MODUL 2
KEBIJAKAN PERENCANAAN PENDIDIKAN
DI ERA OTONOMI DAERAH
PENDAHULUAN
Kepala sekolah atau guru mata pelajaran di era otonomi daerah
dewasa ini, dituntut untuk memahami konsep-konsep dasar tentang
perencanaan pendidikan, pendekatan dalam perencanaan pendidikan dan beragam
model perencanaan pendidikan. Kualitas pemahaman kepala sekolah terhadap ketiga
konsep tersebut akan berpengaruh positif terhadap pelaksanaan manajemen
pendidikan di setiap satuan pendidikan. Demikian juga bagi guru, kualitas pemahaman
terhadap ketiga konsep tersebut akan mendukung pelaksanaan empat kompetensi
professional guru dalam proses layanan pendidikan kepada peserta didik.
Menyadari sepenuhnya bahwa kajian tentang konsep
perencanaan, pendekatan dan model perencanaan pendidikan mempunyai ruang
lingkup yang sangat luas atau kompleks. maka kajian singkat berikut ini lebih
menekankan pada tiga aspek, yaitu: (1) beberapa konsep tentang
perencanaan pendidikan; (2) pendekatan perencanaan pendidikan; dan (3) beragam
metode dan model perencanaan pendidikan. Sedangkan tujuan yang hendak diraih
dari kajian singkat ini adalah diharapkan kajian singkat ini dapat memberikan
informasi awal bagi para peminat kajian tentang perencanaan pendidikan, dan
terus termotivasi untuk meningkatkan pemahamanan lebih lanjut pada
sumber-sumber ilmiah lainnya.
Setelah mengikuti perkuliahan
mahasiswa diharapkan minimal kompeten dalam mengetahui, memahami, menganalisis menafsrikan,
mengurai dan menjelaskan:
1.
Konsep-konsep perencanaan pendidikan di era otonomi
daerah
2.
Pendekatan perencanaan pendidikan di era otonomi
daerah
3.
Metode perencanaan pendidikan di era otonomi daerah
4.
Prinsip-prinsip perencanaan pendidikan era otonomi
daerah
5.
Konsep otonomi dalam pendidikan
6.
Kebijakan perencanaan pendidikan di era otonomi daerah
7.
Syarat dan prasyarat kebijakan pendidikan di era
otonomi daerah
8.
Fungsi dan peranan perencanaan pendidikan di era
otonomi daerah
9.
Konsep teori yang berkaitan dengan perencanaan
pendidikan
10.
Konsep desentralisasi pendidikan
11.
Paradigma baru perencanaan pendidikan
12.
Persoalan mendasar pendidikan nasional dalam
perspektif peerencanaan
KEBIJAKAN PERENCANAAN PENDIDIKAN
Konsep
Perencanaan Pendidikan
Ada tujuh konsep penting yang perlu dipahami, dalam
mengawali kajian atau pembahasan tentang konsep perencanan pendidikan, antara
lain: (1) pengertian perencanaan pendidikan; (2) tujuan perencanaan pendidikan;
(3) manfaat perencanaan pendidikan; (4) ruang lingkup perencanaan pendidikan;
(5) karakteristik perencanaan pendidikan; (6) prinsip-prinsip perencanaan
pendidikan; dan (7) proses atau tahapan penyusunan perencanaan
pendidikan. Berikut ini akan dijelaskan secara singkat ketujuh
konsep tersebut di atas.
1. Pengertian perencanaan pendidikan
Ada beberapa pengertian perencanaan
yang telah dikemukakan oleh para ahli tentang makna kata perencanaan,
antara lain menurut: (1) Bintoro Tjokroaminoto, perencanaan adalah ‘proses
mempersiapkan kegiatan-kegiatan secara sistematis yang akan dilakukan untuk
mencapai tujuan tertentu; (2) Prajudi Atmosudirdjo, perencanaan adalah ‘perhitungan
dan penentuan tentang sesuatu yang akan dijalankan dalam rangka mencapai tujuan
tertentu, siapa yang melakukan, bilamana, dimana dan bagaimana cara
melakukannya; (3) Handoko, perencanaan adalah meliputi: (a) pemilihan
atau penetapan tujuan-tujuan organisasi; dan (b) penentuan strategi, kebijakan,
proyek, program, prosedur, metode, sistem, anggaran dan standar yang dibutuhkan
untuk mencapai tujuan; (4) Husaini Usman, perencanaan adalah kegiatan
yang akan dilakukan dimasa yang akan datang untuk mencapai tujuan; (5) Coombs,
perencanaan pendidikan adalah ‘suatu penerapan yang rasional dari analisis
sistematis proses perkembangan pendidikan dengan tujuan agar pendidikan itu
lebih efektif dan efisien serta sesuai dengan kebutuhan dan tujuan para peserta
didik dan masyarakatnya; dan (6) Sa’ud dan Makmun, perencanaan pendidikan
adalah ‘suatu kegiatan melihat masa depan dalam hal menentukan kebijakan,
prioritas dan biaya pendidikan dengan memprioritaskan kenyataan yang ada dalam
bidang ekonomi, sosial dan politik untuk mengembangkan sistem pendidikan negara
dan pesera didik yang dilayani oleh sistem tersebut (Sa’ud, S. dan Makmun A,S.
2007; Usman, H. 2008).
Dari beberapa definisi tentang
perencanaan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep yang ada
dalam pengertian perencanaan pendidikan adalah: (1) suatu rumusan rancangan
kegiatan yang ditetapkan berdasarkan visi, misi dan tujuan pendidikan;
(2) memuat langkah atau prosedur dalam proses kegiatan untuk mencapai
tujuan pendidikan; (3) merupakan alat kontrol pengendalian perilaku warga
satuan pendidikan (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, komite sekolah); (4)
memuat rumusan hasil yang ingin dicapai dalam proses layanan pendidikan kepada
peserta didik; dan (5) menyangkut masa depan proses pengembangan dan
pembangunan pendidikan dalam waktu tertentu, yang lebih berkualitas.
2. Tujuan Perencanaan Pendidikan
Tujuan perencanaan pendidikan. Ada beberapa
tujuan perlunya penyusunan suatu perencanaan pendidikan, antara lain: (1) untuk
standar pengawasan pola perilaku pelaksana pendidikan, yaitu untuk mencocokkan
antara pelaksanaan atau tindakan pemimpin dan anggota organisasi pendidikan
dengan program atau perencanaan yang telah disusun; (2) untuk mengetahui kapan
pelaksanaan perencanaan pendidikan itu diberlakukan dan bagaimana proses
penyelesaian suatu kegiatan layanan pendidikan; (3) untuk mengetahui siapa saja
yang terlibat (struktur organisasinya) dalam pelaksanaan program atau
perencanaan pendidikan, baik aspek kualitas maupun kuantitasnya, dan baik menyangkut
aspek akademik-nonakademik; (4) untuk mewujudkan proses kegiatan dalam
pencapaian tujuan pendidikan secara efektif dan sistematis termasuk biaya dan
kualitas pekerjaan; (5) untuk meminimalkan terjadinya beragam kegiatan yang
tidak produktif dan tidak efisien, baik dari segi biaya, tenaga dan waktu
selama proses layanan pendidikan; (6) untuk memberikan gambaran secara
menyeluruh (integral) dan khusus (spefisik) tentang jenis
kegiatan atau pekerjaan bidang pendidikan yang harus dilakukan; (7) untuk menyerasikan
atau memadukan beberapa sub pekerjaan dalam suatu organisasi pendidikan sebagai
‘suatu sistem’; (8) untuk mengetahui beragam peluang, hambatan,
tantangan dan kesulitan yang dihadapi organisasi pendidikan; dan (9) untuk
mengarahkan proses pencapaikan tujuan pendidikan (Dahana, OP and
Bhatnagar, OP. 1980; Banghart, F.W and Trull, A. 1990; Sagala, S. 2009).
3. Manfaat perencanaan pendidikan
Manfaat perencanaan pendidikan. Menurut para
ahli, ada beberapa manfaat dari suatu perencanaan pendidikan yang disusun
dengan baik bagi kehidupan kelembagaan, antara lain: (1) dapat digunakan
sebagai standar pelaksanaan dan pengawasan proses aktivitas atau pekerjaan
pemimpin dan anggota dalam suatu lembaga pendidikan; (2) dapat dijadikan
sebagai media pemilihan berbagai alternatif langkah pekerjaan atau strategi
penyelesaian yang terbaik bagi upaya pencapaian tujuan pendidikan; (3) dapat
bermanfaat dalam penyusunan skala prioritas kelembagaan baik yang menyangkut
sasaran yang akan dicapai maupun proses kegiatan layanan pendidikan; (4) dapat
mengefisiensikan dan mengefektifkan pemanfaatan beragam sumber daya organisasi
atau lembaga pendidikan; (5) dapat membantu pimpinan dan para anggota (warga
sekolah) dalam menyesuaikan diri terhadap perkembangan atau dinamika perubahan
sosial-budaya; (6) dapat dijadikan sebagai media atau alat untuk
memudahkan dalam berkoordinasi dengan berbagai pihak atau lembaga pendidikan
yang terkait, dalam rangka meningkatkan kualitas layanan pendidikan; (7) dapat
dijadikan sebagai media untuk meminimalkan pekerjaan yang tidak efisien atau
tidak pasti; dan (8) dapat dijadikan sebagai alat dalam mengevaluasi pencapaian
tujuan proses layanan pendidikan (Depdiknas. 1997; Soenarya, E. 2000;
Depdiknas, 2001).
4. Ruang lingkup perencanaan pendidikan
Ruang lingkup perencanaan pendidikan
mempunyai jangkauan yang cukup luas, dan dapat ditinjau dari berbagai
aspek, antara lain:
a.
Ditinjau dari aspek spasialnya, yaitu
perencanaan pendidikan yang memiliki karakter yang terkait dengan ruang, tempat
atau batasan wilayah. Perencanaan ini dapat terbagi menjadi: (1) perencanaan
pendidikan nasional, yaitu mencakup seluruh proses usaha layanan pendidikan
yang dilakukan oleh pemerintah pusat, yang bertujuan untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional, yang meliputi seluruh jenjang pendidikan dari tingkat
dasar sampai perguruan tinggi, yang diatur dalam sistem pendidikan nasional
(sispenas) melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional; (2) perencanaan
pendidikan regional, yaitu perencanaan pendidikan yang dibuat dan diberlakukan
dalam wilayah regional tertentu, misalnya perencanaan pengembangan layanan
pendidikan tingkat Propinsi dan Kabupaten/ Kota, yang menyangut seluruh jenis
layanan pendidikan di semua jenjang untuk daerah atau propinsi tertentu; (3)
perencanaan pendidikan kelembagaan, yaitu perencanaan pendidikan yang mencakup
satu institusi atau lembaga pendidikan tertentu, misalnya perencanaan
pengembangan layanan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) ‘BERSTANDAR
NASIONAL’ kota ‘Palu’ tahun 2010, perencanaan Universitas ‘Tadulako, STAIN
Datokarama, Universitas Alkhairat, Universitas Muhammadiyah’, dan sejenisnya.
b.
Ditinjau dari aspek sifat dan karakteristik
modelnya, dapat dibagi menjadi: (1) perencanaan pendidikan terpadu (integrated
educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang mencakup
seluruh aspek yang terkait dengan proses pembangunan pendidikan yang esensial
(mendasar), dalam koridor perencanaan pembangunan nasional, dalam hal ini
perencanaan pendidikan ada keterpaduan atau keterkaitan secara sistemik dengan
perencanaan pembangunan bidang ekonomi, politik, hukum dan sebagainya; (2)
perencanaan pendidikan komprehensif (comprehension educational planning),
yaitu perencanaan pendidikan yang disusun secara sistematik, rasional, objektif
yang menyangkut keseluruhan konsep penting dalam layanan pendidikan, sehingga
perencanaan itu memberikan suatu pemahaman yang lengkap atau sempurna tentang
‘apa’ dan ‘bagaimana’ memberikan layanan pendidikan yang berkualitas; (3)
perencanaan pendidikan strategik (strategic educational planning), yaitu
perencanaan pendidikan yang mengandung pokok-pokok perencanaan untuk menjawab
persoalan atau opini, atau isu mutakhir yang dihadapi oleh dunia pendidikan,
misalnya, persoalan yang dihadapi dunia pendidikan sekarang adalah masalah
‘tranformasi teknologi’, atau masalah ‘rendahnya kualitas guru’, atau masalah
‘keterkaitan antara dunia usaha dengan output lulusan’, dan sebagainya.
Jadi, perencanaan ini menyangkut beragam strategi untuk menghadapi persoalan
yang muncul.
c.
Ditinjau dari aspek waktunya. Perencanaan
pendidikan terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu: (1) perencanaan pendidikan
jangka panjang (long term educational planning), yaitu perencanaan
pendidikan yang disusun dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun ke atas, isi
perencanaan jangka panjang ini belum ditampilkan sasaran yang bersifat
kuantitatif, melainkan dalam bentuk proyeksi atau perspektif atas keadaan ideal
yang diinginkan dalam pembangunan pendidikan. Contoh, program pendidikan
nasional dalam sistem pendidikan nasional; (2) perencanaan pendidikan jangka
menengah (medium term educational planning), yaitu perencanaan
pendidikan yang disusun dalam jangka waktu antara tiga sampai delapan tahun
(perencanaan untuk empat atau lima tahun atau satu periode kepemimpinan).
Perencanaan jangka menengah merupakan penjabaran lebih kongkrit dari
perencanaan jangka panjang, yang sudah merumuskan sasaran atau tujuan yang
secara kuantitatif akan dicapai; dan (3) perencanaan pendidikan jangka pendek (short
term educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang disusun dalam
jangka waktu maksimal satu tahun. Perencanaan ini sering disebut perencanaan
operasional tahunan (annual operational planning), yang memuat
langkah-langkah strategis dan operasional sehari-hari, yang merupakan
penjabaran lebih rinci dan aplikatif dari perencanaan jangka memengah.
d.
Ditinjau dari aspek tingkatan teknis perencanaan.
Perencanaan ini dibedakan menjadi: (1) perencanaan pendidikan makro, yaitu
perencanaan pendidikan yang bersifat nasional atau sering disebut dengan
perencanaan pendidikan nasional, yang berlaku di seluruh negara kesatuan RI
dari jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Perencanaan pendidikan
makro ini disebut juga dengan ‘sistem pendidikan nasional’ (Sispenas); (2)
perencanaan pendidikan mikro, yaitu perencanaan pendidikan yang disusun dan
disesuaikan dengan kondisi otonomi daerah masing-masing. Dalam perencanaan
pendidikan mikro, secara teknis perlu memperhatikan: (a) ketentuan/ standar;
(b) kondisi geografis dan demografis; dan (c) infrastruktur yang ada di daerah,
sedangkan secara non teknis perlu memperhatikan: (a) aspirasi dan peran serta
masyarakat terhadap pendidikan; (b) kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik
dan kamanan daerah; (3) perencanaan pendidikan sektoral, yaitu kumpulan program
atau kegiatan pendidikan yang menekankan pada sektor tertentu, namun tetap ada
keterkaitan dengan sektor lainnya; (4) perencanaan pendidikan kawasan, yaitu
perencanaan pendidikan yang memperhatikan kawasan lingkungan tertentu sebagai
pusat kegiatan pendidikan, misalnya perencanaan pendidikan kawasan pesisir,
kawasan pinggiran kota; (5) perencanaan pendidikan proyek, yaitu perencanaan
operasional yang menyangkut implementasi kebijakan untuk mencapai tujuan,
misalnya perencanaan proyek unik sekolah baru SMK.
e.
Ditinjau dari aspek jenis perencanaan.
Perencanaan pendidikan ini dibedakan menjadi: (1) perencanaan
pendidikan dari atas ke bawah (top down educational planning),
perencanaan ini sering disebut juga perencanaan pendidikan makro atau
perencanaan pendidikan nasional; (2) perencanaan pendidikan dari bawah ke atas
(bottom up educational planning), yaitu perencanaan pendidikan
yang dibuat oleh tenaga perencana dari tingkat bawah kemudian disampaikan ke
pusat, misalnya perencanaan yang dibuat oleh guru, kepala sekolah, Dinas
Pendidikan kemudian disampaikan ke Kementrian Pendidikan Nasional; (3)
perencanaan pendidikan menyerong dan menyamping (diagonal educational
planning), perencanaan ini sering disebut perencanaan sektoral, yaitu perencanaan
yang melibatkan kerjasama antar departemen atau lembaga, misalnya, lembaga
Kementrian Pendidikan Nasional dengan Bappeda Propinsi; (4) perencanaan
pendidikan mendatar (horizontal educational planning), yaitu
perencanaan pendidikan yang dibuat dengan menjalin kerjasama antar lembaga atau
departemen yang sederajat, misalnya perencanaan pendidikan antara kementrian
pendidikan dan kementrian agama dan kementrian sosial; (5) perencanaan
pendidikan menggelinding (rolling educational planning), yaitu
perencanaan pendidikan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dalam bentuk
perencanaan jangka pendek, menengah dan panjang; (6) perencanaan pendidikan
gabungan atas ke bawah dan bawah ke atas (top down and bottom up
educational planning), yaitu perencanaan pendidikan yang mengintegrasikan
atau mengakomodasi kepentingan pusat dan daerah (lokal) (Oliver, Paul, ed.
1996; Usman, H. 2008).
5. Karakteristik perencanaan pendidikan
Karakteristik perencanaan
pendidikan. Berdasarkan beberapa pengertian, tujuan, manfaat, dan
ruang lingkup perencanaan pendidikan tersebut di atas, maka ciri-ciri
(karakteristik) suatu perencanaan pendidikan antara lain, perencanaan
pendidikan harus: (1) berorientasi pada visi, misi kelembagaan yang akan
diwujudkan; (2) mempunyai tahapan program jangka waktu tertentu (jangka pendek,
menengah dan panjang) yang akan dicapai secara berkesinambungan; (3)
mengutamakan nilai-nilai manusiawi, kerena pendidikan itu membangun manusia
yang berkualitas, yang bermanfaat bagi dirinya dan masyarakatnya; (4)
memberikan kesempatan untuk mengembangkan segala potensi peserta didik secara
maksimal; (5) komprehensif dan sistematis dalam arti tidak praktikal atau
segmentasi tetapi menyeluruh, terpadu (integral) dan disusun secara
logis, rasional serta mencakup berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan;
(6) diorientasikan untuk mempersiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas, yang sanggup mengisi berbagai sektor pembangunan; (7) dikembangkan
dengan memperhatikan keterkaitannya dengan berbagai komponen pendidikan secara
sistematis; (8) menggunakan sumber daya (resources) internal dan
eksternal secermat mungkin; (9) berorientasi kepada masa datang, karena
pendidikan adalah proses jangka panjang dan jauh untuk menghadapi berbagai
persoalan di masa depan; (10) responsif terhadap kebutuhan yang berkembang di
masyarakat dan bersifat dinamik; dan (11) merupakan sarana untuk mengembangkan
inovasi pendidikan, sehingga proses pembaharuan pendidikan terus
berlangsung dengan baik (Banghart, F.W and Trull, A. 1990; Tilaar.H.A.R.
1998; Sa’ud, S. dan Makmun A,S. 2007).
6. Prinsip-prinsip perencanaan pendidikan
Prinsip-prinsip perencanaan
pendidikan. Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam penyusunan
perencanaan pendidikan, antara lain:
a.
Prinsip interdisipliner, yaitu
menyangkut berbagai bidang keilmuan atau beragam kehidupan. Hal ini penting
karena hakikat layanan pendidikan kepada peserta didik harus menyangkut
berbagai jenis pengetahuan, beragam ketrampilan dan nilai-norma kehidupan yang
berlaku di masyarakat.
b.
Prinsip fleksibel, yaitu bersifat lentur, dinamik dan
responsif terhadap perkembangan atau perubahan kehidupan di masyarakat. Hal ini
penting, karena hakikat layanan pendidikan kepada peserta didik adalah
menyiapkan siswa untuk mampu menghadapi perkembangan Ilmu pengetahuan dan
teknologi (Iptek) dan beragam tantangan kehidupan terkini.
c.
Prinsip efektifitas-efisiensi, artinya
dalam penyusunan perencanaan pendidikan didasarkan pada perhitungan sumber daya
yang ada secara cermat dan matang, sehingga perencanaan itu ‘berhasil guna’ dan
‘bernilai guna’ dalam pencapaian tujuan pendidikan.
d.
Prinsip progress of change, yaitu
terus mendorong dan memberi peluang kepada semua warga sekolah untuk berkarya
dan bergerak maju ke depan dengan beragam pembaharuan layanan pendidikan yang
lebih berkualitas, sesuai dengan peranan masing-masing.
e.
Prinsip objektif, rasional dan sistematis, artinya
perencanaan pendidikan harus disusun berdasarkan data yang ada, berdasarkan
analisa kebutuhan dan kemanfaatan layanan pendidikan secara rasional
(memungkinkan untuk diwujudkan secara nyata), dan mempunyai sistematika dan
tahapan pencapaian program secara jelas dan berkesinambungan.
f.
Prinsip kooperatif-komprehensif,
artinya perencanaan yang disusun mampu memotivasi dan membangun mentalitas
semua warga sekolah dalam bekerja sebagai suatu tim (team work) yang
baik. Disamping itu perencanaan yang disusun harus mencakup seluruh aspek
esensial (mendasar) tentang layanan pendidikan akademik dan non akademik setiap
peserta didik.
g.
Prinsip human resources development,
artinya perencanaan pendidikan harus disusun sebaik mungkin dan mampu menjadi
acuan dalam pengembangan sumber daya manusia secara maksimal dalam mensukseskan
program pembangunan pendidikan. Layanan pendidikan pada peserta didik harus
betul-betul mampu membangun individu yang unggul baik dari aspek intelektual
(penguasaan science and technology), aspek emosional (kepribadian
atau akhlak), dan aspek spiritual (keimanan dan ketakwaan) , atau
disebut IESQ yang unggul (Dahana, and Bhatnagar, 1980; Banghart, F.W and
Trull, A. 1990; Langgulung, H., 1992).
7. Proses atau tahapan penyusunan perencanaan
pendidikan
Proses atau tahapan penyusunan
perencanaan pendidikan. Menurut Banghart and Trull dalam Sa’ud (2007) ada
beberapa tahapan yang semestinya dilalui dalam penyusunan perencanaan
pendidikan, antara lain:
a.
Tahap need assessment, yaitu melakukan
kajian terhadap beragam kebutuhan atau taksiran yang diperlukan dalam proses
pembangunan atau pelayanan pembelajaran di setiap satuan pendidikan. Kajian
awal ini harus cermat, karena fungsi kajian akan memberikan masukan tentang:
(a) pencapaian program sebelumnya; (b) sumber daya apa yang tersedia, dan (c)
apa yang akan dilakukan dan bagaimana tantangan ke depan yang akan dihadapi.
b.
Tahap formulation of goals and objective, yaitu
perumusan tujuan dan sasaran perencanaan yang hendak dicapai. Perumusan tujuan
perencanaan pendidikan harus berdasarkan pada visi, misi dan hasil kajian awal
tentang beragam kebutuhan atau taksiran (assessment) layanan pendidikan
yang diperlukan.
c.
Tahap policy and priority setting, yaitu
merancang tentang rumusan prioritas kebijakan apa yang akan dilaksanakan dalam
layanan pendidikan. Rumusan prioritas kebijakan ini harus dijabarkan kedalam
strategi dasar layanan pendidikan yang jelas, agar memudahkan dalam pencapaian
tujuan.
d.
Tahap program and project formulation, yaitu
rumusan program dan proyek pelaksanaan kegiatan operasional perencanaan
pendidikan, menyangkut layanan pedidikan pada aspek akademik dan non akademik.
e.
Tahap feasibility testing, yaitu
dilakukan uji kelayakan tentang beragam sumber daya (sumber daya internal/
eksternal; atau sumber daya manusia/ material). Apabila perencanaan disusun
berdasarkan sumber daya yang tersedia secara cermat dan akurat, akan menghasilkan
tingkat kelayakan rencana pendidikan yang baik.
f.
Tahap plan implementation, yaitu tahap
pelaksanaan perencanaan pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan.
Keberhasilan tahap ini sangat ditentukan oleh: (a) kualitas sumber daya
manusianya (kepala sekolah, guru, komite sekolah, karyawan, dan siswa); (b)
iklim atau pola kerjasama antar unsur dalam satuan pendidikan sebagai suatu tim
kerja (team work) yang handal; dan (c) kontrol atau pengawasan
dan pengendalian kegiatan selama proses pelaksanaan atau implementasi program
layanan pendidikan.
g.
Tahap evaluation and revision for future
plan, yaitu kegiatan untuk menilai (mengevaluasi) tingkat keberhasilan
pelaksanaan program atau perencanaan pendidikan, sebagai feedback
(masukan atau umpan balik), selanjutnya dilakukan revisi program untuk rencana
layanan pendidikan berikutnya yang lebih baik.
Merujuk pada uraian dari pengertian
perencanaan pendidikan sampai tahapan dalam penyusunan perencanaan pendidikan
tersebut di atas, menunjukkan bahwa kedudukan perencanaan pendidikan dalam
proses layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan adalah sangat penting,
karena dengan adanya perencanaan pendidikan yang baik dapat:
a.
Meningkatkan kualitas kegiatan atau aktivitas layanan
pendidikan anak secara maksimal, baik menyangkut aspek akademik atau non
akademiknya. Hal ini disebabkan seluruh aktivitas warga sekolah harus
berdasarkan pada program yang telah disusun dengan baik dalam suatu perencanaan
pendidikan secara sistematik dan integral.
b.
Mengetahui beberapa sumber daya internal dan eksternal
yang dimiliki untuk dimanfaatkan secara maksimal, dan juga mengetahui beberapa
kendala, hambatan dan tantangan yang akan dihadapi dalam upaya pencapaian
tujuan. Hal ini disebabkan, suatu perencanaan pendidikan yang baik pasti akan
memuat tentang beberapa peluang dalam mencapai tujuan dan prediksi tantangan
atau hambatan yang akan muncul, serta strategi yang harus dilakukan dalam
mengatasi hambatan tersebut.
c.
Memberi peluang pada setiap warga sekolah dalam
meningkatkan beragam kemampuan, keahlian atau ketrampilan secara
maksimal, dalam rangka mewujudkan tujuan layanan pendidikan.
d.
Memberikan kesempatan bagi pelaksana program untuk
memilih beberapa alternatif pilihan tentang metode atau strategi atau
pendekatan yang tepat dalam pelaksanaan perencanaan pendidikan, agar efektif
dalam upaya mencapai tujuan pendidikan.
e.
Memudahkan dalam pencapaian tujuan pendidikan, karena
perencanaan pendidikan yang baik selalu dirancang dengan tahapan-tahapan
pelaksanaan program layanan pendidikan (jangka pendek, menengah dan panjang),
disamping itu telah disusun skala prioritas sasaran tujuan yang akan dicapai.
f.
Memudahkan dalam melakukan evaluasi tentang seberapa
besar pencapaian tujuan layanan pendidikan yang telah diraih, karena dalam
perencanaan pendidikan yang baik selalu merumuskan indikator-indikator
pencapaian tujuan dan instrumen apa yang dipakai dalam mengukur keberhasilan
dalam kegiatan untuk mencapai tujuan.
g.
Memudahkan dalam melakukan revisi program layanan
pendidikan dan proses penyusunan perencanaan pendidikan berikutnya, sesuai
dengan dinamika dan perkembangan kehidupan sosial-budaya (Banghart, F.W
and Trull, A. 1990; Tilaar.H.A.R. 1998; Sa’ud, S. dan Makmun A,S. 2007).
Pendekatan
Perencanaan Pendidikan
Menurut para ahli, ada beragam
pendekatan perencanaan pendidikan, yaitu: pendekatan kebutuhan sosial (social
demand approach); pendekatan ketenagakerjaan (manpower approach);
pendekatan untung rugi (cost and benefit approach); dan pendekatan
keefektifan biaya (cost effectiveness approach). Berikut ini akan
dijelaskan secara singkat keempat pendekatan perencanan pendidikan tersebut
1.
Pendekatan kebutuhan sosial
Perencanaan pendidikan yang
menggunakan pendekatan kebutuhan sosial, oleh para ahli disebut pendekatan yang
bersifat tradisional, karena fokus atau tujuan yang hendak dicapai dalam
pendekatan kebutuhan sosial ini lebih menekankan pada: (1) tercapainya
pemenuhan kebutuhan atau tuntutan seluruh individu terhadap layanan pendidikan
dasar; (2) pemberian layanan pembelajaran untuk membebaskan populasi usia
sekolah dari tuna aksara (buta huruf); dan (3) pemberian layanan pendidikan
untuk membebaskan rakyat dari rasa ketakutan dari penjajahan, dari kebodohan
dan dari kemiskinan. Oleh karena itu pendekatan kebutuhan sosial ini biasanya
dilaksanakan pada negara-negara yang baru meraih kemerdekaan dari
penjajahan, dengan kondisi masyarakat pribumi yang terbelakang pendidikannya
dan kondisi sosial ekonominya.
Apabila pendekatan kebutuhan sosial
ini dipakai, maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan atau diperhatikan
oleh penyusun perencanaan dalam merancang perencanaan pendidikan, antara lain:
(1) melakukan analisis tentang pertumbuhan penduduknya; (2) melakukan
analisis tentang tingkat partisipasi warga masyarakatnya dalam pelaksanaan
pendidikan, misalnya melakukan analisis persentase penduduk yang berpendidikan
dan yang tidak berpendidikan, yang dapat memberikan kontribusi dalam
peningkatan layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan; (3) melakukan
analisis tentang dinamika atau gerak (mobilitas) peserta didik dari sekolah
tingkat dasar sampai perguruan tinggi, misalnya kenaikan kelas, kelulusan, dan dropout;
(4) melakukan analisis tentang minat atau keinginan warga masyarakat tentang
jenis layanan pendidikan di sekolah; (5) melakukan analisis tentang tenaga
pendidik dan kependidikan yang dibutuhkan, dan dapat difungsikan secara
maksimal dalam proses layanan pendidikan; dan (6) melakukan analisis tentang
keterkaitan antara output satuan pendidikan dengan tuntutan masyarakat
atau kebutuhan sosial di masyarakat (Sa’ud, S. dan Makmun A,S. 2007; Usman, H.
2008).
Ada beberapa kelebihan dan
kekurangan penggunaan pendekatan kebutuhan sosial dalam perencanaan pendidikan.
Diantara sisi positif pendekatan ini antara lain: (1) pendekatan ini
lebih cocok untuk diterapkan pada masyarakat atau negara yang baru
merdeka dengan kondisi kebutuhan sosial, khususnya layanan pendidikan masih
sangat rendah atau masih banyak yang buta huruf; dan (2) pendekatan ini akan
lebih cepat dalam memberikan pemerataan layanan pendidikan dasar yang
dibutuhkan pada warga masyarakat, karena keterbelakangan di bidang pendidikan
akibat penjajahan, sehingga layanan pendidikan yang diberikan langsung
bersentuhan dengan kebutuhan sosial yang mendasar yang dirasakan oleh
masyarakat. Sedangkan sisi kelemahan pendekatan kebutuhan sosial ini
antara lain: (1) pendekatan ini cederung hanya untuk menjawab persoalan yang
dibutuhkan masyarakat pada saat itu, yaitu pemenuhan kebutuhan atau tuntutan
layanan pendidikan dasar sebesar-besanya, sehingga mengabaikan pertimbangan
efisiensi pembiayaan pendidikan; (2) pendekatan ini lebih menekankan pada aspek
kuantitas (jumlah yang terlayani sebanyak-banyaknya), sehingga kurang
memperhatikan kualitas dan efektivitas pendidikan, oleh karena itu pendekatan
ini terkesan lebih boros; (3) pendekatan ini mengabaikan ciri-ciri dan pola
kebutuhan man power yang diperlukan di sektor kehidupan ekonomi, dengan
demikian hasil atau output pendidikan cenderung kurang bisa memenuhi
tuntutan kebutuhan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini; dan (4)
pendekatan ini lebih menekankan pada aspek pemerataan pendidikan (dimensi
kuantitatif) dan kurang mementingkan aspek kualitatif. Disamping itu pendekatan
ini kurang memberikan jawaban yang komprehensif dalam upaya pencapaian tujuan
pendidikan, karena lebih menekankan pada aspek pemenuhan kebutuhan sosial,
sementara aspek atau bidang kehidupan yang lain kurang diperhatikan.
2.
Pendekatan
ketenagakerjaan
Perencanaan pendidikan yang
menggunakan pendekatan ini lebih mengutamakan keterkaitan antara output
(lulusan) layanan pendidikan di setiap satuan pendidikan dengan tuntutan atau
keterserapan akan kebutuhan tenaga kerja di masyarakat. Apabila pendekatan ini
dipakai oleh para penyusun perencanaan pendidikan, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, antara lain: (1) melakukan kajian atau analisis tentang beragam
kebutuhan yang diperlukan oleh dunia kerja yang ada di masyarakat secermat
mungkin; (2) melakukan kajian atau analisis tentang beragam bekal pengetahuan
dan ketrampilan apa yang perlu dimiliki oleh peserta didik agar mereka mampu
menyesuaikan diri secara cepat (adaptif) terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang terjadi di dunia kerja; dan (3) mengkaji atau
menganalisis tentang sistem layanan pendidikan yang terbaik dan mampu
memberikan bekal yang cukup bagi siswa untuk terjun di dunia kerja, oleh karena
itu perlu dilakukan analisis peluang kerja dan menjalin kerjasama antara
lembaga pendidikan dengan dunia usaha dan industri (link and match).
Ada beberapa kelebihan dan kelemahan
dari perencanaan pendidikan yang menggunakan pendekatan ketenagakerjaan, yaitu:
Pertama, beberapa
kebaikan dari pendekatan perencanaan pendidikan ketenagakerjaan, antara lain:
(1) proses pembelajaran atau layanan pendidikan di satuan pendidikan mempunyai
aspek korelasional yang tinggi dengan tuntutan dunia kerja yang dibutuhkan
masyarakat; dan (2) pendekatan ini mengharuskan adanya keterjalinan yang erat
antara lembaga pendidikan dengan dunia usaha dan industri, hal ini tentu sangat
positif untuk meminimalisir terjadinya kesenjangan antara dunia pendidikan
dengan dunia industri-usaha.
Kedua, beberapa
kelemahan dari pendekatan perencanaan pendidikan ketenagakerjaan, antara lain:
(1) mempunyai peranan yang terbatas terhadap perencanaan pendidikan, karena
pendekatan ini telah mengabaikan peran sekolah menengah umum, dan lebih
mengutamakan sekolah menengah kejuruan untuk memenuhi kebutuhan dunia kerja.
Dalam realitasnya masih banyak lulusan sekolah menengah kejuruan yang
menganggur (output-nya tidak terserap di dunia kerja); (2) perencanaan
ini lebih menggunakan orientasi, klasifikasi, dan rasio antara permintaan dan
persediaan; dan (3) tujuan utamanya untuk memenuhi tuntutan dunia kerja,
sedangkan disisi lain tuntutan dunia kerja selalu berubah-ubah (bersifat
dinamik) begitu cepat, sehingga lembaga pendidikan kejuruan sering kurang mampu
mengantisipasinya dengan baik (Vebriarto. 1982; Abin, S. Makmun, dkk. 2001;
Usman, H. 2008).
3. Pendekatan keefektifan biaya
Pendekatan ini berorientasi pada konsep
Investment in human capital (investasi pada sumber daya manusia).
Pendekatan ini sering disebut pendekatan untung rugi. Diantara ciri-ciri
pendekatan ini antara lain: (1) pendidikan memerlukan biaya investasi yang
besar, oleh karena itu perencanaan pendidikan yang disusun harus
mempertimbangkan aspek keuntungan ekonomis; (2) pendekatan ini didasarkan pada
asumsi, bahwa: (a) kualitas layanan pendidikan akan menghasilkan output
yang baik dan secara langsung akan memberi kontribusi pada pertumbuhan ekonomi
masyarakat; (b) sumbangan seseorang terhadap pendapatan nasional adalah
sebanding dengan tingkat pendidikannya; (c) perbedaan pendapatan seseorang di
masyarakat, ditentukan oleh kualitas pendidikan bukan ditentukan oleh latar
belakang sosialnya; (3) perencanaan pendidikan harus betul-betul
diorientasikan pada upaya meningkatkan kualitas SDM (penguasaan Iptek), dan
dengan tersedianya kualitas SDM, maka diharapkan income masyarakat akan
meningkat; dan (4) program pendidikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi akan
menempati prioritas pembiayaan yang besar.
Ada beberapa kelebihan dan kelemahan
dari perencanaan pendidikan dengan pendekatan keefektifan biaya, yaitu.
Pertama, kelebihan
pendekatan keefektifan biaya, antara lain: (a) perencanaan pendidikan yang
disusun akan mempunyai aspek fungsional dan keuntungan ekonomis, sehingga
bentuk-bentuk layanan pendidikan yang dianggap kurang produktif bisa ditiadakan
melalui pendekatan efisiensi investasi; dan (b) pendekatan ini selalu
memilih alternaif yang menghasilkan keuntungan lebih banyak daripada biaya yang
dikeluarkan.
Kedua, kelemahan
pendekatan keefektifan biaya, antara lain: (a) akan mengalami kesulitan dalam
menentukan secara pasti biaya dan keuntungan (cost and benefit) dari
layanan pendidikan, terlebih apabila digunakan mengukur keuntungan untuk
periode atau masa yang akan datang; (b) sangat sulit untuk mengukur secara
pasti atau menghitung keuntungan (benefit) yang dihasilkan oleh
seseorang dalam lapangan pekerjaan yang dikaitkan dengan layanan pendidikan
sebelumnya; (c) pendekatan ini mengabaikan hubungan antara penghasilan
seseorang dengan faktor internal individu (misalnya, motivasi, disiplin nurani,
kelas sosial, orientasi hidup individu, dan sejenisnya), dan hanya melihat
hubungan antara tingkat pendidikan dengan penghasilan; (d) perbedaan pendapatan
seseorang sebenarnya tidak semata-mata menunjukkan kemampuan produktivitas
individual, tetapi ada faktor lain yang ikut menentukan yaitu faktor konvensi
sosial atau banyak dipengaruhi dari kerja kelompok; dan (e) keuntungan dari
pendidikan pada dasarnya tidak hanya diukur berupa keuntungan finansial
(material), tetapi juga dapat dilihat dari keuntungan sosial-budaya (Abin, S.
Makmun, dkk. 2001; Sa’ud, S. dan Makmun A,S. 2007).
4. Pendekatan integratif
Perencanaan pendidikan yang
menggunakan pendekatan integrasi (terpadu) dianggap sebagai pendekatan yang
lebih lengkap dan relatif lebih baik daripada ketiga pendekatan di atas.
Pendekatan ini sering disebut dengan ‘pendekatan sistemik atau pendekatan sinergik’.
Diantara ciri atau karakteristik
pendekatan integratif adalah, bahwa perencanaan pendidikan yang disusun
berdasarkan pada: (1) keterpaduan orientasi dan kepentingan terhadap
pengembangan individu dan pengembangan sosial (kelompok); (2) keterpaduan
antara pemenuhan kebutuhan ketenagakerjaan (bersifat pragmatis) dan juga
mempersiapkan pengembangan kualitas akademik (bersifat idealis) untuk
mempersiapkan studi lanjut; (3) keterpaduan antara pertimbangan ekonomis
(untung rugi), dan pertimbangan layanan sosial-budaya dalam rangka
memberikan kontribusi terhadap terwujudnya integrasi sosial-budaya; (4)
keterpaduan pemberdayaan terhadap sumber daya lembaga, baik sumber daya
internal maupun sumber daya eksternal; (5) konsep bahwa seluruh unsur yang
terlibat dalam proses layanan pendidikan (pelaksanaan program) di setiap satuan
pendidikan merupakan ‘suatu sistem’; dan (6) konsep bahwa
kontrol dan evaluasi pelaksanaan program (perencanaan pendidikan) melibatkan
semua pihak yang berkaitan dengan proses layanan kualitas pendidikan, dengan
tetap berada dalam komando pimpinan atau kepala satuan pendidikan. Sedangkan
pihak-pihak yang dapat terlibat dalam proses evaluasi pelaksanaan perencanaan
pendidikan di setiap satuan pendidikan adalah: (a) Kepala sekolah; (b) Guru;
(c) Siswa; (d) Komite Sekolah, (e) Pengawas sekolah; dan (f) Dinas pendidikan
(Vebriarto. 1982; Soenarya, E. 2000; Depdiknas, 2001, 2006).
Sedangkan kelebihan dan kelemahan
pendekatan perencanaan pendidikan integrasi atau terpadu adalah:
Pertama, kelebihan
pendekatan terpadu antara lain: (1) semua sumber daya (internal-eksternal) yang
dimiliki dalam proses pengembangan pendidikan akan terberdayakan secara baik
dan seimbang; (2) dalam proses pelaksanaan program atau perencanaan pendidikan
memberikan peluang secara maksimal kepada setiap warga sekolah (kepala sekolah,
guru, karyawan, siswa dan komite sekolah (tokoh dan orang tua wali siswa) untuk
berkontribusi secara positif sesuai dengan status dan peran masing-masing; (3)
peluang untuk pencapaian tujuan pendidikan yang telah dirumuskan akan lebih
efektif, karena dalam perencanaan terpadu memberikan porsi yang cukup besar
bagi pemberdayakan semua potensi yang dimiliki secara kelembagaan, dan menuntut
partisipasi aktif dari semua warga sekolah; (4) perencanaan pendidikan yang
terpadu akan mampu menghadapi perubahan atau dinamika kehidupan sosial, ekonomi
dan budaya atau tingkat kompetisi yang begitu tinggi di semua bidang kehidupan
di era globalisasi; (5) pelaksanaan pendekatan perencanaan pendidikan terpadu
secara baik akan mampu mensosialisasi dan menginternalisasi setiap warga
sekolah, untuk membangun sikap mental dan pola perilaku yang integral atau
multidimensional atau komprehensif dalam memahami dan melaksanakan setiap
agenda kehidupan di masyarakat; dan (6) output dari proses layanan
pendidikan pada peserta didik akan lebih menampilkan potret hasil
pendidikan yang lengkap, baik kualitas akademiknya, kualitas kepribadiannya dan
kualitas ketrampilannya.
Kedua, kelemahan
pendekatan terpadu antara lain: (1) pendekatan ini memerlukan ketersediaan
kualitas sumber daya manusia (pendidik dan tenaga kependidikan), khususnya
kualitas pengetahuan, mentalitas atau kepribadiannya, dan spiritualnya.
Dalam realitasnya menurut data
Depdiknas 2006-2007, khususnya tentang kualitas tenaga pendidik (guru) secara
makro (Nasional) dari jenjang pendidikan paling dasar sampai menengah atas yang
betul-betul telah memenuhi standar kualitas guru yang professional masih kurang
dari 20 %, atau kurang lebih 80 % guru-guru di Indonesia belum memiliki
kualifikasi sebagai guru yang profesional (Arifin, 2007). Hal ini tentu sangat
menyulitkan proses pelaksanaan perencanaan pendidikan yang integratif;
(2) perencanaan pendidikan terpadu menuntut kualitas pengelolaan manajemen kelembagaan
secara transparan, akuntabel, demokratik dan visioner.
Dalam realitasnya masih banyak
dijumpai pola pengelolaan manajemen di setiap satuan pendidikan yang
tidak selaras dengan prinsip-prinsip Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah (MPMBS); dan (3) perencanaan pendidikan terpadu menuntut kualitas peran
serta masyarakat (PSM), dalam meningkatkan layanan pendidikan di setiap satuan
pendidikan, khususnya dalam melaksanakan empat peran penting, yaitu sebagai:
(a) pemberi pertimbangan (advisory); (b) pendukung (supporting);
(c) pengontrol (controlling); dan (d) mediator (Depdiknas, 2006).
Dalam realitasnya keempat peran tersebut belum terlaksana dengan baik di setiap
lembaga atau satuan pendidikan.
Jadi, uraian tentang kelemahan
pendekatan integratif atau terpadu atau sistemik sejatinya tidak menyangkut
ranah konseptual, tetapi lebih bersentuhan pada tataran unsur pendudukung dalam
pelaksanaan program (aplikasinya). Oleh karena itu secara konseptual pendekatan
perencanaan integrasi merupakan pendekatan yang paling baik apabila
dibandingkan dengan pendekatan yang lain yang lebih bersifat parsial
(sektoral). Hal yang paling kunci untuk mendukung pelaksanaan program
pendidikan pada perencanaan pendidikan integratif adalah: (a) terus mendorong
pengembangan kualitas SDM warga sekolah; (b) terus meningkatkan kualitas
manajemen satuan pendidikan berdasarkan prinsip-prinsip MPMBS; dan (c) terus
meningkatkan kualitas peran serta masyarakat (PSM) untuk mencapai tujuan
pendidikan.
Metode dan Model Perencanaan Pendidikan
1. Metode perencanaan pendidikan
Ada beberapa metode perencanaan pendidikan yang perlu
dipahami oleh setiap penyusun perencanaan pendidikan, antara lain:
a.
Metode analisis sumber-cara-tujuan.
Metode ini dipakai untuk
meneliti sumber-sumber dan beberapa alternatif pelaksanaan program untuk
mencapai tujuan pendidikan. Sebagai penyusun perencanaan pendidikan yang
menggunakan metode ini, hal-hal yang perlu dilakukan adalah: (a) melakukan
analisis tentang sumber daya yang ada, baik sumber daya internal atau eksternal
yang dimiliki; (b) melakukan analisis tentang beberapa metode (cara) atau
strategi yang dapat dilakukan dalam proses pelaksanaan program yang telah
dirancang, agar efektif dalam pencapaian tujuan; dan (c) melakukan analisis
tentang tujuan jangka pendek, menengah dan tujuan jangka panjang secara
integral dan berkesinambungan,
b. Metode analisis masukan-keluaran.
Metode ini dipakai untuk
menganalisis beberapa faktor input pendidikan, proses pendidikan
dan output pendidikan. Sebagai penyusun perencanaan pendidikan yang
menggunakan metode ini, hal-hal yang perlu dilakukan adalah: (1)
melakukan analisis tentang faktor-faktor input pendidikan,
misalnya: (a) analisis memiliki kebijakan mutu sekolah; (b) analisis sumber
daya tersedia dan siap; (c) analisis tentang harapan prestasi yang tinggi; (d)
analisis terhadap pelanggan (khususnya pada peserta didik yang masuk);
dan (e) analisis manajemen MBS (Dirjen Dikdasmen, 2006;
Bafadal, I. 2003); (2) melakukan analisis tentang proses layanan
pendidikan, misalnya: (a) analisis efektivitas proses belajar mengajar; (b)
analisis kepemimpinan sekolah yang demokratis; (c) analisis pengelolaan SDM dan
keuangan yang efektif, transparan dan akuntabel; (d) analisis sekolah berbudaya
mutu; (e) analisis sekolah yang memiliki teamwork yang kompak, cerdas,
visioner dan dinamik; (f) analisis kemandirin dalam pengelolaan sumber daya
sekolah; dan sebagainya (Dirjen Dikdasmen, 2006); dan (3) melakukan analisis output
pendidikan, misalnya: (a) analisis kualitas karya sekolah; (b) analisis
produktivitas warga sekolah; (c) analisis lulusan dengan kebutuhan masyarakat;
dan sebagainya.
b.
Metode analisis ekonometrik.
Metode ini memakai data empirik,
statistik, kuantitatif dan teori ekonomi dalam mengukur perubahan untuk
hubungannya dengan ekonomi. Metode ini lebih dekat dengan pendekatan
perencanaan pendidikan model untung rugi atau keefektifan biaya. Sebagai
penyusun perencanaan pendidikan yang menggunakan metode ini, hal-hal yang perlu
dilakukan adalah: (1) melakukan analisis secara empirik atau kuantitatif
tentang sumber daya dan sumebr dana yang dimiliki oleh lembaga, yang berpotensi
untuk bisa dikembangkan secara maksimal dalam rangka meraih keuntungan
finansial secara maksimal; dan (2) melakukan analisis tentang peluang output
dari layanan pendidikan yang dapat terserap oleh dunia usaha atau industri,
sehingga layanan pendidikan yang diberikan betul-betul mempunyai nilai ekonomis
yang tinggi. Oleh karena proses layanan pendidikan yang tidak bernilai
produktif (memberi nilai ekonomis) harus ditiadakan.
c. Metode
diagram sebab akibat.
Metode ini dipakai dalam perencanaan
yang menggunakan sekuen hipotetik untuk mendapatkan gambaran masa depan
yang lebih baik. Metode ini hampir sama dengan pendekatan strategik. Sebagai
penyusun perencanaan pendidikan yang menggunakan metode ini, hal-hal yang perlu
dilakukan adalah: (1) melakukan analisis beragam problem atau beragam tantangan
yang akan dihadapi oleh dunia pendidikan di masa yang akan datang. Oleh karena
itu diperlukan adanya analisis SWOT (Strength atau kekuatan, Weakness
atau kelemahan, Opportunity atau kesempatan, and Threat
atau ancaman) secara cermat pada semua aspek atau bidang-bidang pendidikan yang
akan dikembangkan. Tujuan dilakukan analisis SWOT adalah untuk mengenali
tingkat kesiapan setiap bidang pendidikan atau aspek kelembagaan yang
diperlukan untuk mencapai tujuan pendidikan; dan (2) melakukan analisis
tindakan atau langkah-langkah yang tepat, yang dapat dilaksanakan dalam
menghadapi beragam tantangan atau problem yang muncul pada era yang akan
datang.
d.
Metode analisis siklus kehidupan.
Metode ini dipakai untuk
mengalokasikan sumber daya yang ada di sekolah dengan memperhatikan siklus
kehidupan produksi atau output layanan pendidikan (lulusan), proyek,
program dan proses kegiatan layanan pendidikan. Tahapan yang perlu diperhatikan
oleh penyusun perencanaan pendidikan yang menggunakan metode ini, adalah: (1)
melakukan konseptualisasi program-program dalam perencanaan pendidikan; (2)
spesifikasi program-program dalam perencanaan pendidikan; (3) pengembangan
prototipe layanan pendidikan; (4) pengujian dan evaluasi program-program dalam
perencanaan pendidikan; (5) operasi; dan (6) produk atau output layanan
pendidikan (lulusan).
e. Metode
proyeksi.
Metode ini paling banyak dipakai dalam
perencanaan pendidikan di tingkat mikro (lembaga satuan pendidikan).
Perencanaan pendidikan yang menggunakan metode proyeksi, akan menghasilkan cara
(metode) pemecahan masalah penduduk lima tahunan, data persekolahan, proyeksi
penduduk usia sekolah, proyeksi siswa, proyeksi ruang kelas, dan proyeksi
kebutuhan guru. Dalam metode ini paling tidak ada tiga metode proyeksi, yaitu:
1)
Angka pertumbuhan siswa.
Angka
pertumbuhan siswa adalah perhitungan kenaikan siswa setiap tahunnnya, dengan
menggunakan rumus:
Sn-1 – Sn-2
Apn =
X 100 %
Sn-2
Keterangan:
Apn =
Angka Pertumbuhan siswa tahun n
Sn-1 = Siswa
tahun n-1
Sn-2 = Siswa
tahun n-2
2)
Kohort siwa.
Kohort adalah satu angkatan siswa
yang masuk kelas 1 (awal) sampai tamat sekolah. Contoh, pada tahun pelajaran
2010-2011 siswa yang masuk kelas VII SMP/ MTs berjumlah 500 orang, kemudian
tiga tahun berikutnya 2012-2013 yang lulus adalah 470 siswa (94%),
sedangkan yang tidak lulus 30 siswa (6 %).
3)
Arus siswa.
Proyeksi arus siswa ini akan
memberikan gambaran yang lebih akurat dan tepat karena memberikan data yang
mendekati kenyataan. Hal ini disebabkan proyeksi ini menggunakan berbagai
parameter yang mengontrol hasil proyeksi tiga arus dari setiap tingkat, yaitu:
(a) angka mengulang; (b) angka naik kelas; dan (c) angka putus sekolah (Usman,
H. 2008).
2. Model perencanaan pendidikan
Ada beberapa model perencanaan
pendidikan, yaitu:
Pertama, model
komprehensif. Model ini digunakan untuk menganalisis perubahan-perubahan dalam
layanan pendidikan secara menyeluruh. Disamping itu, model ini berfungsi juga
sebagai pedoman dalam menguraikan beragam rencana yang lebih khusus ke arah
tujuan pendidikan yang lebih luas.
Kedua, model
pembiayaan dan keefektifan biaya. Model ini digunakan untuk menganalisis proyek
dengan kriteria efisiensi dan efektivitas pembiayan layanan pendidikan. Dengan
model ini dapat diketahui proyek layanan pendidikan yang mana yang paling layak
atau terbaik untuk didanai dan dikembangkan dibandingkan dengan proyek-proyek
lainnya. Model ini hampir sama dengan pendekatan untung rugi.
Ketiga,
model Planning, Programming, Budgeting System (PPBS), yaitu model sistem
perencanaan, pemrograman, dan penganggaran layanan pendidikan. Model ini banyak
dipergunakan pada perencanaan pendidikan perguruan Tinggi Negeri. PPBS
meruapakan suatu pendekatan sistematis dan komprehensif yang berusaha
menentukan tujuan, mengembangkan program-program untuk dicapai dengan menggunakan
anggaran seefisien dan seefektif mungkin, dan mampu menggambarkan kegiatan
program pendidikan jangka panjang.
Keempat, model target
setting. Model ini dipergunakan untuk memperkirakan atau
memproyeksi tingkat perkembangan dalam kurun waktu tertentu. Dalam persiapannya
diperlukan model untuk analisis demografis dan proyeksi penduduk, model untuk
memproyeksikan jumlah peserta didik di sekolah, dan model untuk memproyeksikan
kebutuhan tenaga kerja. Persoalan yang muncul adalah, model yang manakah yang
paling baik diterapkan dalam penyusunan perencanaan pendidikan?, Menurut para
ahli sebaiknya model perencanaan pendidikan yang dipakai dalam proses layanan
pendidikan di setiap satuan pendidikan adalah mengintegrasikan beberapa model
tersebut di atas, dengan tetap memperhatikan situasi dan kondisi yang dihadapi
oleh masing-masing lembaga pendidikan (Abin, S. Makmun, dkk. 2001; Usman,
H. 2008).
Penyelenggaraan
Pendidikan Era Otonomi Daerah
Era reformasi telah membawa
perubahan-perubahan mendasar dalam berbagai kehidupan termasuk kehidupan
pendidikan. Salah satu perubahan mendasar adalah manajemen Negara, yaitu dari
manajemen berbasis pusat menjadi manajemen berbasis daerah. Secara resmi,
perubahan manajemen ini telah diwujudkan dalam bentuk Undang-Undang Republik
Indonesia No. 22 Tahun 1999, yang kemudian direvisi dan disempurnakan menjadi
Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pedoman
pelaksanaannyapun telah dibuat melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai
Daerah Otonom. Konsekuensi logis dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah
tersebut adalah bahwa manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan jiwa dan
semangat otonomi.
Penyesuaian dengan jiwa dan semangat
otonomi itu, antara lain terwujud dalam bentuk perubahan arah paradigma
pendidikan, dari paradigma lama ke paradigma baru, yang tentu juga berdampak
pada paradigma perencanaan pendidikannya. Secara ideal, paradigma baru
pendidikan tersebut mestinya mewarnai kebijakan pendidikan baik kebijakan
pendidikan yang bersifat substantif maupun implementatif. Seperti yang
dinyatakan oleh Azyumardi Azra (2002: xii) bahwa dengan era otonomi daerah :
”lembaga-lembaga pendidikan, seperti sekolah, madrasah, pesantren, universitas
(perguruan tinggi), dan lainnya – yang terintegrasi dalam pendidikan nasional-
haruslah melakukan reorientasi, rekonstruksi kritis, restrukturisasi, dan
reposisi, serta berusaha untuk menerapkan paradigma baru pendidikan nasional”.
Selain itu, implementasi kebijakan tersebut diharapkan berdampak positif
terhadap kemajuan pendidikan di daerah dan di tingkat satuan pendidikan.
Agar dampak positif dapat
benar-benar terwujud, kemampuan perencanaan pendidikan yang baik di daerah
sangatlah diperlukan. Dengan kemampuan perencanaan pendidikan yang baik
diharapkan dapat mengurangi kemungkinan timbulnya permasalahan yang serius.
Fiske (1996) menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman berbagai negara sedang
berkembang yang menerapkan otonomi di bidang pendidikan, otonomi berpotensi
memunculkan masalah: perbenturan kepentingan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah, menurunnya mutu pendidikan, inefisiensi dalam pengelolaan pendidikan,
ketimpangan dalam pemerataan pendidikan, terbatasnya gerak dan ruang partisipasi
masyarakat dalam pendidikan, serta berkurangnya tuntutan akuntabilitas
pendidikan oleh pemerintah serta meningkatnya akuntabilitas pendidikan oleh
masyarakat.
Selain itu, dengan perencanaan
yang baik, konon, merupakan separoh dari kesuksesan dalam pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan yang telah diotonomikan di daerah. Sayangnya, kata
Abdul Madjid dalam tulisannya ”Pendidikan Tanpa Planning” (Kedaulatan Rakyat,
2006), bahwa rendahnya mutu pendidikan kita disebabkan oleh belum
komprehensifnya pendekatan perencanaan yang digunakan. Perencanaan pendidikan,
katanya, hanya dijadikan faktor pelengkap atau dokumen ”tanpa makna” sehingga
sering terjadi tujuan yang ditetapkan tidak tercapai secara optimal. Dapat juga
terjadi, seperti dinyatakan H. Noeng Muhadjir (2003:89), bahwa ”pembuatan
implementasi kebijakan berupa perencanaan, mungkin saja dilakukan oleh para
eksekutif tanpa penelitian lebih dahulu. Kemungkinan resikonya beragam,
misalnya membuat kesalahan yang sama dengan eksekutif terdahulu, tidak realistis,
tidak menjawab masalah yang dihadapi masyarakat, sampai ke dugaan
manipulatif-koruptif”.
Terdapat beberapa hal yang
terkait dengan apa yang telah dikemukakan yakni:
1. Konsep Otonomi Daerah.
Sehari sesudah merdeka, Negara
Kesatuan RI pada dasarnya telah menetapkan pilihannya secara formal pada
dianutnya asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan
memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan
otonomi daerah. Hal itu dapat disimpulkan dari bunyi Bab IV, pasal 18 UUD 1945
dan penjelasannya. Dalam pasal 18 UUD 1945, antara lain dinyatakan bahwa
“pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang”. Sementara, dalam
penjelasan pasal tersebut antara lain dikemukakan bahwa: “…oleh karena negara
Indonesia itu suatu “eenheidsstaat”, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah
di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi
dalam daerah propinsi dan daerah yang lebih kecil. Daerah itu bersifat otonom
(streck dan locale rechtsgemeenchappen) atau bersifat daerah administrasi
belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang”.
Dalam amandemen kedua UUD 1945,
ketentuan tersebut mengalami perubahan. Perubahan tersebut tidak merubah
esensinya, tapi lebih bersifat mempertegas, memperjelas dan melengkapi.
Disebutkan, misalnya, “Negara Kesatuan RI dibagi atas daerah-daerah provinsi
dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap
provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah” (pasal 18 ayat
1). Pemerintah daerah tersebut mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan (pasal 18 ayat 2).
Selanjutnya, dikatakan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi
seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai urusan Pemerintah Pusat (pasal 18 ayat 5 UUD 1945).
Secara etimologi, perkataan
otonomi berasal dari bahasa latin “autos” yang berarti sendiri dan “nomos” yang
berarti aturan. Dengan demikian, mula-mula otonomi berarti mempunyai “peraturan
sendiri” atau mempunyai hak/kekuasaan/kewenangan untuk membuat peraturan
sendiri. Kemudian arti ini berkembang menjadi “pemerintahan sendiri”. Pemerintahan
sendiri ini meliputi pengaturan atau perundang-undangan sendiri, pelaksanaan
sendiri, dan dalam batas-batas tertentu juga pengadilan dan kepolisian sendiri
(Josep Riwu Kaho,1991:14). Sementara itu, dalam UU No. 32/ 2004 tentang
Pemerintah Daerah ditegaskan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat yang diatur dan diurus tersebut meliputi kewenangan-kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah untuk diselenggarakan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Josef Riwu Kaho (1991:15-17) menyebutkan berbagai teknik untuk menetapkan bidang mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan mana yang merupakan wewenang pemerintah daerah, yaitu (a) sistem residu, (b) sistem material, (c) sistem formal, (d) sistem otonomi riil, dan (e) prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab.
Urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat yang diatur dan diurus tersebut meliputi kewenangan-kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah-daerah untuk diselenggarakan menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Josef Riwu Kaho (1991:15-17) menyebutkan berbagai teknik untuk menetapkan bidang mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan mana yang merupakan wewenang pemerintah daerah, yaitu (a) sistem residu, (b) sistem material, (c) sistem formal, (d) sistem otonomi riil, dan (e) prinsip otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab.
Dalam sistem residu, secara umum
telah ditentukan lebih dahulu tugas-tugas yang menjadi wewenang pemerintah
pusat, sedangkan sisanya menjadi urusan rumah tangga daerah. Kebaikannya
terutama terletak pada saat timbulnya keperluan-keperluan baru, pemerintah
daerah dapat dengan cepat mengambil keputusan dan tindakan yang dipandang
perlu, tanpa menunggu perintah dari pusat. Sebaliknya, sistem ini dapat pula
menimbulkan kesulitan mengingat kemampuan daerah yang satu dengan yang lainnya
tidak sama dalam pelbagai lapangan atau bidang. Akibatnya, bidang atau tugas
yang dirumuskan secara umum ini dapat menjadi terlalu sempit bagi daerah yang
kemampuannya terbatas.
Sementara, dalam sistem material,
tugas pemerintah daerah ditetapkan satu persatu secara limitatif atau terinci.
Di luar tugas yang telah ditentukan, merupakan urusan pemerintah pusat.
Kelemahannya, sistem ini kurang fleksibel karena setiap perubahan tugas dan
wewenang daerah harus dilakukannya melalui prosedur yang lama dan
berbelit-belit. Akibatnya, memghambat kemajuan daerah, karena mereka harus
menunggu penyerahan yang nyata bagi setiap urusan. Kadang-kadang suatu urusan
menjadi terbengkelai, tidak diurus oleh pemerintah pusat dan tidak pula oleh
pemerintah daerah. Sedangkan dalam sistem formal, daerah boleh mengatur dan
mengurus segala sesuatu yang dianggap penting bagi daerahnya, asal saja tidak
mencakup urusan yang telah diatur dan diurus oleh pemerintah pusat atau
pemerintah daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Dengan kata lain, urusan
rumah tangga daerah dibatasi oleh peraturan perundang- undangan yang lebih
tinggi tingkatannya.
Dalam sistem otonomi riil,
penyerahan urusan atau tugas dan kewenangan kepada daerah didasarkan pada
faktor yang nyata atau riil, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang riil
dari daerah maupun pemerintah pusat serta pertumbuhan kehidupan masyarakat yang
terjadi. Karena pemberian tugas dan kewajiban serta wewenang ini didasarkan
pada keadaan riil di dalam masyarakat, maka kemungkinan yang dapat
ditimbulkannya ialah bahwa tugas atau urusan yang selama ini menjadi wewenang
pemerintah pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah dengan melihat
kepada kemampuan dan keperluannya untuk diatur dan diurus sendiri. Sebaliknya,
tugas yang kini menjadi wewenang daerah, pada suatu ketika, bilamana dipandang
perlu dapat diserahkan kembali kepada pemerintah pusat atau ditarik kembali
dari daerah .
Prinsip otonomi yang nyata,
dinamis dan bertanggung jawab dikenal dalam UU No.5 tahun 1974 sebagai salah
satu variasi dari sistem otonomi riil. Dalam UU tentang Pemerintah Daerah yang
baru, yaitu UU No. 22 tahun 1999, otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara
proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan
sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah.
Agar otonomi daerah dapat
dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, Pemerintah wajib
melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian,
pengembangan, perencanaan dan pengawasan. Di samping itu diberikan pula
standar, arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi,
pemantauan dan evaluasi. Bersamaan dengan itu, Pemerintah wajib memberikan
fasilitasi berupa pemberian peluang, kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada
daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat dilakukan secara efisien dan
efektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Konsep Desentralisasi Pendidikan
Bila otonomi daerah menunjuk pada
hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat, maka hal tersebut hanya mungkin
jika Pemerintah Pusat mendesentralisasikan atau menyerahkan wewenang
pemerintahan kepada daerah otonom. Inilah yang disebut dengan desentralisasi.
Mengenai asas desentralisasi, ada banyak definisi. Secara etimologis, istilah
tersebut berasal dari bahasa Latin “de”, artinya lepas dan “centrum”, yang
berarti pusat, sehingga bisa diartikan melepaskan dari pusat. Sementara, dalam
Undang-undang No. 32 tahun 2004, bab I, pasal 1 disebutkan bahwa desentralisasi
adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan
RI. Sedangkan menurut Jose Endriga (Verania Andria & Yulia Indrawati
Sari,2000:iii) desentralisasi diartikan sebagai “systematic and rasional
dispersal of governmental powers and authority to lower level institutions so
as to allow multi–sectoral decision making as close as possible to problem
area”. Lain halnya dengan Nuril Huda (1998:4), dia mengartikan desentralisasi
sebagai “delegations of responsibilities and powers to authorities at the lower
levels”.
Secara konseptual, penerapan asas
desentralisasi didasari oleh keinginan menciptakan demokrasi, pemerataan dan
efisiensi. Diasumsikan bahwa desentralisasi akan menciptakan demokrasi melalui
partisipasi masyarakat lokal. Dengan sistem yang demokratis ini diharapkan akan
mendorong tercapainya pemerataan pembangunan terutama di daerah pedesaan dimana
sebagian besar masyarakat tinggal. Sedangkan efisiensi dapat meningkat karena
jarak antara pemerintah lokal dengan masyarakat menjadi lebih dekat, penggunaan
sumber daya digunakan saat dibutuhkan dan masalah diidentifikasi oleh
masyarakat lokal sehingga tak perlu birokrasi yang besar untuk mendukung
pemerintah lokal. Sementara itu, Kotter (1997) dalam buku “Leading Change”,
menyatakan bahwa lembaga yang terdesentralisasi memiliki beberapa keunggulan,
antara lain : (1) lebih fleksibel, dapat memberikan respon dengan cepat
terhadap lingkungan dan kebutuhan yang selalu berubah, (2) lebih efektif, (3)
lebih inovatif, dan (4) menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih
komitmen dan lebih produktif. Sedangkan Achmad Budiono, M.Irfan & Yuli Andi
(1998:216) menyatakan bahwa dengan pengambilan keputusan dalam organisasi ke
tingkat yang lebih rendah maka akan cenderung memperoleh keputusan yang lebih
baik. Desentralisasi bukan saja memperbaiki kualitas keputusan tetapi juga
kualitas pengambilan keputusan. Dengan desentralisasi, pengambilan keputusan
lebih cepat, lebih luwes dan konstruktif.
Istilah desentralisasi muncul
dalam paket UU tentang otonomi daerah yang pelaksanaannya dilatarbelakangi oleh
keinginan segenap lapisan masyarakat untuk melakukan reformasi dalam semua
bidang pemerintahan. Menurut Bray dan Fiske (Depdiknas, 2001:3) desentralisasi
pendidikan adalah suatu proses di mana suatu lembaga yang lebih rendah kedudukannya
menerima pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan segala tugas pelaksanaan
pendidikan, termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta penyusunan
kebijakan dan pembiayaan. Senada dengan itu, Husen & Postlethwaite
(1994:1407) mengartikan desentralisasi pendidikan sebagai “the devolution of
authority from a higher level of government, such as a departement of education
or local education authority, to a lower organizational level, such as
individual schools”. Sementara itu, menurut Fakry Gaffar (1990:18)
desentralisasi pendidikan merupakan sistem manajemen untuk mewujudkan
pembangunan pendidikan yang menekankan pada keberagaman, dan sekaligus sebagai
pelimpahan wewenang dan kekuasaan dalam pembuatan keputusan untuk memecahkan
berbagai problematika sebagai akibat ketidaksamaan geografis dan budaya, baik
menyangkut substansi nasional, internasional atau universal sekalipun.
Bila dicermati, esensi terpenting dari berbagai pengertian di atas adalah otoritas yang diserahkan. Williams (Depdiknas, 2001:3-4) membedakan adanya dua macam otoritas (kewenangan dan tanggung jawab) yang diserahkan dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, yaitu desentralisasi politis (political decentralization) dan desentralisasi administrasi (administrative decentralization). Perbedaan antar keduanya terletak dalam hal tingkat kewenangan yang dilimpahkan.
Bila dicermati, esensi terpenting dari berbagai pengertian di atas adalah otoritas yang diserahkan. Williams (Depdiknas, 2001:3-4) membedakan adanya dua macam otoritas (kewenangan dan tanggung jawab) yang diserahkan dari pemerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, yaitu desentralisasi politis (political decentralization) dan desentralisasi administrasi (administrative decentralization). Perbedaan antar keduanya terletak dalam hal tingkat kewenangan yang dilimpahkan.
Pada desentralisasi politik,
kewenangan yang dilimpahkan bersifat mutlak. Pemda menerima kewenangan
melaksanakan tanggung jawab secara menyeluruh. Ia memegang otoritas untuk
menentukan segala kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan untuk
masyarakatnya. Hal itu mencakup kewenangan untuk menentukan model, jenis,
sistem pendidikan, pembiayaan, serta lembaga apa yang akan melaksanakan
kewenangan-kewenangan tersebut. Sedangkan dalam desentralisasi administrasi,
kewenangan yang dilimpahkan hanya berupa strategi pelaksanaan tugas-tugas
pendidikan di daerah. Dengan kata lain, kewenangan yang diserahkan berupa
strategi pengelolaan yang bersifat implementatif untuk melaksanakan suatu
fungsi pendidikan. Dalam desentralisasi model ini, pemerintah pusat masih
memegang kekuasaan tertinggi dalam menentukan kebijakan makro, sedangkan
pemerintah daerah mempunyai kewajiban dan kewenangan untuk merencanakan,
mengatur, menyediakan dana dan fungsi-fungsi implementasi kebijakan lainnya.
Mengapa bidang pendidikan
didesentralisasikan? Tentang hal itu, ada berbagai pendapat dari para ahli.
Husen & Postlethwaite (1994:1407) menguraikan mengenai alasan
desentralisasi (reasons for decentralization), yaitu (a) the improvement of
schools, (b) the belief that local participation is a logical form of
governance in a democracy, dan (c) in relation to fundamental values of
liberty, equality, fraternity, efficiency, and economic growth. Sementara itu,
setelah melakukan studi di berbagai negara, Fiske (1998:24-47) menyebutkan
sekurang-kurangnya ada empat alasan rasional diterapkannya sistem
desentralisasi, termasuk pendidikan, yaitu (a) alasan politis, seperti untuk
mempertahankan stabilitas dalam rangka memperoleh legitimasi pemerintah pusat
dari masyarakat daerah, sebagai wujud penerapan ideologi sosialis dan
laissez-faire dan untuk menumbuhkan kehidupan demokrasi, (b) alasan
sosio-kultural, yakni untuk memberdayakan masyarakat lokal, (c) alasan teknis
administratif dan paedagogis, seperti untuk memangkas manajemen lapisan tengah
agar dapat membayar gaji guru tepat waktu atau untuk meningkatkan antusiasme
guru dalam proses belajar mengajar, (d) alasan ekonomis-finansial, seperti
meningkatkan sumber daya tambahan untuk pembiayaan pendidikan dan sebagai alat
pembangunan ekonomi.
Sementara itu, Kacung Marijan
(Abdurrahmansyah, 2001:58) melihat penerapan desentralisasi pendidikan di
Indonesia justru sebagai gejala keputusasaan pemerintah dalam menghadapi
persoalan keuangan. Sedangkan Arbi Sanit (2000:1) memandang penerapan
desentralisasi secara umum sebagai “jalan keluar” bagi problematik ketimpangan
kekuasaan antara pemerintah nasional dan pemerintah lokal. Karena itu,
menurutnya, konsep desentralisasi bertolak dari asumsi pemberian sebagian
kekuasaan pemerintah pusat kepada pemerintah lokal atau yang lebih rendah dalam
rangka mencapai tujuan nasional. Pemberian sebagian kekuasaan tersebut untuk
mengatasi kekecewaan daerah terhadap pemerintah pusat, yang berakar pada
persoalan: (1) ketimpangan struktur ekonomi Jawa-Luar Jawa, (2) sentralisasi
politik, (3) korupsi birokrasi, (4) eksploitasi SDA, (5) represi dan
pelanggaran HAM, dan (6) penyeragaman politik hingga kultural.
Tujuan desentralisasi pendidikan
adalah untuk memperbaiki proses pengambilan keputusan dengan melibatkan lebih
banyak stakeholders di daerah, untuk menghasilkan integrasi sekolah dengan
masyarakat lokal secara terus menerus, untuk mendekatkan sekolah dengan
kebutuhan dan kondisi masyarakat, dan akhirnya untuk memperbaiki motivasi,
kehadiran dan pencapaian murid. Selain itu, desentralisasi tersebut juga dalam
rangka memberi kesempatan kepada rakyat atau masyarakat luas untuk
berpartisipasi secara aktif dan kreatif sehingga pendidikan mampu menghasilkan
sumber daya manusia yang berkualitas yang akan bermanfaat bagi pembangunan
daerah.
3. Paradigma Baru Pendidikan
Era otonomi daerah telah
mengakibatkan terjadinya pergeseran arah paradigma pendidikan, dari paradigma
lama ke paradigma baru, meliputi berbagai aspek mendasar yang saling berkaitan,
yaitu (1) dari sentralistik menjadi desentralistik, (2) dari kebijakan yang top
down ke kebijakan yang bottom up, (3) dari orientasi pengembangan parsial
menjadi orientasi pengembangan holistik, (4) dari peran pemerintah sangat
dominan ke meningkatnya peranserta masyarakat secara kualitatif dan
kuantitatif, serta (5) dari lemahnya peran institusi non sekolah ke
pemberdayaan institusi masyarakat, baik keluarga, LSM, pesantren, maupun dunia
usaha (Fasli Jalal, 2001: 5). Agak berbeda dengan hal tersebut, dalam buku
Depdiknas (2002:10) tentang Materi Pelatihan Terpadu untuk Kepala Dinas
Kabupaten/Kota, selain perubahan paradigma dari “sentralistik ke
desentralistik” dan orientasi pendekatan “dari atas ke bawah” (top down
approach) ke pendekatan “dari bawah ke atas” (bottom up approach) sebagaimana
yang sudah disebut dalam buku Fasli Jalal, juga disebutkan tiga paradigma baru
pendidikan lainnya, yaitu dari “birokrasi berlebihan” ke “debirokratisasi”, dari
“Manajemen Tertutup” (Closed Management) ke “Manajemen Terbuka” (Open
Management), dan pengembangan pendidikan, termasuk biayanya, “terbesar menjadi
tanggung jawab pemerintah” berubah ke “sebagian besar menjadi tanggung jawab
orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders).
Bila kedua pendapat di atas
dianalisis dan disintesakan, maka wujud pergeseran paradigma pendidikan
tersebut meliputi sebagai berikut.
a. Dari sentralisasi ke
desentralisasi pendidikan
Sebelum otonomi, pengelolaan
pendidikan sangat sentralistik. Hampir seluruh kebijakan pendidikan dan
pengelolaan pelaksanaan pendidikan diatur dari Kemendiknas. Seluruh jajaran,
tingkat Kanwil Kemendiknas , tingkat Kakandep Dikbud Kabupaten/Kota, bahkan
sampai di sekolah-sekolah harus mengikuti dan taat terhadap kebijakan-kebijakan
yang seragam secara nasional, dan petunjuk-petunjuk pelaksanaannya. Kakandep
dan sekolah-sekolah tidak diperkenankan merubah, menambah dan mengurangi yang
sudah ditetapkan oleh Kemendiknas /Kanwil Kemendiknas , sekalipun tidak sesuai
dengan kondisi, potensi, kebutuhan sekolah dan masyarakat di daerah.
Dalam era reformasi, paradigma
sentralistik berubah ke desentralistik. Desentralistik dalam arti pelimpahan
sebagian wewenang dan tanggung jawab dari Depdiknas ke Dinas Pendidikan
Propinsi, dan sebagian lainnya kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, bahkan
juga kepada sekolah-sekolah. Pada perguruan tinggi negeri/swasta dilimpahkan
kepada rektor, bahkan juga pada fakultas, dan juga pada jurusan/program studi.
Dengan UU dan Peraturan
Pemerintah mengenai otonomi daerah, Kabupaten/Kota dan DPR Kabupaten/Kota,
diberi wewenang membuat Peraturan-Peraturan Daerah, mengenai pendidikan tingkat
Kabupaten/Kota. Dengan desentralisasi manajemen pendidikan tersebut, Dinas
Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota sebagai perangkat pemerintah Kabupaten/Kota
yang otonom, dapat membuat kebijakan-kebijakan pendidikan, masing-masing sesuai
wewenang yang dilimpahkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota dalam bidang
pendidikan. Bahkan dalam pengelolaan pendidikan pada tingkat Kabupaten/Kota,
setiap sekolah juga diberi peluang untuk membuat kebijakan sekolah (school
policy) masing-masing atas dasar konsep “manajemen berbasis sekolah” dan
“pendidikan berbasis masyarakat”
Dengan demikian, sebagian
perubahan dan kemajuan pendidikan tingkat Kabupaten/Kota sangat bergantung pada
kemampuan mengembangkan kebijakan pendidikan dari masing-masing Kepala Dinas
Pendidikan tingkat Kabupaten/Kota.
Desentralisasi manajemen pendidikan tersebut,
dilaksanakan sejalan dengan proses demokratisasi, sebagai proses distribusi
tugas dan tanggung jawab dari Depdiknas sampai di unit-unit satuan pendidikan.
Iklim dan suasana serta mekanisme demokratis bertumbuh dan berkembang pada
seluruh tingkat dan jalur pengelolaan pendidikan, termasuk di sekolah-sekolah
dan di kelas-kelas ruang belajar.
b. Dari kebijakan yang top down ke
kebijakan yang bottom up;
Sebelum otonomi, pendekatan
pengembangan dan pembinaan pendidikan dilakukan dengan mekanisme pendekatan
“dari atas ke bawah” (top down approach) Berbagai kebijakan
pengembangan/pembinaan pendidikan hampir seluruhnya ditentukan oleh Kemendiknas
, dan dalam hal khusus di Propinsi ditentukan oleh Kanwil Kemendiknas , dan
dalam hal khusus lainnya di Kabupaten/Kota ditentukan oleh KakanKemendiknas ,
untuk dilaksanakan oleh seluruh jajaran pelaksana di wilayah, termasuk di
sekolah-sekolah.
Lain halnya dalam era reformasi,
sebagian besar upaya pengembangan pendidikan dilakukan dengan orientasi
pendekatan “dari bawah ke atas” (bottom up approach). Pendekatan bottom up
harus terjadi dalam pengambilan keputusan di setiap level instansi, misalnya
sekolah, Dinas Kabupaten/Kota, yayasan penyelenggara pendidikan, dan
sebagainya. Berbagai aspirasi dan kebutuhan yang menjadi kepentingan umum,
sesuai kondisi, potensi dan prospek sekolah, diakomodasi oleh Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota, sesuai wewenang dan tanggung jawabnya. Dan hal-hal lainnya yang
menjadi wewenang dan tanggung jawab Dinas Propinsi diselesaikan pada tingkat
Depdiknas. Oleh karenanya, tidak heran
bila di Kabupaten/Kota sering terjadi “unjuk rasa” para guru, siswa, orang tua
siswa, dan masyarakat menuntut perbaikan kebijakan pendidikan yang tidak sesuai
dengan harapan mereka. Dan berbagai aspirasi yang baik sudah seyogyanya
diterima oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti.
c. Dari orientasi pengembangan
yang parsial ke orientasi pengembangan yang holistik
Sebelum otonomi, orientasi
pengembangan bersifat parsial. Misalnya, pendidikan lebih ditekankan untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi, menciptakan stabilitas politik dan teknologi
perakitan (Fasli Jalal, 2001:5). Pendidikan juga terlalu menekankan segi
kognitif, sedangkan segi spiritual, emosional, sosial, fisik dan seni kurang
mendapatkan tekanan (Paul Suparno, 2003:98). Akibatnya anak didik kurang
berkembang secara menyeluruh. Dalam pembelajaran yang ditekankan hanya to know
(untuk tahu), sedangkan unsur pendidikan yang lain to do (melakukan), to live
together (hidup bersama), to be (menjadi) kurang menonjol. Di Indonesia kesadaran
akan hidup bersama kurang mendapat tekanan, dengan akibat anak didik lebih suka
mementingkan hidupnya sendiri. Selain itu, pendekatan dan pengajaran di sekolah
kebanyakan terpisah-pisah dan kurang integrated. Setiap mata pelajaran berdiri
sendiri, seakan tidak ada kaitan dengan pelajaran lain.
Berbeda dengan itu, setelah
reformasi orientasi pengembangan bersifat holistik. Pendidikan diarahkan untuk
pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, menjunjung
tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif, dan
kesadaran hukum (Fasli Jalal, 2001:5). Menurut Paul Suparno (2003:100),
pendidikan holistik dipengaruhi oleh pandangan filsafat holisme, yang cirinya
adalah keterkaitan (connectedness), keutuhan (wholeness), dan proses menjadi
(being).
Konsep saling keterkaitan
mengungkapkan bahwa saling keterkaitan antara suatu bagian dari suatu sistem
dengan bagian-bagian lain dan dengan keseluruhannya. Maka tidak mungkin suatu
bagian dari suatu sistem lepas sendiri dari sistem itu dan lepas dari
bagian-bagian yang lain. Saling keterkaitan dapat dijabarkan dalam beberapa
konsep berikut, yaitu interdependensi, interrelasi, partisipasi dan non linier
(Hent, 2001). Interdependensi adalah saling ketergantungan satu unsur dengan yang
lain. Masing-masing tidak akan menjadi penuh berkembang tanpa yang lain. Ada
saling ketergantungan antara guru dengan siswa, antara siswa dengan siswa lain,
antara guru dengan guru lain, dan lain-lain.
Interrelasi dimaksudkan sebagai
adanya saling kaitan, saling berhubungan antara unsur yang satu dengan yang
lain dalam pendidikan. Ada hubungan antara pendidik dengan yang dididik, antara
siswa dengan siswa lain, antara pendidik dengan pendidik lain. Relasi ini bukan
hanya relasi berkaitan dengan pengajaran tetapi juga relasi sebagai manusia,
sebagai pribadi. Partisipasi dimaksudkan sebagai keterlibatan, ikut andil dalam
sistem itu. Dalam pendidikan secara nyata siswa hanya akan berkembang bila
terlibat, ikut aktif didalamnya. Non linier menunjukkan bahwa tidak dapat
ditentukan secara linier serba jelas sebelumnya. Ada banyak hal yang tidak
dapat diprediksikan sebelumnya dalam pendidikan, meski kita telah menentukan
unsur-unsurnya. Kita dapat membantu anak-anak dengan segala macam nilai yang
baik, namun dapat terjadi mereka berkembang tidak baik. Pendekatan pendidikan
yang mekanistis tidak tepat lagi. Pendidikan tidak dipikirkan lagi secara
linier, seakan-akan bila langkah-langkahnya jelas lalu hasilnya menjadi jelas;
tetapi lebih kompleks dan ada keterbukaan terhadap unsur yang tidak dapat
ditentukan sebelumnya.
Prinsip keutuhan menyatakan bahwa
keseluruhan adalah lebih besar daripada penjumlahan bagian-bagiannya. Prinsip
keutuhan sangat jelas diwujudkan dengan memperhatikan semua segi kehidupan
dalam membantu perkembangan pribadi siswa secara menyeluruh dan utuh. Maka,
segi intelektual, sosial, emosional, spiritual, fisik, seni, semua mendapat
porsi yang seimbang. Salah satu unsur tidak lebih tinggi dari yang lain
sehingga mengabaikan yang lain. Kurikulum dibuat lebih menyeluruh dan
memasukkan banyak segi. Pendekatan terhadap siswapun lebih utuh dengan
memperhatikan unsur pribadi, lingkungan dan budaya. Pembelajaran lebih
menggunakan inteligensi ganda, dengan mengembangkan IQ, SQ, dan EQ secara
integral.
Prinsip ”proses menjadi”
mengungkapkan bahwa manusia memang terus berkembang menjadi semakin penuh.
Dalam proses menjadi penuh itu unsur partisipasi, keaktifan, tanggung jawab,
kreativitas, pertumbuhan, refleksi, dan kemampuan mengambil keputusan sangat
penting. Proses itu terus-menerus dan selalu terbuka terhadap perkembangan
baru. Dalam pendidikan, prinsip kemenjadian ini ditonjolkan dengan pendekatan
proses, siswa diaktifkan untuk mencari, menemukan dan berkembang sesuai dengan
keputusan dan tanggungjawabnya. Dalam proses itu, siswa diajak lebih banyak
mengalami sendiri, berefleksi dan mengambil makna bagi hidupnya. Dalam proses
ini siswa dibantu sungguh menjadi manusia yang utuh, bukan hanya menjadi calon
pekerja atau pengisi lowongan kerja.
d. Dari peran pemerintah yang
dominan ke meningkatnya peranserta masyarakat secara kualitatif dan
kuantitatif.
Sebelum otonomi, peran pemerintah
sangat dominan. Hampir semua aspek dari pendidikan diputuskan kebijakan dan
perencanaannya di tingkat Pusat, sehingga daerah terkondisikan lebih hanya
sebagai pelaksana (Sumarno, 2001:3). Pendidikan dikelola tanpa mengembangkan
kemampuan kreativitas masyarakat, malah cenderung meniadakan partisipasi
masyarakat di dalam pengelolaan pendidikan. Lembaga pendidikan terisolasi dan tanggung
jawab sepenuhnya ada pada pemerintah pusat. Sedangkan masyarakat tidak
mempunyai wewenang untuk mengontrol jalannya pendidikan. Selain itu, dengan
sendirinya orang tua dan masyarakat, sebagai constituent dari sistem pendidikan
nasional yang terpenting, telah kehilangan peranannya dan tanggung jawabnya.
Mereka, termasuk peserta didik, telah menjadi korban, yaitu sebagai obyek dari
sistem yang otoriter. (Tilaar, 1999:113)
Sesudah otonomi, ada perluasan
peluang bagi peran serta masyarakat dalam pendidikan baik secara kualitatif
maupun kuantitatif. Oleh karena itu, untuk mendorong partisipasi masyarakat, di
tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Dewan Pendidikan, sedangkan di tingkat sekolah
dibentuk komite sekolah. Pembentukan komite sekolah didasarkan pada keputusan
Mendiknas No.044/U/2002 tentang panduan pembentukan komite sekolah.
Menurut panduan, pembentukan
komite sekolah dilakukan secara transparan, akuntabel, dan demokratis.
Transparan berarti bahwa komite sekolah harus dibentuk secara terbuka dan diketahui
oleh masyarakat secara luas mulai dari tahap pembentukan panitia persiapan,
proses sosialisasi oleh panitia persiapan, kriteria calon anggota, proses
seleksi calon anggota, pengumuman calon anggota, proses pemilihan, dan
penyampaian hasil pemilihan. Akuntabel berarti bahwa panitia persiapan
pembentukan komite sekolah hendaknya menyampikan laporan pertanggungjawaban
kinerjanya maupun penggunaan dan kepanitiaan. Sedangkan secara demokratis
berarti bahwa dalam proses pemilihan anggota dan pengurus dilakukan dengan
musyawarah mufakat. Jika dipandang perlu, dapat dilakukan melalui pemungutan
suara.
e. Dari lemahnya peran institusi non
sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat.
Sebelum era otonomi, peran
institusi non sekolah sangat lemah. Dalam era otonomi, masyarakat diberdayakan
dengan segenap institusi sosial yang ada di dalamnya, terutama institusi yang
dilekatkan dengan fungsi mendidik generasi penerus bangsa. Berbagai institusi
kemasyarakatan ditingkatkan wawasan, sikap, kemampuan, dan komitmennya sehingga
dapat berperan serta secara aktif dan bertanggung jawab dalam pendidikan.
Institusi pendidikan tradisionil seperti pesantren, keluarga, lembaga adat,
berbagai wadah organisasi pemuda bahkan partai politik bukan hanya diberdayakan
sehingga dapat mengembangkan fungsi pendidikan dengan lebih baik, melainkan
juga diupayakan untuk menjadi bagian yang terpadu dari pendidikan nasional.
Demikian juga, ada upaya
peningkatan partisipasi dunia usaha/industri dan sektor swasta dalam pendidikan
karena sebagai pengguna sudah semestinya dunia usaha juga ikut bertanggung
jawab dalam penyelenggaraan pendidikan. Apabila lebih banyak institusi
kemasyarakatan peduli terhadap pendidikan maka pendidikan akan lebih mampu
menjangkau berbagai kelompok sasaran khusus seperti kelompok wanita dan
anak-anak kurang beruntung (miskin, berkelainan, tinggal di daerah terpencil
dan sebagainya).
Dalam upaya pemberdayaan
masyarakat, perlu dilakukan pembenahan sebagai kebijakan dasar, yaitu
pengembangan kesadaran tunggal dalam kemajemukan, pengembangan kebijakan
sosial, pengayaan berkelanjutan (continuous enrichment) dan pengembangan
kebijakan afirmatif (affirmative policy) (Fasli Jalal, 2001:72-73).
f. Dari ”birokrasi berlebihan” ke
”debirokratisasi”.
Sebelum otonomi, berbagai kegiatan
pengembangan dan pembinaan diatur dan dikontrol oleh pejabat-pejabat
(birokrat-birokrat) melalui prosedur dan aturan-aturan (regulasi) yang ketat,
bahkan sebagiannya sangat ketat dan kaku oleh Kantor Kemendiknas. Hal ini
mempengaruhi pengelolaan sebagian sekolah-sekolah, dalam iklim ”birokrasi
berlebihan”. Dalam kondisi yang demikian, tidak jarang ditemukan adanya ”kasus
birokrasi yang berlebihan” dari sebagian pejabat birokrat yang menggunakan
”kekuasaan berlebihan” dalam pembinaan guru, siswa, dan pihak-pihak lainnya.
Keadaan ini telah mematikan prakarsa, daya cipta, dan karya inovatif di
sekolah-sekolah.
Dalam era reformasi, terjadi
proses ”debirokratisasi” dengan jalan memperpendek jalur birokrasi dalam
penyelesaian masalah-masalah pendidikan secara profesional, bukan atas dasar
”kekuasaan” atau peraturan belaka. Hal ini sesuai dengan prinsip
profesionalisme dalam pendidikan, dan juga pelimpahan wewenang dan tanggung
jawab dalam desentralisasi. Di samping itu juga dilakukan ”deregulasi”, dalam arti
”pengurangan” aturan-aturan kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan
kondisi, potensi, dan prospek sekolah, dan kepentingan masyarakat
(stakeholders) untuk berpartisipasi terhadap sekolah, dalam bentuk gagasan
penyempurnaan kurikulum, peningkatan mutu guru, dana dan prasarana/sarana untuk
sekolah.
g. Dari ”manajemen tertutup” (close
management) ke ”management terbuka” (open management).
Sebelum otonomi, diterapkan
bentuk-bentuk ”manajemen tertutup”, sehingga tidak transparan, tidak ada
akuntabilitas kepada publik dalam pengelolaan pendidikan.
Dalam era reformasi, manajemen
pendidikan menerapkan ”manajemen terbuka” dari pembuatan kebijakan, pelaksanaan
kebijakan sampai pada evaluasi, bahkan perbaikan kebijakan. Seluruh sumber daya
yang digunakan dalam pendidikan dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada
seluruh kelompok masyarakat (stakeholders), dan selanjutnya terbuka untuk
menerima kritikan perbaikan bila ditemukan hal-hal yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
h. Dari pengembangan pendidikan
”terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah” berubah ke ”sebagian besar menjadi
tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat (stakeholders)
Sebelum otonomi, pengembangan
pendidikan, termasuk pembiayaan, terbesar menjadi tanggung jawab pemerintah,
dibandingkan dengan menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat
(stakeholders).
Dalam era reformasi, pengembangan pendidikan,
termasuk pembiayaan pendidikan, berupa gaji honorarium/tunjangan mengajar,
penataran/pelatihan, rehabilitasi gedung dan lain-lain, diupayakan supaya
sebagian besar akan menjadi tanggung jawab orang tua siswa dan masyarakat
(stakeholders). Kemajuan pendidikan tingkat Kabupaten/Kota akan banyak
bergantung pada partisipasi orang tua siswa dan masyarakat serta pemerintah
Kabupaten/Kota masing-masing, di samping proyek-proyek khusus, dan juga
kemudahan dan pengendalian mutu dan hal-hal kepentingan nasional lainnya dari Kemendiknas
Propinsi.
4. Paradigma Baru Perencanaan Pendidikan
Dengan terjadinya perubahan
paradigma baru pendidikan, maka sistem perencanaan pendidikan dalam iklim
pemerintahan yang sentralistik, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
perencanaan pendidikan pada era otonomi daerah, sehingga diperlukan paradigma
baru perencanaan pendidikan. Menurut Mulyani A. Nurhadi (2001:2), perubahan
paradigma dalam sistem perencanaan pendidikan di daerah setidak-tidaknya akan
menyentuh lima aspek, yaitu sifat, pendekatan, kewenangan pengambilan
keputusan, produk serta pola perencanaan anggaran.
Dari segi sifat perencanaan pendidikan, maka
perencanaan pendidikan pada tingkat daerah sebagai kegiatan awal dari proses
pengelolaan pendidikan termasuk kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh daerah.
Sementara itu, Pemerintah Pusat berkewajiban merumuskan kebijakan tentang
perencanaan nasional, yang dalam pelaksanaannya telah dituangkan dalam bentuk
Undang-Undang RI No.25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional. Pada
tingkat Departemen, Propenas ini dijabarkan lebih lanjut ke dalam dokumen
Rencana Strategis (Renstra) yang memuat strategi umum untuk mencapai tujuan
program pembangunan di bidang masing-masing dan dituangkan dalam Keputusan
Menteri. Berdasarkan Renstra itu, Pemerintah Pusat menyusun Program pembangunan
tahunan yang disingkat Propeta yang dituangkan dalam Keputusan Menteri, sesuai
dengan lingkup tugas dan kewenangan masing-masing.
Selain itu, pada era otonomi
daerah diharapkan akan lebih tumbuh kreativitas dan prakarsa, serta mendorong
peran serta masyarakat sesuai dengan potensi dan kemampuan masing-masing
daerah. Ini berarti bahwa dalam membangun pendidikan di daerah Kabupaten/Kota
perlu dilandasi dengan perencanaan pendidikan tingkat daerah yang baik dan
distinktif, tidak hanya bertumpu kepada perencanaan nasional yang makro, tetapi
juga dapat mempertimbangkan keunikan, kemampuan, dan budaya daerah
masing-masing sehingga mampu menumbuhkan prakarsa dan kreativitas daerah.
Perencanaan program pendidikan di daerah bukan lagi merupakan bagian atau
fotokopi dari perencanaan program tingkat nasional maupun propinsi, tetapi merupakan
perencanaan pendidikan yang unik dan mandiri sehingga beragam, walaupun disusun
atas dasar ramburambu kebijakan perencanaan nasional.
Dari segi pendekatan perencanaan
pendidikan, era otonomi telah merubah paradigma dalam pendekatan perencanaan pendidikan
di daerah dari pendekatan diskrit sektoral menjadi integrated dengan sektor
lainnya di daerah. Sebelum otonomi, sistem alokasi anggaran pendidikan di
daerah diperoleh dari APBN pusat secara sektoral pada sektor pendidikan, Pemuda
dan Olahraga, serta Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa, namun setelah
otonomi diperoleh dari APBD yang berasal dari berbagai sumber sebagai bagian
dari dana Daerah untuk seluruh sektor yang menjadi tanggung jawab daerah.
Sumber-sumber itu meliputi dana bagi hasil, dana alokasi umum, dana
dekonsentrasi, dana perbantuan, pendapatan asli daerah, dan bantuan masyarakat.
Dengan demikian, telah terjadi perubahan sumber anggaran yang semula bersifat
tunggal-hierarkhi-sektoral sekarang menjadi jamak-fungsional-regional, tetapi dalam
persaingan antar sektor.
Dari segi kewenangan pengambilan
keputusan, sistem perencanaan pendidikan yang sentralistik telah menutup
kewenangan Daerah dalam pengambilan keputusan di bidang pendidikan baik pada
tataran kebijakan, skala prioritas, jenis program, jenis kegiatan, bahkan dalam
hal rincian alokasi anggaran. Namun, dalam era otonomi Daerah dapat dan harus
menetapkan kebijakan, program, skala prioritas, jenis kegiatan sampai dengan
alokasi anggarannya sesuai dengan kemampuan Daerah, sepanjang tidak
bertentangan dengan kebijakan nasional yang antara lain dalam bentuk Standar
Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan.
Sementara dari segi produk
perencanaan pendidikan, pada era desentralisasi produk perencanaan pendidikan
diharapkan merupakan bagian tak terpisahkan dari perencanaan pembangunan Daerah
secara lintas sektoral. Oleh karena itu, produk.
Dalam UU tersebut, yang dimaksud
dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah adalah satu kesatuan tata cara
perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam
jangka panjang, jangka pendek, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur
penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah.
Dalam penjelasan UU tersebut, perencanaan
partisipatif disebut hanya sebagai salah satu dari lima pendekatan dalam Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional. Keempat pendekatan lainnya adalah pendekatan
politik, teknokratik, atas-bawah (top-down) dan bawah-atas (bottom–up).
Perencanaan dengan pendekatan partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua
pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka
adalah untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki perencanaan
pendidikan yang dihasilkan harus mencakup seluruh komponen perencanaan
pendidikan yang meliputi: kebijakan, rencana strategis, skala prioritas,
program, sasaran dan kegiatan, serta alokasi anggarannya dalam konteks
perencanaan pembangunan Daerah secara terpadu. Semua komponen itu perlu
dikembangkan secara spesifik sesuai dengan kemampuan dan kharakteristik Daerah,
sejauh tidak bertentangan dengan kebijakan umum, prioritas nasional, dan
program-program strategis yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Pemikiran/analisisyang
dapat diberikan terhadap hal-hal tersebut adalah:
1. Hubungan antar perencanaan pembangunan di daerah
dengan dokumen perencanaan lainnya
Paradigma baru perencanaan
pendidikan di atas, tentu saja berimplikasi pada proses perencanaan pendidikan
Kabupaten/Kota. Dalam era otonomi daerah, Sistem Perencanaan Pendidikan
Kabupaten/Kota (SPPK) adalah bagian integral dari sistem Perencanaan
Pembangunan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan amanah UU No. 25 tahun 2004
tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, terjadi perubahan paradigma
perencanaan pembangunan daerah, yaitu mendasarkan pada perencanaan
partisipatif,9 di mana perencanaan dibuat dengan memperhatikan dinamika,
prakarsa dan kebutuhan masyarakat setempat. Oleh karenanya, dalam penyusunan
perencanaan pembangunan tersebut diperlukan koordinasi antar instansi
Pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan, melalui suatu forum
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) tingkat kelurahan, tingkat
kecamatan, dan tingkat Kota, serta forum Satuan Kerja Perangkat Daerah. Setiap
perencanaan pembangunan daerah selanjutnya harus ditetapkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) untuk periode 20 tahun, Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) untuk periode 5 tahun dan Rencana Kerja Pemerintah
Daerah (RKPD), untuk periode satu tahun.
2. Model Perencanaan Pendidikan Kabupaten/Kota
Berikut gambaran mengenai
tahap-tahap perencanaan pendidikan kabupaten/kota. Secara singkat, penjelasannya
adalah sebagai berikut:
a.
Melakukan analisis lingkungan
strategis. Lingkungan strategis adalah lingkungan eksternal yang berpengaruh
terhadap perencanaan pendidikan kabupaten/kota, misalnya: Propeda, Renstrada,
Repetada, peraturan perundangan (UU, PP, Kepres, Perda, dsb), tingkat
kemiskinan, lapangan kerja, harapan masyarakat terhadap pendidikan,
pengalaman-pengalaman praktek yang baik, tuntutan otonomi, tuntutan
globalisasi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan
lingkungan strategis harus diinternalisasikan ke dalam perencanaan pendidikan
kabupaten/kota agar perencanaan tersebut benar-benar menyatu dengan perubahan
lingkungan strategis.
b.
Melakukan analisis situasi untuk
mengetahui status situasi pendidikan saat ini (dalam kenyataan) yang meliputi
profil pendidikan kabupaten/kota (pemerataan, mutu, efisiensi, dan relevansi),
pemetaan sekolah/ guru/ siswa, kapasitas manajemen dan sumber daya pada tingkat
kabupaten/kota dan sekolah, dan best practices pendidikan saat ini.
c.
Memformulasikan pendidikan yang
diharapkan di masa mendatang yang dituangkan dalam bentuk rumusan visi, misi,
dan tujuan pendidikan, yang mencakup setidaknya pemerataan kesempatan, mutu,
efisiensi, relevansi, dan peningkatan kapasitas pendidikan kabupaten/kota.
d.
Mencari kesenjangan antara butir
(2) dan butir (3) sebagai bahan masukan bagi penyusunan rencana pendidikan
keseluruhan yang akan datang (5 tahun) dan rencana jangka pendek (1 tahun).
Kesenjangan/tantangan yang dimaksud mencakup pemerataan kesempatan, mutu,
efisiensi, relevansi dan pengembangan kapasitas manajemen pendidikan pada
tingkat kabupaten dan sekolah.
e.
Berdasarkan hasil butir (4) disusunlah
rencana kegiatan tahunan untuk selama 5 tahun (rencana strategis) dan rencana
kegiatan rinci tahunan (rencana operasional/renop).
f.
Melaksanakan rencana pengembangan
pendidikan kabupaten/kota melalui upaya-upaya nyata yang dapat meningkatkan
pemerataan kesempatan, mutu, efisiensi, relevansi dan kapasitas manajemen
pendidikan pada tingkat kabupaten/kota dan sekolah.
g.
Melakukan pemantauan terhadap
pelaksanaan rencana dan melakukan evaluasi terhadap hasil rencana pendidikan.
Hasil evaluasi akan memberitahu apakah hasil pendidikan sesuai dengan yang
direncanakan.
Sebagaimana
sudah disebut secara implisit di atas, bahwa pada hakekatnya sebuah perencanaan
dibuat dalam rangka mengubah ”situasi pendidikan saat ini” (dalam kenyataan)
menuju ke ”situasi pendidikan yang diharapkan” di masa mendatang. Untuk itu,
ada tiga kata kunci yang harus dipahami, yaitu kebijakan, perencanaan dan
program pendidikan.
1). Kebijakan
Pendidikan
Kebijakan
dibuat mengacu pada paradigma baru pendidikan. Kebijakan adalah suatu ucapan
atau tulisan yang memberikan petunjuk umum tentang penetapan ruang lingkup yang
memberi batas dan arah umum kepada para manajer untuk bergerak. Kebijakan juga
berarti suatu keputusan yang luas untuk menjadi patokan dasar bagi pelaksanaan
manajemen. Keputusan yang dimaksud telah dipikirkan secara matang dan hati-hati
oleh pengambil keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan yang berulang dan
rutin yang terprogram atau terkait dengan aturan-aturan keputusan (Nurkolis,
2004).
Sementara,
menurut Slamet P.H.(2005), kebijakan pendidikan adalah apa yang dikatakan
(diputuskan) dan dilakukan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan. Dengan
demikian, kebijakan pendidikan berisi keputusan dan tindakan yang
mengalokasikan nilai-nilai. Menurutnya, kebijakan pendidikan meliputi lima
tipe, yaitu kebijakan regulatori, kebijakan distributif, kebijakan
redistributif, kebijakan kapitalisasi Situasi dan kebijakan etik. Sedangkan
Noeng Muhadjir (2003: 90), membedakan antara kebijakan substantif dan kebijakan
implementatif. Kebijakan implementatif adalah penjabaran sekaligus
operasionalisasi dari kebijakan substantif.
Sementara
itu, Sugiyono (2003) mengemukakan tiga pengertian kebijakan (policy) yaitu (1)
sebagai pernyataan lesan atau tertulis pimpinan tentang organisasi yang dipimpinnya,
(2) sebagai ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau
petunjuk bagi setiap kegiatan, sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan
dalam mencapai tujuan organisasi, dan (3) sebagai peta jalan untuk bertindak
dalam mencapai tujuan organisasi. Menurutnya, kebijakan yang baik harus
memenuhi syarat sebagai berikut.
a)
Kebijakan yang dibuat harus
diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b)
Kebijakan yang dibuat harus
berpedoman pada kebijakan yang lebih tinggi dan memperhatikan kebijakan yang
sederajat yang lain;
c)
Kebijakan yang dibuat harus
berorientasi ke masa depan;
d)
Kebijakan yang dibuat harus adil;
e)
Kebijakan yang dibuat harus
berlaku untuk waktu tertentu;
f)
Kebijakan yang dibuat harus
merupakan perbaikan atas kebijakan yang telah ada;
g)
Kebijakan yang dibuat harus mudah
dipahami, diimplementasikan, dimonitor dan dievaluasi;
h)
Kebijakan yang dibuat harus
berdasarkan informasi yang benar dan up to date;
i)
Sebelum kebijakan dijadikan
keputusan formal, maka bila mungkin diujicobakan terlebih dulu.
Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa kebijakan pendidikan adalah upaya perbaikan dalam tataran konsep
pendidikan, perundang-undangan, peraturan dan pelaksanaan pendidikan serta
menghilangkan praktik-praktik pendidikan di masa lalu yang tidak sesuai atau
kurang baik sehingga segala aspek pendidikan di masa mendatang menjadi lebih
baik. Kebijakan pendidikan diperlukan agar tujuan pendidikan nasional dapat
dicapai secara efektif dan efisien.
2). Perencanaan Pendidikan
Perencanaan pendidikan dibuat
dengan mengacu pada kebijakan pendidikan yang telah ditetapkan. Perencanaan
pendidikan adalah proses penyusunan gambaran kegiatan pendidikan di masa depan
dalam rangka untuk mencapai perubahan/tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Dalam rangka membuat perencanaan pendidikan tersebut, perencana melakukan
proses identifikasi, mengumpulkan, dan menganalisis data-data internal dan
eksternal (esensial dan kritis) untuk memperoleh informasi terkini dan yang
bermanfaat bagi penyiapan dan pelaksanaan rencana jangka panjang dan pendek
dalam rangka untuk merealisasikan atau mencapai tujuan pendidikan
kabupaten/kota.
Perencanaan pendidikan penting
untuk memberi arah dan bimbingan pada para pelaku pendidikan dalam rangka
menuju perubahan atau tujuan yang lebih baik (peningkatan, pengembangan) dengan
resiko yang kecil dan untuk mengurangi ketidakpastian masa depan. Tanpa
perencanaan pendidikan yang baik akan menyebabkan ketidakjelasan tujuan yang
akan dicapai, resiko besar dan ketidakpastian dalam menyelenggarakan semua
kegiatan pendidikan. Dengan kemampuan perencanaan pendidikan yang baik di
daerah, oleh karenanya, diharapkan akan dapat mengurangi kemungkinan timbulnya
permasalahan yang serius sebagai dampak dari diberlakukannya otonomi pendidikan
itu di tingkat daerah kabupaten/ kota.
Sebagai dasar dalam membuat
perencanaan di bidang pendidikan, umumnya orang menggunakan teknik analisis
SWOT12, dimaksudkan untuk mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, kesempatan atau
peluang dan tantangan atau ancaman yang dihadapi oleh organisasi. Dengan teknik
itu, diharapkan posisi organisasi dalam berbagai aspek bisa dipahami secara
lebih obyektif, lalu bisa ditetapkan prioritas strategi dan program-programnya,
serta peta urutan pelaksanaannya.
3) Program pendidikan
Pada intinya, program pendidikan
adalah kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan dalam rangka mencapai
tujuan-tujuan pendidikan, sesuai dengan strategi dan kebijakan pendidikan yang
telah ditetapkan.
4) Persoalan-Persoalan
Mendesak Pendidikan Nasional
(a). Pemerataan kesempatan memperoleh
pendidikan.
Sebagaimana diamanatkan dalam UUD
1945, pada dasarnya pelayanan pendidikan yang bermutu merupakan hak bagi
seluruh warga negara Indonesia. Meskipun demikian kenyataan menunjukkan bahwa
saat ini belum semua warga negara dapat memperoleh haknya atas pendidikan. Oleh
karena itu pemerintah sebagai penyelenggara negara wajib berupaya untuk
memenuhinya.
Dalam kebijakan Ditjen
Mandikdasmen, disebutkan mengenai konsep, indikator keberhasilan, dan sumber
daya pendukung untuk kebijakan pemerataan dan perluasan akses pendidikan
sebagai berikut: Kebijakan Pemerataan dan Perluasan Akses Pendidikan; Konsep
Indikator Keberhasilan Pendukung
Program Pendidikan untuk semua; Pemenuhan pendidikan menengah dengan
rasio SMA/SMK kejuruan yang tepat; Kesetaraan gender; Rintisan wajib belajar 12 tahun; Anggaran pendidikan 20 % dari
APBN/APBD + dana masyarakat; dengan
manajemen : berbasis kinerja, akuntabilitas, promutu, peduli rakyat miskin;
Memperbesar daya tampung; Mendekatkan pendidikan dengan masyarakat; Menciptakan
sistem insentif untuk menumbuhkan aspirasi pendidikan (voucher pendidikan,
berorientasi kultural, berbasis masyarakat, dan Pemerataan dan perluasan pendidikan
peningkatan gizi Menarik keterlibatan daerah dalam pembangunan pendidikan; Rekruetmen tenaga pendidik dan
tenaga kependidikan; Pengembangan
sarana dan prasarana pendidikan.
Studi yang secara langsung
diarahkan pada analisis kebijakan dalam pemerataan pendidikan ialah studi yang
dilakukan oleh James Coleman (Ace Suryadi dan H. A. R Tilaar, 1994: 29) yang
berjudul Equality of Educational Opportunity. Coleman membedakan secara
konsepsional antara pemerataan kesempatan pendidikan secara pasif, dengan
pemerataan pendidikan secara aktif. Pemerataan pendidikan secara pasif lebih
menekankan pada kesamaan memperoleh kesempatan untuk mendaftar di sekolah,
sedangkan pemerataan aktif ialah kesempatan yang sama yang diberikan oleh
sekolah kepada murid-murid terdaftar agar memperoleh hasil belajar
setinggi-tingginya.
Komponen-komponen konsep
pemerataan pendidikan ini secara lebih jelas diungkapkan oleh Schiefelbein dan
Farrel (1982). Dalam studinya di Chili, mereka menggunakan landasan konsep
pemerataan pendidikan yang relatif lebih komprehensif daripada konsepsi
pemerataan pendidikan yang selama ini digunakan. Berdasarkan konsep mereka,
pemerataan pendidikan atau equality of educational opportunity tidak hanya
terbatas pada, apakah murid memiliki kesempatan yang sama untuk masuk sekolah
(pemerataan kesempatan pendidikan secara pasif menurut Coleman), tetapi lebih
dari itu, murid tersebut harus memperoleh perlakuan yang sama sejak masuk,
belajar, lulus, sampai dengan memperoleh manfaat dari pendidikan yang mereka
ikuti dalam kehidupan di masyarakat.
Pertama, pemerataan kesempatan memasuki sekolah (equality
of access). Konsep ini berkaitan erat dengan tingkat partisipasi pendidikan
sebagai indikator kemampuan sistem pendidikan dalam memberikan kesempatan
seluas-luasnya bagi anak usia sekolah untuk memperoleh pendidikan. Pemerataan pendidikan
ini dapat dikaji berdasarkan dua konsep yang berlainan, yaitu pemerataan
kesempatan (equality of access) dan keadilan (equity) di dalam memperoleh
pendidikan dan pelatihan.
Kedua, pemerataan kesempatan untuk bertahan di sekolah
(equality of survival). Konsep ini menitikberatkan pada kesempatan setiap
individu untuk memperoleh keberhasilan dalam pendidikan dan pelatihan. Jenis
analisis ini mencurahkan perhatian pada tingkat efisiensi internal sistem
pendidikan dilihat dari beberapa indikator yang dihasilkan dari metode Kohort.
Metode ini mempelajari efisiensi pendidikan berdasarkan murid-murid yang
berhasil dibandingkan dengan murid-murid yang mengulang kelas dan yang putus
sekolah.
Ketiga, pemerataan kesempatan untuk memperoleh
keberhasilan dalam belajar (equality of output). Dilihat dari sudut pandang
perseorangan equality of output ini menggambarkan kemampuan sistem pendidikan
dalam memberikan kemampuan dan ketrampilan yang tinggi kepada lulusan tanpa
membedakan variabel suku bangsa, daerah, status sosial ekonomi, dan sebagainya.
Konsep output pendidikan biasanya diukur dengan prestasi belajar akademis. Di
pandang dari sudut sistemnya itu sendiri, konsep ini menggambarkan seberapa
jauh sistem pendidikan itu efisien dalam memanfaatkan sumber daya yang
terbatas, efektif dalam mengisi kekurangan tenaga kerja yang dibutuhkan, dan
mampu melakukan kontrol terhadap kemungkinan kelebihan tenaga kerja dalam
hubungannya dengan jumlah yang dibutuhkan oleh lapangan kerja.
Keempat, pemerataan kesempatan dalam menikmati manfaat
pendidikan dalam kehidupan masyarakat (equality ot outcome). Konsep ini
menggambarkan keberhasilan pendidikan secara eksternal (exsternal efficiency)
dari suatu sistem pendidikan dan pelatihan dihubungkan dengan penghasilan
lulusan (individu), jumlah dan komposisi lulusan disesuaikan dengan kebutuhan
akan tenaga kerja (masyarakat), dan yang lebih jauh lagi pertumbuhan ekonomi
(masyarakat). Teknik-teknik analisis yang digunakan biasanya meliputi analisis
rate of return to education, hubungan pendidikan dengan kesempatan kerja,
fungsi produksi pendidikan dengan menggunakan pendekaan ”status attainment
analytical model”, dan sebagainya.
Kebijakan pemerataan kesempatan,
meliputi aspek persamaan kesempatan, akses dan keadilan atau kewajaran. Contoh-contoh
pemerataan kesempatan, misalnya, beasiswa untuk siswa miskin, pelatihan guru
PLB, pembenahan SMP terbuka, perencanaan bagi daerah-daerah terpencil atau
gender, peningkatan APK dan APM, peningkatan angka melanjutkan, pengurangan
angka putus sekolah, dan lain-lain.
(b). Kualitas pendidikan
Realitas menunjukkan bahwa
kualitas pendidikan di Indonesia relatif rendah yang menyebabkan sulitnya
bangsa Indonesia bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Kualitas pendidikan sebuah
bangsa sangat ditentukan oleh dua faktor yang mendukung, yaitu internal dan
eksternal (Dodi Nandika, 2007:16). Faktor internal meliputi jajaran dunia
pendidikan, seperti Depdiknas, Dinas Pendidikan daerah dan sekolah yang berada
di garis depan, dan faktor eksternal yaitu masyarakat pada umumnya. Dua faktor
ini haruslah saling menunjang dalam upaya peningkatan kualitas tersebut. Salah
satu implikasi langsungnya ialah pada perlunya program-program yang terkait
seperti penyediaan dan rehabilitasi sarana dan prasarana belajar, guru yang berkualitas,
buku pelajaran bermutu yang terjangkau masyarakat, alat bantu belajar untuk
meningkatkan kreativitas, dan sarana penunjang belajar lainnya.
Kualitas pendidikan mencakup
aspek input, proses dan output, dengan catatan bahwa output sangat ditentukan
oleh proses, dan proses sangat dipengaruhi oleh tingkat kesiapan input. Contoh
perencanaan kualitas misalnya, pengembangan tenaga pendidik/kependidikan (guru,
kepala sekolah, konselor, pengawas, staf dinas pendidikan, pengembangan dewan
pendidikan, dan komite sekolah, rasio (siswa/guru, siswa/kelas, siswa/ruang
kelas, siswa/ sekolah), pengembangan bahan ajar, pengembangan tes standar di
tingkat kabupaten/kota, biaya pendidikan per siswa, pengembangan model
pembelajaran (pembelajaran tuntas, pembelajaran dengan melakukan, pembelajaran
kontektual, pembelajaran kooperatif dan sebagainya).
(c). Efisiensi pendidikan;
Efisiensi menunjuk pada hasil
yang maksimal dengan biaya yang wajar. Efisiensi dapat diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu efisiensi internal dan efisiensi eksternal. Efisiensi internal
merujuk kepada hubungan antara output sekolah (pencapaian prestasi belajar) dan
input (sumber daya) yang digunakan untuk memproses dan atau menghasilkan output
sekolah.
Efisiensi eksternal merujuk kepada hubungan antara
biaya yang digunakan untuk menghasilkan tamatan dan keuntungan kumulatif
(individual, sosial, ekonomi dan non-ekonomik) yang didapat setelah kurun waktu
yang panjang di luar sekolah. Contoh-contoh perencanaan peningkatan efisiensi,
misalnya, peningkatan angka kelulusan, rasio keluaran/masukan, angka kenaikan
kelas, penurunan angka mengulang, angka putus sekolah, dan peningkatan angka
kehadiran dan lain-lain.
(d). Relevansi pendidikan.
Relevansi menunjuk kepada
kesesuaian hasil pendidikan dengan kebutuhan (needs), baik kebutuhan peserta
didik, kebutuhan keluarga, dan kebutuhan pembangunan yang meliputi berbagai
sektor dan sub-sektor. Contoh-contoh perencanaan relevansi misalnya, program
ketrampilan kejuruan/ kewirausahaan/usaha kecil bagi siswa-siswa yang tidak
melanjutkan, kurikulum muatan lokal, pendidikan kecakapan hidup dan peningkatan
jumlah siswa yang terserap di dunia kerja.
(e). Pengembangan Kapasitas
Yang dimaksud dengan kapasitas
adalah kemampuan individu dan organisasi atau unit organisasi untuk
melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan
(UNDP,1997). Suksesnya desentralisasi pendidikan sangat ditentukan oleh tingkat
kesiapan kapasitas makro, kelembagaan, sumber daya dan kemitraan. Pengembangan
kapasitas tingkat makro meliputi : (1)arahan-arahan, (2)bimbingan, (3)
pengaturan, pengawasan dan kontrol. Pengembangan kapasitas kelembagaan mencakup
kemampuan dalam merumuskan visi, misi, tujuan, kebijakan, dan strategi,
perencanaan pendidikan, manajemen pada semua aspek pendidikan (kurikulum,
ketenagaan, keuangan, sarana dan prasarana, dsb), sistem informasi manajemen
pendidikan, pengembangan pengaturan (regulasi dan legislasi), pendidikan,
pengembangan sumber daya manusia, pengembangan organisasi (tugas dan fungsi serta
struktur organisasinya), proses pengambilan keputusan dalam organisasi,
prosedur dan mekanisme kerja, hubungan dan jaringan antar organisasi,
pengembangan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, pengembangan kepemimpinan
pendidikan dan lain-lain.
Kesiapan kapasitas sumber daya
mencakup sumber daya manusia (manajer/pemimpin, staf dan pelaksana) dan sumber
daya selebihnya (uang, peralatan, perlengkapan, bahan, dsb). Sedangkan,
pengembangan kapasitas kemitraan dilandasi oleh kesadaran bahwa pengembangan ikhtiar
pendidikan harus dilakukan secara terpadu antara lingkungan keluarga, sekolah
dan masyarakat karena masing-masing memiliki pengaruh terhadap pendidikan anak.
RANGKUMAN
Uraian tentang konsep perencanan pendekatan dan model
perencanaan pendidikan tersebut di atas dapat diambil pokok-pokok kajian
sebagai kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, bahwa konsep yang ada dalam pengertian
perencanaan pendidikan dala era otonomi daerah, paling tidak mengandung lima
hal, yaitu: (a) suatu rumusan rancangan kegiatan yang ditetapkan
berdasarkan visi, misi dan tujuan pendidikan; (b) memuat prosedur dalam
proses kegiatan untuk mencapai tujuan pendidikan; (c) merupakan alat
kontrol pengendalian perilaku warga satuan pendidikan; (d) memuat rumusan hasil
yang ingin dicapai dalam proses layanan pendidikan kepada peserta didik; dan
(e) menyangkut masa depan proses pengembangan dan pembangunan pendidikan dalam
waktu tertentu, yang lebih berkualitas. Kedua, manfaat perencanaan
pendidikan adalah dapat digunakan sebagai: (a) standar pelaksanaan dan
pengawasan proses layanan pendidikan; (b) media pemilihan berbagai
alternatif langkah strategi penyelesaian yang terbaik bagi upaya pencapaian
tujuan pendidikan; (c) media mengefisiensikan dan mengefektifkan pemanfaatan
beragam sumber daya lembaga pendidikan; (d) media untuk memudahkan dalam
berkoordinasi dengan berbagai pihak atau lembaga pendidikan yang terkait, dalam
rangka meningkatkan kualitas layanan pendidikan; dan (e) alat dalam
mengevaluasi pencapaian tujuan proses layanan pendidikan. Ketiga, suatu
perencanaan pendidikan, paling tidak memiliki ciri atau karakteristik, yaitu
perencanaan pendidikan harus: (a) berorientasi pada visi, misi kelembagaan yang
akan diwujudkan; (b) mempunyai tahapan program jangka waktu tertentu yang akan
dicapai secara berkesinambungan; (c) mengutamakan nilai-nilai manusiawi dan
bermanfaat bagi dirinya dan masyarakatnya; (d) memberikan kesempatan untuk
mengembangkan segala potensi peserta didik secara maksimal; (e) komprehensif
dan sistematis serta disusun secara logis, rasional; (f) diorientasikan untuk
mempersiapkan kualitas sumber daya manusia yang berkualitas; (g)
dikembangkan dengan memperhatikan keterkaitannya dengan berbagai komponen
pendidikan secara sistematis; (h) menggunakan sumber daya (resources)
internal dan eksternal secermat mungkin; (i) berorientasi kepada masa dating
atau visioner; dan (j) responsif terhadap kebutuhan yang berkembang di
masyarakat dan bersifat dinamik; dan (k) merupakan sarana untuk mengembangkan
inovasi pendidikan. Keempat, beberapa prinsip yang harus diperhatikan
dalam penyusunan perencanaan pendidikan, antara lain: (a) prinsip
interdisipliner; (b) prinsip fleksibel; (c) prinsip efektifitas-efisiensi; (d)
prinsip progress of change; (e) prinsip objektif,
rasional dan sistematis; dan (f) prinsip kooperatif-komprehensif; dan (g)
prinsip human resources development. Kelima, beberapa tahapan
yang semestinya harus dilalui dalam penyusunan perencanaan pendidikan, antara
lain: (a) tahap need assessment; (b) tahap formulation
of goals and objective; (c) tahap policy and priority
setting; (d) tahap program and project formulation; (e) tahap feasibility
testing; (f) tahap plan implementation; dan (g)
tahap evaluation and revision for future plan. Keenam,
ada beragam pendekatan perencanaan pendidikan, yaitu: pendekatan kebutuhan
sosial (social demand approach); pendekatan ketenagakerjaan (manpower
approach); pendekatan untung rugi (cost and benefit approach); dan
pendekatan keefektifan biaya (cost effectiveness approach). Ketujuh, beberapa
metode perencanaan pendidikan yang perlu dipahami oleh setiap penyusun
perencanaan pendidikan, antara lain: (a) metode analisis sumber-cara-tujuan;
(b) metode analisis masukan-keluaran; (c) metode analisis ekonometrik; (d)
metode diagram sebab akibat; (e) metode analisis siklus kehidupan; dan (f)
metode proyeksi. Kedelapan, ada beberapa model perencanaan pendidikan,
yaitu: (a) model komprehensif, model ini digunakan untuk menganalisis
perubahan-perubahan dalam layanan pendidikan secara menyeluruh; (b) model
pembiayaan dan keefektifan biaya, model ini digunakan untuk menganalisis
proyek dengan kriteria efisiensi dan efektivitas pembiayan layanan pendidikan;
(c) model Planning, Programming, Budgeting System (PPBS), yaitu
model sistem perencanaan, pemrograman, dan penganggaran layanan pendidikan; dan
(d) model target setting, model ini dipergunakan untuk
memperkirakan atau memproyeksi tingkat perkembangan dalam kurun waktu tertentu
LATIHAN
1.
Kemukakan dan jelaskan singkat
hal-hal yang terkandung dalam perencanaan pendidikan dalam otonomi daerah ?
2.
Jelaskan bagaimana pola kebijakan perencanaan pendidikan di era
otonomi daerah ?
3.
Kemukakan dan jelaskan fungsi dan
peranan perencanaan pendidikan di era otonomi daerah ?
4.
Kemukakan dan jelaskan konsep
teori yang berkaitan dengan perencanaan pendidikan ?
5.
Kemukakan dan jelaskan konsep
desentralisasi pendidikan
6.
Kemukakan dan jelaskan paradigma
baru perencanaan pendidikan ?
DAFTAR
BACAAN
1.
Abdurrahmansyah. (2001). Desentralisasi: Harapan dan tantangan bagi
dunia pendidikan. Jurnal Studi Agama Millah,
2.
Abin,
S. Makmun, dkk. 2001. Perencanaan Pembangunan Pendidikan. Depdiknas. Jakarta.
3.
Ace Suryadi dan H.A.R.Tilaar. Analisis Kebijakan Pendidikan. Suatu
Pengantar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
4.
Achmad Budiyono, M. Irfan,
&Yuli Andi. (1998). Evaluasi
pelaksanaan kebijakan uji coba otonomi daerah. Jurnal Penelitian Ilmu -Ilmu
Sosial, PPS Universitas Brawijaya,
5.
Alisjahbana, A.S. (2000). Otonomi daerah dan desentralisasi
pendidikan. Jurnal Analisis Sosial, AKATIGA,.
6.
Arifin,
2007. “Problematika SDM Guru Dalam Penerapan KTSP (Sebuah Renungan mencari
jalan keluar)”. Jurnal, Media, Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa
Timur. No. 08 /Th.XXXVII / Oktober 2007. hal: 62-65.
7.
Atmadi,
A dan Setiyaningsih (Ed). 2000. Transformasi Pendidikan, Memasuki Milenium
Ketiga. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.
8.
Azyumardi Azra. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
9.
Bafadal,
Ibrahim. 2003. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar. Bumi Aksara. Jakarta.
10.
Banghart,
F.W and Trull, A. 1990. Educational Planning. New York: The MacMillan.
Company.
11.
Bell
Gredler, Margaret E., 1986. Learning and Intruction: Theory into Practice.
New York: Macmillan Publishing Company.
12.
BSNP,
2006. Standar Isi. Badan Standar Nasional Pendidikan, Jakarta.
13. Dahana, OP and Bhatnagar, OP. 1980. Education
and Communication for Development, Oxford & LBH Publishing C.O.
New Delhi.
14. Depdiknas, 2001. Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan
Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Umum. Jakarta.
15. Depdiknas, 2005,a. Undang Undang
Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005, tentang Guru dan Dosen.
16. Depdiknas, 2005,b. Standar Nasional
Pendidikan. PP. Nomor 19 Tahun 2005. Depdiknas, Jakarta.
17. Depdiknas, 2006. Pemberdayaan Komite
Sekolah. Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta.
18. Depdiknas,, 2003, Undang Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Depdiknas. Jakarta.
19. Depdiknas.
(2001). Desentralisasi Pendidikan.
Jakarta: Komisi Nasional Pendidikan.
20. Depdiknas.
2002. Memiliki Wawasan Tentang
Model-Model Perencanaan Tingkat Kabupaten/Kota. (Materi Pelatihan Terpadu
Untuk Kepala Dinas Kabupaten/Kota).
21.
Depdiknas. 2002. Mengembangkan Kebijakan Pendidikan Tingkat
Kabupaten/Kota.
22.
Depdiknas. 2002. Menyerasikan Perencanaan Pendidikan Tingkat
Mikro dan Makro.
23. Djohar, 1999. Reformasi dan Masa
Depan Pendidikan di Indonesia. IKIP. Yogyakarta
24. Dodi
Nandika. 2007. Pendidikan di tengah
gelombang perubahan. Jakarta: LP3ES
25. Fakry
Gaffar. (1990). Implikasi desentralisasi
pendidikan menyongsong abad ke-21. Jurnal Mimbar Pendidikan, 3, Tahun IX,
Oktober.
26. Fasli
Jalal. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam
Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
27. Fiske,
E.B. (1998). Desentralisasi Pengajaran,
politik dan consensus. Jakarta: Penerbit P.T Gramedia Widia Sarana
Indonesia.
28. Langgulung, H., 1992. Asas-asas
Pendidikan Islam. Pustaka Al Husna. Jakarta
29. Mulyasa, E. 2003, Menjadi Kepala
Sekolah Profesional. Remaja Rosdakarya. Bandung.
30. Oliver, Paul, ed. 1996. The
Management of Education Change. England: Asghate Publishing Limited.
31. Sa’ud, S. dan Makmun A,S. 2007.
Perencanaan Pendidikan, Suatu Pendekatan Komprehensif. Remaja Rosdakarya.
Jakarta.
32. Sagala, S. 2009. Manajemen Strategik
Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Alfabeta. Bandung.
33. Sanjaya, W., 2007. Strategi
Pembelajaran, Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Penerbit Kencana Prenada
Media Group. Jakarta.
34. Soenarya, E. 2000. Pengantar Teori
Perencanaan Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem. Adicita. Yogyakarta.
35. Tilaar.H.A.R. 1998. Manajemen
Pendidikan Nasional (Kajian Pendidikan Masa Depan). PT. Remaja Rosdakarya.
Bandung.
36. Usman, H. 2008. Manajemen Teori
Praktik dan Riset Pendidikan.Bumi Aksara. Jakarta.
37. Vebriarto. 1982. Pengantar
Perencanaan Pendidikan. Penerbit Paramita. Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar