IDEOLOGI-IDEOLOGI PENDIDIKAN
PEMBELAJARAN I
Berbicara
masalah ideologi berarti juga membicarakan masalah konsep yang tersistem
secara rapi atau boleh dikatakan ideologi itu sebuah teori. Namun lebih
enaknya jika ideologi dijabarkan terlebih dahulu. Ideologi oleh Arif Rahman
dalam bukunya yang berjudul ”Politik Ideologi pendidikan”
mempunyai dua pengertian, pengertian secara fungsional dan secara struktural.
Secara
fungsional, ideologi diartikan sebagai pemikiran yang digunakan untuk kebaikan
bersama (common good). Dalam hal ini ideologi bisa muncul karena kekecewaan
pada saat ini dan mempunyai niatan untuk memperbaiki di zaman akan datang.
Proses
antara sekarang dengan zaman akan datang (tengah-tengahnya) itulah letak
pemikiran ideologi yang digunakan sebagai dasar kerangka bangunan berfikir
untuk meraih hal yang dianggapnya baik pada zaman yang akan datang. Dalam dunia
pergerakan, Tan Malaka saat berjuang –memperjuangkan kaum buruh- juga
tergetarkan hatinya saat melihat kaum buruh yang pada zaman kolonial selalu
diperas tenaganya namun tidak ada ibalan yang sepadan yang diberikan oleh
pemerintah kolonial.
Namun cara perjuangan yang dilakukan Tan Malaka
masih bersifat konvesional, dengan cara agitasi, demonstrasi dan baikot.
Mungkin pada waktu dulu cara itulah yang efektif guna melakukan perlawanan.
Itu merupakan langkah-langkah revolusioner guna memunculkan bergaining
posision dan di tindak lanjuti dengan merampas kekuasaan kaum borjuis
kemudian di berikan kepada kaum buruh.
Cara seperti itu dalam teori sosial kritis
tidak disetujui karena revolusi pragmatis akan melahirkan diktator baru.
Apalagi Tan Malaka pernah berkecimpung dalam organisasi PKI yang di gawangi
oleh uni soviet. Uni soviet merupakan negara penganut marxise leninisme,
kekuasaan di percaya sebagai jalan yang paling efektif untuk menyebarkan
faham sosialis. Dan boleh dilihat negara-negara modern sekarang yang
menggunakan ideologi marxis leninesme rata-rata pemimpinnya jadi diktator
kuat di negarnya.
Sedangkan ideologi struktural, diartikan
sebagai alat pembenar bagi kebijakan dan tindakan kaum penguasa. Mungkin pada
zaman orde baru kita masih teringat dengan namanya penataran P4. itu adalah
alat yang digunakan pembenar bagi tidakan-tindakan negara kepada
masyarakatnya. Seolah-olah perbuatan pemerintah itu semua benar dan wajib di
ikuti. Sehingga yang tidak cocok dengan kebijakan serta tidak mau
melaksanakannya akan di anggap pembangkang.
Bukan
hanya dalam dunia ke-negaraan saja ideologi ini diterapkan, dalam dunia
agama-pun ideologi seperti ini diterapkan. Seperti pembentukan wadah-wadah
organisasi keturunan Nabi yang disebut Habib atau organisasi Islam puritan
lainnya. Seoalah-olah apa yang di kehendakinya itu selalu benar karena sudah
berlandaskan dengan teks-teks al-qur’an.
Mereka ingin memaksakan ajaranya kepada semua
umat dan menyatukan ajaran yang akan berpusat pada dunia Arab, tanpa melihat
faktor sosiologi dan geografi masyarakat sekitar. Coba bayangkan masyarakat
Indonesia akan disamakan dengan masyarakat Arab, tentu tidak akan cocok
karena sangat berbeda.
Arab menjadi dominan karena para Nabi kebetulan
di lahirkan di ranah Arab, coba bayangkan, seumpama Islam diturunkan di
Indonesia pasti pakaian yang digunakan kebanyakan orang adalah Kemben bagi
yang putri dan yang putra pakainya seperti dipakai oleh para pejabat kerajaan
dulu. Itu disebakan suasana di Indonesia di pengaruhi oleh iklim tropis
sedangkan di Arab sangat wajar jika menggunakan jubah karena suasanannya
sangat panas jadi sangat wajar.
|
4.1. IDIOLOGI PENDIDIKAN
Seiring pergantian zaman, paham-paham yang berkembang
didunia mengalami berbagai perubahan. Hal ini dipengaruhi oleh pola pikir umat
manusia yang berkembang pada zaman tertentu. Ada pertentangan-pertentangan yang
senantiasa bertarung dan secara silih berganti mendominasi pola pemikiran
masyarakat.
Misalnya pertarungan antara agama dan sains. Pada zaman
pertengahan, agama mendominasi, dan sains termarjinalkan. Selanjutnya pada
zaman renaissance hingga sekarang, sains mendominasi dan menjadi alat
ukur kebenaran sedangkan agama lebih cenderung dimarjinalkan. Dalam tataran
ideologi, pertarungan antara kapitalisme dan sosialisme mewarnai ideologi
masyarakat dunia.
Kapitalisme yang dimotori oleh Amerika berpegang pada
kebebasan individu secara mutlak, sedangkan sosialisme yang dimotori oleh Rusia
berpegang pada pembatasan terhadap kebebasan individu dan semuanya diatur oleh
Negara untuk kepentingan bersama. Pertarungan ini akhirnya dimenangkan oleh
Amerika sebagai pembawa bendera kapitalis yang akhirnya berdampak pada berbagai
sektor kehidupan masyarakat, salah satunya pada sektor pendidikan.
Pendidikan memiliki peranan penting dalam pengembangan
kemampuan seseorang. Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan
pengetahuan yang nantinya menjadi bekal dalam kehidupan ditengah masyarakat.
Isu tentang pendidikan menarik dan senantiasa aktual pendidikan tidak pernah
lekang oleh zaman, mulai dari zaman Adam sampai zaman kita sekarang bahkan juga
pada zaman-zaman berikutnya.
Pendidikan juga tidak bisa lepas dari ideologi yang
berkembang ditengah masyarakat. Ideologi ini turut mewarnai pendidikan sehingga
pendidikan yang dilakukan ditengah masyarakat memiliki karakteristik tertentu
yang identik dengan ideologi tertentu pula. Setidaknya ada tiga ideologi yang
berkembang dalam dunia pendidikan, yaitu konservatif, liberal dan kapitalis.
Perbedaan dari ketiga ideologi tersebut terkait dengan bagaimana pandangan
manusia terkait dengan apa yang menimpanya. Hal ini akan berdampak pada metode
dan cara pembelajaran yang diberikan oleh pendidikan dengan ideologi tertentu.
Kapitalisme global berimplikasi pada pengakuan terhadap hak
individu. Hal ini menimbulkan paham liberalisme yang menekankan kebebasan pada
masing-masing individu dalam segala hal. Dalam menghadapi hal tersebut,
pendidikan dituntut untuk mempersiapkan generasi-generasi yang mampu berinteraksi
dengan keadaaan yang terjadi sekarang. Untuk itu kemudian ideologi pendidikan
liberal muncul. Selanjutnya tulisan ini akan membahas tentang ideologi
pendidikan liberal saat ini.
Disisi lain, penulis dalam menulis makalah ini didasarkan
atas empat alasan, yaitu: Pertama, terkait dengan istilah ‘ideologi’
pada dasarnya digunakan dengan merujuk pengertiannya yang luas yaitu konsep
bersistem yang dijadikan asas pendapat yang memberikan arah dan tujuan untuk
kelangsungan hidup. Implikasi penggunaan ideologi dalam pendidikan adalah
keharusan adanya konsep cita-cita dan nilai-nilai yang secara eksplisit
dirumuskan, dipercayai dan diperjuangkan. Kedua, filsafat dan teori
pendidikan lebih kental dengan muatan akademisnya sedangkan ideologi agak
kurang tuntutan akademisnya, akan tetapi lebih diarah kepada aksi. Ketiga, didalam
benturan peradaban sebagai dampak globalisasi, terjadi pergumulan ideologi
dunia. Sementara Islam yang sarat dengan nilai-nilai universal dan transedental
seharusnya dapat ditawarkan sebagai paradigma ideologi alternatif. Terlebih
lagi, pendidikan sebagai wahana sangat strategis dalam membangun peradaban
alternatif perlu diformulasikan dengan pendekatan ideologis sehingga memiliki
daya pengikat dan penggerak untuk aksi. Keempat, di tengah-tengah
munculnya semangat Islam progresif saat ini yang berorientasi pada Islam
liberal dan humanis perlu ada acuan yang bertolak dari nila-nilai dasar Islam
yang sejatinya sangat humanis, sehingga semangat progresivisme dan liberalisme
tidak kehilangan akar akidahnya.
Pada prinsipnya, yang dijadikan paradigma ideologi adalah
prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat universal, yaitu
Humanisme-Teosentris. Implementasi ajaran ini dalam praktik kehidupan dan
pendidikan dapat fleksibel, selama substansinya tetap terpelihara, yaitu:
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana hakikat ajaran Islam,
sebagai agama fitrah, memang ditujukan untuk kebutuhan manusia itu sendiri.
4.2. IDEOLOGI PENDIDIKAN LIBERAL
Berdasarkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), liberal
memiliki arti bersifat bebas; berpandangan bebas (luas dan terbuka).
Jadi berdasarkan pengertian diatas, paradigma ideologi
pendidikan liberal dapat diartikan sebagai model dalam teori ilmu pengetahuan
dalam usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat
yang sesuai dengan paham, teori dan tujuan yang merupakan satu program sosial
politik yang bebas berpandangan luas dan terbuka.
Dalam pendidikan DI
masyarakat terjadi banyak masalah termasuk urusan/masalah pendidikan. Namun
mereka beranggapan masalah pendidikan tidak akan ada sangkut paut dengan
persoalan politik dan ekonomi masarakat. Tetapi pendidikanlah yang bisa
menyesuaikan dengan perubahan arah politik dan perkembangan dunia perekonomian.
Cara menyesuaikannya
melalui reformasi diri secara ”kosmetik”. Dengan cara melengkapai
sarana-prasarana seperti perlengkapan alat tulis, ruang kelas maupun
perpustakaan. Pengadaan itu semua bertujuan untuk menyeimbangkan rasio antara
murid dengan guru.
Tetapi kenyataannya walaupun lembaga pendidikan mempunyai sarana dan prasarana
yang komplik belum tentu menghasilkan manusia yang cerdas yang bisa membangun
bangsa tetapi hanya melaihrkan nilai-nilai angka yang tinggi terhadap para
siswanya dan bisa dipastikan hanya akan menjadi buruh kapitalis.
Walaupun konsep
ideologi konservatif dan liberal berbeda dalam menafsirkan pendidikan, namun
sesungguhnya mepunyai tujuan yang sama yaitu memandang bahwa dunia pendidikan
itu harus bersifat apolitik. Pendidikan tidak boleh terbawa arus politik yang
berkembang namun sebagai sarana untuk menstabilkan nilai dan norma masayarakat.
Ideologi liberal ini
memang lahir dari cita-cita individualisme barat, bangsa barat menggambarkan
manusia ideal itu adalah rasionalis liberal. Pada dasarnya manusia mempunyai
potensi tingkatan yang sama dalam intelektual, baik dalam tatanan alam maupun
tatanan sosial yang dapat ditangkap dengan akal. Kelemahan ideologi liberalisme
terletak pada pengaruh faham positivistik yang sangat kuat, karena adanya
pemisahan antar fakta dengan nilai menuju pemahaman obyektif.
Berkaitan dengan pendidikan, kaum liberal beranggapan bahwa
persoalan pendidikan terlepas dari persoalan politik dan ekonomi masyarakat.
Dan pendidikan tidak memiliki kemudian lebih diarahkan pada penyesuaian atas
sistem dan struktur sosial yang berjalan. Yang lebih diperhatikan adalah
bagaimana meningkatkan kualitas dari proses belajar mengajar sendiri, fasilitas
dan kelas yang baru, modernisasi peralatan sekolah, penyeimbangan rasio
guru-murid. Selain itu juga berbagai investasi untuk meningkatkan rnetodologi
pengajaran dan pelatihan yang lebih effisien dan partisipatif, seperti kelompok
dinamik (group dynamics) 'learning by doing', 'experimental learning', bahkan
Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) sebagainya.
Kaum Liberal sama-sama berpendirian bahwa pendidiakan adalah
politik, dan ‘excellence’ haruslah merupakan target utama pendidikan. Kaum
Liberal beranggapan bahwa masalah mayarakat dan pendidikan adalah dua masalah
yang berbeda. Mereka tidak melihat hubungan pendidikan dalam struktur kelas dan
dominasi politik dan budaya serta diskriminasi gender dimasyarakat luas. Bahkan
pendidikan bagi salah satu aliran liberal yakni ‘structural funrtionalisme’
justu dimaksud sebagai sarana untuk menstabilkan norma dan nilai masyarakat.
Pendidikan justru dimaksudkan sebagai media untuk mensosialisasikan dan
mereproduksi nilai-nilai tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar agar
masyarakat luas berfungsi secara baik.
Pendekatan liberal inilah yang mendominasi segenap pemikiran
tentang pendidikan yang berarti berbagai macam pelatihan. Akar dan pendidikan
ini adalah Liberalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan pengembangan
kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedom), serta mengidentifikasi
problem dan upaya perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka
panjang.
Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakar pada
cita-cita Barat tentang individualisme. Ide palitik liberalisme sejarahnya
berkait erat dengan bangkitnya kelas liberalisme dalam pendidikan dapat
dianalisa dengan melihat komponen komponennya. Komponen pertama, adalah
komponen pengaruh filsafat Barat tentang model manusia universal yaitu manusia
yang ‘rational liberal’. Ada beberapa asumsi yang mendukung konsep manusia
‘rational liberal’ seperti: Pertama, bahwa semua manusia memiliki potensi
sama dalam intelektual. Kedua, baik tatanan alam maupun norma sosial
dapat ditangkap oleh akal. Ketiga, adalah ‘individualis’ yakni adanya
angapan bahwa manusia adalah atomistik dan atanom (Bay,1988).
Menernpatkan individu socara atomistik, membawa pada keyakinan bahwa
hubungan sosial sebagai kebetulan, dan masyarakat dianggap tidak stabil karena interest
anggotanya yang tidak stabil.
Pengaruh liberal ini kelihatan dalam pendidikan yang
mengutamakan prestasi melalui proses persaingan antar murid. Perankingan untuk
menentukan murid terbaik, adalah implikasi dari paham pendidikan ini. Pengaruh
pendidikan liberal juga dapat dilihat dalam berbagai training management,
kewiraswastaan, dan training-training yang lain.
Komponen kedua adalah Positivisme. Positivisme sebagai suatu
paradigma ihnu sosial yang dominan sewasa ini juga menjadi dasar bagi model
pendidikan Liberal. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam
dari pandangan, metode dan teknik ilmu alam yang memahami realitas. Positivisme
sebagai suatu aliran filsafat berakar pada tradisi ilmu ilrnu sosial yang
dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan
kepercayaan adanya universalisme and generalisasi, melalui metode determinasi,
‘fixed law’ atau kumpulan hukum teori (Schoyer, 1973). Positivisme berasumsi
bahwa penjelasan tungal dianggap ‘appropriate’ untuk semua fenomena.
Oleh karena itu riset sosial ataupun pendidikan dan
pelatihan harus didekati dengan positivisme yang melibatkan unsur-unsur seperti
obyektivitas, empiris, tidak memihak, rasional dan bebas nilai. Pengetahuan
selalu menganut hukum ilmiah yang bersifat universal, prosedur harus
dikuantifisir dan diveritikasi dengan metode ‘scientific’. Dengan kata lain,
positivism mensaratkan pemisahan fakta dan nilai dalam rangka menuju pada
pemahaman obyektif atas realitas sosial.
Pendidikan dan pelatihan dalam positivistik bersifat
fabrikasi dan mekanisasi untuk memproduksi keluaran pendidikan yang harus
sesuai dengan ‘pasar kerja’. Dalam pola pemikiran positivistic, murid dididik
untuk tunduk pada struktur yang ada. Dari sana, bisa kita lihat bahwa pada
paradigma liberal pendidikan biasanya lebih melanggengkan system yang ada
dengan melahirkan anak-anak didik yang berperan dalam mempertahankan system tersebut.
Tradisi liberal telah mendominasi konsep pendidikan hingga
saat ini. Pendidikan liberal menjadi bagian dari globalisasi ekonomi ‘liberal’
kapitalisme. Dalam konteks lokal, paradigma pendidikan liberal telah menjadi
bagian dari sistim developmentalisme, dimana sistim tersebut ditegakkan pada
suatu asumsi bahwa akar ‘underdevelopment’ karena rakyat tidak mampu terlibat
dalam sistim kapitalisme. Pendidikan harus membantu peserta didik untuk masuk
dalam sistim developmentalisme tersebut, sehingga masyarakat memiliki kemampuan
dalam kompetisi di dalam sistem kapitalis.
4.3 IDEOLOGI PENDIDIKAN KRITIS
Liberalisasi pendidikan merupakan salah satu aliran dalam
pendidikan dewasa ini yang mulai menjadi mainset berfikir dalam memahami makna
dari pendidikan itu sendiri baik dikaji dari makna filosofosnya maupun makna
normatifnya.
Ciri utama pendidikan yang berideologi liberal adalah selalu
berusaha menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar
dunia pendidikan. Hal ini terlihat pada benang merah kebijakan Mendiknas
beberapa tahun terakhir. Oleh karenanya kompetensi yang harus dikuasai peserta
didik merupakan upaya untuk memenuhi dan menyesuaikan tuntutan dunia kerja
sebagaimana dikemukakan dalam setiap pergantian kurkulum baru kita (Mansour Fakih,
2002).
Kenyataan lainnya dari liberalisme ini adalah mahalnya
sekolah dan kuliah. UGM yang dulu dikenal kampus rakyat sekarang tidak lagi.
Rencana menjadikan universitas negeri sebagai PTBHP sebagai langkah awal
privatisasi pendidikan juga nyata sebagai langkah liberalisasi. Di level
sekolah, elitisme pendidikan mengancam kesempatan rakyat miskin untuk mengenyam
pendidikan memadai
(Eko
Prasertyo, 2005).
Materialisme yang melingkupi liberalisme menjadikan
reformasi yang dilakukan pun sebatas fisik saja seperti pemenuhan fasilitas
baru dan gedung baru; kapitalisme pun mengarahkan bagaimana agar pembelajaran
dapat lebih efektif-efisien, dan dihitung dalam bentuk untung rugi serta
balikan investasinya karena mengandaikan Education as human investment.
Singkat cerita, liberalisme yang diagung-agungkan dan diacu
oleh system pendidikan kita telah merusakkan sendi-sendi negara bangsa
Indonesia. Darmaningtyas (2005) mengatakan bahwa pendidikan kita rusak-rusakan,
dan Depdiknas merupakan satu dari dua Departemen terkorup di Indonesia satunya
lagi Depag. Mulai afair buku paket, korupsi seragam sekolah, penyelewengan dana
Beasiswa dan BOS, sampai kekerasan dan tindak cabul guru pada siswinya; di
kalangan siswa pun merebak mulai dari sekadar bolos sekolah, nyabu, sampai
bunuh diri dan seks bebas. Ini efek negatif yang luar biasa besarnya, dan tentu
tak dapat diabaikan begitu saja.
Melihat kondisi tersebut layak dan tepat benar jika
menghadirkan ideologi pendidikan kritis yaitu ideologi yang hadir sebagai
tandingan liberalisme pendidikan. Paradigma kritis memaknai pendidikan sebagai
upaya refleksi kritis terhadap ‘the dominant ideologi’ ke arah transformasi
sosial. Pendidikan kritis bukan pendidikan yang mengambil jarak dengan
masyarakat (detachment), tetapi yang menyatu dengan masyarakat dan tidak
netral, namun memihak rakyat tertindas (marginal). Visinya adalah melakukan
kritik terhadap sistem dominan terutama liberalism sekarang sebagai pemihakan
terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk menciptakan sistem sosial baru
yang lebih adil. Sebagai penentang utama liberalisme, maka pendidikan kritis
berupaya ‘memanusiakan’ kembali manusia akibat dehumanisasi sistem liberal yang
tidak adil (O’neill, 2002).
Pendidikan alternatif yang muncul belakangan ini di
Indonesia pascareformasi pada hakikatnya merupakan bentuk dari konsep
pendidikan kritis. Pemikiran kritis ini di Barat yang memang terang-terangan
menentang kaum kapitalis-liberalis. Dalam pendidikan, pemikiran kritisisme
dipopulerkan salah satunya oleh Paulo Freire (1921-1997) di Brazil yang
terkenal dengan teori kesadarannya yaitu kesadaran magis, kesadaran naif, dan
kesadaran kritis. Selaras dengan itu, apa yang dikatakan Erich fromm (salah
satu pemikir dari mazhab Frankfurt) mengatakan bahwa pendidikan perlu sekiranya
mengedapankan nilai-nilai kemanusaiaan dalam proses transformasi pendidikan
(Humanism Education). Proses menjadikan manusia berfikir kritis merupakan
keharusan untuk mengungkap sebuah kebenaran tentang segala sesuatu yang ada di
alam ini, tak terkecuali kritis terhadap segala bentuk sistem yang menafikan
hakekat Humansime yang jauh dari keberpihakan.
Di Indonesia kita dapat melihat tumbuhnya beberapa model
pendidikan kritis di akar rumput. Pendidikan alternatif seperti yang didirikan
Bahruddin di Kalibening Salatiga dengan SLTP Qaryah Tayyibah-nya terbukti mampu
menyadarkan masyarakat dan siswa bahwa mereka ternyata mampu mandiri dan
akhirnya tidak minder ketika menghadapi mereka yang berasal dari sekolah
formal. Hal yang sama juga dilakukan oleh budayawan Cak Nun dengan Kiai
Kanjeng-nya yang setiap turun ke akar rumput berupaya menggugah kesadaran
masyarakat akan realitas dan problem sosial yang mereka hadapi. Cak Nun selalu
membakar semangat masyarakat bahwa ketidakadilan akibat sistem liberal harus
dilawan dan masyarakat sebenarnya mampu, hanya saja selama ini dibodohi terus.
Kita semua sering mengotak-atik metode pembelajaran,
fasilitas pembelajaran, dan kurikulumnya, tapi tidak pernah mengkaji secara
serius determinan pendidikan utama, yaitu filosofi dan ideologinya. Akhirnya
yang terjadi adalah mismatch antara realitas empiris, ideologi yang diambil,
kebijakan yang dirumuskan serta penerapannya.
Akhirnya, kesadaran kritis kitalah yang mampu menyingkap
realita yang terjadi pada proses pendidikan di negeri ini. Dimana, landasan
filosofis pendidikan dan ideologi pendidikan harus di maknai lebih kontekstual
dalam membangun tatanan moral masyarakat yang lebih baik. di samping, itu
proses kemanusiaan dalam sistem pendidikan harus menjadi sebuah kesadaran kolektif.
Sehinnga hakekat pendidikan dan kemanusiaan berjalan selaras, meminjam istilah
Erich Fromm “Mencintai negara tanpa mencintai kemanusiaan sama saja dengan
menyembah berhala”. Sedangkan pendidikan bagi kaum ini
merupakan arena sebuah perjuangan politik, jadi penulis mendifinisakan bahwa
pendidikan itu digunakan sebagai wahana untuk menyebarkan famam politik dan
secara otomatis pendidikan itu mempunyai tujuan sesuai dengan politik yang
mempengaruhinya. Jika kaum konservatif pendidikan di gunakan untuk menjaga
kelanggengan setatus quo, sedangkan kaum liberal pendidikan dia arahkan untuk
perubahan secara moderat, maka ideologi kritis radikal menginginkan dunia
pendidikan di gunakan untuk perubahan struktural secara fundamental, baik dalam
ekonomi, gender dan politik.
Cara seperti ini pernah
dilakukan oleh teman-teman Tan Malak yang mendirikan sekolah rakyat, kebetulan
sekolah rakyat pertama itu berdomisili di Kota Semarang. karena semarang
dulunya menjadi basis pergerakan buruh yang di pelopori oleh Tan Malak dan
kawan-kawan. Sehingga untuk meneruskan perjuangan beliau maka ia mendidik
masyarakat agar mempunyai pemahan yang memberontak pada kemapanan. Namun karena
kurangnya dukungan dari rezim yang berkuasa saat itu sekolah rakyat menghilang
bagai ditelan zaman.
Pandangan kritis
radikal ini bisa dikatakan bertentangan dengan kaum liberal yang mengatakan
pendidikan itu tidak ada penggolongan kelas dan gender dalam masyarakat. ini
dilandaskan dari tidak semua orang bisa meraih pendidikan secara sama kualitas,
karena masing-masing mempunyai kekuatan yang berbeda. Jadi yang dihasilkan dari
pendidikan yang satu dengan pendidikan yang lainpun berbeda.
Pandangan kritis
radikal mempunyai perhatian utama dalam pendidikan itu bisa menerapkan cara
pandang siswa agar bisa merefleksi secara kritis terhadap ideologi yang dominan
kearah transformasi sosial. Cara seperti ini digunakan untuk mengawal penguasa
biar tidak berbuat sewenag-wenang.
Faham ini juga
memberikan ruang untuk berfikir secara bebas, sehingga menuntut manusia itu
bersikap kritis terhadap keadaan sistem atau kebijakan yang dirasa bisa
menindas. Sesungguhnya pendidikan itu tidak bisa netral dari fenomena-fenomena
yang berkembang di masyarakat. untuk menciptakan itu maka faham kritis radikal
menerapkan visi pada pendidikan adalah kritik terhadap sistem yang dominan
4.4 IDEOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
Selain pada muamalah yang berkenaan dengan عقيدة
(keimanan) dan ibadah khusus (محضة) yang bersifat baku dan operasional, Islam
hanya memberikan pedoman hidup yang bersifat fundamental dengan nilai-nilai
transcedental yang sesuai dan menjadi kebutuhan hidup manusia. Dengan kata
lain, nilai-nilai implementasinya sebagian besar diserahkan kepada manusia.
Akan
halnya pendidikan, yang merupakan معاملة دنياوية, maka secara fitrah telah menjadi tugas
manusia untuk memikirkan dan mengembangkannya secara terus menerus, seirama
dengan perubahan dan tantangan zaman. Ini menuntut para pendidik muslim untuk
menyusun konsep pendidikan Islam yang relevan dengan perubahan zaman dan mampu
menjawab setiap tantangan berdasarkan nilai-nilai dasar Islam.
Sejak awal abad ke-20 sampai sekarang humanisme merupakan
konsep kemanusiaan yang sangat berharga karena konsep ini sepenuhnya memihak
pada manusia, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dsan menfasitasi
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia untuk memelihara dan menyempurnakan
keberadaannya sebagai makhluk mulia. Demikian berharganya konsep ini humanisme
ini, maka terdapat sekurang-kurangnya empat aliran penting yang mengklaim
sebagai pemilik asli konsep humanisme, yaitu : Liberalisme Barat, Marxisme,
Eksistensialisme dan Agama.
Keempatnya memiliki titik-titik kesepakatan mengenai
prinsip-prinsip dasar kemanusiaan sebagai nilai universal. Dalam hal ini Ali
Syari’ati mendeskripsi kedalam tujuh prinsip, yaitu:
1.
Manusia
adalah makhluk asli, artinya ia mempunyai substansi yang mandiri di antara
makhluk-makhluk lain, dan memiliki esensi kemuliaan.
2.
Manusia
adalah mekhluk yang memiliki kehendak bebas yang merupakan kekuatan paling
besar dan luar biasa. Kemerdekaan dan kebebasan memilih adalah dua sifat ilahiah
yang merupakan ciri menonojol dalam diri manusia.
3.
Manusia
adalah makhluk yang sadar (berpikir) sebagai karakteristik manusia yang paling
menonjol. Sadar berarti manusia dapat memahami realitas alam luar dengan
kekuatan berpikir.
4.
Manusia
adalah makhluk yang sadar atas dirinya sendiri, artinya dia adalah makhluk
hidup satu-satunya yang memuliki pengetahuan budaya dan kemampuan membangun
perasadaban.
5.
Manusia
adalah makhluk kreatif, yang menyebabkan manusia mampu menjadikan dirinya
makhluk sempurna didepan alam dan dihadapan tuhan.
6.
Manusia
makhluk yang punya cita-cita dan merindukan sesuatu yang ideal, artinya dia
tidak menyerah dan menerima ‘apa yang ada’, tetapi selalu berusaha megubahnya
menjadi ‘apa yang semestinya’.
7.
Manusia
adalah makhluk moral, yang hal ini berkaitan dengan masalah nilai (value).
Humanisme yang diangkat menjadi paradigma ideologi Islam
pada dasarnya juga bertolak dari ketujuh prinsip dasar kemanusiaan tersebut
yang implisit dalam konsep fitrah (فطرة) manusia. Namun demikian, humanisme dalam
pandangan Islam tidak dapat dipisahkan dari prinsip teosentrisme. Dalam hal
ini, keimanan ‘tauhid’ sebagai inti ajaran Islam, menjadi pusat seluruh
orientasi nilai. Namun perlu dijelaskan bahwa semua itu kembali untuk manusia
yang dieksplisitkan dalam tujuan risalah Islam, رحمة
لالعالمين (rahmat bagi
seluruh alam).
Islam sebagai pandangan hidup yang berlandaskan nilai-nilai ilahiyah,
baik yang termuat dalam Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul diyakini mengandung
kebenaran mutlak yang bersifat transedental, universal dan eternal (abadi),
sehingga akidah diyakini oleh pemeluknya akan selalu sesuai dengan fitrah
manusia, artinya memenuhi kebutuhan manusia kapan dan dimanapun (لكل زمان و مكان).
Dengan demikian, karena pendidikan Islam adalah upaya
normatif yang berfungsi untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia, maka
harus didasarkan pada nilai-nilai tersebut di atas baik dalam menyusun teori
maupun praktik pendidikan.
Dasar pendidikan Islam adalah yang tergolong intrinsik,
fundamental, dan memiliki posisi paling tinggi adalah tauhid karena merupakan
seluruh fondasi seluruh bangunan ajaran Islam.
Pandangan hidup tauhid bukan sekedar pengakuan akan keesaan
Allah, tetapi juga meyakini kesatuan penciptaan ‘unity of creation’, kesatuan
kemanusiaan ‘unity of mankind’, kesatuan tuntunan hidup (unity of guidance),
dan kesatuan tujuan dari kesatuan hidup ‘unity of Godhead’.
Dengan dasar tauhid ini, tampak jelas bahwa
pendidikan Islam berlandaskan pandangan teosentrisme (berpusat pada Tuhan). Perlu
juga dijelaskan bahwa pandangan hidup yang melandasi pendidikan Islam merupakan
perpaduan antara teosentrisme dan humanisme, sehingga terbentuklah istilah
humanisme-teosentris.
Karena pendidikan Islam juga berlandaskan humanisme, maka
nilai-nilai fundamental yang secara universal dan obyektif merupakan kebutuhan
manusia perlu dikemukakan sebagai dasar pendidikan Islam, walaupun posisinya
dalam konteks tauhid sebagai nilai instrumental. Nilai-nilai yang dimaksud meliputi
kemanusiaan, kesatuan umat manusia, keseimbangan, dan rahmat bagi seluruh alam.
(رحمة لالعالمين).
Menurut Sikun Pribadi, tujuan pendidikan merupakan masalah
inti dalam pendidikan, dan saripati dari seluruh renungan pedagogik. Dengan
demikian, tujuan pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan jalannya
pendidikan sehingga perlu dirumuskan sebaik-baiknya sebelum semua kegiatan
pendidikan dilaksanakan.
Suatu rumusan tujuan akan tepat apabila sesuai dengan
fungsinya. Oleh karena itu perlu ditegaskan fungsi dari pendidikan itu sendiri.
Di antara para ahli didik ada yang berpendapat bahwa fungsi tujuan pendidikan
ada dua yang kesemuanya bersifat normatif:
1.
Memberikan
arah bagi proses pendidikan. Sebelum kita menyusun kurikulum, perencanaan
pendidikan dan berbagai aktivitas pendidikan, langkah yang harus dilakukan
pertama kali ialah merumuskan tujuan pendidikan. Tanpa kejelasan tujuan,
seluruh aktivitas pendidikan akan kehilangan arah, kacau bahkan menemui
kegagalan.
2.
Memberikan
motivasi dalam aktivitas pendidikan karena pada dasarnya tujuan pendidikan
merupakan nilai-nilai yang ingin dicapai dsan diinternalisasikan pada anak atau
subjek didik.
Tujuan pendidikan islam merupakan kriteria atau ukuran dalam
evaluasi pendidikan. Menurut Omar Muhammad Attoumy Asy-Syaebani, tujuan
pendidikan Islam memiliki empat ciri pokok
1.
Sifat
yang bercorak agama dan akhlak.
2.
Sifat
kemenyeluruhannya yang mencakup segala aspek pribadi pelajar (subjek didik),
dan semua aspek perkembangan dalam masyarakat.
3.
Sifat
keseimbangan, kejelasan, tidak adanya pertentangan antara unsur-unsur dan cara
pelaksanaannya.
4.
Sifat
realistik dan dapat dilaksanakan, penekanan pada perubahan yang dikehendaki
pada tingkah laku dan pada kehidupan, memperhitungkan perbedaan-perbedaan
perseorangan diantara individu, masyarakat dan kebudayaan dimana-mana dan
kesanggupannya untuk berubah dan berkembang bila diperlukan.
SIMPULAN-SIMPULAN
Ada beberapa kesimpulan yang dapat penulis simpulkan dari
keterangan diatas seperti:
Kaum liberal beranggapan bahwa persoalan pendidikan terlepas
dari persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Dan pendidikan tidak memiliki
kemudian lebih diarahkan pada penyesuaian atas sistem dan struktur sosial yang
berjalan. Yang lebih diperhatikan adalah bagaimana meningkatkan kualitas dari proses
belajar mengajar sendiri, fasilitas dan kelas yang baru, modernisasi peralatan
sekolah, penyeimbangan rasio guru-murid.
Ideologi pendidikan kritis adalah ideologi yang hadir
sebagai tandingan liberalisme pendidikan. Paradigma kritis memaknai pendidikan
sebagai upaya refleksi kritis terhadap ‘the dominant ideologi’ ke arah
transformasi sosial.
Ideologi pendidikan Islam adalah upaya normatif yang
berfungsi untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia, maka harus
didasarkan pada nilai-nilai tersebut di atas baik dalam menyusun teori maupun
praktik pendidikan.
Dibawah ini adalah perbandingan dari beberapa aspek yang
terkandung dalam ideologi pendidikan liberal, ideologi pendidikan kritis dan
ideologi pendidikan Islam yang masing-masing menjadi ciri dan karakteristik
dari masing-masing ideologi tersebut sebagai berikut:
No.
|
Aspek
|
Liberal
|
Kritis
|
Islam
|
1
|
Objek Pendidikan
|
Peserta didik
|
Ilmu Pengetahuan
|
Peserta didik
|
2
|
Tokoh
|
John Dewey
|
Paulo Freire
|
Ibnu Taimiyah
|
3
|
Konsep Pendidikan
|
Individualisme
|
Pendidikan Alternatif
|
Humanisme
|
4
|
Asal
|
Barat
|
Brazil
|
Timur Tengah
|
5
|
Tujuan
|
Freedom
|
Kritik Liberalism
|
Islamik
|
PEMBELAJARAN 2
|
AKAR IDEOLOGIS
PROBLEM
KEBIJAKAN
PENDIDIKAN DI INDONESIA
Kalangan ahli berpendapat bahwa potret pembangunan
pendidikan Indonesia sampai saat ini masih belum menggembirakan. Paling tidak
masih ada tiga persoalan dasar berkaitan dengan kebijakan pendidikan: pertama,
pola perumusan kebijakan pendidikan yang masih b erpusat pada elit kekuasaan
dengan sistem top-down di satu sisi sementara partisipasi masyarakat
relatif masih minimal di sisi lain. Meskipun sekarang ini sudah memasuki era
otonomi daerah, namun praktek dengan kultur birokrasi politik lama masih tetap
mengemuka.
Kedua,
banyaknya rumusan kebijakan pendidikan yang sudah dirancang secara rumit dan
mahal ternyata ketika sampai pada tataran implementasi mengalami distorsi dan
banyak penyimpangan. Aneka distorsi pemaknaan dan penyimpangan implementasi
kebijakan di lapangan masih sering terjadi. Contoh paling nyata terhadap hal
ini antara lain berkaitan dengan paket sekolah unggul dan life skill yang
sekarang sudah menjadi bukti dari aneka bukti lain kegagalan kebijakan
pendidikan Indonesia.
Ketiga,
berbagai paket kebijakan tentang inovasi pendidikan hampir selalu dilakukan
dengan serba cepat (instant) dan kurang mempertimbangkan berbagai implikasi
secara matang. Contoh paling dekat terhadap hal ini adalah penghapusan Ebtanas
untuk jenjang Sekolah Dasar pada awal t ahun 2002. Akibatnya semua paket
kebijakan di atas menjadi sekedar proyek dan terkesan involutif semata.
Dari tiga kondisi tersebut yakni adanya elitisme,
distorsi, serta proses yang serba instant dalam setiap perumusan
dan impelemntasi kebijakan pendidikan secara akumulatif telah mendorong pada
munculnya pandangan skeptis masyarakat. Beberapa kalangan masyarakat
mengeluhkan bahwa seringnya terjadi perubahan kebijakan pendidikan yang belum
mampu menghasilkan perbaikan secara signifikan. Keluhan awam yang s ering
muncul adalah terungkap dalam plesetan:“Ganti menteri ganti kurikulum”.
Pada
bagian lain, Mochtar Buchori (1994:12 -13) melihat bahwa banyak
tindakan
pembanguan pendidikan yang diambil dan dilakukan belum berupa sebuah tindakan
membangun yang sebenarn ya (genuine development act), tetapi masih berupa
tindakan membangun semu (pseudo-development act) serta tindakan membangun
hanya bersifat nominal (nominal development act). Hal ini menurutnya,
disebabkan belum adanya sikap dasar pembangunan yang benar di bidang
pendidikan.
Bahkan ditambahkan oleh Silberman (O’Neil, 2001:8)
bahwa gagalnya perbaikan dan praktek pendidikan selama ini lebih dikarenakan
sikap dan tindakan ‘tanpa pikir’ para pelaku pendidikan di semua tingkat. Hal
ini jelas mengindikasikan masih belum kokohnya dasar -dasar ideologis
pendidikan di Indonesia. Aneka kebijakan yang mengarah kepada perbaikan
pendidikan masih mendasarkan pada fondasi ideologis yang rapuh, atau dengan
kata lain tidak jelas dasar-dasar ideologisnya.
Dengan mencermati paparan tersebut, maka pertanyaan
yang muncul adalah bagiamanakah sebuah kebijakan pendidikan bila dilihat dari
kerangka akar ideologisnya? Mengapa pilihan terhadap sebuah dasar ideologis
terhadap praktek pendidikan menjadi sangat penting? Alternatif apa saja yang
patut menjadi dasar ideologis pendidikan serta manakah diantara itu semua yang
paling tepat dalam membangun pendidikan Indonesia masa depan?
Akar
Ideologis Kebijakan Pendidikan.
Pada
umumnya praktek penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat dilatarbelakangi
adanya pertimbangan -pertimbangan subyektif masing-masing masyarakatnya berupa
preferensi nilai serta suatu prinsip yang dipilih. Aneka pertimbangan subyektif
tersebut sebenarnya bisa dimengerti, mengingat praktek pendidikan merupakan
bagian dari bentuk aktualisasi atas keinginan –keinginan masyarakat dalam
mewujudkan kehendaknya -- Edward Stevens dan George H.Wood (1987: 149) lebih
memilih dengan istilah cita -cita sosial (social ideals).
Dengan merunut pertimbangan dari kehendak masyarakat
atau cita -cita sosial (social ideals) di atas, maka praktek
penyelenggaraan pendidikan --baik di sekolah maupun luar sekolah-- pada umumnya
mempunyai dua peran penting yang berbeda.
Pada satu sisi, proses pendidikan dapat
melegitimasi bahkan melanggengkan formasi sosial yang ada (status quo);
pada sisi lain justru sebaliknya pendidikan berperan membangun atau
merubah tatanan sosial menuju yang lebih adil.
Kedua
peran yang berlawanan tersebut sebenarnya merupakan pantulan (reflection) dari
kehendak serta cita-cita sosial yang berbeda dari suatu masyarakat. Menurut
William F. O’Neil (2001:8) perbedaan arah praktek penyelenggaraan pendidikan
pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan ideologi yang digunakan oleh masing-masing
masyarakat. Dalam hal ini, pengertian Ideologi bila kita menengok pendapat
Sargent dalam bukunya Contemporary Political Ideologies yang dikutip William
F. O’Neil (2001:32-33), diartikan sebagai sistem nilai atau keyakinan yang diterima
sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok tertentu. Ideologi berupaya menggambarkan
mengenai karakteristik -karakteristik umum tentang alam dan masyarakat; serta
keterkaitan antar hakikat dunia dengan hakekat moral, politik, dan panduan-panduan
perilaku lainnya yang bersifat evaluatif. Oleh karenanya, ia tidak sekedar
memberi informasi tentang dunia ini sebenarnya tetapi juga merupakan petunjuk
yang bersifat imperatif bagaimana seharusnya manusia/masyarakat bertindak.
Prinsip dan petunjuk nilai yang bersifat imperatif sekaligus evaluatif
tersebut pada akhirnya mempengaruhi bagaimana tatanan sosial masyarakat
dibangun. Dengan kata lain, ideologi sosial suatu masyarakat mempengaruhi formasi
sosial yang hendak diwujudkan oleh masyarakat itu sendiri.
Selanjutnya formasi sosial masyarakat yang hendak
dibangun di atas pada dasarnya merupakan wadah bagi warganya untuk
mengekspresikan segala tindakannya. Biasanya wadah formasi sosial diatur oleh
adanya norma sosial (social norms) yang diciptakan secara kolektif.
Norma sosial yang mengatur wadah formasi sosial tersebut banyak wujudnya
seperti: kebiasaan (folkways), adat istiadat (customs atau mores),
norma hukum (law), serta tabu (taboo). Kesemuanya itu dalam
rangka memberikan kerangka acuan (term of reference) bagi tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh semua anggotanya (Soerjono Soekanto, 1982:176). Dengan
harapan para anggotanya bisa bertingkah laku dan bertindak sesuai dengan norma
sosial yang telah disepakati.
Kedudukan norma sosial di atas memiliki dua fungsi:
Pertam a, fungsi direktif yakni memberikan arah atau acuan yang benar
bagi tingkah laku anggotanya sebagaimana dikehendaki oleh kelompok. Kedua, fungsi
konstraintif yakni membatasi atau memaksa terhadap semua tingkah laku
anggota masyarakat tersebut agar tidak menyimpang dari acuan moral (terms of
reference) kelompoknya. Dengan fungsi direktif dan konstraintif ini
diharapkan muncul tindakan-tindakan moral yang memiliki kadar moralitas
sebagaimana dikehendaki oleh mayoritas anggota masyarakat dalam semua lapisan.
Dalam perkembangan masyarakat, aneka macam norma
sosial yang semakin mendapatkan tempat sebagai acuan formal dalam kehidupan
kelompok adalah norma hukum. Seperti perundang -undangan dan
keputusan-keputusan hasil kebijakan penyelenggara negara yang bersifat publik,
sehingga dikenal dengan istilah kebijakan publik.
Kebijakan publik adalah
semua perundang-undangan atau keputusankeputusan yang bersifat mengikat kepada
semua warga masyarakat atau negara. Suatu keputusan dikatakan mengikat apabila
anggota -anggota masyarakat merasa bahwa mereka harus mentaati kewenangan yang
ada (Ramlan Surbakti,1992:17).
Dalam hal ini Ramlan Surbakti secara implisit
menyebut kebijakan publik dengan keputusan politik oleh karena semua kebijakan
publik dihasilkan melalui proses politik. Pertanyaannya, mengapa sebagian
anggota masyarakat mentaati keputusan politik, sedangkan sebagian anggota yang
lain tidak mentaatinya ? Mengapa ada kelompok yang memberikan dukungan (legitimation)
sementara kelompok lain menolak (delegitimation) terhadap
keputusan-keputusan politik. Pertanyaan-pertanyaan tersebut, paling tidak ada
dua jawaban terhadap mereka yang mentaati peraturan. Pertama, para warga
masyarakat merasa terikat pada kewenangan yang ada karena takut akan paksaan
fisik dari penyelenggara negara yang memiliki monopoli dalam penggunaan
paksaan. Kedua, disamping alasan takut paksaan, ada alasan lain yakni
karena tradisi, menguntungkan, serta kesadaran hukum.
Sedangkan bagi mereka yang membangkang atau menolak
peraturan kemungkinan mendasarkan diri pada salah satu alasan berikut: pertama,
bahwa pemerintah sudah dianggap tidak lagi mempunyai kewenangan membuat dan melaksanakan
keputusan politik. Kedua, substansi keputusan atau kebijakan politik tersebut
sangat merugikan dirinya (Ramlan Surba kti, 1992: 17-18).
Kebijakan politik yang memiliki daya ikat dan daya
paksa terhadap semua warga negara atau warga masyarakat wujudnya banyak sekali.
Ada kebijakan politik yang mengikat dalam dimensi kehidupan sosial warga. Ada
pula kebijakan politik yang membatasi dalam dimensi kehidupan ekonomi, politik,
serta kebudayaan anggota masyarakat. Pun pula ada kebijakan politik yang
mengatur khusus pada dimensi kehidupan pendidikan masyarakat.
Dari uraian di atas akhirnya dapat digambarkan
secara hirarkhis ske ma nilai dimulai dari nilai dasar yang paling dijunjung
tinggi yaitu prinsip nilai yang mendasari lahirnya prinsip moral,
prinsip moral mendasari lahirnya kebijakankebijakan sosial yang dalam
hal ini menurut penulis adalah filsafat sosial, filsafat sosial melahirkan
ideologi politik, yang akhirnya sampai pada wujudnya kebijakan pendidikan.
Secara
skematis, dapat digambarkan kedudukan akar nilai, filsafat, dan ideologi
pendidikan terhadap lahirnya kebijakan pendidikan. Dalam hal ini skema yang
dipaparkan merupakan skema yang dibuat William O’Neil (2001:42) dengan sedikit
penambahan penulis sebagai berikut:
PRINSIP-PRINSIP
NILAI
|
Apa yang ideal
?
(Apakah yang
memiliki kebaikan teringgi?)
|
PRINSIP
MORAL
(ETIKA
MORAL)
|
Apa pengaruh
‘yang ideal’ terhadap perilaku manusia ?
(Perilaku
apakah yang paling bermoral?)
|
FILSAFAT/
IDEOLOGI
SOSIAL
|
Tindakan macam
apa yang disyaratakan oleh prinsip moral tersebut bila dilihat dalam kondisi
sekarang/ riil? (Tindakan apa yang praktis?)
|
IDEOLOGI
POLITIK
|
Kondisi-kondisi
sosial politik seperti apa,
lembaga-lembaga
apa, serta hubungan antar lembaga yang seperti apakah yang perlu ada bagi
penanaman kebijakan moral di atas?)
|
IDEOLOGI
PENDIDIKAN
|
Pengetahuan
macam apakah yang diperlukan seseorang sehingga memiliki karakteristik
sebagai warga negara yang diharapkan ?
|
KEBIJAKAN-KEBIJAKAN
PENDIDIKAN
|
Bagaimanakah
pengetahuan-pengetahuan yang diperlukan itu dibagikan dan diberikan kepada
orang-orang
lain?
|
Beberapa
Faham Ideologi Pendidikan
Beberapa faham ideologi pendidikan telah banyak
dikemukakan para ahli, yang terakhir diantaranya diungkapkan oleh William F.
O’Neil. Pemetaan faham ideologi pendidikan yang disampaikan O’Neil ini
sebenarnya merupakan koreksi atas pemetaan yang telah dibuat oleh Theodore
Brameld dalam bukunya Toward a Reconstructed Philosophy of Education ,
(1956). Brameld membagi ada empat macam ideologi pendidikan yang dia sebut
sendiri dengan istilah aliran filsafat pendidikan. Keempat ideologi tersebut
adalah: Perenialisme, Esensialisme, Progresivisme, dan Rekonstruktivisme.
Menurut Perenialisme, sasaran yang perlu
dicapai dalam pendidikan adalah “kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang kenyataan,
kebenaran, dan nilai yang abadi dan tak terikat ruang dan waktu”. Ia menga
jukan keberadaan pola-pola yang tak bisa berubah dan bersifat universal sejak
jaman Yunani kuno sampai, abad pertengahan, dan abad dewasa ini atau sekarang
yang melatari dan menentukan seluruh obyek serta peristiwa yang ada dalam
kenyataan. Ia berakar dari tradisi filsafat Plato, Aristoteles, dan Thomas
Aquinas.
Aliran Esensialisme berpandangan, bahwa alam
semesta beserta segala unsurnya diatur oleh hukum yang mencakup semuanya serta
tatanan yang sudah mapan sebelumnya. Karenanya, tugas utama manusia adalah
memahami hukum dan
tatanan
tersebut sehingga mereka bisa menghargai dan menyesuaikan diri dengannya.
Menurut esensialisme, sasaran utama sekolah adalah untuk mengenakan siswa
kepada karakter dasar alam semesta yang sudah tertata. Oleh karena itu, anak harus
dikenalkan kepada warisan budaya sekaligus sebagai pelestari budaya. Progresifisme
berpendapat, tujuan utama sekolah adalah untuk meningkatkan kecerdasan praktis,
yang membuat siswa lebih efektif dalam menghadapi dan memecahkan problem dalam
kehidupan s ehari-hari. Progresifisme menekankan pendidikan harus bersifat
duniawi, eksperimentatif, eksploratif, aktif, dan evolusioner. Sehingga ia
sering disebut faham eksperimentalisme. Faham ini ditopang oleh filsafat
Pragmatisme Amerika.
Sedangkan faham Rekonstruktivisme menekankan
bahwa sekolah semestinya diabdikan kepada pencapaian tatanan sosial yang
demokratis. Orientasi utama sekolah haruslah pembangunan masyarakat. Namun,
akibat dari adanya beberapa kejanggalan atas pembagian ideologi pendidikan yang
dilakukan oleh Brameld, terutama berkaitan dengan dasar penggolongan. Maka
William F. O’Neil mengajukan secara berbeda. Dalam hal ini O’Neil (2001:24-25)
mengkritik teori penggolongan ideologi pendidikan dari pendahulunya itu
memiliki empat kelemahan utama: pertama, bahwa penggolongan yang telah
dibuatnya hanya tepat untuk menggambarkan fenomena ideologi pendidikan tahun
limapuluhan. Kedua, Brameld terlalu menyederhanakan kekayaan dan
keragaman di dalam wilayah filsafat/ ideologi pendidikan kontemporer. Ketiga,
dasar penggolongan yang dipakai Brameld tidak sejajar. Perbedaan perenialisme,
esensialisme, dan progresifisme didasarkan atas ‘apa tujuan pendidikan ?’ dan
‘apa yang musti diajarkan ?’. Sedangkan rekonstruksionisme menekankan
dasar penggolongannya pada ‘apa hubungan yang tepat antara sekolah dengan
masyarakat ?’ Adapun kelemahan keempat pada teori penggolongan
Brameld adalah belum adanya penjelasan kuat tentang keterkaitan antara aliran
filsafat pendidikan dengan aliran filsafat. Misalnya tidak semua pragmatis
pasti eksperimentalis dan tidak semua konservatis selalu esensialis. Oleh
karena itu O’Neil (2001: 99 -129) membuat penggolongan baru yang lebih longgar
yang meliputi tiga macam ideologi pendidikan, yaitu: konservatisme, liberalisme,
dan kritis-radikal.
Ideologi Konservatif
Faham ideologi ini memandang, bahwa
ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal
yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah. Perubahan
sosial bagi penganut faham ini bukanlah sesuatu yang harus diperjuangkan,
karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Dalam
bentuknya yang paling klasik, kaum konservatif berkeyakinan bahwa masyarakat
pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan
atau
paling tidak mempengaruhi perubahan sosial, hanya Tuhanlah yang merencanakan
keadaan masyarakat dan hanya Dia yang tahu makna dibalik semua itu. Dengan
demikian, kaum konservatif lama tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau
kekuasaan untuk merubah kondisi mereka.
Dalam pandangan kaum ini, mereka yang menderita
--seperti mereka yang termasuk kelompok miskin, buta huruf, tertindas,
dipenjara -- menjadi demikian disebabkan kesalahan mereka sendiri. Karena toh
banyak orang lain yang ternyata bisa
bekerja keras akhirnya mampu meraih sesuatu. Banyak orang ke sekolah dan belajar
untuk berperilaku baik dan oleh karenanya tidak dipenjara. Kaum miskin haruslah
sabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka datang, karena pada
akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Sehingga
dalam hal ini, kaum konservatif sangat menjunjung tinggi adanya harmoni serta
menghindari konflik.
Ideologi
Liberal
Penganut
ideologi ini berangkat dari keyakinan bahwa dalam masyarakat terjadi
banyak masalah termasuk ur usan pendidikan, namun masalah dalam pendidikan
tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat.Sehingga
tugas pendidikan tidak ada sangkut pautnya persoalan politik dan ekonomi.
Namun demikian, proses pendidikan tidak boleh lepas sama sekali dengan kondisi-kondisi
eksternal, dalam hal ini ekonomi dan politik. Pendidikan harus
bisa menyesuaikan
diri terhadap kondisi-kondisi ekternal tersebut, dengan
cara memecahkan
berbagai masalah internal melalui mereformasi diri secara ‘kosmetik’. Seperti:
pengadaan sarana prasarana yang memadai (ketercukupan ruang kelas,
perpustakaan, laboratorium yang canggih, dan peralatan komputer yang komplit),
menyeimbangkan rasio murid -guru, penciptaan metode pembelajaran baru (CBSA,
modul, remedial learning, learning by doing, experiental learning, dll), penataan
manajemen sekolah (MPMBS, competency based leadership, dll).
Penganut
ideologi konservatif dan liberal, memandang sama bahwa pendidikan
adalah apolitik dan excellent haruslah merupakan target utama pendidikan.
Kaum liberal terutama tidak melihat kaitan pendidikan dalam struktur kelas
dan dominasi politik, budaya, serta gender. Bahkan pendidikan --menurut fungsionalisme
struktural (salah satu aliran dalam ideologi
liberal) -- justru dimaksud
sebagai sarana untuk menstabilkan nilai dan norma masyarakat.
Pendidikan
merupakan media untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai tata susila
dan keyakinan agar masyarakat luas sebagai sistem berfungsi secara baik. Ideologi
liberalisme ini berakar pada cita-cita individualisme Barat.
Menurut cita-cita
ini gambara manusia ideal adalah manasia ‘rasionalis liberal’. Yakni, semua
manusia memiliki potensi sama dalam intelektual; baik tatanan alam maupun sosial
dapat ditangkap oleh akal; serta individu -individu di dunia adalah atomistik dan
otonom. Ideologi liberalisme ini juga dipengaruhi oleh positivisme.
Seperti pendewaan
terhadap metode ‘scientific’ serta adanya pemisahan antara fakta dengan nilai
menuju pemahaman obyektif.
Ideologi
Kritis-Radikal
Pendidikan
bagi kaum kritis ini merupakan arena perjuangan politik. Jika bagi
kaum konservatif, pendidikan diarahkan untuk menjaga status quo, sedang kaum
liberal pendidikan diorientasikan untuk perubahan moderat; maka ideologi kritis
ini menghendaki pendidikan sebagai sara na perubahan struktur secara fundamental
dalam politik, ekonomi, serta gender. Bagi kaum kritis,
diskriminasi kelas
serta gender dalam masyarakat tercermin pula dalam dunia pendidikan.
Sehingga
kaum kritis-radikal ini sangat bertentangan dengan kaum liberal dimana pendidikan
dianggap terlepas dari persoalan kelas dan gender dalam masyarakat. Pandangan
kritis-radikal melihat, perhatian utama pendidikan adalah melakukan
refleksi kritis terhadap ‘the dominant ideology’ ke arah transformasi
sosial.
Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang berfikir serta bertindak untuk
selalu kritis terhadap keadaan sistem serta struktur yang tida k adil dan menindas.
Pendidikan tidak mungkin bisa bersikap netral, obyektif, dan mengambil jarak
dengan
masyarakat (sebagaimana dianjurkan positivisme). Maka visi pendidikan
adalah melakukan kritik terhadap sistem dominan beserta kelas dominan yang
ada sebagai perwujudan atas pemihakan terhadap rakyat kecil, kelompok miskin,
atau kelas tertindas umumnya dalam rangka mewujudkan tatanan masyarakat
yang lebih adil.
Dilihat
dari ketiga ideologi pendidikan di atas, nampaknya para penentu kebijakan
pendidikan di Indonesia masih terkesan samar -samar dalam memilih dan mendasarkan
diri sebagai basis ideologis dalam setiap kebijakannya. Apologi yang muncul
dari mereka biasanya mengatakan telah mendasarkan diri atas ideologi Pancasila.
Padahal ideologi Pancasila belum terderifasi secara mantap menjadi ideologi
pendidikan Pancasila. Ataupun juga, pemakaian ideologi pendidikan Pancasila
hanya sebatas simbolik namun substansinya masih dipertanyakan Akibatnya,
basis ideologis yang digunakannya lagi -lagi menjadi kabur. sehingga sering
terjadi konstruksi dan formulasi paradigma kebijakan yang dibangun juga menjadi
tidak jelas serta kering akan argumentasi (lihat Suryadi dan Tilaar, 1994: 63-66).
Oleh
karenanya, sangat wajar bahwa terhadap keseluruhan kebijakan pendidikan
yang sering dibuat pemerintah cenderung bersifat involutif bahkan terkesan
mengulang-ulang atau blunder. Bahkan yang paling menyedihkan adalah banyak
kebijakan pendidikan yang dibuat oleh mereka demi memuaskan kelompok kepentingan
tertentu bukan kepada pemberd ayaan bangsa secara keseluruhan.
Kebijakan
Pendidikan: Suatu Pendekatan Dilematis
Secara
teoritis, suatu kebijakan pendidikan dirancang dan dirumuskan untuk selanjutnya
dapat diimplementasikan, sebenarnya tidak begitu saja dibuat. Kebijakan
pendidikan yang dirumuskan secara hati -hati lebih-lebih yang menyangkut
persoalan krusial atau pe rsoalan makro, maka hampir pasti perumusan kebijakan
pendidikan tersebut dilandasi oleh suatu faham teori tertentu. Dalam proses
perumusannya, para pemegang kewenangan dalam pengambilan kebijakan (decision
maker) terlebih dahulu mempertimbangkan secara masak-masa (rasionalitas,
proses, hasil, serta efek samping yang ada).
Menurut
pandangan Hodgkinson, dalam semua jenis perumusan kebijakan selalu
berkaitan dengan aspek metapolicy, karena akan menyangkut hakekat (substance),
sudut pandang (perspective), sikap (attitude), dan perilaku (behaviour) yang
tersembunyi maupun yang nyata dari aktor -aktor yang bertanggung jawab
(Solichin
Abdul Wahab, 1997:45). Metapolicy mempersoalkan mengapa dan bagaimana
sebuah kebijakan (termasuk pendidikan) dipikirkan dan dirumuskan.
Bahkan
kajian metapolicy ini bisa mengarah kepada kajian yang bersifat
filosofik. Dalam
bahasan ini, penulis tidak akan terlalu menelusuri dan mengupas lebih jauh
sampai kepada kajian filosofik yang mendetail dari sebuah kebijakan, namun dalam
hal ini catatan penting yang perlu diketengahkan dalam tulisan ini adalah semua
kebijakan termasuk dalam kebijakan pendidikan selalu dirumuskan dengan pertimbangan-pertimbangan
filosifis dan teoritis tertentu.
Secara
teoritik, suatu kebijakan pendidikan dirumusk an dengan mendasarkan diri
pada landasan pemikiran yang lebih ilmiah empirik. Kajian ini menggunakan pola
pendekatan yang beragam sesuai dengan faham teori yang dianut oleh masing - masing
penentu kebijakan. Dalam kajian ini, paling tidak ada dua pendekatan yang
dapat
direkomendasikan kepada para penentu/ berwenang dalam merumuskan suatu kebijakan
pendidikan. Dua pendekatan dalam perumusan kebijakan pendidikan tersebut
adalah: (1) Social demand approach, dan (2) Man-power approach.
Social
demand approach adalah suatu pendekatan dalam perumusan kebijakan
pendidikan yang mendasarkan diri pada aspirasi, tuntutan, serta aneka kepentingan
yang didesakkan oleh masyarakat. Pada pendekatan jenis ini para pengambil
kebijakan akan terlebih dahulu menyelami dan mendeteks i terhadap aspirasi
yang berkembang di masyarakat sebelum mereka merumuskan kebijakan pendidikan
yang ditanganinya. Bahkan kalau perlu mereka melakukan hearing dan menangkap
semua aspirasi dari bawah secara langsung.
Pada
masyarakat yang sudah maju, proses penjaringan aspirasi dari masyarakat
lapisan bawah (grass-root) bisa dilakukan melalui banyak cara, misalnya:
melalui jajak pendapat, arus wacana yang berkembang, penelitian, atau dengan
cara pemilihan umum. Sedangkan yang berlaku pada masyarakat yang masih
belum maju, proses penjaringan aspirasi dari bawah biasanya melalui rembug deso,
jagong, sarasehan, dan sebaginya.
Pendekatan
social demand sebenarnya tidak semata-mata merespon aspirasi masyarakat
sebelum dirumuskannya kebijakan pendidikan, akan tetap i juga merespon
tuntutan masyarakat setelah kebijakan pendidikan diimplementasikan. Partisipasi
warga dari seluruh lapisan masyarakat diharapkan terjadi baik pada masa perumusan
maupun implementasi kebijakan pendidikan. Dengan
mencermati uraian tersebut, social demand approach dalam perumusan
kebijakan dapat digolongkan ke dalam tipe perumusan kebijakan yang bersifat
pasif. Artinya, suatu kebijakan baru dapat dirumuskan apabila ada tuntutan dari
masyarakat terlebih dahulu. Dengan demikian, para pejabat berw enang hanya bersifat
menunggu dan hanya selalu menunggu. Namun dari sisi positif, model pendekatan
ini lebih demokratis sesuai dengan aspirasi dan tuntutan masyakat, sehingga
pada saat kebijakan tersebut diimplementasikan dimungkinkan akan mendapat
dukungan mayoritas dari masyarakat. Oleh sebab itu, dengan pendekatan jenis
ini tingkat ketercapaian dari implementasi kebijakan relatif tinggi dan resiko kegagalannya
akan rendah.
Pendekatan
kedua adalah man-power approach, yakni sebuah pendekatan yang
lebih menitik-beratkan kepada pertimbangan-pertimbangan rasional dalam rangka
menciptakan ketersediaan sumberdaya manusia (human resources) yang memadai
di masyarakat. Pendekatan man-power ini tidak melihat apakah ada permintaan
dari masyarakat atau tidak, apakah masyarakat menuntut untuk dibuatkan
suatu kebijakan pendidikan tertentu atau tidak; tetapi yang terpenting adalah
menurut pertimbangan-pertimbangan rasioal dan visioner dari sudut pandang pengambil
kebijakan.
Seorang
pemimpin yang baik adalah pemimpin yan g mampu menjalankan fungsi-fungsi
kepemimpinannya dan juga sebagai seorang visioner. Ia tidak hanya sekedar
menjalankan tugas-tugas rutin dan ritual dalam memimpin masyarakatnya; akan
tetapi ia juga bisa melihat jauh ke depan cita -cita yang akan dicapai masyarakatnya
serta cara-cara untuk mencapainya.
Dengan
kemampuan visoner dari sang pemimpin yang mampu melihat jauh ke
depan cita-cita yang akan menjadi tujuan masyarakatnya, maka sang pemimpin tersebut
bisa membuat langkah-langkah antisipasi dan adaptasi dalam mengarahkan masyarakatnya
sesuai dengan arah yang benar, tanpa harus terlebih dahulu
menunggu
adanya tuntutan dari anggota -anggota masyarakatnya.
Dalam
pendekatan man-power, pemerintah sebagai pemimpin suatu bangsa pada
umumnya melihat bahwa suatu ba ngsa akan bisa maju manakala memiliki banyak
warga yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas yang memadai. Dengan kata
lain, memiliki kualitas sumberdaya manusia (human resources) yang dapat
diandalkan.
Salah satu indikator empirik dari penguasaan kualitas dari masingmasing warga
bangsa adalah tingkat pendidikan formal para anggotanya. Oleh karena
itu pemerintah sebagai pemimpin yang berwenang merumuskan suatu kebijakan
memiliki legitimasi kuat untuk merumuskan kebijakan pendidikan dengan
alasan-alasan sebagaimana di atas.
Beberapa
catatan yang dapat dipetik dari man-power approach di atas adalah bahwa
pendekatan ini secara umum lebih bersifat otoriter. Man-power approach pada
umumnya kurang menghargai proses demokratis dalam perumusan kebijakan pendidikan,
terbukti perumusan kebijakannya tidak diawali dari adanya aspirasi dan tuntutan
masyarakat, akan tetapi langsung saja dirumuskan sesuai dengan tuntutan masa
depan sebagaimana dilihat oleh sang pemimpin visioner. Sehingga terkesan adanya
cara-cara otoriter dalam pendekatan jenis kedua ini. Namun dari sisi positifnya,
pendekatan man-power lebih efisien dalam proses perumusannya serta lebih
berdimensi jangka panjang.
Menuju
Formulasi Kebijakan Pendidikan Kritis -Partisipatif
Dengan
mendasarkan diri pada filsafat sosial yang berlanjut kepada filsafat dan
ideologi politik sebagaimana dijelaskan di muka, maka terdapat implikasi beragamnya
teori berkenaan dengan formulasi kebijakan pendidikan. Sebagaimana dikemukakan
Hudson (Arif Rohman, 2002: 78-81) yang telah mengelompokkan
teori
perumusan kebijakan pendidikan menjadi lima teori. Kelima teori tersebut menurut
Hudson adalah: (a) teori radikal, (b) teori advokasi, (c) toeri transaktif,
(d) teori
sinoptik, dan (e) teori incremental.
Teori
radikal (radical theory) menekankan kebebasan lembaga lokal dalam menyusun
sebuah kebijakan pendidikan. Semua kebijakan pendidikan yang menyangkut
penyelenggaraan dan perbaikan penyelenggaraan pendidikan di tingkat daerah
diserahkan kepada daerah. Sehingga negara atau pemerintah pusat tidak perlu
repot-repot menyusun sebuah rencana kebijakan pendidikan bila pada akhirnya
kurang sesuai dengan kondisi lokal. Lebih -lebih kondisi masing-masing daerah
memiliki tingkat keragaman dan kekhasan sendiri -sendiri yang tidak bisa disamakan
satu sama lain.
Teori
ini berasumsi bahwa ‘tidak ada lembaga atau organ pendidikan lokal yang
persis sama satu sama lain’ . Sehingga untuk
menyusun kebijakan pendidikan yang
dianggap terbaik adalah diserahkan sepenuhnya kepada l embaga-lembaga lokal
yang secara hakiki memiliki karakteristik yang relatif plural, serta yang mengetahui
persoalan untuk dirinya sendiri. Hal ini amat relevan dengan semangat otonomi
daerah yang sekarang sedamg bergulir.
Dari sini nampak jelas bahwa teori radikal
ini sangat menghargai desentralisasi dalam perumusan kebijakan
pendidikan. Teori
advokasi (advocacy theory) agak berbeda dengan teori radikal di atas. Teori
advokasi ini tidak menghiraukan perbedaan -perbedaan seperti karakteristik lembaga,
lingkungan sosial dan kultural, lingkungan geografis, serta kondisi lokal lainnya.
Kesemua macam corak karakteristik dan perbedaan lingkungan tersebut menurut
teori ini hanyalah perbedaan yang didasarkan pada pengamatan empirik semata.
Sebaliknya, teori advokasi ini lebih mendasarkan pada argumentasi yang rasional,
logis, dan bernilai. Sehingga dalam hal ini pemerintah pusat sangat perlu menyusun
kebijakan pendidikan yang bersifat nasional demi kepentingan umum, serta
demi melindungi lembaga -lembaga dan organ-organ pendidikan yang relatif
masih
marginal dibanding lembaga atau organ pendidikan lain yang sudah maju.
Teori
advokasi bersumber dari akar teori konflik yang merekomendasikan pemberian
kewenangan negara atau pemerintah pusat untuk membatasi kelas atau kelompok-kelompok
dominan yang bisa merugikan kelas marginal. Dalam hal ini pemerintah
pusat harus mampu menyeimbangkan kemajuan pendidikan antar daerah.
Dengan demikian ketimpangan pendidikan antar da erah bisa dieliminir.
Teori
transaktif (transactive theory) menekankan bahwa perumusan kebijakan
sangat perlu didiskusikan secara bersama terlebih dahulu dengan semua pihak.
Proses pendiskusian ini perlu melibatkan sebanyak mungkin pihak -pihak terkait,
termasuk dalam hal ini adalah dengan personalia lembaga pendidikan di tingkat
lokal. Hasil dari proses diskusi tersebut kemudian dievolusikan atau digelindingkan
terlebih dahulu secara perlahan -lahan.
Pada
dasarnya, teori transaktif ini sangat menekankan har kat individu serta menjunjung
tinggi kepentingan masing -masing pribadi. Keinginan, kebutuhan, dan nilai-nilai
individu diteliti satu persatu dan diajak bersama dalam perumusan kebijakan
pendidikan.
Teori
sinoptik (synoptic theory) lebih menekankan bahwa dalam menyusun sebuah
kebijakan supaya menggunakan metode berfikir sistem. Obyek yang dirancang
dan terkena kebijakan, dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dengan
tujuan yang sering disebut dengan ‘misi’. Oleh karena itu, teori ini
sering juga
disebut teori sistem, atau teori pendekatan sistem rasional ,
atau teori rasional komprehensif.
Teori
inkremental (incremental theory) adalah teori yang menekankan pada perumusan
kebijakan pendidikan yang berjangka pendek serta berusaha menghindari
perencanaan kebijakan yang berjangka panjang. Penekanan semacam ini
diambil disebabkan karena masalah -masalah yang dihadapi serta performa dari para
personalia pelaksana kebijakan dan kelompok yang terkena kebijakan sulit diprediksi.
Setiap saat, setiap tahun, dan setia p periode waktu mengalami perubahan yang
sangat kompleks. Oleh
karena itu menurut teori inkremental ini, amatlah sulit dan amatlah kurang
cermat manakala sebuah kebijakan pendidikan yang berdimensi jangka panjang
akan diterapkan pada suatu keadaan yang se lalu berubah. Kebijakan pendidikan
yang paling tepat adalah kebijakan yang berjangka pendek yang relevan
dengan
masalah pada saat itu juga.
Demikianlah
beberapa teori perumusan kebijakan pendidikan yang telah dideskripsikan
panjang lebar. Tentu saja masing -masing teori yang ada tersebut memiliki
kekhasan dan implikasi positif dan negatifnya sendiri -sendiri bila diterapkan.
Ia hanya akan tepat atau memiliki banyak nilai positif manakala diterapkan
pada konteks masalah yang relevan. Namun
tidak tertutup kemun gkinan bahwa satu masalah akan bisa dipecahkan
dengan menggunakan beberapa teori secara eklektis-sinergis. Misalnya dalam
mengatasi persoalan ketimpangan antar daerah soal mutu pendidikan yang menjadi
problem bangsa Indonesia sejak tahun 1970 -an sampai sekarang, maka pemecahan
kebijakan yang relevan adalah dengan menggunakan teori radikal, advokasi,
dan sinoptik secara eklektis-sinergis. Aspek-aspek yang bisa
ditangani dan diselesaikan
oleh lembaga lokal hendaknya diserahkan kepada kreatifitas lokal, sedangkan
hal-hal yang mestinya ditangani pemerintah pusat supaya diupayakan pusat.
Terhadap keseluruhan upaya tersebut dilakukan dalam kerangka sistem.
Dengan
menggunakan teori secara eklektis -sinergis maka partisipasi lokal dan
masyarakat pada umumnya diharapk an bisa meningkat secara signifikan serta daya
kritis mereka dalam mempertimbangkan antara tuntutan dengan kemampuan juga
akan semakin berkembang.
Penutup
Berdasar
paparan di muka maka dapat dipetik beberapa intisari sebagai kesimpulannya,
diantaranya adalah bahwa salah satu persoalan dasar yang menyebabkan
masih buramnya kondisi pendidikan Indonesia adalah menyangkut problem
kebijakan. Kebijakan yang semula diarahkan untuk menyelesaikan aneka problem
pendidikan yang ada ternyata dalam dirinya terdapat p roblem tersendiri, sehingga
pada gilirannya aneka problem pendidikan yang ada bukannya semakin terselesaikan
tetapi justru semakin kompleks. Paling
tidak ada tiga kelemahan berkaitan dengan kebijakan pendidikan kita, yaitu:
elitisme perumusan kebijakan yang cenderung bersifat top-down meskipun
di era
otonomi daerah, distorsi implementasi, serta keseluruhan prosesnya
cenderung bersifat
instan. Sehingga dikesankan oleh masyarakat terhadap seringnya perubahan kebijakan
itu sebagai proses yang involutif semata.
Salah
satu penyebab terhadap hal tersebut adalah adanya kerapuhan dalam dasar-dasar
ideologisnya. Bahkan landasan ideologis yang dipakai cenderung berganti-ganti
dan tidak jelas. Akibatnya kebijakan pendidikan yang diambil menjadi
kehilangan ‘daya grege t’ dan konsistensinya. Oleh karenanya, pilihan ideologi
menuju kebijakan yang mendorong tumbuhnya sikap kritis -partisipatoris menjadi
sangat penting.
Secara
teoritik, ada tiga kelompok faham ideologi pendidikan yang bersumber
dari ideologi politik, yaitu: konservatisme, liberalisme, dan kritisradikal.
Ketiganya
memiliki kelemahan dan kelebihan beserta segenap implikasi yang
ditimbulkannya. Termasuk pula implikasi pendekatan yang akan digunakan dalam
formulasi kebijakan apakah menggunakan man-power approach atau social demand
approach. Untuk itu, dengan mempertimbangkan terhadap aneka
ideologi,
teori,
dan pendekatan kebijakan yang ada secara kritis, kreatif dan konsisten dengan disertai
semangat nasionalisme membangun pendidikan bangsa secara menyeluruh dan
bukan untuk kepentingan tentatif apalagi sekedar ‘proyek’, maka diharapkan akan
terwujud secara pelan tapi pasti berupa perbaikan kualitas pendidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Buchori,
Mochtar. 1994. “Pendidikan dan Pembangunan”. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
O’Neil,
William F. 2001. “Ideologi-Ideologi Pendidikan”. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Rohman,
Arif. 2002. “Kebijakan Pendidikan: Ideologi, Proses Politik, dan Peran
Birokrasi
dalam Formulasi dan Implementasi Kebijakan
Pendidikan”.
(Naskah buku yang sekarang sedang proses
editing
untuk penerbitan di Pustaka Pelajar Yogyakarta).
Soekanto,
Soerjono. 1982. “Sosiologi Suatu Pengantar”. Jakarta: Rajawali Press.
Stevens,
Edward and Wood, George H. 1987. “Justice, Ideology, and Education”.
New
York: Random House.
Surbakti,
Ramlan. 1992. “Memahami Ilmu Politik”. Jakarta: Gramedia
Widiasarana.
Suryadi,
Ace dan Tilaar, HAR. 1994. “Analisis Kebijakan Pendidikan: Suatu
Pengantar”.
Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Wahab,
Solichin Abdul. 1997. “Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi Ke
Implementasi Kebijaksanaan Negara”. Jakarta:
Bumi
PEMBELAJARAN II
IDEOLOGI
PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan Islam sebagai bagian integral dalam
sistem pendidikan nasional memiliki fungsi dan peran yang strategis dalam
membentuk karakter bangsa Indonesia. Peran pendidikan Islam setidaknya ada
tiga hal yakni menjaga bangsa tetap religius, misi mencetak kader ulama yang
mujaddid, dan kekuatan harokah diniyah bangsa Indonesia di mata dunia.
Pendidikan
Islam hadir sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional dan wujud
perjuangan pendidikan Islam yang sangat panjang sejak dahulu kala. Pendidikan
Islam dari sisi ideologis dan politis juga diciptakan, dijaga dan
dipertahankan oleh para pendiri bangsa guna membentuk karakter bangsa
Indonesia.
Sebagai
bagian dari bangsa-bangsa di dunia, Indonesia tentunya tidak bisa melepaskan
diri dari pengaruh globalisasi dan modernisasi atau hal-hal yang bersifat
material positivistik semata, melainkan Indonesia ikut dalam percaturan
global dunia. Namun di sela-sela itu, Indonesia tidak bisa juga menjadi
bangsa yang hedon dan tanpa nilai, bangsa Indonesia ikut modernisasi tanpa
meninggalkan ajaran agama, dan nilai-nilai tersebut ditanamkan melalui jalur
pendidikan.
Pendidikan
Islam mempunyai visi untuk senantiasa memastikan adanya komunitas ahli agama
dalam sebuah bangsa. Hal tersebut merupakan keharusan dalam ihwal negara yang
beragama, “kita tidak ingin ada tindakan yang salah atas nama agama. Peran
ulama atau ahli agama adalah menuntun agama sebuah bangsa sehingga sesuai
dengan tuntunan Al-Qur’an dan pendidikan sebagai sarana menyampaikan paham
yang benar sangat diwajibkan.”
“Dengan
pendidikan Islam, karakteristik Indonesia sebagai sebuah bangsa diwarnai juga
dengan harokah diniyah (pergerakan keagamaan) semacam Nahdhatul Ulama,
Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, dsb. Tanpa mereka mustahil bangsa ini bisa
berdiri dan bertahan melalui berbagai rintangan peradaban. Jalan yang
ditempuh mereka pun sebagian besar adalah melalui pendidikan, maka tumbuh dan
berkembangnya perjuangan yang kuat sebagai bangsa yang berkarakter religius
memberi visi kemana bangsa Indonesia harus melangkah,” ujar Affandi dalam
arahannya.
|
A.
PENDAHULUAN
Selain pada muamalah yang berkenaan dengan aqidah (keimanan)
dan ibadah khusus (mahdah) yang bersifat baku dan operasional, islam hanya
memberikan pedoman hidup yang bersifat fundamental dengan nilai-nilai
transcendental yang sesuiai dan menjadi kebutuhan hidup manusia. Dengan kata
lain, nilai-nilai implementasinya sebagian besar di serahkan manusia.
Akan hal pendidikan, yang merupakan muamalah duniawiah, maka
secara fitrah telah menjadi tugas manusia untuk memikirkan dan mengembangkannya
secara terus menerus, seiram dengan perubahan dan tantangan zaman.ini menuntut
para pendidi muslim untuk menyusun konsep pendidikan berdasarkan ideologo
pendidikan islam yang relefan dengan perubahan zaman dan mampu menjawab setiap
tantangan berdasarkan nilai-nilai dasar Islam
B. HAKEKAT PENDIDIKAN ISLAM
Islam adalah satu-satunya agama yang diridhoi oleh
allah swt. Dalam mengenalkan agama islam kepada seluruh umat manusia, allah swt
mengutus seorang rosul yang berkewajiban diantaranya adalah mengenalkan allah
kepada seluruh umat manusia di muka bumi ini kemudian memperbaikinya supaya
nantinya mereka akan kembali kepada allah dalam keadaan suci seperti halnya
ketika mereka di lahirkan. Berangkat dari sinilah tidak mungkin tidak bahwa
ketika rosulullah mengenalkan tuhannya yaitu allah swt pastilah melalui sebuah
pendidikan. Dengan pendidikan inilah manusia mampu mencapai derajat yang lebih
tinggi yaitu menjadi manusia yang berilmu atau berpendidikan (QS. Al Mujadilah
(58) : 11). Mereka akan mengetahui jati dirinya, siapa dirinya, dan siapa yang
menciptakan dirinya serta kenapa ia diciptakan.
Pendidikan merupakan satu kunci pokok untuk
memperoleh ilmu. Karena memang tidak ada cara lain untuk memperoleh ilmu
kecuali dengan pendidikan. Pendidikan dapat merubah masyarakat terburuk menjadi masyarakat yang terbaik dikarenakan
pendidikan memiliki banyak keutamaan dan kelebihan. Pendidikan mampu membentuk
pemahaman Islam yang utuh dan menyeluruh, pemeliharaan terhadap apa yang telah
dipelajarinya, dan pengembangan atas ilmu yang telah diperolehnya. Hasil dari
pendidikan Islam inilah akan membentuk jiwa manusia menjadi tenang dan akal
menjadi cerdas serta mampu meng-aplikasikannya di tengah-tengah kehidupannya.
Demikianlah betapa penting dan besarnya
pedidikan dalam islam.
Bahkan Muadz bin Jabal ra. berkata: “Andaikata orang
yang beakal. itu mempunyai dosa pada pagi dan sore hari sebanyak bilangan
pasir, maka akhirnya dia cenderung masih bisa selamat dari dosa tersebut namun
sebaliknya, andaikata orang bodoh itu mempunyai kebaikan dan kebajikan pada
pagi dan sore hari sebanyak bilangan pasir, maka akhirnya ia cenderung tidak
bisa mempertahankannya sekalipun hanya seberat biji sawi”.
Ada yang
bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Ia menjawab, “Sesungguhnya jika
orang berakal itu tergelincir, maka ia segera menyadarinya dengan cara
bertaubat, dan menggunakan akal yang dianugerahkan kepadanya. Tetapi orang
bodoh itu ibarat orang yang membangun dan langsung merobohkannya karena
kebodohannya, ia terlalu mudah melakukan apa yang bisa merusak amal shalihnya.”
Kebodohan
adalah salah satu faktor yang menghalangi masuknya cahaya Islam. Oleh karena
itu, manusia butuh terapi agar menjadi makhluk yang mulia dan dimuliakan oleh
Allah SWT. Kemuliaan manusia terletak pada akal yang dianugerahi Allah. Akal
ini digunakan untuk mendidik dirinya sehingga memiliki ilmu untuk mengenal
penciptanya dan beribadah kepada-Nya dengan benar. Itulah sebabnya Rasulullah
SAW menggunakan metode pendidikan untuk memperbaiki manusia, karena dengan
pendidikanlah manusia memiliki ilmu yang benar. Dengan demikian, ia terhindar
dari ketergelinciran pada maksiat, kelemahan, kemiskinan dan terpecah belah.
Dalam dunia
islam istilah pendidikan mengacu pada kata "tarbiyah","ta'dib"
dan "ta'lim". diantara
ketiga kata tersebut yang paling populer atau yang paling sering dipraktekan
didunia pendidikan islam adalah "at-tarbiyah". sedang kata ta'dib dan
ta'lim jarang sekali terdengar atau dipraktekkan dalam dunia pendidikan islam.
Meskipun demikian dalam persoalan-persoalan tertentu ketiga kata tersebut
memiliki kandungan makna yang sama. Namun secara esensial setiap kata diantara
ketiga kata tersebut memiliki makna yang berbeda-beda baik secara tekstual
maupun kontekstual.
i.
Dasar
Ideal Pendidikan Islam
Dasar ideal pendidikan islam identik
dengan ajaran islam yaitu al-qur'an dan as-sunah. pada hakekatnya
kedua sumber ini memiliki tujuan yang
sama yaitu sama-sama memberikan petunjuk jalan lurus kepada umat manusia
dan berasal dari sumber yang sama
pula yaitu allah SWT. Kedua sumber ini lalu oleh para sahabat dan
generasi-generasi penerusnya dikembangkan menurut pemahamannya dalam bentuk
ijtihad, qiyas, dll. Usaha yang dilakukan oleh para sahabat dan
generasi-generasi penerusnya ini disebabkan karena pada saat itu - setelah wafatnya
rosulullah - mulai bermunculan berbagai macam persoalan-persoalan baru yang
tidak pernah ada dalam alqur'an dan as-sunah. Dari sinilah masyarakat islam
dituntut untuk membuat metode baru dalam menghadapi permasalahan-permasalahan
yang semakin berkembang seiring dengan perkembangan zaman yang mana
permasalahan-permasalan tersebut belum pernah ada ketika Nabi SAW masih hidup.
ii.
Pendidikan
Islam Sebagai Suatu System
Menurut Ryan “system” adalah sejumlah elemen (objek, orang, aktifitas, rekaman,
informasi dan lain-lain) yang saling berkaitan dengan proses dan struktur
secara teratur, dan merupakan kesatuan organisasi yang berfungsi untuk
mewujudkan hasil yang dapat diamati (dapat dikenal wujudnya) sedangkan tujuan
tercapai.
Menurut Sanafiah Faisal
"istilah sistem menuju kepada totalitas yang bertujuan dan tersusun dari
rangkaian unsur dan komponen." Dari beberapa pendefinisian tersebut dapat
disimpullkan bahwa sistem adalah kesatuan
dari komponen-komponen yang masing-masing berdiri sendiri tetapi saling terkait
satu dengan yang lainya, sehingga terbentuk suatu kebulatan yang utuh dalam
mencapai tujuan yang diinginkan. Berangkat dari sinilah sistem pendidikan
terbagi menjadi 4 unsur utama yaitu :
a) Kegiatan
pendidikan yang meliputi : pendidikan diri sendiri, pendidikan oleh lingkungan, pendidikan oleh seseorang
terhadap orang lain.
b) Binaan
pendidikan, mencakup : jasmani, akal, qolbu.
c) Tempat
pendidikan, mencakup : rumah tangga, sekolah, dan masyarakat.
d) Komponen
pendidikan, mencakup : dasar, tujuan pendidikan, peserta didik, materi, metode,
media dan evaluasi.
Berdasarkan kategori sistem pendidikan tersebut maka
yang menjadi persoalan adalah "Apakah pendidikan islam memiliki sistem
tersendiri. ataukah sistem pendidikan islam itu sama dengan sistem pendidikan
kontemporer sambil mencantumkan beberapa ayat atau hadits yang relevan".
Nampaknya berdasarkan telaah literatur pendidikan islam, terlihat secara jelas
bahwa pendidikan islam memiliki sistem tersendiri yang berbeda dengan sistem
pendidikan yang dikembangkan secara umum terutama barat.
iii.
Perbedaan
Sistem Pendidikan Islam Dengan Sistem Pendidikan Non Islam
Apabila dianalisa lebih mendalam,
terlihat bahwa titik perbedaan antara sistem pendidikan islam dengan non islam
terletak pada :
1.
Sistem
Ideologi
Islam memiliki ideologi at-tauhid yang bersumber dari alqur'an
dan as-sunah. sedangkan non islam memiliki berbagai macam ideologi yang
bersumberkan dari materialisme,
komunisme, ateisme, sosialisme, kapitalisme, rasionalisme, dan sebagainya.
Dengan begitu terlihat jelas perbedaan kedua sistem tersebut yaitu muatan
ideologinya yang ingin dicapai.
Apabila ide pokok ideologi islam berupa at-tauhid,
maka setiap tindakan sistem pendidikan islam harus berdasarkan at-tauhid pula.
Makna at-tauhid bukan hanya meng-esakan allah seperti yang dipahami oleh kaum
monoteis. Makna at-tauhid dipahami sebagai “menyakinkan kesatuan penciptaan”
(unity of creation), “kesatuan kemanusiaan” (unity of menkind), “kesatuan
tuntutan hidup” (unity of purpose of life).
Jadi, dibidang ideologi, sistem pendidikan islam
berbeda dengan pendidikan non islam, tetapi dibidang teknik-operasional baranag
kali keduanya memiliki kesamaan.
2.
Sistem
Nilai
Pendidikan islam bersumber dari
alqur'an dan as-sunah, sedangkan pendidikan non islam bersumberkan dari nilai
yang lain. Formulasi ini relevan dengan kesimpulan diatas. Ideologi islam
bermuatan nilai-nilai dasar alqur'ann dan as-sunah sebagai sumber asal dan
ijtihad sebagai sumber tambahan. Sementara pendidikan non islam sebenarnya ada
juga sumber nilainya, namun sumber nilainya hanya dari hasil pemikiran, hasil
penelitian para ahli dan adat kebiasaan masyarakat. Nilai-nilai tersebut
kemudian dipindahkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
3.
Orientasi
Pendidikan
Pendidikan Islam berorientasi kepada
duniwi dan ukhrowi. Sedangkan pendidikan non islam, orientasinya duniawi
semata. Didalalm islam, antara dunia dan akhirat merupakan satu kesatuan
tujuan. Kehidupan dunia adalah media untuk kehidupan akhirat, sementara akhirat
adalah kelanjutan dari dunia. Bahkan kualitas kehidupan akhirat merupakan
konsekuensi atas kualitas kehidupan dunia. Segala perbuatan muslim dalam bidang
apapun memiliki kaitan dengan akhirat.
Islam sebagai agama yang bersifat
universal berisi ajaran-ajaran yang dapat membimbing manusia kepada kebahagiaan
hidup didunia dan akhirat. Firman Allah
SWT :
Artinya
: “dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan allah kepadamu kebahagiaan
negri akhirat dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari kenikmatan,
dunia”(QS.23 : 77).
Untuk itu, islam mengajarkan kepada umatnya agar
senantiasa menjalin hubungan yang erat dengan Allah SWT dan sesama manusia.
Dalam hubungan ini, Muhammad Saltut
melihat bahwa ajaran islam pada dasarnya dibagi dalam 2 kelompok, yaitu akidah dan syari’ah. Muslim sejati
disisi allah ialah orang yang beriman dan melaksanakan syari’ah. Barang siapa
beriman tanpa bersyari’ah atau sebaliknya bersyri’ah tanpa beriman niscaya
tidak akan berhasil.
Berdasarkan hal tersebut, maka pendidikan islam
berfngsi untuk menghasilkan manusia yang dapat menempuh kehidupan yang indah
didunia dan kehidupan yang indah di akhirat serta terhindar dari siksaan allah.
Perbedaan dengan pendidikan barat yang bertitik tolak dari filsafat pragmatism, yaitu mengukur kebenaran
menurut kepentingan waktu, tempat dan situasi, dan berakhir pada garis hajat.
iv.
Tujuan
Pendidikan Islam
Setiap tindakan dan aktifitas harus berorientasi
pada tujuan atau rencana yang telah ditetapkan. Sebab dengan berorientasi
kepada tujuan maka dapat diketahui bahwa tujuan dapat berfungsi sebagai alat
standart untuk mengakhiri suatu perbuatan
yang sedang diusahakan, dan standart untuk menjadi titik pangkal untuk
mencapai tujuan-tujuan lain. Sehubungan dangan hal tersebut pendidikan islam
harus memahami dan menyadari betul apa sebenarnya yang ingin dicapai dalam
proses pendidikan . Berikut tujuan-tujuan pendidika diantaranya adalah :
a)
Menjadi
Hamba Allah
·
Firman Allah : dan Aku (Allah) tidak
menjadikan jin dan manusia melainkan untuk menyembahku. (QS.Al-Zhariat : 56).
Tujuan ini sesuai dengan hakekat dari tujuan
kehidupan manusia sebagai makhluq yang bertuhan dan relevan dengan hakekat dari
penciptaan manusia. Dalam hal ini pendidikan mengharuskan manusia supaya ia benar-benar mampu menghayati
dan memahami “siapakah tuhannya”, sehingga selulruh aktifitas yang bersifat
peribadatan senantiasa ia lakukan dengan
penuh penghayatan dan kekhusyu’an terhadapNYa. Berangkat dari sinilah ia
benar-benar mampu menjadi hamba allah sesuai yang allah harapkan.
b)
Mangantarkan
Subjek Didik Manjadi Kholilfatullah Fil-ardh,
Yang mampu memakmurkan, mensejahterkan, dan
melestarikan bumi seisinya serta mampu mewujudkan rahmat bagi alam sekiternya yang
relevan dengan tujuan awal penciptaaanya.
·
Firman Allah : Dialah yang menjadikan
kamu kholifah-kholifah dimuka bumi. Barang siapa yang kafir maka (akibat)
kekafirannya akan menimpa dirinya sendiri. (QS. Al-An’am:165).
·
Firman Allah: ingatlah ketika tuhan
berfirman kepada para malaikat “sesunggguhnya aku hendak manjadikan seorang
kholifah fi muka bumi. (Q.S,
al-Baqoroh : 20).
·
Firman Allah ; dan tiadalah kami
mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (Q.S
al-Anbiya’ : 107).
Pemahaman dari beberapa ayat tersebut bahwa allah
telah memberikan indikasi kepada manusia bahwa manusia diciptakan dengan tujuan
diantaranya adalah untuk menjadi kholifah dimuka bumi. Seorang kholifah yang
mampu mengemban amanat yang sangat besar, yaitu seorang kholifah yang sanggup
memkmurkan bumi seisinya, mensejahterakannya, dan melestarikan seluruhnya.
Untuk mewujudkan semua itu bukanlah dengan sembarang cara, atau katakanlah cara
asal-asalan. Namun untuk mewudkannya perlu dibutuhkan yang namanya ilmu, atau
pengetahuan tentang bagaimana cara menjadi kholifah yang baik, jujur dan
bijaksana. Sedangkan menjadi kholifah tanpa ilmu atau pengetahuan, maka besar
kemungkinan justru kehancuran yang akan terjadi meskipun ia baik dan jujur.
c)
Untuk
Memperoleh Kesejahteraan dan Kebahagiaan Hidup di Dunia maupun di Akhirat.
·
Firman Allah : dan carilah apa yang
dianugrahkan alllah kepadamu (kebahagiaan) kampong akhirat, dan jangalah kamu
melupakan kebahagiaan dari (kenikmatan) duniawi. (QS. Al-Qoshosh :77) .
·
Sabda Nabi SAW : bekerjalah untuk urusan
dunia seolah-seolah engkau akan hidup selama-lamanya, dan bekerjalah untuk
urusan akhirat seolah-olah engkau akan mati besok hari. (Al-hadits).
Dalam memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan dunia
maupun akhirat tentulah ilmu pengetahuan menjadi faktor utama yang harus
dimiliki.
C. IDEOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
1. Pengertian Ideologi
Ideologi adalah kumpulan konsep
bersisitem yang di jadikan asas pendapat atau kejadian yang memberikan arah dan
tujuan untuk kelangsungga hidup.
Ideologi oleh arip rahman dalam bukunya yang berjudul” politik ideologi pendidikan “ mempunyai dua pengertian, pengertian secara fungsional dan secara struktural. Secara fungsional, ideology diartikan sebagai pemikiran yang digunakan untuk kebaikan bersama (common goode). Dalam hal ini ideology bias muncul karena kekecewaan pada saat ini dan mempunyai niatan untuk memperbaiki di zaman akan dating.
Sedangkan ideology structural, diartikan sebagai alat pembenar bagi kebijakan dan tindakan kaum penguasa. Mungkin pada zaman orde baru kita masih teringat dengan namanya penataran P4. itu adalah alat yang digunakan pembenar bagi tindaka-tindakan Negara kepada masyarakatnya. Seolah-olah perbuatan pemerintah itu semua benar dan wajib di ikuti. Sehingga yang tidak cocok dengan kebijakan serta tidak mau melaksanakannya akan di anggap pembangkang.
2. Ideologi Pendidikan
Ideologi oleh arip rahman dalam bukunya yang berjudul” politik ideologi pendidikan “ mempunyai dua pengertian, pengertian secara fungsional dan secara struktural. Secara fungsional, ideology diartikan sebagai pemikiran yang digunakan untuk kebaikan bersama (common goode). Dalam hal ini ideology bias muncul karena kekecewaan pada saat ini dan mempunyai niatan untuk memperbaiki di zaman akan dating.
Sedangkan ideology structural, diartikan sebagai alat pembenar bagi kebijakan dan tindakan kaum penguasa. Mungkin pada zaman orde baru kita masih teringat dengan namanya penataran P4. itu adalah alat yang digunakan pembenar bagi tindaka-tindakan Negara kepada masyarakatnya. Seolah-olah perbuatan pemerintah itu semua benar dan wajib di ikuti. Sehingga yang tidak cocok dengan kebijakan serta tidak mau melaksanakannya akan di anggap pembangkang.
2. Ideologi Pendidikan
Sehubungan dengan pendidikan,
ideology di artikan sebagai perangkat aturan yang di yakini dan dijadikan
landasan bagi pendidikan dalam rangka mencapai tujuan.sebuah ideology
pendidikan akan bergantung pada aliran pendidikan itu sendiri, yaitu koservatif
dan liberal.
a) Ideologi Konservatif
a) Ideologi Konservatif
Dalam pandangan ideology konservatif
ini memandang bahwa ketidak sederajatan masyarakat merupakan sesuatu yang
alami, sesuatu hal yang sangat mustahil untuk kita hindari. Perubahan dalam
faham yang merupakan sesuatu hal yang tidak perlu di perjuangkan karena faham
ini percaya bahwa perubahan akan menciptakan sebuah kesengsaraan baru. Dan
ideology pendidikan konservatif juga mempunyai tiga tradisi pokok, yaitu
fundamentalisme pendidikn, intelelektualisme pendidikan dan koservasme
pendidikan.
Fundamentalisme pendidikan pada
dasarnya inti pada intelektualime, atau biasa dikatakan sebuah gerakan yang
tidak mementingkan dasar-dasar filosofis atau menggunakan filsafati namun
sedikit dan cenderung menerima diri tanpa melakukan aksi kritik pada sisitem
yang sudah mapan.gerakan ini kalau di agama seperti gerakan puritan yang
melakukan pembenaran terhadap teks-teks yang di wahyukan pada tuhannya.
Sedangkan manusia menjadi saksi bisu, padahal bisa saja orang yang mengartikan
al-qur’an itu adalah orang yang mempunyai kepentingan untuk dirinya sendiri,
seperti kampaye dalam politik praktis.
Sedangkan intelektualisme pendidikan
di landaskan dari konservatisme polotik yang melegimatis pemikiran filosofis
atau religius otoritarian. Ideology ini ingin merubah praktek-praktek politik
dan pendidikan demi menyesuaikan secara lebih sempurna dengan cita-cita
intelektual atau rohaniah yang sudah mapan.
Dan konservatisme pendidikan berbeda dengan dua ideology diatas karena cenderung mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses budaya yang sudah teruji oleh wahyu. Konservatisme menaruh hormat terhadap hukum dan tatanan sebagai landasan social yang kontruktif.
Dan konservatisme pendidikan berbeda dengan dua ideology diatas karena cenderung mendukung ketaatan terhadap lembaga-lembaga dan proses budaya yang sudah teruji oleh wahyu. Konservatisme menaruh hormat terhadap hukum dan tatanan sebagai landasan social yang kontruktif.
b) Ideology Liberal
Dalam pendidikan ini berkeyakinan
bahwa dalam masyarakat terjadi banyak masalah termasuk urusan masalah
pendidikan. Namun mereka beranggapan masalah pendidikan tidak akan ada sangkut
paut dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Tetapi pendidikanlah yang
bisa menyesuikan dengan perubahan arah politik dan perkembangan perekonomian.
Ideology liberal ini memang lahir
dari cita-cita individualisme barat, bangsa barat menggambarkan manusia ideal
itu adalah rasionalis liberal. Pada dasarnya manusia mempunyai potensi
tingkatan yang sama dalam intelektual, baik dalam tatanan alam maupun tatanan
social yang dapat ditangkap dengan akal. kelemahan ideologi liberalisme
terletak pada pengaruh faham positivistic yang sangat kuat, karena adanya
pemisahan antar fakta dengan nilai menuju pemahaman obyektif.
3. Idelogi Pendidikan Islam
Konsep pendidikan islam secara
normatif sarat dengan nilai-nilai transendeltal ilahiah dan insaniah. Semua itu
dapat di wadahi dalam bingkai besar yang di sebut humanisme teosentris.
Implementasi ajaran ini dalam
praktik kehidupan dan pendidikan dapat fleksibel atau luwes, selama
substansinya tetap terpelihara, yaitu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan
sebagaimana hakikat ajaran islam, sebagai agama fitrah,memang ditujukan untuk
kebutuhan manusia itu sendiri.
Sejak awal abad 20 sampai sekarang humanisme merupakan konsep kemanusiaan yang sangat berharga karena konsep ini sepenuhnya memihak pada manusia, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan memfasilitasi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia untuk memelihara dan menyempurnakan keberadaannya sebagai makhluk mulia. Dalam hal ini ali syari’ati mendeskripsikan ke dalam tujuh prinsip. Dasar kemanusiaan sebagai universal yaitu:
1) Manusia adalah mahkluk asli, artinya ia mempunyai substansi yang mandiri diantara mahkluk-makhluk yang lain, dan memiliki esensi kemuliaan.
2) Manusia adalah makhluk yang memilki kehendak bebas yang merupakan kekuatan paling besar dan luar biasa. Kemerdekaan dan kebebasan memilih adalah dua sifat illahiah yang merupakan ciri menonjol dalam diri manusia.
3) Manusia adalah mahkluk yang sadar (berfikir) sebagai karakteristik manusia yang paling menonjol. Sadar berarti manusia dapat memahami realitas alam luar dengan kekuatan berfikir.
4) Manusia adalah mahkluk yang sadar akan dirinya sendiri, artinya dia adalah mehkluk hidup satu-satunya yang memiliki pengetahuan budaya dan kemampuan membangun peradaban.
5) Manusia adalah makhluk kreatif, yang menyebabkan manusia mampu menjadikan dirinya mahkluk sempurna didepan alam dan dihadapan Tuhan.
6) Manusia mahkluk yang mempunyai cita-cita dan merindukan sesuatu yang ideal artinya dia tidak menyerah dan menerima “apa yang ada” tetapi selalu berusaha mengubahnya menjadi “ apa yang semestinya”.
7) Manusia adalah mahkluk moral yang hal ini berkaitan dengan masalah nilai (value).
Humanisme yang diangkat menjadi paradigma ideology islam pada dasarnyajuga bertolak dari ketutuh prinsip dasar kemanusiaan tersebut yang implicit dalam konsep fitrah manusia. Namun demikian, humanisme dalam padangan islam tidak dapat dipisahkan dari prinsip teosentrisme. Dalam hal ini, keimanan “tauhid” sebagai inti ajaran islam, menjadi pusat seluruh orientasi nilai.namun perlu diperjelas, bahwa semua itu kembali kepada manusia yang dieksplisitkan dalam tujuan risalah islam. Rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Dalam kontek pendidikan islam dengan pancasila sebagai ideology dan demokrasi sebagai jalan besar menuju kesuburan nasionalisme pada masing-masing sector. Maka dalam pendidikan islam khususnya lembaga pendidikan NU harus dikembangkan berdasarkan paradigma yang berorientasi pada:
1. Paradigma pendidikan islam harus didasarkan pada filsafat teocentris dan antroprosentis sekaligus.pendidikan islam yang ingin dikembangkan adalah pendidikan yang menghilangkan atau tidak ada dikotomi antara ilmu dan agama, serta ilmu tidak bebas nilai tetapi bebas dinilai. Selain itu, mengajarkan agama dengan bahasa ilmu pengetahuan yang rasional tanpa meningkatkan sisi tradisional.
2. Pendidikan islam mampu mengembangkan keilmuan dan kemajuan kehidupan yang intregatif antara nilai spiritual, moral dan material bagi kehidupan manusia.
3. Pendidikan islam mampu membangun kompotisi manusia dan mempersiapkan kehidupan yang lebih baik berupa manusia demokratis, kompetetif, inovatif dan bermoral berdasarkan nilai-nilai islam.
4. Pendidikan Islam harus disusun atas dasar kondisi linkungan masrarakat, baik kondisi masa kini maupun kondisi masa yang akan datang, karena perubahan lingkungan merupakan tantangan dan peluang yang harus diproses secara cepat dan tepat. Pendidikan islam yang dikembangkan sulalu diorientasikan pada perubahan lingkungan, karena pendekatan masa lalu hanya cocok bahkan sering kali menimbulkan problem yang dapat memundurkan dunia pendidikan.
5. Pembaruan pendidikan Islam diupayakan untuk memberdayakan potensi umat yang disesuai dengan kebutuhan kehidupan masyarakat modern tanpa meninggalkan khasanah klasik. System pendidikan islam harus dikembangkan berdasarkan karakteristik masyarakat local yang demokratisasi, memiliki kemampuan partisipasi social, menta’ati dan menghargai supermasi hukum, menhargai hak asasi manusia, menghargai perbedaan (pluralisme), memiliki kemampuan kopetensi dan kemampuan inovatif.
6. Penyelenggaraan pendidikan islam harus diubah bedasarkan pendidikan demokratis dan pendidikan yang bersifat sentralistik baik dalam menejemen maupun dalam punyusunan kurikulum harus disesuikan dengan tuntutan pendidikan demokratis dan desentralitik. Pendidikan islam harus mampu mengembangkan kemampuan untuk berpartisipasi didalam dunia kerja, mengembangkan sikap dan kemampuan inovatif serta meningkatkan kualitas manusia.
7. Pendidikan islam lebih menekankan dan diorientasikan pada proses pembelajaran, diorganisir dalam struktur yang lebih bersifat fleksibel, menghargai dan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang untuk situasi masa lalu dan sering tidak tepat jika diterapkan pada kondisi berbeda memiliki potensi untuk berkembang, dan diupayakan sebagai proses berkesinambungan serta senantiasa beriteraksi dengan lingkungan.
8. Pendidikan islam harus diarahkan pada dua dimensi, yaitu “pertama, dimensi dialektika (horisotal) yaitu pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungan lingkungan sosiol dan manusia harus mengatasi tantangan dunia sekitarnya melalui pengembangan iptek, dan kedua, dimensi ketundukan vertical,yaitu pendidikan selain sarana untuk memantapkan, memlihara sumberdaya alam dan lingkungannya, juga memahami hubungannya dengan sang maha pencipta, yaitu allah SWT “
9. Pendidikan islam lebih diorientasikan pada upaya” pendidikan sebagai proses pembebasan, pendidikan sebagai proses pencerdasan, pendidikan menjunjung tinggi hak-hak manusia. Penidikan menghasilkan tindakan perdamaian,pendidikan sebagai proses pemberdayaan potensi manusia, pendidikan menjadikan anak berwawasan integatif, pendidikan sebagai wahana membangun watak persatuan, pendidikan menghasilkan manusia demokratis, pendidikan menghasilkan manusia perduli terhadap lingkungan” , dan harus dibangun suatu pandangan bahwa ”sekolah bukan satu-satunya instrument pendidikan”
Akan tetapi masyarakat dan semua tang bersinggungan dalam keseharian kita merupakan instrumen pendidikan. Dengan kesembilan poin dasar paradigma pedidikan islam ini, dapat kita simpulkan bahwa islam sebagai sebuah system keyakinan akan mampu memberikan perubahan dan kemajuan bangsa ini dari segala sector kehidupan tanpa harus mengorbankan golongan lain dengan alasan islamisasi atau formalisasi syariat islam yang telah nyata akan meruntuhkan kesatuan berbangsa dan bertanah air Indonesia.
Sejak awal abad 20 sampai sekarang humanisme merupakan konsep kemanusiaan yang sangat berharga karena konsep ini sepenuhnya memihak pada manusia, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan memfasilitasi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia untuk memelihara dan menyempurnakan keberadaannya sebagai makhluk mulia. Dalam hal ini ali syari’ati mendeskripsikan ke dalam tujuh prinsip. Dasar kemanusiaan sebagai universal yaitu:
1) Manusia adalah mahkluk asli, artinya ia mempunyai substansi yang mandiri diantara mahkluk-makhluk yang lain, dan memiliki esensi kemuliaan.
2) Manusia adalah makhluk yang memilki kehendak bebas yang merupakan kekuatan paling besar dan luar biasa. Kemerdekaan dan kebebasan memilih adalah dua sifat illahiah yang merupakan ciri menonjol dalam diri manusia.
3) Manusia adalah mahkluk yang sadar (berfikir) sebagai karakteristik manusia yang paling menonjol. Sadar berarti manusia dapat memahami realitas alam luar dengan kekuatan berfikir.
4) Manusia adalah mahkluk yang sadar akan dirinya sendiri, artinya dia adalah mehkluk hidup satu-satunya yang memiliki pengetahuan budaya dan kemampuan membangun peradaban.
5) Manusia adalah makhluk kreatif, yang menyebabkan manusia mampu menjadikan dirinya mahkluk sempurna didepan alam dan dihadapan Tuhan.
6) Manusia mahkluk yang mempunyai cita-cita dan merindukan sesuatu yang ideal artinya dia tidak menyerah dan menerima “apa yang ada” tetapi selalu berusaha mengubahnya menjadi “ apa yang semestinya”.
7) Manusia adalah mahkluk moral yang hal ini berkaitan dengan masalah nilai (value).
Humanisme yang diangkat menjadi paradigma ideology islam pada dasarnyajuga bertolak dari ketutuh prinsip dasar kemanusiaan tersebut yang implicit dalam konsep fitrah manusia. Namun demikian, humanisme dalam padangan islam tidak dapat dipisahkan dari prinsip teosentrisme. Dalam hal ini, keimanan “tauhid” sebagai inti ajaran islam, menjadi pusat seluruh orientasi nilai.namun perlu diperjelas, bahwa semua itu kembali kepada manusia yang dieksplisitkan dalam tujuan risalah islam. Rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Dalam kontek pendidikan islam dengan pancasila sebagai ideology dan demokrasi sebagai jalan besar menuju kesuburan nasionalisme pada masing-masing sector. Maka dalam pendidikan islam khususnya lembaga pendidikan NU harus dikembangkan berdasarkan paradigma yang berorientasi pada:
1. Paradigma pendidikan islam harus didasarkan pada filsafat teocentris dan antroprosentis sekaligus.pendidikan islam yang ingin dikembangkan adalah pendidikan yang menghilangkan atau tidak ada dikotomi antara ilmu dan agama, serta ilmu tidak bebas nilai tetapi bebas dinilai. Selain itu, mengajarkan agama dengan bahasa ilmu pengetahuan yang rasional tanpa meningkatkan sisi tradisional.
2. Pendidikan islam mampu mengembangkan keilmuan dan kemajuan kehidupan yang intregatif antara nilai spiritual, moral dan material bagi kehidupan manusia.
3. Pendidikan islam mampu membangun kompotisi manusia dan mempersiapkan kehidupan yang lebih baik berupa manusia demokratis, kompetetif, inovatif dan bermoral berdasarkan nilai-nilai islam.
4. Pendidikan Islam harus disusun atas dasar kondisi linkungan masrarakat, baik kondisi masa kini maupun kondisi masa yang akan datang, karena perubahan lingkungan merupakan tantangan dan peluang yang harus diproses secara cepat dan tepat. Pendidikan islam yang dikembangkan sulalu diorientasikan pada perubahan lingkungan, karena pendekatan masa lalu hanya cocok bahkan sering kali menimbulkan problem yang dapat memundurkan dunia pendidikan.
5. Pembaruan pendidikan Islam diupayakan untuk memberdayakan potensi umat yang disesuai dengan kebutuhan kehidupan masyarakat modern tanpa meninggalkan khasanah klasik. System pendidikan islam harus dikembangkan berdasarkan karakteristik masyarakat local yang demokratisasi, memiliki kemampuan partisipasi social, menta’ati dan menghargai supermasi hukum, menhargai hak asasi manusia, menghargai perbedaan (pluralisme), memiliki kemampuan kopetensi dan kemampuan inovatif.
6. Penyelenggaraan pendidikan islam harus diubah bedasarkan pendidikan demokratis dan pendidikan yang bersifat sentralistik baik dalam menejemen maupun dalam punyusunan kurikulum harus disesuikan dengan tuntutan pendidikan demokratis dan desentralitik. Pendidikan islam harus mampu mengembangkan kemampuan untuk berpartisipasi didalam dunia kerja, mengembangkan sikap dan kemampuan inovatif serta meningkatkan kualitas manusia.
7. Pendidikan islam lebih menekankan dan diorientasikan pada proses pembelajaran, diorganisir dalam struktur yang lebih bersifat fleksibel, menghargai dan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang untuk situasi masa lalu dan sering tidak tepat jika diterapkan pada kondisi berbeda memiliki potensi untuk berkembang, dan diupayakan sebagai proses berkesinambungan serta senantiasa beriteraksi dengan lingkungan.
8. Pendidikan islam harus diarahkan pada dua dimensi, yaitu “pertama, dimensi dialektika (horisotal) yaitu pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungan lingkungan sosiol dan manusia harus mengatasi tantangan dunia sekitarnya melalui pengembangan iptek, dan kedua, dimensi ketundukan vertical,yaitu pendidikan selain sarana untuk memantapkan, memlihara sumberdaya alam dan lingkungannya, juga memahami hubungannya dengan sang maha pencipta, yaitu allah SWT “
9. Pendidikan islam lebih diorientasikan pada upaya” pendidikan sebagai proses pembebasan, pendidikan sebagai proses pencerdasan, pendidikan menjunjung tinggi hak-hak manusia. Penidikan menghasilkan tindakan perdamaian,pendidikan sebagai proses pemberdayaan potensi manusia, pendidikan menjadikan anak berwawasan integatif, pendidikan sebagai wahana membangun watak persatuan, pendidikan menghasilkan manusia demokratis, pendidikan menghasilkan manusia perduli terhadap lingkungan” , dan harus dibangun suatu pandangan bahwa ”sekolah bukan satu-satunya instrument pendidikan”
Akan tetapi masyarakat dan semua tang bersinggungan dalam keseharian kita merupakan instrumen pendidikan. Dengan kesembilan poin dasar paradigma pedidikan islam ini, dapat kita simpulkan bahwa islam sebagai sebuah system keyakinan akan mampu memberikan perubahan dan kemajuan bangsa ini dari segala sector kehidupan tanpa harus mengorbankan golongan lain dengan alasan islamisasi atau formalisasi syariat islam yang telah nyata akan meruntuhkan kesatuan berbangsa dan bertanah air Indonesia.
Format idiologi Pendidikan Islam
Selain pada muamalah yang berkenaan dengan akidah
(keimanan) dan ibadah khusus (mahdah) yang bersifat baku dan
operasional, Islam hanya memberikan pedoman hidup yang bersifat fundamental
dengan nilai-nilai transcedental yang sesuai dan menjadi kebutuhan hidup
manusia. Dengan kata lain, nilai-nilai implementasinya sebagian besar
diserahkan kepada manusia. Demikian halnya dengan pendidikan, maka secara
fitrah telah menjadi tugas manusia untuk memikirkan dan mengembangkannya secara
terus menerus, seirama dengan perubahan dan tantangan zaman. Ini menuntut para
pendidik muslim untuk menyusun konsep pendidikan Islam yang relevan dengan
perubahan zaman dan mampu menjawab setiap tantangan berdasarkan nilai-nilai
dasar Islam.
Pada
paradigma pendidikan liberal, fokus utama terletak pada bagaimana membuat anak
didik memiliki kemampuan sehingga mereka bisa bersaing di tengah sistem yang
berlaku pada masyarakat. Pendidikan liberal tidak melihat masalah yang
berkembang daiam masyarakat karena sistem sosial masyarakat tersebut, tetapi
karena ketidaksiapan manusia dalam menghadapi sistem. Sehingga ini akan
mengakibatkan pembelajaran yang bersifat memberikan pengetahuan dan
keterampilan yang berguna sebanyak-banyaknya kepada anak didik, pengetahuan
bersifat doktriner dan menilai sesuatu hanya dengan melihat kecerdasan intelektual
yang dimiliki oleh anak didik.
Pendidikan
alternatif yang muncul belakangan di Indonesia pasca reformasi pada hakikatnya
merupakan bentuk dari konsep pendidikan kritis. Akhirnya, kesadaran kritis
kitalah yang mampu menyingkap realita yang terjadi pada proses pendidikan di
negeri ini. Dimana, landasan filosofis pendidikan dan ideologi pendidikan harus
di maknai lebih kontekstual dalam membangun tatanan moral masyarakat yang lebih
baik. di samping, itu proses kemanusiaan dalam sistem pendidikan harus menjadi
sebuah kesadaran kolektif.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ideologi pendidikan Islam merupakan
salah satu kekuatan ideologi pendidikan nasional. Ideologi pendidikan islam
merupakan fondasi kuat dalam membangun karakter pendidikan bangsa. Implementasi
ajaran ini dalam praktik kehidupan dan pendidikan dapat fleksibel atau luwes,
selama substansinya tetap terpelihara, yaitu: menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan sebagaimana hakikat ajaran Islam, sebagai agama fitrah sehingga
pendidikan Islam mampu menciptakan masyarakat yang baik dan sejalan
dengan ketentuan al Qur’an dan as Sunnah.
NO.
|
Aspek
|
Pendidikan Liberal
|
Pendidikan Kritis
|
Pendidikan Islami
|
1.
|
Tokoh Pendidikan
|
McClelland
|
Paulo Freire
|
Muhammad SAW
|
2.
|
Asas
|
Achievement Motivation Training (AMT)
|
Teori kesadarannya yaitu kesadaran magis,
kesadaran naïf, dan kesadaran kritis.
|
AL
Quran dan AS Sunnah
|
DAFTAR PUSTAKA
Depdikans Indonesia,
2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Pusat Bahasa Pendidikan
Nasional. Penerbit : Balai Pustaka; Jakarta
Pengantar Pendidikan
[http:// Lena Unindrabiozal.Blogspot.com,03,2008]
O'neil William F. Ideologi-ideologi
Pendidikan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Pendidikan Liberal,[http://
Aristhu. 03.files wordpress.com,10,2006]
http://dzulkifly.student.umm.ac.id/2010/02/05/pendidikan-kritis/
resume-ii-ideologi-pendidikan-islam.html