MODUL
3
KEBIJAKAN
DALAM KONTEKS DEMOKRATISASI PENDIDIKAN
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah
satu faktor utama untuk dapat mencapai kemakmuran suatu negara, sebagaimana diatur secara
tegas dalam pasal 31 ayat
(1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD
1945) yang menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) menegaskan
bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya. Ayat (3) menetapkan bahwa
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dengan undang-undang. Dengan demikian, jelaslah bahwa negara kita
menempatkan pendidikan pada prioritas
pertama dengan mengutamakan anggaran terbesar dari semua sektor. Pendidikan merupakan sektor
yang memang perlu
diprioritaskan negara
karena menyentuh langsung hak
masyarakat, dan sangat terkait erat dengan pembangunan sumber daya manusia masa depan. Oleh
karena itu pelaksanaan pendidikan harus demokratis. Demokrasi pendidikan, memang tidak
menyembuhkan berbagai penyakit pembangunan, termasuk untuk mendapatkan
pendidikan yang bermutu, tetapi demokrasi
memberikan peluang terbaik bagi
terlaksananya keadilan dan terhormatinya
harkat dan martabat kemanusiaan. Pendidikan yang demokratis akan menghasilkan lulusan yang mampu
berpartisipasi dalam kehidupan
masyarakat dan mampu mempengaruhi pengambilan keputusan kebijakan publik.
Setelah mengikuti perkuliahan mahasiswa
diharapkan cakap dan kompeten dalam
mengetahui, memahami, menganalisis dan menjelaskan tentang:
1.
Makna
demokrasi dalam pendidikan
2.
Sifat
dan prinsip demokrasi pendidikan
3.
Perspektif
demokrasi dalam pendidikan
4.
Persamaan
dan perbedaan demokrasi pendidikan dengan demokrasi lainnya
5.
Hubungan
pendidikan dan demokrasi
6.
Membangun
sistem pendidikan yang demokratis
7.
Pandangan-pandangan
ahli tentang demokrasi pendidikan
8.
Indikator
pendidikan demokratis
9.
Mewujudkan
demokrasi melalui proses pendidikan
10. Pelibatan masyarakat dalam
pendidikan
1.
Demokrasi dalam Perspektif
Pendidikan
Demokrasi,
secara etimologi, berasal dari bahasa Latin, dari akar kata demos yang
berarti rakyat dan cratos yang berarti kekuasaan, sehingga secara
sederhana demokrasi dapat diartikan sebagai kedaulatan ditangan rakyat. Secara
terminologi, sebagaimana disampaikan Sparingga, demokrasi adalah pemerintahan
oleh rakyat dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakilnya yang
dipilih lewat pemilihan bebas. Prinsip utama demokrasi adalah (a) kedaulatan di
tangan rakyat, (b) pemerintahan berdasarkan persetujuan dari mereka yang
diperintah, (c) kekuasaan mayoritas, (d) hak-hak minoritas, (e) jaminan hak-hak
azasi manusia, (f) pemilihan yang bebas dan jujur, (g) persamaan di depan
hokum, (h) proses hukum yang wajar, (i) pembatasan pemerintahan secara
konstitusional, (j) pluralisme dalam aspek sosial ekonomi dan politik, (k)
nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama dan mufakat.(Daniel Sparingga,
2000:3)
Bagaimana
konsep demokrasi dalam perspektif pendidikan? Demokrasi pada dasarnya mengakui
setiap warga negara sebagai pribadi yang unik, berbeda satu sama lain dengan
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Demokrasi memberikan kesempatan yang
luas bagi pelaksanaan dan pengembangan potensi masing-masing individu tersebut,
baik secara fisik maupun mental spiritual. Demokrasi juga mengakui bahwa setiap
individu mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Karena itu, pendidikan yang
demokratis adalah pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai individu
yng unik berbeda satu sama lain dan mempunyai potensi yang perlu diwujudkan dan
dikembangkan semaksimal mungkin. Untuk itu pendidikan yang demokratis harus
memberikan treatmen berbeda kepada sasaran didik yang berbeda sesuai dengan
karakteristik masing-masing. Pendidikan yang demokratis juga menuntut
partisipasi aktif peserta didik bersama guru dalam merencanakan, mengembangkan
dan melaksanakan proses belajar-mengajar. Partisipasi orang tua dan masyarakat
juga amat penting dalam merancang, mengembangkan dan melaksanakan proses
pendidikan tersebut.
Demokrasi,
dalam lingkup pendidikan, adalah pengakuan terhadap individu peserta didik,
sesuai dengan harkat dan martabat peserta didik itu sendiri, karena demokrasi
adalah alami dan manusiawi.( Iskandar Wiryo Kusuma, 2001: 2).) Ini berarti
bahwa penelitian pihak-pihak yang terlibat dalam proses pendidikan harus
mengakui dan menghargai kemampuan dan karakteristik individu peserta didik.
Tidak ada unsur paksaan atau mencetak siswa yang tidak sesuai dengan harkatnya.(
Iskandar Wiryo Kusuma, 2001: 2)
Dengan
demikian, demokrasi berarti perilaku saling menghargai, saling menghormati,
toleransi terhadap pihak lain termasuk pengendalian diri dan tidak egois. Dalam
proses pendidikan, semua pihak yang terkait menyadari akan alam atau atmosfir
yang bernuansa saling menghargai tersebut, yaitu antara guru dengan guru,
antara guru dengan siswa dan antara guru dengan pihak-pihak anggota masyarakat
termasuk orang tua dan lain-lain. Ini berarti bahwa dalam semangat demokrasi
seorang harus tunduk kepada keputusan bersama atau kesepakatan bersama. Tidak
terjadi keharusan penerimaan tanpa unsur paksaan, tetapi kesepakatan bersama
yang akan menjadi sikap mereka semua. Dengan kata lain, seseorang menerima
keputusan bersama dengan rasa ikhlas karena menomerduakan kepentingan pribadi
dan tunduk kepada tuntutan kesejahteraan umum (I Nyoman Sudana Degeng, 2001:5).
Demokrasi
dalam pendidikan dan pembelajaran menggunakan pengertian equal opportunity
for all (I Nyoman Sudana Degeng,
2001:6). Artinya, anak didik mendapat peluang yang sama dalam menerima
kesempatan dan perlakuan pendidikan. Guru memberikan kesempatan yang sama
kepada setiap individu untuk mengikuti setiap kegiatan pendidikan.
Agenda
pembangunan sektor pendidikan kini dilakukan secara simultan dan komperhensif.
Pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap
pendidikan dengan memberikan layanan sampai ke pelosok-pelosok, serta
mengakomodasi pendidikan non-formal sebagai bagian dari sistem pendidikan
nasional yang diposisikan sama dengan pendidikan formal, sehingga
progam-program layanan paket A,B dan C dijadikan sebagai alternatif untuk
mengakselasikan akses masyarakat pada pendidikan, sehingga APK nasional bisa
didorong mencapai angka ≥ 100%. Demikian pula pada pendidikan Diniyah dan
Pondok Pesantren yang diatur dalam PP No. 55 tahun 2007, dengan memberikan
penambahan-penambahan kompetensi serta lulus dari ujian nasional, maka lulusan
lembaga-lembaga pendidikan memliki hak yang sama dengan lulusan sekolah formal.
Ini semua dikembangkan semata untuk memperkuat akses masyarakat terhadap
pendidikan, sehingga rating SDM bangsa kita bisa meningkat.
Kemudian,
untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pendidikan, kebijakan nasional
yang sangat radikal dalam pendidikan adalah demokratisasi. Isu tentang
pendidikan demokratis di Indonesia memang relatif baru dan belum terbiasa dalam
wacana akademik bidang kependidikan, walaupun pekerjaannya sudah dimulai sejak
lama, bahkan mungkin sejak zaman orde baru, walaupun belum spesifik. Istilah
demokratis, sebagaimana dalam literatur politik diambil dari bahasa Yunani
kuno, yang terdiri dari dua kata yaitu demos yang bermakna rakyat dan kratos yang
berarti kekuasaan, dan apabila digabungkan menjadi bermakna kekuasaan di tangan
rakyat (Tarcov, 1996: 2). Istilah demokrasi memang muncul dan dipakai dalam
kajian politik, yang bermakna kekuasaan negara berada di tangan rakyat melalui
undang-undang yang diputuskan rakyat, bukan oleh kekuasaan raja atau sulthan.
Kemudian, presiden diangkat oleh rakyat dan harus bertanggung jawab terhadap
rakyat melalui mekanisme perwakilan.
Mekanisme
demokrasi dalam politik tidak sepenuhnya sesuai dengan mekanisme dalam kepemimpinan
lembaga pendidikan, namun secara substantif, sekolah demokratis adalah membawa
semangat demokrasi tersebut dalam perencanaan, pengelolaan dan evaluasi
penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Dalam
konteks ini James A Beane dan Michael W.Apple, menjelaskan, berbagai kondisi
yang sangat perlu dikembangkan dalam upaya membangun sekolah demokratis (Beane
dan Apple, 1995: 7) adalah:
1.
Keterbukaan saluran ide dan gagasan, sehingga smua orang bisa
menerima informasi seoptimal mungkin.
2.
Memberikan kepercayaan kepada individu-individu dan kelompok
dengan kapasitas yang mereka miliki untuk menyelesaikan berbagai persoalan
sekolah.
3.
Menyampaikan kritik sebagai hasil analisis dalam proses
penyampaian evaluasi terhadap ide-ide, problem dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan
sekolah.
4.
Memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain
dan terhadap persoalan-persoalan publik.
5.
Ada kepedulian terhadap harga diri, hak-hak individu dan
hak-hak minoritas,
6.
Pemahaman bahwa demokrasi yang dikembangkan belumlah mencerminkan
demokrasi yang diidealkan, sehingga demokrasi harus terus dikembangkan dan bisa
membimbing kesuluruhan hidup manusia.
7.
Terdapat sebuah institusi yang dapat terus mempromosikan dan
mengemban cara-cara hidup demokratis.
Inti
dari teori James A Beane dan Michael W Apple di atas adlah, bahwa pendidikan
demokratis itu akan terwujud jika semua informasi penting dapat dijangkau semua
stokeholder sekolah/madarsah, sehingga semua unsur tersebut memahami
pengembangan sekolah/madrasah, berbagai problem yang dihadapinya, serta
langkah-langkah yang sedang dan akan ditempuh.
Dengan
demikian, mereka akan bisa menganalisis relevansi kebijakan-kebijakan tersebut,
memahami, mengkritisi dan memberi masukan,serta menentukan kontribusi serta
partisipasi yang akan diberikannya untuk kesuksesan pelaksanaan program-program
sekolah tersebut. Kemudian tidak cukup hanya sampai disitu, pendidikan
demokratis juga harus dikembangkan dengan sikap trust atau kepercayaan, yakni
orang tua percaya pada kepala sekolah/madrasah untuk mengembangkan
program-program sekolah/madrasah menuju idealitas yang diinginkan, kemudian,
kepala sekolah/madrasah juga percaya pada guru untuk mengembangkan
program-program kurikulernya serta mengorganisir pelaksanaan program-programnya
itu.
Kemudian,
pendidikan demokratis juga harus diimbangi dengan perhatian yang kuat terhadap
hak-hak asasi manusia. Oleh sebab itu, persoalan kesejahteraan para guru, serta
semua yang terkait dengan pengelolaan sekolah/madrasah harus menjadi perhatian
serius, dan manajemen harus dilakukan secara terbuka, khususnya dalam
aspek-aspek yang termasuk wilayah publik harus dikelola secara transparan,
sehingga senua ikut terlibat dalam menentukan dan memutuskannya. Dan bagian
yang amat sensitif serta selalu menjadi persoalan universal, adalah hak-hak
minoritas dalam komunitas sekolah/madrasah yang harus diperhatikan sama, tidak
boleh ada diskriminasi atas dasar perbedaan ras, agama, atau warna kulit.
Sejalan
dengan itu: James A Beane dan Michael W Apple mendefinisikan, bahwa pendidikan demokratis
tiada lain adalah mengimplementasikan pola-pola demokratis dalam pengelolaan
sekolah/madrasah, yang secara umum mencakup dua aspek yakni strukrur organisasi
dan prosedur kerja dalam struktur tersebut, serta merancang kurikulum yang bisa
menghantarkan peserta didik memiliki berbagai pengalaman tentang
praktik-praktik demokratis (Beane and Michael W Apple, 1995: 9). Dengan kata
lain, pendidikan demokratis adalah pendidikan yang dikelola dengan struktur
yang memungkinkan praktik-praktik demokratis itu terlaksana, seperti pelibatan
masyarakat (stakeholders dan user sekolah) dalam membahas program-program
sekolah/madrasah, dan prosedur pengambilan keputusan juga memperhatikan
berbagai aspirasi publik, serta dapat dipertanggung jawabkan implementasinya kepada
publik. Demikian pula dengan pola pembinaan siswa, bahwa pendidikan itu untuk
semuanya, guru harus mampu memberikan perhatian yang sama pada semua siswa,
tanpa membedakan antara yang sudah pintar dengan yang belum pintar, tidaklah
membedakan antara yang rajin dan yang belum rajin, semuanya memperoleh
perlakuan, walaupun bentuknya mungkin berbeda. Mereka yang belum pintar diberi
waktu untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuannya di saat liburan umum,
sehingga kompetensinya meningkat. Pola-pola pembinaan seperti ini, telah
memberi pengalaman-pengalaman praktik demokrasi bagi anak-anak, yakni perhatian
yang seimbang terhadap semua siswa, tanpa membedakan antara mayoritas dengan
minoritas dalam sekolahnya.
Pengembangan
sekolah/madrasah menuju model pendidikan demokratis ini relevan untuk dilakukan
karena berbagai argumentasi, yang secara garis besar dapat dikategorikan
menjadi dua, yaitu tipologi sekolah abad ke-21, dan model pembelajaran yang
sesuai. Dalam konteks pertama, Lyn Haas (Haas, 1994: 21) menjelaskan, bahwa
lembaga-lembaga pendidikan sekarang harus dapat memenuhi beberapa kualifikasi
ideal, yaitu:
1. Pendidikan untuk semua;
yakni semua siswa harus memperoleh perlakuan yang sama, memperoleh pelajaran
sehingga memperoleh peluang untuk mencapai kompetensi keilmuan sesuai
batas-batas kurikuler, serta memiliki basis skill dan keterampilan yang sesuai
dengan minat mereka, serta sesuai pula dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Paradigma yang memisahkan pendidikan akademik sebagai calon untuk memasuki pasar
tenaga kerja, sudah tidak relevan lagi, karena perubahan yang menuntut
masyarakatuntuk menjadi bagian dari kontribusi untuk kemajuan.
2. Memberikan skill dan
keterampilan yang sesuai dengan kemajuan teknologi terkini, karena pasar
menuntut setiap tenaga kerjanya memiliki keterampilan penggunaan alat-alat
teknologi termodern, kemampuan komunikasi global, matematika, serta kemampuan
akses pada pengetahuan.
3. Penekanan pada
kerjasama, yakni menekankan pengalaman parasiswa dalam melakukan kerjasama
dengan yang lain, melalui penugasan-penugasan kelompok dalam proses
pembelajaran, sehingga mereka memiliki pengalaman mengembangkan kerjasama,
karena trend pasar ke depan adalah pengembangan kerjasama, baik antar
perusahaan, atau antara perusahaan dengan masyarakat dan yang lainnya, sehingga
pengalaman mereka belajar akan sangat bermanfaat dalam artikulasi diri di
lapangan profesi mereka.
4. Pengembangan kecerdasan
ganda; yakni bahwa para siswa harus diberi kesempatan untuk mengembangkan
multiple intelligence mereka, dengan memberi peluang untuk mengembangkan skill
dan keterampilan yang beragam. sehingga mudah melakukan penyesuaian di pasar
tenaga kerja.
5. Integrasi program
pendidikan dengan kegiatan pengabdian pada masyarakat, agar mereka memiliki
kepekaan sosial.
Kelima
point di atas memperlihatkan adanya tuntutan kurikulum yang dinamis, progressif
dan peka terhadap berbagai kemajuan dan perkembangan teknologi diluar sekolah,
sehingga jika kurikulum dan perencanaan sekolah itu sangat ditentukan oleh
struktur birokrasi yang kaku, sekolah bisa tertinggal oleh kemajuan, dan
sekolah akan kehilangan relevansinya dengan berbagai perubahan, yang ada pada
akhirnya akan ditinggalkan oleh stakeholdernya sendiri. Oleh sebab itu,
argumen-argumen diatas memperkuat bahwa model sekolah demokratis itu amat
relevan untuk dikembangkan.
Demikian
pula dengan aspek pelaksanaan proses pembelajaran, sebagaimana dikemukakan oleh
John I Goodlad, bahwa terpenuhinya misi pendidikan sangat tergantung pada
kemampuan guru untuk menanamkan setting demokrasi pada siswa, dengan memberi
kesempatan seluas-luasnya pada siswa untuk belajar (Goodlad, 1996: 113), Yakni
bahwa sekolah menjadi tempat yang nyaman bagi siswa untuk semaksimal mungkin
mereka belajar. Sekolah bukan tempat pertunjukan bagi guru, tapi tempat siswa
untuk menambah dan memperkaya pengalaman belajarnya. Oleh sebab itu, guru,
harus mampu mengembangkan strategi pembelajaran yang memberi peluang lebih
besar bagi siswa untuk belajar. Inilah makna lain dari sekolah demokratis,
yakni sekolah itu suntuk siswa bukan untuk guru dan kepala sekolahnya. Sekolah
harus menjadi second home bagi para siswa, mereka betah menghabiskan waktunya
di sekolah, dengan belajar, berdiskusi, menyelesaikan tugas-tugas kelompok,
membaca dan aktifitas pembelajaran lainnya.
Tesis
Goodlad ini sejalan dengan pandangan yang dikemukakan Jerry Aldridge dan
Renitta Goldman, yang menurutnya, belajar itu harus memberi peluang besar bagi
anak untuk berfikir, bekerja, dan biarkan mereka bergerak, terutama bagi
anak-anak yang membangun keilmuannya melalui interaksi dengan lingkungan.
Pengetahuan apa saja, matematika, sosial atau lainnya, akan lebih efektif
dengan pendekatan aktifitas (Aldirdge and Renitta Goldman, 2002: 103). Model
pembelajaran humanis ini terwadahi hanya dalam model sekolah demokratis, yakni
pendidikan dengan konsep bahwa sekolah itu untuk siswa atau anak-anak belajar,
bukan untuk guru mempertontonkan kepintarannya di hadapan siswa yang dibiarkan
menjadi penonton.
Berbagai
keunggulan model sekolah demokratis ini, sebagaimana dikemukakan oleh Dwight W
Allen ketika menjelaskan sekolah untuk abad mendatang (ke-21), dalam kerangka
penguatan model sekolah demokratis (Allen, 1992: 86), antara lain adalah:
1. Akuntabilitas; yakni
bahwa kebijakan-kebijakan sekolah dalam semua aspeknya dapat dipertanggung
jawabkan pada publik, yang meliputi pengangkatan guru sesuai dengan kategori
kebutuhan dan keahlian, yang kemudian teruji loyalitasnya terhadap proses
pendidikan dan pengajaran di sekolah. Guru yang diangkat harus yang memiliki
keahlian dalam bidang ilmu yang akan diajarkannya, memilki keterampilan
mengajar yang memadai, serta memiliki loyalitas keguruan yang teruji. Kemudian
manajemen sekolah juga dapat dipertanggung jawabkan pada publik, dapat
meminimalisir bias individual dalam berbagai keputusan, dan promosi seseorang
benar-benar didasarkan pada keahlian dan pengalaman yang memadai. Dan dalam
konteks akuntabilitas juga, sekolah demokratis selalu menjunjung tinggi
collective judgement, yakni keputusan diambil bersam-sama.
2. Pelaksanaan tugas guru
senantiasa berorientasi pada siswa, guru akan memberikan pelayanan pada siswa
secara individul. Berbagai kesulitan siswa akan menjadi perhatian guru, dan
dengan senang hati guru akan terus membantu sehingga siswa dapat menyelesaikan
berbagai kesulitannya.
3. Keterlibatan masyarakat
dalam sekolah; yakni dalam sekolah demokratis, sistem pendidikan merupakan
refleksi dari keinginan masyarakat.
Masyarakat
akan berpartisipasi dalam pendidikan, akan mempunyai rasa memiliki terhadapsekolah,
dan akan reponsif dengan berbagai persoalan sekolah. Dengan demikian, para guru
bekerja juga akan merasa tenang karena senantiasa bersama-sama dengan
masyarakatnya, keputusan pimpinan sekolah juga akan menjadi keputusan yang
bulat, karena disepakati bersama oleh masyarakatnya, dan sekolah akan selalu
terkontrol oleh mekanisme yang diatur dalam sisitem penyelenggaraan sekolah
tersebut.
Berbagai
keuntungan tersebut bisa menjadi sebuah perspektif positif untuk pengembangan
sekolah ke depan, karena jika pendidikan di Indonesia itu berkualitas rendah,
penyelesaiannya adlah perbaikan mendasar, yakni kurikulum, bahan ajar dan guru
sebagai pengajar. Dalam kerangka sekolah demokratis, guru dan pimpinan sekolah
harus menginformasikan pada orang tua tentang besaran kurikulum yang akan
diajarkan pada siswa, setidaknya berbagai kompetensi yang akan diberikan, serta
berbagai perlakuan dalam pengembangan belajar siswa dalam upaya mencapai
kompetensi-kompetensi tersebut. Setiap guru harus siap untuk dievaluasi, diberi
masukan dan dikritisi secara positif, baik oleh siswa maupun orang tua siswa,
sehingga mereka benar-benar menjadi profesional, dan bukan seorang tokoh
penguasa feodal.
Memang
ini gagasan reformasi radikal, namun Indonesia harus memulai, dan kini gagasan
reformasi tersebut memperoleh tempat yang ideal di Indonesia, terutama setelah
lahirnya UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang kemudian direvisi
dengan UU No. 33 tahun 2004 yang meletakkan sektor pendidikan sebagai slah satu
yang diotonomisasikan, serta UU No. 20 tahun 2003 yang memberikan penguatan
pada paradigma pendidikan demokratis serta mendorong optimalisasi peran serta
masyarakat, pendidikan memasuki era baru dengan semangat demokratis, karena
undang-undang tersebut disambut oleh daerah dengan memberi peluang pada
sekolah/madrasah untuk mengembangkan networking horizontalnya dengan
stakeholder dan user sekolah, dalam proses mengembangkan perencanaan sekolah,
pengembangan kurikulum maupun penetapan berbagai kebijakan mendasar dari
sekolah, tidak terkecuali sekolah negri, sementara pemerintah daerah hanya akan
mengambil tugas dan kewenangan fasilitatif, penyedia sarana dan prasarana,
pengajian dan pengembangan SDM serta koordinasi antar daerah kabupaten/kota,
dan pemerintah pusat hanya pengembangan standar serta berbagai sisitem yang
memberikan jaminan kualitas keluaran sekolah.
Implikasi
besar dengan lahirnya UU No.33 tahun 2005 dan UU No.20 tahun 2003 adalah
perubahan radikal dalam otoritas pengembangan pendidikan yang semula berada
dalam kekuasaan pemerintah pusat melalui Depdiknas-nya, kini terdelegasikan
pada sekolah dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Dan kini semangat
perubahan radikal tersebut memperoleh tempat yang sangat kuat dalam UU No. 20
tahun 2003 yang menegaskan dalam pasal 4 ayat 1 bahwa pendidikan
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural,
dan kemajemukan bangsa. Poin penting dalam ayat ini adalah penegasan bahwa pendidikan
diselenggarakan secara demokratis, artinya bahwa keterlibatan masyarakat dan
otoritas pengelola serta institusi-institusi pendukungnya akan lebih besar
daripada pemerintah pusat.
Bersamaan
dengan itu pula dalam pasal 9 dinyatakan bahwa masyarakat berhak berperan serta
dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.
Keikut sertaan masyarakat dapat diwujudkan dalam bentuk keterlibatkan mereka
dalam komite sekolah atau dewan pendidikan daerah. Komite sekolah berhak ikut
serta dalam merumuskan perencanaan pendidikan, tidak saja dalam perencanaan
makro tapi pada kebijakan restrukturisasi kurikulum, walaupun dalam batas-batas
gagasan besar dan tidak harus memasuki wilayah teknis, karena itu sudah menjadi
otoritas guru dan kepala sekolahnya. Demikikan pula dengan evaluasi
keberhasilan sekolah. menurut pasal 9 di atas, masyarakat berhak untuk
melakukan evaluasi terhadap sekolah, tidak saja dalam kerangka program
pendidikan secara makro, tapi pada wilayah mikro, kebijakan pengembangan
sekolah dalam semua aspeknya.
Kemudian
pemerintah daerah juga diberi kewenangan oleh undang-undang sebagaimana
dicantumkan dalam pasal 10 dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah
berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan
pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan
pada pasal 11 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah
wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Kemudian
pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai
lima belas tahun.
Dengan
demikian, peraturan perundang-undangan yang berlaku sudah memberi arah dan
wadah pengembangan sekolah yang lebih demokratis, bahkan dalam rumusan tujuan
pendidikan dinyatakan secara tegas pada pasal 3, bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Undang-undang
sudah mengamanatkan agar pendidikan mampu mengarahkan peserta didik menjadi
warga negara yang demokratis. Oleh sebab itu, selain diberi pengetahuan tentang
life skill sebagai warga negara demokratis melalui pendidikan kewarganegaraan,
juga mereka harus mengalami langsung bagaimana waktu dan kultur demokrasi itu
mewujud dalam kenyataan sekolah, yang mereka alami sehari-hari. Mereka harus
memilki pengetahuan dan pengalaman bahwa masyarakat ikut terlibat dalam
penyelenggaraan sekolah, baik dalam konteks sebagai kontributor pemikiran,
konsep dan gagasan, maupun sebagai kontributor fasilitas dan yang lainnya.
Masyarakat juga terlibat dalm pembahasan program-program sekolah, dan
masyarakat juga terlibat dalam evaluasi keberhasilan sekolah menyelenggarakan
pendidikan untuk siswa dan siswinya.
Instrumen
hukum yang telah disiapkan pemerintah untuk menegakkan dan mengimplementasikan
pendidikan demokratis, kini sudah disiapkan berbagai peraturan mentri
Pendidikan Nasional, yang diawali dengan standar pengelolaan pendidikan yang
benar-benar akuntabel, transparan dan melibatkan seluruh stakeholder sekolah.
Pemerintah hanyalah fasilitator terhadap penyelenggaraan pendidikan, sedangkan
school knowledge, SDM, waktu, alat dan penilaian, seluruhnya diserahkan pada
sekolah, terkecuali dengan kelulusan akhir yang diatur sedemikian rupa, dimana
siswa harus lulus dalam tiga ujian mata pelajaran, sekolah dan naional.
Otonimisasi ini didorong sesuai dengan semangat pelibatan seluruh pemangku
kepentingan agar potensi-potensi yang ada bermanfaat sebesar-besarnya untuk
kemajuan sektor pendidikan. Pemerintah hanya meregulasi dengan standarisasi,
termasuk standar isi, sarana, pembiayaan dan pendidik serta tenaga
kependidikan. Kalau seluruh standar ini sudah teremplementasi dalam pendidikan
kita, saya yakin, pendidikan kita tidak sekedar berkualitas tapi juga
ekspektatif bagi masyarakat.
2. Hubungan Pendidikan dan Demokrasi.
Dalam kaitan antara pendidikan dan demokrasi
terdapat dua pendapat yang saling bertentangan.(Zamrono, 2001: 58) Pertama,
muncul di lingkungan penganut paham demokrasi liberal yang menentang sekolah
dijadikan sebagai instrumen sosialisasi politik yang menguntungkan penguasa.
Sebab, pendidikan akan menghasilkan lulusan yang tidak memiliki kemandirian dan
cenderung menjadi robot. Menurut kelompok ini pendidikan harus ditempatkan
sebagai instrumen untuk mengembangkan watak demokratis, meningkatkan daya
kritis, mendorong semangat untuk mengejar pengetahuan dan senantiasa menjunjung
harkat dan martabat manusia. Kedua, menyatakan bahwa pendidikan
merupakan suatu instrumen untuk mengembangkan kesadaran, sikap dan perilaku
politik dengan harapan siswa menjadi warga masyarakat yang baik. Dalam pandangan
ini pendidikan sebagai alat sosialisasi politik merupakan kenyataan yang tidak
perlu dipungkiri lagi. Dewasa ini tidak ada satupun negara yang tidak
menggunakan pendidikan sebagai instrumen sosialisasi politik, bahkan di Barat
(AS) sekalipun yang dianggap sebagai pendekar Demokrasi dan HAM. Mereka tetap
menjadikan pendidikan sebagai alat indoktrinasi politik. Dalam buku-buku teks
Civics selalu ditekankan bahwa sistem kapitalitas paling baik dan sistem lain
jelek. Demikian juga dalam setiap buku diuraikan bahwa kehidupan negara-negara
sedang berkembang masih sangat terbelakang.
Demokrasi dan pendidikan, sesungguhnya, saling
berkaitan satu sama lain dan mempunyai bubungan timbal balik. Misalnya:
pendidikan jika dimaknai suatu proses bantuan untuk mengembangkan seluruh
potensi peserta didik, maka pendidikan harus dilaksanakan secara demokratis
(sering disebut dengan istilah demokrasi pendidikan). Pendidikan yang
demokratis mempunyai ciri adanya suasana belajar yang berkemampuan optimal
menumbuhkan potensi peserta didik untuk tujuan tertentu. (Suharjono, 200:4)
Begitu juga sebaliknya, agar nilai-nilai demokrasi (hak-hak asasi), kebebasan,
keadilan, persamaan dan keterbukaan) dapat dipahami dan memiliki peserta didik,
maka perlu pendidikan.( Iskandar 2001:3) Pendidikan tersebut berfungsi
menanamkan nilai-nilai demokrasi kepada peserta didik (pendidikan demokrasi
atau pendidikan tentang demokrasi).
3.
Mewujudkan Demokrasi
Lewat Pendidikan.
Pendidikan
mempunyai cakupan luas, jalur sekolah, luar sekolah dan keluarga. Pendidikan
sekolah sendiri terdiri atas jenjang pendidikan dasar, menengah dan pendidikan
tinggi. Untuk mewujudkan demokrasi dalam dan lewat sekolah, menurut John Dewey,
sekolah harus menjalankan tiga fungsi berikut, (1) sekolah harus memberikan
lingkungan yang disederhanakan dari kebudayaan kompleks yang ada, yaitu dipilih
dari segi fundamental yang dapat diserap oleh remaja, (2) sekolah sejauh
mungkin mengeliminasi segi-segi yang tidak baik dari lingkungan yang ada,
meniadakan hal-hal yang remeh dan tak berguna dari masa lampau dan memilih yang
terbaik dan memungkinkan anak-anak menjadi warga negara yang lebih baik dan
membentuk masyarakat masa depan yang lebih maju dan sejahtera, (3) sekolah
hendaknya menyeimbangkan berbagai unsur dalam lingkungan sosial serta
mengusahakan agar masing-masing individu mendapat kesempatan untuk melepaskan
dirinya dari keterbatasan-keterbatasan kelompok sosial dimana dia lahir.( John
Dewey, 1991:192)
Konsep tersebut
sesuai dengan paradigma pendidikan sistematik organik yang menyatakan bahwa
proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki empat ciri sebagai
berikut: (1) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran daripada
mengajar, (2) Pendidikan diorganisir dalam struktur yang fleksibel, (3)
Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki
karakteristik khusus dan mandiri dan (4) Pendidikan merupakan proses yang
berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan. (Zamroni, 2001:9)
Dengan
demikian, perwujudan sekolah yang mensosialisakan paham dan sikap demokratis,
seperti ditulis Zamroni, dapat dikaji berdasar empat aspek: (1) aspek status
siswa, berorientasi pada pendidikan modern yang mempunyai asumsi bahwa
pendidikan berlangsung dari lahir sampai mati. Artinya, sekolah adalah
kehidupan itu sendiri dan sebaliknya kehidupan itu adalah sekolah atau
pendidikan. Karena itu, sekolah merupakan kehidupan riel siswa itu sendiri
bukan tempat mempersiapkan siswa bagi kehidupan mendatang. Hal ini sesuai
dengan pendapat John Dewey sebagaimana dikutip Zamroni, school is not
preparation for life but life itself (sekolah bukan bekal untuk hidup tetapi
kehidupan itu sendiri).( Zamroni, 2001: 60) Implikasi dari orientasi ini adalah
anak didik merupakan subyek dalam proses pendidikan. Kehidupan sosial siswa
merupakan sumber transformasi kehidupan. Peran penting dalam proses pendidikan
bukan terletak pada mata pelajaran yang diberikan, melainkan terletak pada
aktivitas sosial siswa sendiri.
Orientasi
pendidikan modern ini memberikan penekanan dan tempat berkembangnya
kreativitas, kemandirian, toleransi dan tanggung jawab siswa. (2) aspek fungsi
guru: yaitu bahwa guru sebagai fasilitator dan motivator. Fungsi guru ini akan
muncul jika siswa berstatus sebagai subyek dalam proses pendidikan, karena
sebagai fasilitator dan motivator guru akan lebih banyak bersifat tut wuri
handayani dengan memberikan dorongan dan motivasi agar siswa dapat
memperluas kemampuan pandang untuk mengembangkan berbagai alternatif dalam
aktivitas kehidupan dan memperkuat kemauan untuk mendalami serta mengembangkan
apa yang telah dipelajari dalam proses pendidikan. (3) Dimensi Materi
Pendidikan: yaitu materi pendidikan bersifat problem oriented, guru
menyampaikan bahan pengajaran berangkat dari problem riel yang dihadapi siswa
dan lingkungan masyarakatnya.
Dengan demikian materi yang bersifat teoritis
akan dihubungkan dengan realitas kehidupan siswa. Guru dituntut berperan aktif,
kreatif dan berani membawa isue-isue kontroversial ke dalam proses belajar
mengajar. Adapun para siswa mendapat kesempatan untuk mendiskusikan isue-isue
yang sensitif tersebut. (4) Dimensi Manajemen Pendidikan: yaitu manajemen yang
bersifat desentralisasi yaitu kebijakan pendidikan lebih banyak ditentukan pada
level daerah, level sekolah dan level kelas. Dengan desentralisasi ini
kreativitas dan daya inovatif guru sangat diperlukan. Dimensi manajemen yang
bersifat desentralisasi diterapkan apabila dimensi siswa sebagai subyek
pendidikan, fungsi guru sebagai dinamisator dan fasilitator dan materi pengajaran
bersifat problem oriented.(Zamroni,
2001:61)
Orientasi pendidikan dengan keempat aspek yang
dikemukakan Zamroni tersebut akan mewujudkan praktek pendidikan yang demokratis
dan akan menghasilkan lulusan individu yang demokratis, kreatif, tolerans dan mandiri.
Ciri-ciri lulusan semacam ini akan sangat berperan mewujudkan masyarakat
demokratis.
4. Membangun
Sistem Pendidikan Demokratis.
Impian
pendidikan berkualitas hanya dapat diwujudkan dalam alam demokrasi pendidikan
dan demokrasi pendidikan hanya dapat diwujudkan dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Namun, kenyatannya
kehidupan yang demokratis masih lebih merupakan keinginan daripada kenyataan (Mastuhu,
2003:84).
Konsep sistem
pendidikan yang demokratis terkait dengan bagaimana pendidikan tersebut
disiapkan, dirancang dan dikembangkan sehingga memungkinkan terwujudnya
ciri-ciri atau nilai-niklai demokrasi. Ini juga bersifat umum dalam arti
mengemas sistem pendidikan dengan seluruh komponen, yaitu kurikulum, materi
pendidikan, sarana prasarana, lingkungan siswa, guru dan tenaga pendidikan
lainnya, proses pendidikan dan lainnya. Bisa juga bersifat khusus yaitu
pengemasan komponen-komponen tertentu dari sistem pendidikan tersebut mislanya
bagaimana kurikulum atau bahan pelajaran atau proses belajar mengajar dirancang
sedemikian rupa sehingga mencerminkan dan memungkinkan terbentuknya nilai-nilai
demokrasi (Arief Sadiman, 2001:1)
Dalam
mengembangkan sistem pendidikan yang demokratis di Indonesia, perlu
memperhatikan tujuh butir yang merupakan prinsip-prinsip dalam
prosedur-prosedur yang demokratis dan mencerminkan pandangan serta jalan hidup
demokratis yang diinginkan. Tujuh butir tersebut: (1) mengutamakan kepentingan
masyarakat, (2) tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, (3) mengutamakan
musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama, (4) musyawarah
untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan, (5) memiliki i'tikad
baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah,
(6) musyawarah yang dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani
yang luhur, (7) keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung-jawabkan
secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat
manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan. (Santi Arbi, 1988:294)
Sistem
pendidikan yang demokratis tersbeut perlu diperjelas secara makro di tingkat
nasional yang berlaku untuk seluruh Indonesia atau tingkat mikro di lingkungan
sekolah atau kelas. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membangun sistem
pendidikan yang demokratis sebagaimana yang dinyatakan Sadiman (2001: 5),
sebagai berikut:
1. Kurikulum
dirancang sedemikian rupa sehingga dapat memberikan ruang gerak bagi
sekolah/daerah tertentu untuk menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
setempat tanpa harus kehilangan orientasi nasional dan global. Kurikulum juga
harus menggariskan adanya mata pelajaran-mata pelajaran yang menggiring suasana
demokratis dalam proses belajar mengajar dan pada gilirannya dapat menanamkan
nilai-nilai demokratis pada diri anak didik.
2. Tidak
ada keharusan bagi sekolah atau lembaga pendidikan untuk menggunakan bahan
belajar tertentu. Idealnya diberi kebebasan memilih sendiri bahan belajar (buku
dan media) yang mereka nilai baik. Bahan belajar sendiri juga harus dikemas
dengan mengakui bahwa setiap siswa berbeda satu sama lain dengan kelebihan dan
kekurangannya memungkinkan adanya interaksi aktif dan menempatkan sasaran didik
sebagai subyek bukan obyek pendidikan.
3. Sarana
prasarana pendidikan pun harus menunjang terwujudnya nilai-nilai demokrasi
dalam praktek pendidikan atau belajar mengajara sehari-hari. Misalnya: ruang
kelas dengan meja kursi bangku tidak kaku tetapi memiliki fleksibilitas yang
tinggi, perpustakaan memiliki koleksi warna-warni yang tidak saja memotivasi
siswa untuk mengunjungi dan membaca tetapi juga memberikan alternatif pilihan
sumber belajar. Perpustakaan, baik perpustakaan kelas maupun perpustakaan
sekolah hendaknya menjadi bagian yang menyatu dengan proses belajar mengajar di
kelas. Sebagai individu anak hendaknya memiliki berbagai kebutuhan, maka
sekolah atau lembaga pendidkan haruslah mampu memberikan lingkungan belajar
yang bisa memenuhi kebutuhan biologis (makanan, minuman, rasa aman dan tempat
istirahat), kebutuhan psikologis dan kebutuhan sosial (komunikasi dan interaksi
dengan sesama manusia).
4. Sebagai
komponen sistem pendidikan, guru harus bersikap demokratis. Guru harus mampu
menerima perbedaan, menghargai pendapat siswa tidak memaksakan kehendak, merasa
paling tahu dan menciptakan suasana belajar yang demokratis. Peran guru bukan
sebagai satu-satunya sumber belajar karena telah/makin banyak sumber belajar
lain di sekitar kehidupan anak.
5. Proses
pendidikan atau belajar mengajar hendaknya mencerminkan nilai-nilai demokrasi.
Berkaitan
dengan konsep kelima, Arief S. Sadiman (2001:6) menjelaskan bahwa proses
pembelajaran yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi adalah sebagai berikut:
(a) Menempatkan
anak didik sebagai individu yang unik. Mereka memiliki minat, bakat, efisiensi
alat indra, kecerdasan, cara merespon pelajaran yang diberikan, ketrampilan dan
sikap berbeda satu sama lain sehingga perlu diberikan treatmen yang berbeda.
Proses pendidikan hendaknya mampu menciptakan konsep diri yang positif pada
anak didik. Masing-masing anak harus merasa sanggup, aman dan menemukan
tempatnya masing-masing di dalam masyarakat sekolah. Tidak ada anak yang unknown
semua baik yang pandai maupun yang lemah semua mendapat perhatian.
(b) Pembelajaran
hendaknya bersifat individual dalam arti tiap siswa mendapatkan cara penanganan
sesuai dengan karakter masing-masing. Apabila hal ini masih sulit dilakukan
maka bisa ditempuh cara pengelompokan siswa berdasarkan prestasi “acheivement
grouping”. Kelompok ini bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan
masing-masing individu. Strategi ini dimaksudkan memberi kesempatan pada anak
untuk meningkatkan diri sejalan dengan kecepatan belajarnya.
(c) Sebagai
konsekuensi dari pembelajaran individual tersebut perlu diterapkan sistem maju
berkelanjutan “continuous progress”. Pelaksanaan sistem ini memungkinkan
siswa menyelesaikan pendidikan lebih cepat, lebih lambat atau tepat pada
waktunya. Sistem maju berkelanjutan membuka peluang secara luas bagi
perkembangan pribadi anak karena anak dapat maju tanpa hambatan, kelas atau
tingkatan tidak lagi merupakan barrier untuk terus maju. Sistem ini
tidak saja akan menguntungkan anak, akan tetapi juga bisa menjadi pemicu
peningkatan atau percepatan-achievement.
(d) Demokrasi
menghargai kebebasan individu untuk mengekspresikan diri namun tetap menghargai
norma dan etika. Proses pendidikan di sekolah bisa mewujudkan hal ini dengan
sengaja dan memberikan paling tidak satu jam belajar bebas “independent
study” setiap minggunya. Dalam pelajaran ini anak belajar bertanggungjawab
atas kebebasan yang diberikan. Dengan menggunakan perpustakaan dan sumber
belajar lain, anak belajar mengarahkan diri, menolong diri, disiplin dan
mengontrol diri. Dengan mencari kesibukan yang sesuai dengan kebutuhan dan
tahap perkembangan masing-masing anak berusaha memenuhi kebutuhan. Pelajaran
ini juga melatih siswa menghargai waktu, mengembangkan kemampuan anak untuk
mengarahkan diri (self direction), mendisiplinkan diri (self
discipline), menguasai diri (self control), menolong diri sendiri (self
help), mengandalkan diri (self reliance) dan menyibukkan diri (self
activity).
(e) Untuk
menetralisir tumbuhnya sikap individualistis perlu disiapkan pelajaran
kelompok. Proses belajar dalam kelompok ini tidak saja membina sikap toleransi
anak tetapi juga memberi kesempatan untuk mengadakan interaksi sosial, belajar
bahwa masih ada orang di luar diri sendiri, bersikap terbuka terhadap perubahan
dan saling membantu.
(f) Proses
belajar mengajar harus memberi kesempatan anak didik untuk mengekspresikan
dirinya baik lesan maupun tertulis. Untuk metodologi pembelajaran yang dipilih
harus memungkinkan hal tersebut. Misalnya: diskusi, seminar, observasi,
eksperimen perorangan maupun kelompok dan sebagainya. Pelajaran mengarang yang
sementara ini diabaikan karena berat dalam mengoreksi justru harus ditingkatkan
dan diperhatikan. Tata krama secara lesan dan tertulis harus dipelajari anak.
Dalam kaitan ini terasa penting perpustakaan yang terpadu dengan proses belajar
mengajar di kelas.
(g) Peran
serta aktif anak didik tidak saja digalang dalam proses belajar mengajar di
sekolah maupun di rumah, tetapi juga menetapkan tata tertib atau aturan yang
harus ditaati sendiri. Juga dalam kegiatan seperti mengelola majalah sekolah.
Ini jelas merupakan cerminan hidup demokratis.
(h) Grafik
prestasi kelas dan grafik prestasi pribadi yang dipasang di kelas menunjukkan
posisi masing-masing anak dalam mata pelajaran tertentu. Keterbukaan ini
mengajarkan pada anak kejujuran untuk mengakui kelemahan atau kekurangan diri
dan kekurangan atau kelebihan orang lain sekaligus memotivasi anak untuk
meningkatkan diri dan motivasi berprestasi.
(i) Evaluasi
dalam pendidikan yang demokratis tidak hanya menilai prestasi siswa tetapi juga
menilai kinerja para guru/pendidik dan sistem secara keseluruhan. Guru
hendaknya berjiwa besar atau berlapang dada untuk menerima penilaian dari siswa
dengan tujuan meningkatkan mutu pendidikan di lembaga tersebut.
RANGKUMAN
Makna
demokrasi dalam pendidikan mengandung unsur kemandirian, kebebasan dan tanggung
jawab. Kemandirian untuk mengembangkan kepercayaan diri sekaligus kesadaran
akan keterbatasan kemampuan individu sehingga bekerja sama dengan individu lain
merupakan keharusan dalam kehidupan masyarakat. Kebebasan memiliki makna perlu
dikembangkan visi kehidupan yang bertumpu pada kesadaran akan pluralitas
masyarakat, bukan hanya mementingkan invidu atau kelompok dan menimbulkan
konflik. karena itu kebebasan harus diiringi dengan rasa tanggung jawab.
Demokrasi
dan pendidikan merupakan dua istilah yang saling berkaitan satu sama lain karena
nilai demokrasi untuk difahami dan dimiliki masyarakat harus melalui
pendidikan, begitu juga sebaliknya agar pendidikan dapat menghasilkan lulusan
yang memiliki kemandirian, daya kritis, dinamis, watak demokratis dan
senantiasa menjunjung harkat dan martabat manusia, maka pendidikan harus
dilaksanakan dengan demokrasi.
Indikator
lembaga pendidikan yang demokratis adalah (a) manajemen pendidikan bersifat
desentralisasi yaitu kebijakan pendidikan lebih banyak ditentukan pada level
daerah, level sekolah dan level kelas; (b) materi pendidikan bersifat problem
oriented, dimana guru menyampaikan bahan pengajaran berangkat dari problem riel
yang dihadapi siswa dan lingkungannya dengan pendekatan konstruktivistik; (c)
Siswa merupakan subyek dalam proses pendidikan (peserta didik) dan (d) guru
sebagai fasilitator, dinamisator dan motivator yang lebih banyak bersifat
tutwuri handayani dengan memberikan motivasi kepada siswa untuk mengembangkan
kemandiriannya, kreativitasnya dan toleransinya.
Dalam
membangun sistem pendidikan yang demokratis di Indonesia melibatkan seluruh
pelaku pendidikan dalam mempersiapkan, merancang dan mengembangkan lembaga
pendidikan yang berlandaskan prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi
Pancasila. Nilai demokrasi harus melekat pada seluruh komponen pendidikan yaitu
nilai demokrasi melekat pada guru, peserta didik, kurikulum, sarana pendidikan,
proses pendidikan dan lingkungan pendiidkan.
TUGAS LATIHAN:
1
Kemukakan dan jelaskan apa yang anda ketahui tentang demokrasi
dalam pendidikan ?
2
Bagaimana anda mamaknai/memahami sifat dan prinsip demokrasi
pendidikan ?
3
Bagaimana perspektif saudara dalam hal penerapanm demokrasi
dalam pendidikan ?
4
Berikan suatu analisis yang kritis dan obyektif dan rasional persamaan dan perbedaan
demokrasi pendidikan dengan demokrasi yang bukan tidak berkaitan dengan
pendidikan seperti: kekuasaan,
perdagangan, hukum, politik dan sebagainya. ?
5
Kemukakan dan jelaskan
hubungan antara pendidikan dan demokrasi ?
6
Kemukakan pemikiran saudara tentang bagaimana membangun
sistem pendidikan yang demokratis ?
7
Kemukakan dan berikan komentar tentang pandangan-pandangan
ahli tentang demokrasi pendidikan ?
8
Kemukakan dan jelaskan singkat indikator pendidikan yang demokratis ?
9
Bagaimana mewujudkan suatu demokrasi melalui proses pendidikan di sekolah
?
10 Berikan komentar dan
pendapat saudara tentang ikhwal pelibatan masyarakat dalam pendidikan di sekolah
?
BAHAN BACAAN/RUJUKAN :
1
Aldridge, Jerry, and Renitta Goldman, 2002, : Current Issues and Trends in Education,
Allyn and Bacon, Boston, USA,.
2
Allen, Dwight W, 1992, : School
for a New Century, A Concervative Approach to Radical School Reform,
Praeger, New York,.
3
Apple, Michael W, and James A Bene, 1995, :The Case of Democratic School, dalam
Michael W Apple and James A Beane, Democratic
School’, ASCD, Alexandria, Virginia,.
4
Departemen Pendidikan
Nasional, Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Jakarta: Pustaka Widyatama, 2003
5
Dewey, John, Democracy
and Education, New York, The Free Press, 1994
6
Djohar, Pendidikan
Strategik, Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan, Jogjakarta: LESFI, 2003.
7
Goodlad, John I, Democracy, 1996, : Education and Community, dalam Roger Soder, Democracy, Education and
the School, Jossey Bass, San Francisco,.
8
Kusuma, Iskandar Wiryo,
Demokratisasi Belajar dan Pembelajaran Ditinjau dari Segi Pengalaman
Empirik, Malang: Makalah Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran di Malang,
2001
9
Mastuhu, Menata
Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21, Jogjakarta: Safiria
Insania Press, 2003
10 Peraturan
Pemerintah (PP) No. 55 tahun 2007, Tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan.
11 Sadiman,
Arif S., Paradigma Baru Pengemasan Pendidikan yang Demokratis Ditinjau dari
Segi Aspek Kebijakan, Makalah Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran di
Malang, 2001
12 Sparingga,
Daniel, Paradigma Baru Pengemasan Pendidikan yang Demokratis Ditinjau dari
Segi Sosiologi, Malang: IPTP, 2000
13 Statistic Indonesia, dalam
www.statistic-indonesia.com. Badan Pusat Statistik bekerjasama dengan
Australian National University dan Lembaga Demografi UI, 2008.
14 Sudana
Degeng, I Nyoman, Paradigma Baru Pendidikan Memasuki Era Demokratisasi
Belajar, Makalah Seminar Nasional Teknologi Pembelajaran di Malang, 2001.
15
Suhardjono, Haruskah
Demokrasi Belajar Menggunakan Konstruktivistik, Malang: IPTP, 2000
16
Tarcov, Nathan, 1996.: The
Meaning of Democracy, dalam Roger Soder, ‘Democracy, Education and The school’, Jossey Bass, San Francisco,
17 UU No. 14 Tahun 2005,
Tentang Guru dan Dosen.
18 UU No. 20 Tahun 2005,
Tentang Sisitem Pendidikan Naional.
19 Zamroni
Paradigma Pendidikan Masa Depan, Jogjakata: Bigraf, 2001.
20 Zamroni,
Pendidikan untuk Demokratisasi, Tantangan Menuju Civil Society,
Jogjakarta: Bigraf Publishing, 2001
21 Zanti
Arbi, Sutan, Pengantar kepada Filsafat Pendidikan, Jakarta: Dikti Dep