokrasi Belajar Menggunakan Konstruktivistik, Malang: IPTP, 2000
16     Tarcov, Nathan, 1996.: The Meaning of Democracy, dalam Roger Soder, ‘Democracy, Education and The school’, Jossey Bass, San Francisco,
17     UU No. 14 Tahun 2005, Tentang Guru dan Dosen.
18     UU No. 20 Tahun 2005, Tentang Sisitem Pendidikan Naional.
19     Zamroni Paradigma Pendidikan Masa Depan, Jogjakata: Bigraf, 2001.
20     Zamroni, Pendidikan untuk Demokratisasi, Tantangan Menuju Civil Society, Jogjakarta: Bigraf Publishing, 2001
21     Zanti Arbi, Sutan, Pengantar kepada Filsafat Pendidikan, Jakarta: Dikti Dep