MODUL 1
ANALISIS ARAH KEBIJAKAN
PENDAHULUAN
Perubahan kehidupan berbangsa dan
bernegara secara fundamental, dari sistem kepemerintahan yang otoriter dan
sentralistik menuju ke sistem pemerintahan yang demokratis. Dan juga tengah
menerapkan perimbangan urusan/ kewenangan pusat dan daerah otonom. Perubahan
yang terjadi tersebut menuntut terbentuknya pemerintahan yang bersih dan
tranparan, dalam mengeluarkan berbagai kebijakan publik yang menguntungkan
semua rakyat. Pada dasarnya goverment memiliki arti atau berkonotasi
baik, karena keberadaannya dimaksudkan untuk menjalankan pemerintahan dalam
mengatur dan memfasilitasi kegiatan/ program pemerintahan umum dan pembangunan.
Goverment menjadi baik atau buruk dikarenakan governance-nya (tata
kepemerintahannya), karena itu muncul istilah good governace (tata
kepemerintahan yang baik) dan sebaliknya muncul istilah bad governance
(tata kepemerintahan yang buruk) .
Kebijakan publik dapat diartikan
sebagai rencana tindakan negara atau pemerintah, yang akibat-akibat konstruktif
atau destruktifnya secara langsung berpengaruh kepada masyarakat luas. Hal ini
dikarenakan perencanaan tindakan negara atau pemerintah disusun mulai dari
kebijakan nasional sampai ke kebijakan di daerah (dalam bentuk stratifikasi
politik kebijakan nasional), sehingga semua komponen masyarakat menerima
pengaruh pelaksanaan kebijakan itu.
Pembuatan kebijakan publik yang
berbagai macam jenisnya, mencerminkan artikulasi aspirasi rakyat, pada saat ini
selalu diupayakan untuk bersifat demokratis, dimana rakyat diberi ruang
untuk menyuarakan kepentingan/ kebutuhannya. Dengan demikian pihak policy
maker selaku pembuat kebijakan mendapatkan legitimasi yang semakin kuat,
untuk melaksanakan berbagai kebijakan/ keketapan/ keputusan.
Setelah
mengikuti perkuliahan mahasiswa minimal berkompeten
mengetahui, memahami, menganalisis dan menjelaskan tentang:
1.
Konsep dasar kebijakan
2.
Daur/Siklus Kebijakan
3.
Implementasi Kebijakan
4.
Permasalahan Analisis
5.
dan Penilaian Kebijakan
CONTEN KEBIJAKAN PUBLIK
Kebijakan
tidak lepas dari apa yang dinamakan kebijakan publik, termasuk pendidikan.
Thomas R. Dye, Mendefinisikan kebijakan publik sbb : “Public Policy is whatever the government
choose to do or not to do”. (Kebijakan publik adalah apapun pilihan
pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu). Sedangkan James E. Anderson Mengatakan : “Public Policies are those policies developed by governmental bodies and
officials”. (Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan
oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah).
Analisis kebijakan
publik dimengerti melalui pemahaman konsep tentang:
Analisis
: Suatu alat diarahkan utk dpt menemukan data dan informasi yg akurat,
aktual dan berbagai alternatif tindakan, pemecahan yg tepat untuk dipilih.
Kebijakan
: Tindakan scr disengaja yg dilakukan seorang aktor berkenaan dgn adanya
masalah tertentu yg dihadapi.
Publik
: Orang banyak (umum), masyarakat
Keputusan :
Suatu pilihan thd pelbagai macam alternatif
Perumusan Kebijakan :
Pilihan alternatif terus-menerus dilakukan dan tak pernah selesai
Setiap Administrator
dituntut :
1. Memiliki
kemampuan/keahlian
2. Tanggung jawab dan kemauan
3. Membuat kebijakan sesuai dgn yg
diharapkan
·
Kebijakan Nasional
Suatu kebijakan negara yg bersifat fundamental dan strategis
dalam pencapaian tujuan nasional. Yang berwenang menetapkan adalah MPR,
Presiden, dan DPR. Misal : UU, PP, dan PERPU.
·
Kebijakan Umum
Suatu
kebijakan presiden sebagai pelaksanaan UUD, UU untuk mencapai tujuan nasional.
·
Kebijakan Pelaksanaan
Merupakan
penjabaran dari kebijakan umum sebagai strategi pelaksanaan tugas di bidang
tertentu.
1. Policy Demands (Tuntutan Kebijakan)
1. Policy Demands (Tuntutan Kebijakan)
2.
Policy Decisions (Keputusan Kebijakan)
3.
Policy Statement (Pernyataan Kebijakan)
4.
Policy Outputs (Keluaran Kebijakan)
5.
Policy Outcomes (Hasil Akhir Kebijakan)
Kebijakan pendidikan yang benar-benar memihak kepada kepentingan
user di lapangan (masyarakat) terkait dengan banyak hal utamanya menyangkut konsep dasar, daur atau
siklus suatu kebijakan ditempuh, pelaksanaan, dan analisis masalah pada saat
pengambilan kebijakan dan perlakuan penilaian. Untuk itulah beberapa hal
tersebut dikemukakan sebagai berikut:
1. Konsep Dasar Kebijakan Pendidikan
Kebijakan publik menurut para ahli
pengertiannya (Didi Marzuki -Editor, 2006, h 24-25) sebagai berikut :
Jemes E. Anderson (1979)
mengatakan Public Policies are those policies developed by governmental
bodies and officials, dapat diartikan bahwa Kebijakan Publik adalah
kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat
pemerintah. Kebijakan yang dibuat ini juga memerlukan kontribusi seluruh
stakeholders terkait isu kebijakan yang hendak dipecahkan untuk tujuan
kepentingan masyarakat/ publik. Implikasi dari kebijakan publik ini adalah
berorientasi pada tujuan/ maksud tertentu, berisi pola-pola tindakan
pemerintah/ pejabat, memiliki sifat memaksa (otoritatif). Sebagai misal pemakaian
helm standar SNI bagi pengendara sepeda motor, kepemilikan NPWP bagi seluruh
penduduk Indonesia yang bekerja maupun yang sudah pensiun, pengenaan pajak bumi
dan bangunan (PBB) bagi seluruh penduduk yang memiliki tanah dan bangunan.
David Easton (1953) mengatakan
Public Policy is the authoritative allocation of values for whole society, dapat
diartikan bahwa Kebijakan Publik adalah pengalokasian nilai-nilai secara syah
kepada seluruh anggota masyarakat. Kebijakan yang dibuat ini bertujuan untuk
mendistribusikan berbagai nilai sesuai kewenangan yang dimiliki pemerintah,
dari pemerintah pusat sampai ke pemerintah daerah/ lokal. Sebagaimana tercantum
dalam pasal 10, 13 dan 14 UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah,
yang memuat pembagian urusan/ kewenangan pemerintah pusat, pemerintah provinsi
dan pemerintah kota/ kabupaten, maka berbagai urusan/ kewenangan tersebut
seperti berikut ini.
Urusan pemerintah pusat (pasal 10 ayat (3)) meliputi :
1.
politik luar negeri
2.
pertahanan
3.
keamanan
4.
yustisi
5.
moneter dan fiskal nasional dan agama
Urusan pemerintah provinsi (pasal 13 ayat (1))
meliputi :
1.
perencanaan dan pengendalian pembangunan
2.
perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang
3.
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat
4.
penyediaan sarana dan prasarana umum
5.
penanganan bidang kesehatan
6.
penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya
manusia potensial
7.
penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/ kota
8.
pelayanan bidang ketenaga-kerjaan lintas kabupaten/
kota
9.
fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan
menengah termasuk lintas kabupaten/ kota
10. pengendalian lingkungan hidup
11. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/ kota
12. pelayanan kependudukan dan catatan sipil
13. pelayanan administrasi umum pemerintahan
14. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/
kota
15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten/ kota
16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan undang-undang
Urusan pemerintah provinsi yang
bersifat pilihan (pasal 13 ayat (2)) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat
nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sesuai
kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan, antara lain
pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan dan pariwisata
- Urusan pemerintah kota/ kabupaten (pasal 14 ayat (1)) meliputi :
1.
perencanaan dan pengendalian pembangunan
2.
perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang
3.
penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman
masyarakat
4.
penyediaan sarana dan prasarana umum
5.
penanganan bidang kesehatan
6.
penyelenggaraan pendidikan
7.
penanggulangan masalah sosial
8.
pelayanan bidang ketenaga-kerjaan
9.
fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan
menengah
10. pengendalian lingkungan hidup
11. pelayanan pertanahan
12. pelayanan kependudukan dan catatan sipil
13. pelayanan administrasi umum pemerintahan
14. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk
15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya
16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan
undang-undang
Urusan pemerintah kota/ kabupaten
yang bersifat pilihan (pasal 14 ayat (2)) meliputi urusan pemerintahan yang
bersifat nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
sesuai kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan, antara
lain pertambangan, perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan dan pariwisata
Thomas R Dye mengatakan
: Public Policy is whatever the government choose to do or not to do, dapat
diartikan bahwa Kebijakan Publik adalah apapun pilihan kebijakan pemerintah
untuk melaksanakan sesuatu atau tidak melaksanakan sesuatu, yang masing-masing
pilihan memiliki alasan dan tujuan tersendiri. Hal ini termasuk ketika
pemerintah memilih tidak melakukan sesuatu, misalnya angkutan
becak, pemerintah kota Semarang sampai hari ini tidak melarang angkutan becak
mencari penumpang di jalan-jalan besar ataupun di tempat-tempat lain di wilayah
kota Semarang. Berbeda dengan kota Jakarta yang telah lama memberlakukan
larangan angkutan becak di wilayah ibukota.
Duke dan Canady (1991) mengelaborasi konsep kebijakan dengan
delapan arah pemaknaan kebijakan, yaitu: (1) kebijakan sebagai penegasan maksud
dan tujuan, (2) kebijakan sebagai sekumpulan keputusan lembaga yang digunakan
untuk mengatur, mengendalikan, mempromosikan, melayani, dan lain-lain pengaruh
dalam lingkup kewenangannya, (3) kebijakan sebagai panduan tindakan diskresional,
(4) kebijakan sebagai strategi yang diambil untuk memecahkan masalah, (5)
kebijakan sebagai perilaku yang bersanksi, (6) kebijakan sebagai norma perilaku
dengan ciri konsistensi, dan keteraturan dalam beberapa bidang tindakan
substantif, (7) kebijakan sebagai keluaran sistem pembuatan kebijakan, dan (8)
kebijakan sebagai pengaruh pembuatan kebijakan, yang menunjuk pada pemahaman
khalayak sasaran terhadap implementasi sistem.
Ketika memberikan pengantar untuk paparan sejumlah kasus kebijakan
pendidikan di beberapa negara maju, Hough (1984) memberikan kontribusi sangat
berarti bagi para pengkaji kebijakan pendidikan. Kontribusi ini terutama
menyangkut isu-isu konseptual dan teoretik yang mampu memberikan kerangka
pemahaman utuh bagi analisis kebijakan pendidikan.
Hough (1984) juga menegaskan sejumlah arti kebijakan. Kebijakan
bisa menunjuk pada seperangkat tujuan, rencana atau usulan, program-program,
keputusan-keputusan, menghadirkan sejumlah pengaruh, serta undang-undang atau
peraturan-peraturan. Bertolak dari konseptualisasi ini, misalnya, ujian
nasional merupakan salah satu bentuk kebijakan pendidikan. Ujian nasional
memadai untuk dikategorikan sebagai kebijakan karena: (1) dengan jelas
dimaksudkan untuk mencapai seperangkat tujuan, (2) senantiasa menyertakan
rencana pelaksanaan, (3) merupakan program pemerintah, (4) merupakan
seperangkat keputusan yang dibuat oleh lembaga dan atau pejabat pendidikan, (5)
menghadirkan sejumlah pengaruh, akibat, dampak dan atau konsekuensi, (6)
dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan peraturan lembaga
terkait.
2. Daur/Siklus
Kebijakan Pendidikan
Kontribusi Hough (1984) yang juga sangat penting adalah
penjelasannya mengenai tahapan-tahapan dalam proses kebijakan. Kerangka
analisis yang ditujukan pada proses kebijakan mencakup: (1) Kemunculan isu dan
identifikasi masalah, (2) perumusan dan otorisasi kebijakan, (3) implementasi
kebijakan, (4) dan perubahan atau pemberhentian kebijakan.
Pada tahap kemunculan isu dan identifikasi masalah, dilakukan pengenalan
terhadap suatu masalah atau persoalan yang memerlukan perhatian pemerintah,
masalah-masalah yang memdapat tempat dalam agenda publik serta agenda resmi,
serta mobilisasi dan dukungan awal bagi strategi tertentu.
Pada tahap perumusan dan otorisasi kebijakan, dilakukan eksplorasi
berbagai alternatif, perumusan seperangkat tindakan yang lebih dipilih,
usaha-usaha untuk mencapai konsensus atau kompromi, otorisasi formal strategi
tertentu seperti melalui proses legislasi, isu pengaturan atau penerbitan arahan-arahan.
Pada tahap implementasi, dilakukan interpretasi terhadap kebijakan
dan aplikasinya terhadap kasus tertentu, serta pengembangan satu atau lebih
program sebagai alternatif yang dipilih untuk memecahkan masalah yang dihadapi.
Pada tahap penghentian atau
perubahan kebijakan, dilakukan penghentian karena masalah telah dipecahkan,
kebijakan tidak berhasil atau hasilnya dinilai tidak diinginkan, melakukan
perubahan mendasar berdasarkan umpan-balik, atau mengganti kebijakan tertentu
dengan kebijakan baru.
Aspek kedua yang harus dikaji dalam analisis kebijakan pendidikan
adalah konteks kebijakan. Ini harus dilakukan karena kebijakan tidak muncul
dalam kebampaan, melainkan dikembangkan dalam konteks seperangkat nilai,
tekanan, kendala, dan dalam pengaturan struktural tertentu. Kebijakan juga
merupakan tanggapan terhadap masalah-masalah tertentu, kebutuhan serta aspirasi
yang berkembang.
Aspek ketiga yang harus dikaji dalam analisis kebijakan pendidikan
adalah pelaku kebijakan. Aktor kebijakan pendidikan bisa dikategorikan menjadi
dua, yaitu: para pelaku resmi dan pelaku tak resmi. Pelaku resmi kebijakan
pendidikan adalah perorangan atau lembaga yang secara legal memiliki
tanggungjawab berkenaan dengan pendidikan. Aktor tak resmi kebijakan pendidikan
adalah individu atau organisasi yang terdiri dari kelompok kepentingan, partai
politik, dan media. Dalam aktor kebijakan resmi, juga dibagi-bagi lagi ---
tetapi mengikuti sistem pemerintahan negara yang dikaji --- mulai dari pejabat
senior hingga partai politik, lembaga pendidikan, lain-lain lembaga terkait
pendidikan, dan antar badan antar pemerintah.
Pada aktor informal, atau tak resmi, terdapat kelompok
kepentingan, partai politik, serta media massa. Kelompok kepentingan ini antara
lain serikat guru, asosiasi yang mewakili jenis atau jenjang pendidikan
tertentu, asosiasi yang mewakili peserta didik, asosiasi yang mewakili pimpinan
perguruan tinggi, hingga asosiasi yang mewakili orangtua peserta didik.
Berdasarkan seluruh kajian yang dilakukan, memang tidak mungkin
untuk disimpulkan secara umum. Namun demikian, jelas bahwa kadang-kadang
kebijakan pendidikan secara terbuka dan hati-hati dihentikan, dimodifikasi,
dihaluskan, atau diganti dengan kebijakan lain.
3.
Implementasi Kebijakan Pendidikan
Grindle (1980) menempatkan implementasi kebijakan sebagai suatu
proses politik dan administratif. Dengan memanfaatkan diagram yang
dikembangkan, jelas bahwa proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai
apabila tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula bersifat umum telah
dirinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah
dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut. Ini
merupakan syarat-syarat pokok bagi implementasi kebijakan publik apapun.
Tanpa adanya syarat-syarat tersebut, maka kebijakan publik boleh
dikatakan sekedar retorika politik atau slogan politik. Secara teoretik pada
tahap implementasi ini proses perumusan kebijakan dapat digantikan tempatnya
oleh proses implementasi kebijakan, dan program-program kemudian diaktifkan.
Tetapi dalam praktik, pembedaan antar tahap perumusan kebijakan dan tahap
implementasi kebijakan sebenarnya sulit dipertahankan, karena umpan balik dari
prosedur-prosedur implementasi mungkin menyebabkan diperlukannya perubahan-perubahan
tertentu pada tujuan-tujuan dan arah kebijakan yang sudah ditetapkan. Atau
aturan-aturan dan pedoman-pedoman yang sudah dirumuskan ternyata perlu ditinjau
kembali sehingga menyebabkan peninjauan ulang terhadap pembuatan kebijakan pada
segi implementasinya.
Lebih khusus lagi, dilihat dari sudut proses implementasi,
keputusan-keputusan yang telah dibuat pada tahap rancangan atau perumusan
berpengaruh terhadap lancar atau tidaknya implementasi. Hal ini kiranya akan
menjadi jelas dengan mengambil contoh dampak tertentu yang ditimbulkan terhadap
implementasi dari keputusan untuk mengalokasikan sejumlah besar dana yang
dimaksudkan unhik mewujudkan tujuan kebijakan tertentu.
Perlu pula ditambahkan bahwa proses implementasi untuk sebagian
besar dipengaruhi oleh macam tujuan yang ingin dicapai dan oleh cara perumusan
tujuan. Dengan demikian perumusan keputusan atau mungkin bahkan tidak
dirumuskan sama sekali mengenai macam kebijakan yang akan ditempuh serta macam
program yang akan dilaksanakan merupakan faktor-faktor yang menentukan apakah
program-program tersebut akan dapat dilaksanakan dengan berhasil ataukah tidak.
Muatan dari pelbagai kebijakan kerapkali juga menentukan letak
implementasinya. Implementasi beberapa kebijakan tertentu biasanya hanya
melibatkan sejumlah kecil satuan-satuan pembuat keputusan kunci di tingkat
nasional, misalnya aktor-aktor yang menduduki posisi-posisi puncak.
Sebaliknya, ada pula kebijakan yang dilaksanakan oleh sejumlah
besar pambuat keputusan yang posisinya bertebaran dalam wilayah geografis dan
administratif yang luas, sekalipun biasanya hanya melibatkan suatu organisasi
birokrasi tunggal. Di samping itu berbagai pejabat di daerah mungkin dilibatkan
sebagai pelaksana-pelaksana dari program-program yang telah dirancang.
Semakin tersebar posisi implementasi, baik secara geografis maupun
secara organisatoris-administratif, maka semakin sulit pula tugas-tugas
implementasi suatu program. Sebabnya ialah karena makin banyak jumlah
satuan-satuan pengambil keputusan yang terlibat di dalamnya.
Keputusan-keputusan yang dibuat pada saat perumusan kebijakan
dapat pula menunjukkan siapa yang akan ditugasi untuk mengimplementasikan
berbagai program yang ada. Keputusan-keputusan demikian ini pada gilirannya
akan dapat mempengaruhi bagaimana kebijakan itu akan diwujudkan di kelak
kemudian hari. Dalam hubungan ini mungkin akan dapat dideteksi secara dini
adanya perbedaan-pebedaan tertentu pada berbagai satuan birokrasi yang akan
terlibat langsung dalam pengeloaan program. Perbedaan itu, misalnya dalam hal
tingkat kemampuan administratif atau manajerialnya. Di antara berbagai satuan
birokrasi itu mungkin memiliki staf yang aktif, berkeahlian, dan berdedikasi
tinggi terhadap keberhasilan pelaksanaan tugas, sedangkan satuan-satuan
birokrasi lainnya tidak.
Sementara itu, beberapa di antara satuan birokrasi tersebut
mungkin akan mendapatkan dukungan yang lebih besar dari elite-elite politik
yang berkuasa dan, karena itu, mereka dalam menjalankan tugasnya akan memiliki
peluang yang lebih besar untuk mendapatkan sumber-sumber yang diperlukan. Di
lain pihak, beberapa satuan birokrasi lainnya mungkin lebih mampu menanggulangi
berbagai macam tuntutan dan kendala yang menghadang mereka.
Bentuk tujuan-tujuan kebijakan juga membawa dampak terhadap
implementasinya. Dalam hubungan ini apakah tujuan-tujuan itu telah dirumuskan
dengan jelas ataukah masih kabur, dan apakah pejabat-pejabat politik dan
administrasi memiliki komitmen yang tinggi terhadap tujuan-tujuan tersebut
ataukah tidak, pada akhirnya akan berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan
proses implementasinya.
Dari berbagai penjelasan di atas, jelas bahwa muatan program daii
muatan kebijakan publik itu berpengaruh terhadap hasil akhir implementasinya.
Namun sebagaimana telah ditunjukkan dalam diagram tadi, muatan program atau
muatan kebijakan itu menjadi faktor yang berpengaruh karena dampaknya yang
nyata atau yang potensial terhadap lingkungan sosial, politik dan ekonomi
tertentu. Oleh sebab itu, penting sekali untuk memperhitungkan konteks atau
lingkungan implementasi kebijakan.
Dalam proses implementasi atau pengadministrasian setiap program
mungkin banyak aktor yang terlibat dalam penentuan pilihan-pilihan mengenai
alokasi sumber-sumber publik tertentu serta banyak pihak yang mungkin berusaha
keras untuk mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut. Berbagai pihak yang
kemungkinan berpihak dalam implementasi program tertentu ialah para perencana
tingkat nasional; para politisi tingkat nasional, regional dan lokal;
kelompok-kelompok elite ekonomi, khususnya di tingkat lokal; kelompok-kelompok
penerima program dan para pelaksana atau para birokrat pada tingkat menengah
atau bawah. Aktor-aktor tersebut mungkin terlibat secara penuh ataukah tidak
dalam implementasi program tertentu sedikit banyak akan ditentukan oleh muatan
program dan bagaimana bentuk pengadministrasian programnya.
Masing-masing aktor mungkin mempunyai kepentingan tertentu dalam
program tersebut, dan masing-masing mungkin berusaha untuk mencapainya dengan
cara mengajukan tuntutan-tuntutan mereka dalam prosedur alokasi sumber.
Seringkali terjadi, tujuan-tujuan dari para aktor itu bertentangan satu sama
lain dan hasil akhir dari pertentangan ini serta akibatnya mengenai siapa yang
memperoleh apa, akan ditentukan strategi, sumber-sumber, dan posisi kekuasaan
dari tiap aktor yang terlibat.
Apa yang diimplementasikan dengan demikian merupakan hasil suatu
tarik-ulur kepentingan-kepentingan politik dan kelompok-kelompok yang saling
berebut sumber-sumber yang langka, daya tanggap dari pejabat-pejabat pelaksana serta
tindakan dari para elite politik yang kesemuanya itu berinteraksi dalam
kelembagaan tertentu. Oleh karena itu analisis mengenai program-program
tertentu berarti pula menilai kemampuan-kemampuan kekuasaan dari para aktor
yang terlibat, kepentingan-kepentingan mereka dan strategi-strategi yang mereka
tempuh untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan tersebut serta ciri-ciri
pemerintahan dimana mereka berinteraksi. Hal ini pada gilirannya akan
memudahkan penilaian terhadap peluang untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan
maupun tujuan-tujuan program.
Dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tersebut para pejabat akan
dihadapkan pada dua permasalahan, yaitu yang menyangkut lingkungan interaksi
program dan administrasi program. Untuk itu pertama-tama para pejabat tersebut
harus memusatkan perhatiannya pada masalah bagaimana mencapai konsistensi
tujuan-tujuan yang termaktub di dalam kebijakan. Misalnya mereka harus berusaha
mendapatkan dukungan dari para elite politik dan kesediaan dari
instansi-instansi pelaksana, dari para birokrat yang ditugasi untuk
melaksanakan program dari para elite politik pada tingkat rendah, serta dari
pihak-pihak ynag diharapkan menerima manfaat program tersebut. Selanjutnya
mereka harus mampu merubah sikap menentang dari pihak-pihak yang merasa
dirugikan oleh program tersebut menjadi sikap menerima terhadapnya, serta
mereka harus tetap waspada terhadap pihak-pihak yang diabaikan oleh program
tersebut, tetapi tetap bersikeras untuk memperoleh manfaat, khususnya terhadap
usaha-usaha yang mungkin mereka lakukan untuk menggerogotinya. Upaya untuk
menumbuhkan kesediaan bahkan kepatuhan dari berbagai pihak tersebut di atas
boleh jadi berarti semakin banyak dilakukan negosiasi, akomodasi, dan lagi-lagi
konflik tertentu. Namun, jika keseluruhan tujuan-tujuan kebijakan tersebut
ingin diwujudkan, maka sumber-sumber yang dipakai untuk mendapatkan kesediaan
itu tidak perlu harus mengorbankan dampak atau sasaran pokok dari program.
Sisi lain dari masalah pencapaian tujuan-tujuan kebijakan dan
program dalam suatu lingkungan tertentu ialah daya tanggap. Idealnya
lembaga-lembaga publik semisal birokrasi harus tanggap terhadap
kebutuhan-kebutuhan dari pihak-pihak yang mereka harapkan menerima manfaat
sebagai upaya untuk melayaninya sebaik mungkin. Tambahan pula, tanpa adanya
daya tanggap tertentu selama implementasi, pejabat-pejabat pemerintah akan
tidak mempunyai informasi yang memadai guna mengevaluasi prestasi dan
keberhasilan suatu program.
Dalam banyak hal, daya tanggap mungkin pula berarti bahwa
tujuan-tujuan kebijakan tidak tercapai karena adanya campur tangan
individu-individu atau kelompok-kelompok yang sama, baik dalam rangka untuk
mendapatkan barang dan layanan tertentu dalam jumlah yang lebih besar ataupun
untuk menghambat jalannya program tertentu yang boleh jadi tidak mereka terima
sebagai sesuatu yang bermanfaat. Bagi administrator-administrator kebijakan
masalahnya dengan demikian adalah bagaimana menciptakan situasi yang kondusif
dan menjamin adanya respon yang memadai guna memungkinkan keluwesan, dukungan,
dan umpan balik selama proses implementasi program, sementara pada saat yang
sama tetap mengusahakan adanya kontrol yang memadai atas distribusi
sumber-sumber yang dipergunakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah
digariskan dalam kebijakan itu.
Untuk membuat keseimbangan semacam itu jelas bukan merupakan
pekerjaan yang gampang, karena membutuhkan kejelian politik tertentu dalam
memperhitungkan berbagai kemungkinan tanggapan yang muncul dari para aktor yang
terlibat serta kemampuan , mereka untuk menggagalkan tujuan-tujuan program.
Oleh sebab itu, maka agar supaya efektif, para pelaksana haruslah mempunyai
kecakapan dalam seni berpolitik serta harus mempunyai pemahaman yang baik
mengenai lingkungan di mana mereka berusaha untuk mewujudkan kebijakan publik
dan program-programnya.
Masalah-masalah ideologi, kebudayaan, aliensi politik dan
peristiwa-peristiwa merupakan faktor-faktor lingkungan lainnya yang mungkin
membawa dampak tertentu terhadap proses implementasi kebijakan publik. Lebih
lanjut, karena program-program apa pun tidaklah diimplementasikan dalam keadaan
terisolasi dari kebijakan-kebijakan publik lainnya, maka keberhasilan suatu
program tertentu akan dengan mudah dipengaruhi oleh prioritas-prioritas dari
pejabat-pejabat politik ataupun hasil akhir dari program-program lainnya.
Faktor-faktor tersebut menegaskan bahwa program-program yang muatannya serupa
mungkin akan diimplementasikan secara berbeda jika lingkungan di mana program
tersebut dilaksanakan amat berlainan.
Berdasarkan kajiannya terhadap proses pembuatan pilihan dalam
implementasi kebijakan di negara-negara sedang berkembang, Grindle (1980)
mengajukan model pilihan-pilihan kritis dalam proses implementasi. Dalam model
ini, implementasi kebijakan diletakkan dalam konteks politiko-administratif.
4. Permasalahan Analisis dan Penilaian Kebijakan
Mengikuti kerangka kerja analisis dan penilaian kebijakan publik (a
framework for public policy analysis and policy evaluation) Theo Jans
(2007), dapat dikenali dua kelompok permasalahan kebijakan.
Kelompok permasalahan pertama meliputi: (1) kajian tentang
bagaimana, mengapa, dan apa pengaruh yang timbul dari adanya tindakan atau
tidak adanya tindakan pemerintah (the study of ‘how, why and to what effect
governments pursue particular courses of action and inaction), (2) kajian
tentang apa yang dilakukan pemerintah, mengapa mereka melakukannya, dan
perbedaan-perbedaan apa yang timbul karenanya (what governments do, why
they do it, and what difference does it make), dan (3) kajian tentang
sifat dasar, sebab-sebab, dan akibat kebijakan publik (the study of the
nature, causes, and effects of public policies).
Kelompok permasalahan kedua meliputi: (1) kajian tentang bagaimana
masalah-masalah dan isu-isu disusun dan dirumuskan (how are problems and issues
defined and constructed?), (2) kajian tentang bagaimana kebijakan
ditempatkan dalam agenda politik dan kebijakan (how are they placed on
political and policy agenda?), (3) kajian tentang bagaimana
pilihan-pilihan kebijakan muncul (how policy options emerge?), (4)
kajian tentang bagaimana dan mengapa pemerintah melakukan atau tidak melakukan
sesuatu (how and why governments act or do not act?), dan (5) kajian
tentang apa saja akibat yang timbul dari kebijakan pemerintah (what are the
effects of government policy?).
William N. Dunn (2000) mengemukakan bahwa analisis kebijakan
adalah suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam
metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang
relevan dengan kebijakan, sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam
rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan. Weimer and Vining, (1998:1): The
product of policy analysis is advice.
Specifically, it is advice that inform some public policy
decision. Jadi analisis kebijakan publik lebih merupakan nasehat atau bahan
pertimbangan pembuat kebijakan publik yang berisi tentang masalah yang
dihadapi, tugas yang mesti dilakukan oleh organisasi publik berkaitan dengan
masalah tersebut, dan juga berbagai alternatif kebijakan yang mungkin bisa
diambil dengan berbagai penilaiannya berdasarkan tujuan kebijakan.
Analisis kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk
membantu para pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah publik.
Di dalam analisis kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan
dengan masalah-masalah publik serta argumen-argumen tentang berbagai alternatif
kebijakan, sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat
kebijakan.
Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat
dibedakan antara analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu
dan sesudah adanya kebijakan publik tertentu. Analisis kebijakan sebelum adanya
kebijakan publik berpijak pada permasalahan publik semata sehingga hasilnya
benar-benar sebuah rekomendasi kebijakan publik yang baru. Keduanya baik
analisis kebijakan sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan
yang sama yakni memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu kebijakan agar
didapat kebijakan yang lebih berkualitas. Dunn (2000: 117) membedakan tiga
bentuk utama analisis kebijakan publik, yaitu:
a.
Analisis kebijakan prospektif
Analisis Kebijakan
Prospektif yang berupa produksi dan transformasi informasi sebelum aksi
kebijakan dimulai dan diimplementasikan. Analisis kebijakan disini merupakan
suatu alat untuk mensintesakan informasi untuk dipakai dalam merumuskan
alternatif dan preferensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif,
diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan atau
penuntun dalam pengambilan keputusan kebijakan.
b.
Analisis kebijakan retrospektif
Analisis Kebijakan
Retrospektif adalah sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi
kebijakan dilakukan. Terdapat 3 tipe analis berdasarkan kegiatan yang
dikembangkan oleh kelompok analis ini yakni analis yang berorientasi pada
disiplin, analis yang berorientasi pada masalah dan analis yang berorientasi
pada aplikasi. Tentu saja ketiga tipe analisis retrospektif ini terdapat
kelebihan dan kelemahan.
c.
Analisis kebijakan yang terintegrasi
Analisis Kebijakan yang
terintegrasi merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para
praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi
sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang
terintegrasi tidak hanya mengharuskan para analis untuk mengkaitkan tahap
penyelidikan retrospektif dan perspektif, tetapi juga menuntut para analis
untuk terus menerus menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat.
d.
Konsep Dasar Kebijakan Publik
Dalam kehidupan masyarakat yang ada di wilayah hukum suatu negara
sering terjadi berbagai permasalahan. Negara yang memengang penuh tanggung
jawab pada kehidupan rakyatnya harus mampu menyelesaikan
permasalahan-permasalahan tersebut. Kebijakan publik yang dibuat dan
dikeluarkan oleh negara diharapkan dapat menjadi solusi akan
permasalahan-permasalahan tersebut. Kebijakan Publik adalah suatu keputusan
yang dimaksudkan untuk tujuan mengatasi permasalahan yang muncul dalam suatu
kegiatan tertentu yang dilakukan oleh instansi pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan (Mustopadidjaja, 2002).
Untuk memahami lebih jauh bagaimana kebijakan publik sebagai
solusi permasalahan yang ada pada masyarakat, kita harus memahami dulu apa dan
seperti apa kebijakan publik itu sendiri. Berikut adalah definisi-definisi
kebijakan publik menurut para ahli kebijakan publik.
Thomas R. Dye (1981) → Kebijakan publik adalah apa yang tidakü dilakukan
maupun yang dilakukan oleh pemerintah. Pengertian yang diberikan Thomas R. Dye
ini memiliki ruang lingkup yang sangat luas. Selain itu, kajiannya yang hanya
terfokus pada negara sebagai pokok kajian.
Easton (1969) → Mendefinisikan kebijakan publik sebagai
pengalokasianü nilai-nilai
kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam
pengertian ini hanya pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada
masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih
oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada
masyarakat.
Anderson (1975) → kebijakan publik adalah kebijakan kebijakan yangü dibangun oleh
badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, di mana implikasi dari kebijakan
tersebut adalah: 1) kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau
mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan; 2) kebijakan publik
berisi tindakan-tindakan pemerintah; 3) kebijakan publik merupakan apa yang
benar-benar dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang masih
dimaksudkan untuk dilakukan; 4) kebijakan publik yang diambil bisa bersifat
positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah
tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk
tidak melakukan sesuatu; 5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti
yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan
memaksa.
Berdasarkan stratifikasinya, kebijakan publik dapat dilihat dari
tiga tingkatan, yaitu kebijakan umum (strategi), kebijakan manajerial, dan
kebijakan teknis operasional. Selain itu, dari sudut manajemen, proses kerja
dari kebijakan publik dapat dipandang sebagai serangkaian kegiatan yang
meliputi (a) pembuatan kebijakan, (b) pelaksanaan dan pengendalian, serta (c)
evaluasi kebijakan.
Menurut Dunn (1994), proses analisis kebijakan adalah serangkaian
aktivitas dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas politis
tersebut diartikan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan
sebagai serangkaian tahap yang saling tergantung, yaitu (a) penyusunan agenda,
(b) formulasi kebijakan, (c) adopsi kebijakan, (d) implementasi kebijakan, dan
(e) penilaian kebijakan.
Proses formulasi kebijakan dapat dilakukan melalui tujuh tahapan
sebagai berikut:
a.
Pengkajian Persoalan. Tujuannya adalah untuk
menemukan dan memahami hakekat persoalan dari suatu permasalahan dan kemudian
merumuskannya dalam hubungan sebab akibat.
b.
Penentuan tujuan. Adalah tahapan untuk menentukan
tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan publik yang segera akan
diformulasikan.
c.
Perumusan Alternatif. Alternatif adalah sejumlah
solusi pemecahan masalah yang mungkin diaplikasikan untuk mencapai tujuan yang
telah ditentukan.
d.
Penyusunan Model. Model adalah penyederhanaan dan
kenyataan persoalan yang dihadapi yang diwujudkan dalam hubungan kausal. Model
dapat dibangun dalam berbagai bentuk, misalnya model skematik, model
matematika, model fisik, model simbolik, dan lain-lain.
e.
Penentuan kriteria. Analisis kebijakan memerlukan
kriteria yang jelas dan konsisten untuk menilai alternatif kebijakan yang
ditawarkan. Kriteria yang dapat dipergunakan antara lain kriteria ekonomi,
hukum, politik, teknis, administrasi, peranserta masyarakat, dan lain-lain.
f.
Penilaian Alternatif. Penilaian alternatif
dilakukan dengan menggunakan kriteria dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran
lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan kelayakan setiap alternatif dalam
pencapaian tujuan.
g.
Perumusan Rekomendasi. Rekomendasi disusun
berdasarkan hasil penilaian alternatif kebijakan yang diperkirakan akan dapat
mencapai tujuan secara optimal dan dengan kemungkinan dampak yang
sekecil-kecilnya.
2.
Beberapa Teori Kebijakan
Publik
Masalah yang harus diatasi oleh pemerintah adalah masalah publik
yaitu nilai, kebutuhan atau peluang yang tak terwujudkan. Meskipun masalah
tersebut dapat diidentifikasi tapi hanya mungkin dicapai lewat tindakan publik
yaitu melalui kebijakan publik (Dunn dalam Nugroho, 2003:58). Karakteristik
masalah publik yang harus diatasi selain bersifat interdependensi
(berketergantungan) juga bersifat dinamis, sehingga pemecahan masalahnya
memerlukan pendekatan holistik (holistic approach) yaitu pendekatan yang
memandang masalah sebagai kegiatan dari keseluruhan yang tidak dapat dipisahkan
atau diukur secara terpisah dari yang faktor lainnya. Untuk itu, diperlukan
kebijakan publik sebagai instrumen pencapaian tujuan pemerintah.
Kebijakan publik adalah salah-satu kajian dari Ilmu Administrasi
Publik yang banyak dipelajari oleh ahli serta ilmuwan Administrasi Publik.
Berikut beberapa pengertian dasar kebijakan publik yang dikemukakan oleh
beberapa ahli. Menurut Dye (1981:1): “Public policy is whatever governments
choose to do or not to do”. Dye berpendapat sederhana bahwa kebijakan
publik adalah apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan. Sementara Anderson dalam Public Policy-Making (1975:3)
mengutarakan lebih spesifik bahwa: “Public policies are those policies
developed by government bodies and official”.
Berhubungan dengan konteks pencapian tujuan suatu bangsa dan
pemecahan masalah publik, Anderson dalam Tachjan (2006i:19) menerangkan bahwa
kebijakan publik merupakan serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud atau
tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau
sekelompok aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang
diperhatikan. Seiring dengan pendapat tersebut Nugroho (2003:52) menjelaskan
bahwa kebijakan publik berdasarkan usaha-usaha pencapaian tujuan nasional suatu
bangsa dapat dipahami sebagai aktivitas-aktivitas yang dikerjakan untuk
mencapai tujuan nasional dan keterukurannya dapat disederhanakan dengan
mengetahui sejauhmana kemajuan pencapaian cita-cita telah ditempuh.
Setiap kebijakan publik mempunyai tujuan-tujuan baik yang
berorientasi pencapian tujuan maupuan pemecahan masalah ataupun kombinasi dari
keduanya. Secara padat Tachjan (Diktat Kuliah Kebijakan Publik, 2006ii:31)
menjelaskan tentang tujuan kebijakan publik bahwa tujuan kebijakan publik
adalah dapat diperolehnya nilai-nilai oleh publik baik yang bertalian dengan public
goods (barang publik) maupun public service (jasa publik).
Nilai-nilai tersebut sangat dibutuhkan oleh publik untuk meningkatkan kualitas
hidup baik fisik maupun non-fisik.
Berdasarkan teori yang dikemukakan Bromley dalam Tachjan
(2006ii:17), kebijakan publik memiliki tiga tingkatan yang berbeda berdasarkan
hierarki kebijakan, yaitu: policy level, organizational level, operational
level.
Dalam suatu negara demokratis policy level diperankan oleh
lembaga yudikatif dan legislatif, sedang organizational level diperankan
oleh lembaga eksekutif. Selanjutnya operational level dilaksanakan oleh
satuan pelaksana seperti kedinasan, kelembagaan atau kementerian. Pada
masing-masing level, kebijakan publik diwujudkan dalam bentuk institutional
arrangement atau peraturan perundangan yang disesuaikan dengan tingkat
hierarkinya. Sementara pattern interaction adalah pola interaksi antara
pelaksana kebijakan paling bawah (street level bureaucrat) dengan
kelompok sasaran (target group) kebijakan yang menunjukkan pola
pelaksanaan kebijakan yang menentukan dampak (outcome) dari kebijakan
tersebut. Hasil suatu kebijakan dalam kurun waktu tertentu yang ditetapkan akan
ditinjau kembali (assesment) untuk menjadi umpan balik (feedback) bagi
semua level kebijakan yang diharapkan terjadi sebuah perbaikkan atau
peningkatan kebijakan.
Adapun proses kebijakan publik adalah serangkian kegiatan dalam
menyiapkan, menentukan, melaksanakan serta mengendalikan kebijakan. Efektivitas
suatu kebijakan publik ditentukan oleh proses kebijakan yang melibatkan
tahapan-tahapan dan variabel-variabel. Jones (1984:27-28) mengemukakan sebelas
aktivitas yang dilakukan pemerintah dalam kaitannya dengan proses kebijakan
yaitu: “perception/definition, aggregation, organization, representation,
agenda setting, formulation, legitimation, budgeting, implementation,
evaluation and adjustment/termination”.
Tachjan
(2006i:19) menyimpulkan bahwa pada garis besarnya siklus kebijakan publik
terdiri dari tiga kegiatan pokok, yaitu:
1.
Perumusan kebijakan
2.
Implementasi kebijakan serta
3.
Pengawasan dan penilaian (hasil) pelaksanaan
kebijakan.
Jadi efektivitas suatu kebijakan publik sangat ditentukan oleh
proses kebijakan yang terdiri dari formulasi, implementasi serta evaluasi.
Ketiga aktivitas pokok proses kebijakan tersebut mempunyai hubungan kausalitas
serta berpola siklikal atau bersiklus secara terus menerus sampai suatu masalah
publik atau tujuan tertentu tercapai.
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses
kebijakan publik. Suatu kebijakan atau program harus diimplementasikan agar
mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang
dalam pengertian luas merupakan alat administrasi publik dimana aktor,
organisasi, prosedur, teknik serta sumber daya diorganisasikan secara
bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang
diinginkan.
Van Meter dan Van Horn dalam Budi Winarno (2005:102)
mendefinisikan implementasi kebijakan publik sebagai:
”Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh organisasi publik yang
diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam
keputusan-keputusan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha
untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam
kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usah-usaha untuk mencapai
perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan
kebijakan”.
Tahap implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan dan
sasaran ditetapkan terlebih dahulu yang dilakukan oleh formulasi kebijakan.
Dengan demikian, tahap implementasi kebijakan terjadi hanya setelah
undang-undang ditetapkan dan dana disediakan untuk membiayai implementasi
kebijakan tersebut.
Implementasi kebijakan merupakan tahap yang bersifat praktis dan
berbeda dengan formulasi kebijakan sebagai tahap yang bersifat teoritis.
Anderson (1978:25) mengemukakan bahwa: ”Policy implementation is the
application by government`s administrative machinery to the problems. Kemudian
Edward III (1980:1) menjelaskan bahwa: “policy implementation,… is the stage
of policy making between establishment of a policy…And the consequences of the
policy for the people whom it affects”.
Berdasakan penjelasan di atas, Tachjan (2006i:25) menyimpulkan
bahwa implementasi kebijakan publik merupakan proses kegiatan adminsitratif
yang dilakukan setelah kebijakan ditetapkan dan disetujui. Kegiatan ini
terletak di antara perumusan kebijakan dan evaluasi kebijakan. Implementasi
kebijakan mengandung logika top-down, maksudnya menurunkan atau
menafsirkan alternatif-alternatif yang masih abstrak atau makro menjadi
alternatif yang bersifat konkrit atau mikro.
Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sangat penting dalam
proses kebijakan. Artinya implementasi kebijakan menentukan keberhasilan suatu
proses kebijakan dimana tujuan serta dampak kebijakan dapat dihasilkan.
Pentingnya implementasi kebijakan ditegaskan oleh pendapat Udoji dalam Agustino
(2006:154) bahwa: “The execution of policies is as important if not more
important than policy making. Policy will remain dreams or blue prints jackets
unless they are implemented”.
Agustino (2006:155) menerangkan bahwa implementasi kebijakan
dikenal dua pendekatan yaitu:
“Pendekatan top down yang serupa dengan pendekatan command
and control (Lester Stewart, 2000:108) dan pendekatan bottom up yang
serupa dengan pendekatan the market approach (Lester Stewart, 2000:108).
Pendekatan top down atau command and control dilakukan secara
tersentralisasi dimulai dari aktor di tingkat pusat dan keputusan-keputusan
diambil di tingkat pusat. Pendekatan top down bertolak dari perspektif
bahwa keputusan-keputusan politik (kebijakan) yang telah ditetapkan oleh
pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administratur atau birokrat yang
berada pada level bawah (street level bureaucrat)”.
Bertolak belakang dengan pendekatan top down, pendekatan bottom
up lebih menyoroti implementasi kebijakan yang terformulasi dari inisiasi
warga masyarakat. Argumentasi yang diberikan adalah masalah dan persoalan yang
terjadi pada level daerah hanya dapat dimengerti secara baik oleh warga
setempat. Sehingga pada tahap implementasinya pun suatu kebijakan selalu
melibatkan masyarakat secara partisipastif.
Tachjan (2006i:26) menjelaskan tentang unsur-unsur dari
implementasi kebijakan yang mutlak harus ada yaitu:
1.
Unsur pelaksana
2.
Adanya program yang dilaksanakan serta
3.
Target group atau kelompok sasaran.
Unsur pelaksana adalah implementor kebijakan yang diterangkan
Dimock & Dimock dalam Tachjan (2006i:28) sebagai berikut: ”Pelaksana
kebijakan merupakan pihak-pihak yang menjalankan kebijakan yang terdiri dari
penentuan tujuan dan sasaran organisasional, analisis serta perumusan kebijakan
dan strategi organisasi, pengambilan keputusan, perencanaan, penyusunan
program, pengorganisasian, penggerakkan manusia, pelaksanaan operasional,
pengawasan serta penilaian”.
Pihak yang terlibat penuh dalam implementasi kebijakan publik
adalah birokrasi seperti yang dijelaskan oleh Ripley dan Franklin dalam Tachjan
(2006i:27): ”Bureaucracies are dominant in the implementation of programs
and policies and have varying degrees of importance in other stages of the
policy process. In policy and program formulation and legitimation activities,
bureaucratic units play a large role, although they are not dominant”.
Dengan begitu, unit-unit birokrasi menempati posisi dominan dalam
implementasi kebijakan yang berbeda dengan tahap fomulasi dan penetapan
kebijakan publik dimana birokrasi mempunyai peranan besar namun tidak dominan.
Suatu kebijakan publik tidak mempunyai arti penting tanpa
tindakan-tindakan riil yang dilakukan dengan program, kegiatan atau proyek. Hal
ini dikemukakan oleh Grindle dalam Tachjan (2006i:31) bahwa ”Implementation
is that set of activities directed toward putting out a program into effect”.
Menurut Terry dalam Tachjan (2006:31) program merupakan; “A program can be
defined as a comprehensive plan that includes future use of different resources
in an integrated pattern and establish a sequence of required actions and time
schedules for each in order to achieve stated objective. The make up of a
program can include objectives, policies, procedures, methods, standards and
budgets”.
Maksudnya, program merupakan rencana yang bersifat komprehensif
yang sudah menggambarkan sumber daya yang akan digunakan dan terpadu dalam satu
kesatuan. Program tersebut menggambarkan sasaran, kebijakan, prosedur, metode,
standar dan budjet. Pikiran yang serupa dikemukakan oleh Siagiaan, program
harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Sasaran yang dikehendaki ,
2.
Jangka waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan
pekerjaan tertentu,
3.
Besarnya biaya yang diperlukan beserta sumbernya,
4.
Jenis-jenis kegiatan yang dilaksanakan dan
5.
Tenaga kerja yang dibutuhkan baik ditinjau dari
segi jumlahnya maupun dilihat dari sudut kualifikasi serta keahlian dan
keterampilan yang diperlukan (Siagiaan, 1985:85).
Selanjutnya, Grindle (1980:11) menjelaskan bahwa isi program harus
menggambarkan; “kepentingan yang dipengaruhi (interest affected),
jenis manfaat (type of benefit), derajat perubahan yang diinginkan
(extent of change envisioned), status pembuat keputusan (site of
decision making), pelaksana program (program implementers) serta sumberdaya
yang tersedia (resources commited)”.
Program dalam
konteks implementasi kebijakan publik terdiri dari beberapa tahap yaitu:
1.
Merancang bangun (design) program beserta
perincian tugas dan perumusan tujuan yang jelas, penentuan ukuran prestasi yang
jelas serta biaya dan waktu.
2.
Melaksanakan (aplication) program dengan
mendayagunakan struktur-struktur dan personalia, dana serta sumber-sumber
lainnya, prosedur dan metode yang tepat.
3.
Membangun sistem penjadwalan, monitoring dan
sarana-sarana pengawasan yang tepat guna serta evaluasi (hasil) pelaksanaan
kebijakan (Tachjan, 2006i:35)
Masih membahas mengenai unsur-unsur implementasi kebijakan publik.
Unsur yang terakhir dalah target group atau kelompok sasaran, Tachjan
(2006i:35) mendefinisikan bahwa: ”target group yaitu sekelompok orang
atau organisasi dalam masyarakat yang akan menerima barang atau jasa yang akan
dipengaruhi perilakunya oleh kebijakan”. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan berkaitan dengan kelompok sasaran dalam konteks implementasi kebijakan
bahwa karakteristik yang dimiliki oleh kelompok sasaran seperti: besaran
kelompok, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman, usia serta kondisi
sosial ekonomi mempengaruhi terhadap efektivitas implementasi.
Untuk dapat mengkaji dengan baik suatu implementasi kebijakan
publik perlu diketahui variabel atau faktor-faktor penentunya. Untuk
menggambarkan secara jelas variabel atau faktor-faktor yang berpengaruh penting
terhadap implementasi kebijakan publik serta guna penyederhanaan pemahaman,
maka akan digunakan model-model implementasi kebijakan. Edwards III (1980)
berpendapat dalam model implementasi kebijakannya bahwa keberhasilan
implementasi kebijakan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Bureaucraitic
structure(struktur birokrasi)
2. Resouces (sumber daya)
3. Disposisition (sikap
pelaksana)
4. Communication (komunikasi)
Implementasi kebijakan merupakan kegiatan yang kompleks dengan
begitu banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi
kebijakan. Dalam mengkaji implementasi kebijakan publik, Edward III mulai
dengan mengajukan dua pertanyaan, yakni:
1.
What is the precondition for successful policy
implementation?
2.
What are the primary obstacles to successful
policy implementation?
George C. Edward III
berusaha menjawab dua pertanyaan tersebut dengan mengkaji empat faktor atau
variabel dari kebijakan yaitu struktur birokrasi, sumber daya , komunikasi,
disposisi.
3.
Proses Kebijakan
Publik
Proses kebijakan baru dimulai ketika para pelaku kebijakan mulai
sadar bahwa adanya situasi permasalahan, yaitu situasi yang dirasakan adanya
kesulitan atau kekecewaan dalam perumusan kebutuhan, nilai dan kesempatan(
Ackoff dalam Dunn,2000:121). Dunn (2000-21) berpendapat bahwa metodologi
analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam
pemecahan masalah manusia: definisi, prediksi, preskripsi, deskripsi, dan
evaluasi. Dalam analisis kebijakan prosedur-prosedur tersebut memperoleh
nama-nama khusus, yakni:
a.
Perumusan Masalah: Perumusan
masalah (definisi) menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang
menimbulkan masalah kebijakan
b.
Peramalan: Peramalan
(prediksi) menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari
penerapan alternatif kebijakan.
c.
Rekomendasi: Rekomendasi
(preskripsi) menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari
konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah.
d.
Pemantauan: Pemantauan
(deskripsi), menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu
dari diterapkannya alternatif kebijakan.
e.
Evaluasi: Evaluasi, yang
mempunyai nama sama dengan yang dipakai dalam bahasa sehari-hari, menyediakan
informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan atau
pengatasan masalah.
Dalam analisis kebijakan publik paling tidak meliputi tujuh
langkah dasar. Ketujuh langkah tersebut adalah:
1.
Formulasi Masalah
Kebijakan
Untuk dapat mengkaji sesuatu masalah publik diperlukan teori,
informasi dan metodologi yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi.
Sehingga identifikasi masalah akan tepat dan akurat, selanjutnya dikembangkan
menjadi policy question yang diangkat dari policy issues tertentu.
Teori dan
metode yang diperlukan dalam tahapan ini adalah metode penelitian termasuk
evaluation research, metode kuantitatif, dan teori-teori yang relevan dengan
substansi persoalan yang dihadapi, serta informasi mengenai permasalahan yang
sedang dilakukan studi.
2.
Formulasi Tujuan
Suatu kebijakan selalu mempunyai tujuan untuk memecahkan masalah
publik. Analis kebijakan harus dapat merumuskan tujuan-tujuan tersebut secara
jelas, realistis dan terukur. Jelas, maksudnya mudah dipahami, realistis
maksudnya sesuai dengan nilai-nilai filsafat dan terukur maksudnya sejauh
mungkin bisa diperhitungkan secara nyata, atau dapat diuraikan menurut ukuran
atau satuan-satuan tertentu.
3.
Penentuan Kriteria
Analisis memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk
menilai alternatif-alternatif. Hal-hal yang sifatnya pragmatis memang
diperlukan seperti ekonomi (efisiensi, dsb) politik (konsensus antar
stakeholders, dsb), administratif ( kemungkinan efektivitas, dsb) namun tidak
kalah penting juga hal-hal yang menyangkut nilai-nilai abstrak yang fundamental
seperti etika dan falsafah (equity, equality, dsb)
4.
Penyusunan Model
Model adalah abstraksi dari dunia nyata, dapat pula didefinisikan
sebagai gambaran sederhana dari realitas permasalahan yang kompleks sifatnya.
Model dapat dituangkan dalam berbagai bentuk yang dapat digolongkan sebagai
berikut: Skematik model ( contoh: flow chart), fisikal model (contoh:
miniatur), game model (contoh: latihan pemadam kebakaran), simbolik model
(contoh: rumus matematik). Manfaat model dalam analisis kebijakan publik adalah
mempermudah deskripsi persoalan secara struktural, membantu dalam melakukan
prediksi akibat-akibat yang timbul dari ada atau tidaknya perubahan-perubahan dalam
faktor penyebab.
5.
Pengembangan Alternatif
Alternatif adalah sejumlah alat atau cara-cara yang dapat
dipergunakan untuk mencapai, langsung ataupun tak langsung sejumlah tujuan yang
telah ditentukan.
Alternatif-alternatif kebijakan dapat muncul dalam pikiran seseorang karena beberapa hal: (1) Berdasarkan pengamatan terhadap kebijakan yang telah ada. (2) Dengan melakukan semacam analogi dari suatu kebijakan dalam sesuatu bidang dan dicoba menerapkannya dalam bidang yang tengah dikaji, (3) merupakan hasil pengkajian dari persoalan tertentu.
Alternatif-alternatif kebijakan dapat muncul dalam pikiran seseorang karena beberapa hal: (1) Berdasarkan pengamatan terhadap kebijakan yang telah ada. (2) Dengan melakukan semacam analogi dari suatu kebijakan dalam sesuatu bidang dan dicoba menerapkannya dalam bidang yang tengah dikaji, (3) merupakan hasil pengkajian dari persoalan tertentu.
6.
Penilaian Alternatif
Alternatif-alternatif yang ada perlu dinilai berdasarkan kriteria
sebagaimana yang dimaksud pada langkah ketiga. Tujuan penilaian adalah
mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan fisibilitas
tiap alternatif dalam pencapaian tujuan, sehingga diperoleh kesimpulan mengenai
alternatif mana yang paling layak , efektif dan efisien. Perlu juga menjadi
perhatian bahwa, mungkin suatu alternatif secara ekonomis menguntungkan, secara
administrasi bisa dilaksanakan tetapi bertentangan dengan nilai-nilai sosial
atau bahkan mempunyai dampak negatif kepada lingkungan. Maka untuk gejala
seperti ini perlu penilaian etika dan falsafah atau pertimbangan lainnya yang
mungkin diperlukan untuk bisa menilai secara lebih obyektif.
7.
Rekomendasi kebijakan
Penilaian atas alternatif-alternatif akan memberikan gambaran
tentang sebuah pilihan alternatif yang tepat untuk mencapai tujuan-kebijakan
publik. Tugas analis kebijakan publik pada langkah terakhir ini adalah
merumuskan rekomendasi mengenai alternatif yang diperhitungkan dapat mencapai
tujuan secara optimum. Rekomendasi dapat satu atau beberapa alternatif, dengan
argumentasi yang lengkap dari berbagai faktor penilaian tersebut. Dalam
rekomendasi ini sebaiknya dikemukakan strategi pelaksanaan dari alternatif
kebijakan yang yang disodorkan kepada pembuat kebijakan publik. Proses
kebijakan publik ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Perumusan
Masalah
Tahap 1
Kebijaksanaan
Tahap 2
Evaluasi
Tahap 3
Kebijakan
Tahap 4
Implementasi
Tahap 5
Kebijakan
Tahap 6
Monitoring
Tahap 7
Evaluasi
Tahap 8
Kesimpulan
Tahap 9
Rekomendasi
MACAM-MACAM
KEBIJAKAN PUBLIK
Kebijakan Publik menurut James E. Anderson
jenisnya ada beberapa macam yaitu :
1.
Substantive dan
Procedural Politic, suatu kebijakan dilihat dari substansi masalah yang
dihadapi dan kebijakan dilihat dari pihak-pihak yang terlibat dalam
perumusannya (policy stakeholders)
2.
Distributive, redistributive and Regulatory Poicies, suatu
kebijakan yang mengatur tentang :
- Pemberian pelayanan/ keuntungan kepada individu-individu, kelompok-kelompok, perusahaan-perusahaan
Misalnya : Kebijakan
untuk melindungi produk-produk batik lokal
- Pemindahan alokasi kekayaan, pemilikan atau hak-hak
Misalnya : Kebijakan
pemilikan hak atas tanah
- Pembatasan/ pelarangan terhadap perbuatan/ tindakan Misalnya : Kebijakan tentang larangan memiliki dan menggunakan senjata api, minuman keras, zat-zat adiktif dan psikotropika, menjual-belikan hewan-hewan langka/ yang dilindungi negara.
3. Material Policy , suatu kebijakan yang mengatur
tentang pengalokasian/ penyediaan sumber-sumber material yang nyata bagi
penerimanya.
Misalnya : Kebijakan
pembuatan rumah sederhana (Tipe 21) bagi setiap developer yang akan membuat
komplek perumahan, rumah susun sederhana (Rusunawa) bagi warga yang tinggal di
pemukiman sangat padat, rumah anti gempa bagi warga korban gempa
4. Public goods dan privat goods policies :
Public Good
Policies, suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang-barang/
pelayanan oleh pemerintah, untuk kepentingan orang banyak.
Misalnya :
kebijakan tentang perlindungan keamanan (memakai helm dan menyalakan lampu bagi
pengendara sepeda motor, memakai sabuk pengaman bagi pengendara mobil,
tersedianya alat pemadam kebakaran bagi setiap gedung termasuk hidrant air),
kebijakan tentang pemberian pelayanan umum dan kenyamanan (, kebijakan
transportasi yang membedakan pelayanan klas VIP, klas bisnis atau klas ekonomi,
kebijakan penyediaan jalan umum, pembukaan jalan tol dan pembuatan jalan
layang)
5.
Private Good Policies , suatu
kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang-barang/ pelayanan oleh pihak
swasta, untuk kepentingan individu/ perorangaan di pasar bebas dengan imbalan
biaya tertentu.
Misalnya : penyediaan
tempat-tempat hiburan/ wisata, hotel, restaurant, villa, resort, kolam renang
air tawar, kolam renang air laut, taxi.
Selain itu
ada kebijakan barang layanan publik yang apabila barang atau jasa
tersebut, termasuk kategori private goods tetapi merupakan bagian dari
jasa-jasa publik, maka disebut Publicly Provided Private Goods artinya
barang-barang private yang disediakan oleh negara. Misalnya : penyediaan
tempat-tempat wisata yang dikelola pemerintah daerah
STRATIFIKASI POLITIK KEBIJAKAN NASIONAL
Stratifikasi politik kebijakan
nasional terkait dengan tingkatan kewenangan dalam menetapkan suatu kebijakan
(S. Sumarsono, 2001, h.142-144), terbagi menjadi lima tingkatan sebagai berikut
:
1.
Tingkat
Penentu Kebijakan Puncak, ada 2 macam kebijakan:
Tingkat
Penentu Kebijakan Puncak meliputi kebijakan tertinggi yang menyeluruh secara
nasional dan mencakup penentuan UUD, penggarisan masalah makro politik bangsa
dan negara untuk merumuskan idaman nasional (nationals goods) berdasarkan
falsafah Pancasila dan UUD 1945 Amandamen Ke-IV. Kebijakan Tingkat Puncak ini
dilakukan oleh DPR , dahulu sebelum reformasi dilakukan oleh MPR (DPR dan DPD).
Dalam hal
dan keadaan yang menyangkut kekuasaan kepala negara, tingkat penentu kebijakan
puncak ini juga mencakup kewenangan presiden sebagai kepala negara. Bentuk
hukum dari kebijakan nasional yang ditentukan oleh Kepala Negara dapat berupa
dekrit, peraturan atau piagam kepala negara.
2.
Tingkat
Penentu Kebijakan Umum
Tingkat kebijakan umum merupakan tingkat kebijakan di bawah tingkat kebijakan
puncak, yang lingkupnya juga menyeluruh nasional dan berupa penggarisan
mengenai masalah-masalah makro strategis guna mencapai idaman nasional, dalam
situasi dan kondisi tertentu. Hasil-hasilnya dapat berbentuk :
1.
Undang-undang/ UU, yang kekuasaan pembuatannta
terletak ditangan presiden dengan persetujuan DPR, atau Peraturan Pemerintah
Pengganti UU/ Perpu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa
2.
Peraturan Pemerintah/ PP untuk mengatur pelaksanaan
UU, yang wewenang penerbitannya berada ditangan presiden
3.
Keputusan Presiden/ Kepres atau Instruksi Presiden/
Inpres, yang berisi kebijakan penyelenggaraan pemerintahan yang wewenang
pengeluarannya berada ditangan presiden
4.
Maklumat Presiden, dalam keadaan tertentu presiden
dapat mengeluarkan Maklumat Presiden.
3. Tingkat Penentu Kebijakan Khusus
Kebijakan khusus merupakan
penggarisan terhadap suatu bidang utama (major area) pemerintahan.
Kebijakan ini adalah penjabaran kebijakn umum guna merumuskan strategi,
administrasi, sistem dan prosedur dalam bidang utama tersebut. Wewenang
kebijakan khusus berada ditangan menteri berdasarkan kebijakan pada tingkat
atasnya. Hasilnya dirumuskan dalam bentuk Peraturan Menteri, Keputusan Menteri
atau Instruksi Menteri, dalam bidang pemerintahan yang dipertanggung-jawabkan
kepadanya. Dalam keadaan tertentu menteri juga dapat mengeluarkan Surat Edaran
Menteri.
4. Tingkat Penentu Kebijkan Teknis
Kebijakan teknis meliputi
penggarisan dalam satu sektor dari bidang utama diatas dalam bentuk prosedur
serta teknik untuk mengimplementasikan rencana, program dan kegiatan.Wewenang
pengeluaran kebijakan teknis ini terletak ditangan pimpinan eselon pertama
departemen pemerintahan dan pimpinan lembaga-lembaga non-departemen. Hasil
penentuan kebijakan dirumuskan dalam bentuk Peraturan, Keputusan, Instruksi
Pimpinan Lembaga Non Departemen atau Instruksi Direktur Jenderal dalam
masing-masing sektor administrasi yang dipertanggung-jawabkan kepadanya.
Isi dan jiwa kebijakan teknis ini
harus sesuai dengan kebijakan diatasnya dan sudah bersifat pengaturan
pelaksanaan secara teknis dan administratif. Peraturan, Keputusan , Instruksi
Pimpinan Lembaga Non Departemen atau Instruksi Direktur Jenderal lazimnya
merupakan pedoman pelaksanaan.
Didalam tata laksana pemerintahan
Sekretaris Jenderal sebagai pembantu utama menteri, bertugas mempersiapkan dan
merumuskan kebijakan khusus menteri dan pemimpin rumah tangga departemen.
Selain itu Inspektur Jenderal dalam suatu departemen berkedudukan sebagai
pembantu utama menteri dalam penyelenggaraan pengendalian departemen. Ia juga
mempunyai wewenang untuk membantu mempersiapkan kebijakan khusus menteri.
5. Tingkat Penentu Kebijakan Daerah, ada dua macam kebijakan dalam
pembuatan aturan di daerah :
a.
Wewenang penentuan pelaksanaan kebijakan pemerintah
pusat di daerah, terletak ditangan Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil
pemerintah pusat di daerah yuridiksinya masing-masing (daerah provinsi),
wewenang itu berada di tangan Gubernur. Untuk daerah kota/ kabupaten,
wewenang itu berada ditangan Walikota/ Bupati. Perumusan hasil kebijakan
tersebut dikeluarkan dalam Keputusan atau Instruksi Gubernur untuk wilayah
provinsi dan Keputusan atau Instruksi Walikota/ Bupati untuk wilayah
kota/ kabupaten.
b.
Kepala Daerah berwenang mengeluarkan kebijakan
pemerintah daerah dengan persetujuan DPRD. Perumusan hasil kebijakan tersebut
dikeluarkan diterbitkan sebagai kebijakan daerah dalam bentuk Peraturan Daerah/
Perda Provinsi, Keputusan dan Instruksi Kepala Daerah Provinsi untuk wilayah
provinsi, dan dalam bentuk Peraturan Daerah/ Perda Kota/ Kabupaten, Keputusan
dan Instruksi Kepala Daerah Kota/ Kabupaten untuk wilayah Kota/ Kabupaten.
D. DEMOKRASI KEBIJAKAN PUBLIK
Demokratisasi kebijakan publik
(Saiful Arif, 2006) sebenarnya salah satu dari sekian banyak jalan yang
ditempuh untuk mencapai kompetensi keberpihakan negara terhadap rakyat. Dalam
konteks demokrasi, pembuatan kebijakan publik oleh negara melalui berbagai
macam kebijakan publik (lihat point B) dan dilaksanakan mulai dari tingkat
pusat-daerah atau disebut stratifikasi politik kebijakan nasional (lihat point
C) , yang dibuat mencerminkan kepentingan dan kebutuhan pemerintah maupun
masyarakat. Pemerintah sendiri secara alami mempunyai peran dan fungsi
pengemban hajat hidup masyarakat. Oleh karena itu setiap kebijakan yang dibuat,
harus benar-benar menyerap seluruh kepentingan dan kebutuhan birokrat
pemerintah maupun masyarakat sendiri sehingga dapat menyelesaikan problem real
maupun laten dari bangsa.
Dalam membuat kebijakan publik
pemerintah mengupayakan untuk tetap demokratis (mengedepankan cara-cara
demokrasi), untuk menghindari tuntutan masyarakat akan hak-haknya, yang di masa
lalu tidak pernah diperolehnya. Dalam praktek demokratisasi kebijakan publik
tantangannya sangat multidimensional.
Dimana ditingkat suprastruktur policy
maker (para pengambil kebijakan seperti lembaga eksekutif, yudikatif maupun
lembaga legislatif) bersama-sama dengan sumber daya birokrasi lainnya,
berhadapan dengan partisipasi publik, juga terkait dengan sistem politik yang
lebih luas. Dimana di tingkat infrastruktur, policy influencer (para
penerima pengaruh kebijakan publik, seperti partai politik. kalangan mahasiswa,
asosiasi, para tokoh publik, mass media) berfungsi dan sudah memposisikan diri
sebagai kontrol kebijakan publik.
Menurut S. Abdulwahab, perkembangan
mutakhir kebijakan publik mengarah pada mengedepankan nilai-nilai demokrasi,
dikarenakan banyak kelemahan-kelemahan kebijakan publik tradisional yang
positivistik. Terdahulunya sedikit sekali nilai-nilai demokrasi yang dijadiakan
acuan, namun pada masa kini pada kebijakan publik yang mutakhir lebih banyak
dimasukkan nilai-nilai demokrasi di dalamnya.
Menurutnya,
kelemahan-kelemahan kebijakan publik tradisional itu setidak-tidaknya ada empat
hal sebagai berikut:
a.
Seperti dikatakan Dryzek, bahwa kebijakan publik
tradisional terkesan hanya diabadikan untuk kepentingan tirani semata, sehingga
tidak nampak adanya keberpihakan pada rakyat banyak. Misalnya pelarangan
masuk sopir bajaj dan tukang ojek di pelataran/ area parkir stasiun Gambir
Jakarta, hanya sopir taxi yang diijinkan masuk.
b.
Kebijakan publik tradisional yang hanya didominasi
oleh para pakar dan elit menyebabkan bahasa kebijakannya sangat elitis dan
tidak dimengerti oleh rakyat banyak (technocratic cabal). Misalnya
KUH Pidana, KUH Perdata dan Undang-undang lainnya, yang memahami isinya adalah
para ahli hukum.
c.
Secara teoritis kebijakan publik tradisional itu tidak
memiliki basis teori yang solid dan kohesif, sebab sangat miskin aspek
multidisiplinernya. Hal ini terjadi karena pada saat membuatnya tidak
melibatkan pakar dari ilmu lainnya.
d.
Secara praktek kebijakan publik tradisional gagal
mengantisipasi dampak-dampak yang tidak diinginkan (unintended impact)
dan lemah dalam penerapan, sehingga jarang dimanfaatkan oleh pengambil
kebijakan.
Misalnya AMDAL yang
lolos ijinnya, dilakukan hanya berdasarkan kepentingan pengambil kebijakan dan
para pengusaha, rakyat yang terkena dampak limbah suatu pabrik tidak pernah
dilibatkan. Pada perkembangan kemudian pabrik dapat dibangun dan beroperasi,
namun pembuangan limbah tanpa AMDAL yang memadai maka rakyatlah yang dirugikan.
Keempat kelemahan tersebut membuat
perkembangan mutakhir kebijakan publik, menekankan pada nilai-nilai demokrasi,
karena hanya dengan begitu semua kelemahan dapat diatasi.
Adapun keunggulan dari kebijakan
publik yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi adalah kebijakan publik yang
dihasilkan itu akan memiliki basis legitimasi yang kuat, karena mampu
mengakomodasikan semua kepentinan dan preferensi dalam masyarakat. Elit
birokrsi yang masih menggunakan pola berpikir lama/ tradisional, harus didorong
untuk memiliki sense of crisis dan mau menanggalkan semua kepentingan
individu dan kelompok dan menjadikan kepentingan publik sebagai tujuan utama
dalam sebuah kebijakan publik yang demokratis.
Dalam mendorong demokratisasi
kebijakan publik, maka diupayakan untuk menciptakan kebijakan yang bersifat problem
solving, artinya suatu kebijakan dapat memecahan berbagai masalah
masyarakat bukan sebaliknya dimana kebijakan yang dibuat justru menimbulkan
masalah baru (caused problem). Oleh karena itu diperlukan aksi untuk
menggalang suatu konsensus bersama dalam rangka mendisiplinkan pelaksanaan
kebijakan publik. Dengan demikian akan benar-benar terwujud kebijakan negara
yang pro-rakyat, karena sekarang ini rakyat tidak lagi menjadi obyek
pembangunan namun bersama-sama pemerintah menjadi subyek pembangunan itu
sendiri.
E. DEMOKRASI DAN KORUPSI
Dalam kaitan dengan demokrasi yang
dijalankan pemerintah suatu negara, Indra J Piliang sebagaimana dikutip
dari Freedom House’s Annual Survey of Political Reights and Civil Liberties
(dalam Lawrence E Harrison, et al 2000, p 123) membuat indeks negara-negara
demokrasi. Indeks berskala satu (lebih banyak kebebasan) sampai tujuh (lebih
sedikit kebebasan) itu berisi dua hal :
1.
Berkaitan dengan hak-hak politik, pertanyaannya
semacam :
·
Apakah para pimpinan pemerintahan dan anggota parlemen
dipilih melalui pemilihan yang bebas dan bersih ?
·
Apakah warga negara berhak berkompetisi dalam
membentuk partai-partai politik dan organisasi lainnya ?
·
Apakah ada suara yang berarti dari kelompok oposisi
atau kesempatan yang lebih realistik bagi kelompok oposisi untuk meningkatkan
dukungannya ?
2.
Berkaitan dengan kebebasan sipil, termasuk kebebasan
dan independensi media, kebebasan berbicara, lembaga peradilan, kesamaan
dibawah hukum, lembaga yudikatif yang tidak diskriminatif, kehendak untuk
bersikap independen, perlindungan dari teror politik, perlindungan dari
penahanan tanpa peradilan.
Ternyata, indeks tersebut
berkolerasi dengan indeks yang dibuat Transparency International’s
Corruption Perception Index (CPI) tahun 1988. Korelasinya antara lain,
bahwa demokrasi yang dijalankan oleh pemerintah suatu negara, mempunyai
kecenderungan untuk menjadikan masyarakat lebih sejahtera, karena lebih banyak
kesempatan untuk membangun. Dengan begitu semakin demokratis sebuah kebijakan
publik, maka semakin dapat diharapkan masyarakat penerima kebijakan publik
tersebut menjadi semakin sejahtera. Disini masyarakat dapat menyuarakan semua
kebutuhan-kebutuhannya, sebaliknya pemerintah dapat menerima dan melaksanakan
pembangunan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, selaras/ sesuai dengan
kepentingan pemerintah.
Pada akhirnya di tingkat
infrastruktur, policy influencer (para penerima pengaruh kebijakan
publik, seperti partai politik. kalangan mahasiswa, asosiasi, para tokoh
publik, mass media) berfungsi dan dapat memposisikan diri sebagai kontrol
jalannya pembangunan yang dilakukan pemerintah.
Sekalipun korelasi tersebut baru
sebuah dugaan, bahwa semakin demokratis suatu negara semakin terbebas negara
itu dari korupsi, karena adanya kontrol dari infrastruktur. Namun ketika
para pengambil kebijakan memperoleh kesempatan untuk membangun, disinilah
terdapat celah-celah yang bisa dimasuki oleh oknum policy maker sebagai
pelaku korupsi.
Pada kenyataannya, memang demokrasi
belum merupakan indikator utama untuk menghilangkan korupsi, karena seperti
yang diungkap diatas pelaku korupsi selalu
mencari celah-celah (alias peluang dan
kesempatan) untuk berbuat korupsi. Lembaga penegak hukum seperti
kepolisian, kejaksaan, lembaga peradilan dapat dikatakan selalu ketinggalan
selangkah dibandingkan dengan gerak oknum policy maker yang korup. Jadi
benar apa yang dikatakan oleh Lord
Acton : Power tends to corrupt, bahwa kekuasaan dapat
menyebabkan seseorang memiliki kecenderungan untuk korupsi. Korupsi dari
hal-hal yang ringan/ sederhana (korupsi waktu, kertas dan alat tulis kantor
lainnya, bensin dan spare part kendaraan kantor) sampai korupsi yang membentuk
jaringan (mafia hukum, mafia pajak, makelar kasus dan seterusnya) yang sangat
kompleks, karena sudah berurat berakar sejak masa orde baru terdahulu.
Selanjutnya dalam laporan Transparency
International’s Corruption Perception Index (CPI) tahun 1988 tersebut,
sejumlah negara demokratis di Asia tercatat sebagai negara dengan tingkat
korupsinya tinggi seperti berikut ini :
- Filipina (urutan 57)
- Thailand (urutan 64)
- India (urutan 68)
- Indonesia (urutan 80)
Sebaliknya negara yang tergolong
berada dalam level demokrasi rendah, justru tingkat korupsinya juga rendah
seperti berikut ini :
- Singapura (urutan 7)
- Malaysia (urutan 29)
- China (urutan 52)
Hal yang mengherankan, Indonesia
pada tahun 1988 termasuk negara terkorup di Asia. Pada tahun 2001 ranking
negara Indonesia tidak menurun tetapi malah meningkat semakin berada di urutan
negara demokrasi yang paling korup, sehingga Indonesia menjadi semakin terpuruk
seiiring terjadinya percepatan demokrasi di era reformasi ini. Sebagaimana yang
digambarkan oleh Transparency International Indonesia melalui berbagai
survai independen, menempatkan Indonesia sebagai negara ke-enam paling korup
diantara 133 negara yang disurvai.
Demokratisasi
kebijakan publik yang dicanangkan pemerintah Indonesia ternyata tidak
mampu melawan perilaku korup oknum policy maker.
Para tokoh bersuara lebih lantang (HCB
Dharmawan, Al Coni BL, de Rosari, 2005, h. 95-86) seperti berikut ini :
- Kwik Kian Gie bahkan mengatakan : Corruption is the root of the evil, Korupsi adalah akar dari semua masalah.
- Syaffi Ma’arif juga mengatakan : Negara Indonesia tidak akan pernah bisa maju, karena Departemen Agama, Departemen Pendidikan dan Departemen Kesehatan, tiga departemen yang mengurusi pendidikan hati, pendidikan otak dan pendidikan fisik, justru tiga departemen tersebut adalah departemen yang yang paling korup kinerjanya.
- Hidayat Nur Wahid mengatakan dengan tegas : Corruption is the real terrorist, Koruptorlah yang merupakan teroris sejati yang harus dihabisi. Koruptor yang menyebabkan sebagian besar rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan dan kefakiran, karena itu upaya pemberantasan korupsi harus lebih tegas daripada pemberantasan teroris. Jika banyak tersangka teroris sudah langsung ditahan, hanya dengan bukti dugaan terlibat terror, seharusnya tersangka korupsi juga demikian dengan bukti dugaan terlibat korupsi dapat dicekal agar tidak lari ke luar negeri.
- Rizal Sukma mengatakan : Korupsi memang ruwet dan sangat berbahaya. Lebih berbahaya lagi karena kesadaran publik akan bahaya korupsi itu tidak ada. Minimnya kesadaran masyarakat merupakn cermin keputus-asaan.
Korupsi dan pemberantasan korupsi di
Indonesia memang ruwet. Lilitannya tidak hanya merentang di pemerintah pusat,
tetapi juga menjalar ke daerah-daerah. Lebih jauh sudah meracuni oknum
policy maker dari tingkat Penentu Kebijakan Puncak (oknum anggota
DPR, DPRD) , Penentu Kebijakan Umum, Penentu Kebijakan Khusus (oknum
menteri), Penentu Kebijakan Teknis (oknum direktur jenderal, direktur,
pimpinan lembaga/ perusahaan/ badan dari pusat sampai daerah, yang mengerjakan
proyek/ program/ kegiatan) sampai di tingkat Penentu Kebijakan Daerah (oknum
gubernur, bupati, walikota, camat, lurah)
Lima tahun reformasi dengan salah
satu agenda memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) tidak membuahkan
banyak hasil. Cermin keputus-asaan masyarakat sangat nampak pada survai yang
dilakukan oleh LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan
Sosial) hasil yang dipublikasikan diantaranya bahwa hanya sekitar 4 % dari
responden yang melihat korupsi sebagai masalah yang membutuhkan penanganan
serius.
F. KEBIJAKAN PUBLIK DEMOKRASI MELAWAN KKN
(KOLUSI, KORUPSI, NEPOTISME)
Secara ideal demokrasi seharusnya
menjadi acuan kehidupan kenegaraan/ kebangsaan di level manapun, baik di
tingkat infrastruktur (masyarakat) maupun di tingkat suprastruktur (lembaga
eksekutif-pemerintah, lembaga legislatif - DPR/ DPRD, dan lembaga
yudikatif-peradilan). Demokratisasi dalam ide/ gagasan, perumusan, pelaksanaan/
pengerjaan sampai pengawasan dan evaluasi kebijakan publik di tingkat lokal
(pemerintah desa/ kelurahan), akan menjadi representasi sejauh mana tingkat dan
kualifikasi demokrasi pada pemerintah setempat. Sejauh mana pemerintah membuka
ruang partisipasi publik, sejauh mana gagasan diolah bersama dan implementasi
kebijakan publik dapat diawasi oleh masyarakat. Kesemua hal tersebut merupakan
serangkaian dari proses demokratisasi itu sendiri (Syaiful Arif, 2006,
h.141-142).
Aktivitas pemerintah yang diwujudkan
dalam serangkaian kebijakan publik, pada akhirnya berujung pada bagaimana
masyarakat dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari dalam kondisi nyaman dan
sejahtera. Secara spesifik, demokratisasi di aras kebijakan publik merupakan
tuntunan yang tidak bisa ditolak, sekalipun dibayang-bayangi oknum pelaku
KKN. Apalagi KKN mulai menimbulkan keresahan yang meluas, karena seperti telah
diungkap diatas bahwa demokratisasi kebijakan publik yang dicanangkan
pemerintah Indonesia ternyata tidak mampu melawan perilaku korup oknum
policy maker.
Bagaimapun tujuan politik otonomi
daerah (desentralisasi, dekonsentrasi maupun medebewind) sangat ideal yaitu
menciptakan hubungan yang lebih adil dan terbuka antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan RI. Kesatuan dapat direkatkan
dalam suasana politik desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dengan
memberi kesempatan dan keleluasaan kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan
pemerintahannya. Sebagaimana yang tercantum pada pasal 1 Undang-undang No 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pengertian dari :
·
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengarus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan RI.
·
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahahn
oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/ atau kepada
instansi vertikal di wilayah tertentu
·
Medebewind/ Tugas pembantuan adalah penugasan dari
Pemerintah kepada daerah dan/ atau desa dari pemerintah provinsi kepada
kabupaten/ kota dan/ atau desa serta dari pemerintah kabupaten/ kota kepada
desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Cita-cita ideal seperti itu bukan
sesuatu yang mudah dikerjakan, namun upaya-upaya terus dilakukan untuk
mendorong pemerintah lokal (provinsi maupun kota/ kabupaten) agar menjadi
otonom dan mandiri. Pemerintah lokal telah memiliki teritorium yang jelas (ada
33 Provinsi), status hukum yang kuat untuk mengelola sumber daya dan
mengembangkan pemerintah lokal yang independen, walaupun di tingkat pemerintah
lokal sekalipun, pembuatan kebijakan publik juga dibayang-bayangi oknum
pelaku KKN.
Melihat Undang-undang No 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah, yang mengatur hubungan pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah, aras demokrasi pada masing-masing kebijakan publik
sudah nampak, partisipasi masyarakat termuat pada bab atau pasal tersendiri.
Pada setiap produk undang-undang maupun perda partisipasi masyarakat termuat
pada bab atau pasal tersendiri pula.
Demokratisasi sudah memperoleh ruang
cukup lebar dalam skema teoritis maupun praktisnya:
Problemnya, kini tinggal
bagaimanakah para policy maker membuat kebijakan publik yang demokratis
memuat ide/ gagasan, proses, tujuan dan hasil yang betul-betul sesuai
kepentingan/ kebutuhan masyarakat. Selain itu mampukah mereka menghalau
bayang-bayang perilaku korup oknum policy maker di lingkungannya dan di
seluruh tingkatan pemerintah pusat sampai pemerintah daerah. Apakah mereka juga
mampu mengubah keputus-asaan masyarakat terhadap cara-cara penanganan korupsi,
yang memberi hukuman ringan dan tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku dan
calon pelaku.
Belajar dari pengalaman masa lalu
semasa orde baru. Secara ideal dan faktual masyarakat tidak memiliki ruang
gerak selebar sekarang, dan dapat turut serta dalam proses pembuatan kebijakan
publik dan proses pembangunan secara umum.
Konsep desentralisasi, dekonsentrasi
dan medebewind betapapun bagusnya, jelas tidak akan bermakna sama sekali (meaningless)
bagi kehidupan sosial, hukum, ekonomi dan politik masyarakat. Sekalipun telah
diupayakan untuk bisa mengakar dalam kultur birokrasi pemerintah dan
diimplementasikan pemerintah pasca orde baru, namun belum juga menampakkan
hasilnya bagi semua masyarakat. Dalih bahwa penciptaan suasana demokratis sudah
dimulai sejak digulirkannya UU No 22 Tahun 1999 yang direvisi dengan UU No 32
Tahun 2004, sehingga penciptaan suasana demokratis dapat menyerap seluruh
aspirasi masyarakat, hasilnya pun tetap belum memadai/ memuaskan, hingga
saat ini.
Kasus-kasus hukum yang muncul yang berkaitan dengan
KKN terutama yang ditemukan di tingkat suprastruktur, baik oleh oknum ditingkat
pemerintah pusat maupun oknum di tingkat pemerintah daerah, bisa
diibaratkan kanker ganas yang menggerogoti kesehatan tubuh manusia. Saat
ini dengan dibentuknya lembaga KPK dan UU Antikorupsi, yang terakhir oleh
Presiden dibentuk lagi Satgas Anti Mafia Hukum untuk menumpas ganasnya Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme yang membentuk jaringan (mafia hukum, mafia pajak, makelar
kasus dan seterusnya) pun belum jelas hasilnya.
RANGKUMAN
Kebijakan tidak lepas
dari apa yang dinamakan kebijakan publik, termasuk pendidikan. Thomas R. Dye,
Mendefinisikan kebijakan publik sbb : “Public Policy is whatever the government choose to do or not to do”.
(Kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu). Sedangkan James E. Anderson Mengatakan : “Public Policies are those policies developed
by governmental bodies and officials”. (Kebijakan publik adalah
kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat
pemerintah).
Ditengah ketidak-berdayaan dan rasa
frustasi semacam ini, jalan yang paling realistis dan rasional menurut Masdar Hilmy adalah back to
tradition, berpaling kepada keampuhan cara-cara radikal yang dilegitimasi
kekuatan transendental. Cara itu adalah crusades, jihad atau perang suci
dalam pemaknaan baru yang lebih kontekstual-otentik. Perang melawan korupsi, demikian dikatakan oleh Peter Kreeft, sebagaimana :
·
perang terhadap
kejahatan
·
perang
terhadap kebodohan
·
perang
terhadap ketidak-adilan
·
perang
terhadap perusak lingkungan
·
perang
terhadap terorisme.
Kini adalah saat yang tepat untuk merekonstruksi doktrin perang melawan korupsi menjadi unifying factor seluruh elemen masyarakat. Masyarakat mau
tidak mau harus siap mengangkat senjata dalam arti luas untuk turut serta berperang
melawan korupsi. Mengangkat senjata dalam arti luas, yaitu sesuai peran dan
status masing-masing anggota masyarakat, sehingga senjata bisa diartikan pena
untuk wartawan, kemampuan artikulasi untuk para tokoh partai/ tokoh masyarakat,
kekritisan berpendapat untuk mahasiswa, bargaining power untuk
asosiasi-asosiasi.
Kalangan media masa seperti para wartawan dapat
mengangkat ”senjata” dengan kemampuan menulis dan memotret fakta/ peristiwa
yang berkaitan dengan KKN. Kalangan partai politik seperti tokoh partainya
dapat mengangkat ”senjata” dengan kemampuan mengartikulasi kepentingan/
kebutuhan masyarakat yang ingin bekerja dalam persaingan yang sehat dan bersih.
Kalangan mahasiswa dapat mengangkat ”senjata” dengan kemampuannya
mengkritisi berbagai kebijakan publik yang tidak pro rakyat. Kalangan
asosiasi-asosiasi dapat mengangkat ”senjata” dengan kemampuan profesionalnya
menekan pemerintah untuk menciptakan iklim berusaha/ bekerja yang fair
play dan tidak korup.
Dengan demikian, doktrin tersebut mengandung dua unsur
positif yaitu :
- Pemersatu Bangsa, seluruh elemen masyarakat harus bersatu melawan korupsi, tidak hanya perang terhadap koruptor kakap tetapi juga oknum-oknum pelaku korupsi ringan lainnya
- Penumpasan Korupsi, sampai ke antek-anteknya, karena korupsi termasuk bahaya laten yang tidak kelihatan sepak terjangnya, bahkan bisa menimpa teman sejawat, atasan, bawahan, saudara maupun orang-orang dekat kita lainnya.
LATIHAN
- Jelaskan dengan singkat apa yang dimaksudkan dengan kebijakan ?
- Jelaskan dengan singkat apa yang dimaksudkan dengan kebijakan publik ?
- Kemukakan dan jelaskan bagaimana daur/Siklus Kebijakan ?
- Kemukakan dan jelaskan bagaimana daur/Siklus Kebijakan khususnya kebijakan pendidikan ?
- Kemukakan dan jelaskan bagaimana implementasi Kebijakan ?
- Kemukakan dan jelaskan bagaimana implementasi Kebijakan pendidikan ?
- Berikan analisis terhadap implementasi kebijakan pendidikan tentang ujian nasional ?
- Berikan analisis terhadap implementasi kebijakan pendidikan tentang perubahan kurikulum ?
- Berikan analisis terhadap implementasi kebijakan pendidikan tentang standar nasional pendidikan ?
- Berikan analisis terhadap implementasi kebijakan pendidikan tentang korupsi ?
- Berikan analisis terhadap implementasi kebijakan pendidikan tentang pemilihan anggota DPR ?
- Berikan analisis terhadap implementasi kebijakan pendidikan tentang PILKADA ?
- Berikan analisis terhadap implementasi kebijakan pendidikan tentang PT -PAUD ?
DAFTAR BACAAN
- Didi Marzuki (Editor), 2006, Bekerja Demi Rakyat : Meningkatkan Kompetisi Aparatur Pemerintah Daerah Dalam Kebijakan dan Pelayanan Publik, Komunal, Jakarta
- Erwin AP dan Wahyudi K (Editor), 2005, Birokrasi Publik : Dalam Sistem Politik Semi-Parlementer, Gaya Media, Yogyakarta
- HCB Dharmawan, Al Coni BL, de Rosari, 2005, Jihad Melawan Korupsi, Penertib Buku Kompas, Jakarta
- James E. Anderson, 1975, Public Policy-Making, New York, Preager
- Sjahrir, 1988, Kebijakan Negara : Konsistensi dan Implementasi, LP3ES, Jakarta
- S. Abdulwahab, 2005, Mendemokratisasikan Kebijakan Publik Di Daerah Via Analisis Kebijakan Publik Partisipatif, FIA-Unibraw, Malang
- S. Sumarsono, dkk, 2001, Pendidikan Kewarganegaraan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
- Syaiful Arif (Penyunting), 2006, Reformasi Birokrasi Dan Demokratisasi Kebijkan Publik, PLaCID’s dan KID bekerjasama dengan Averroes Press, Malang
- Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar