KERAJAAN ISLAM DI BANGGAI PROPINSI SULAWESI TENGAH
*Sofyan Madina (Staf Pengajar/Peneliti STAIN Datokarama Palu)
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
BAGIAN I
KONDISI WILAYAH KERAJAAN BANGGAI
A.
Identifikasi
Kehidupan sosial budaya
adalah kehidupan sosial budaya suku bangsa yang telah mendiami pulau-pulau yang
menjadi bagian dari kerajaan Banggai sejak zaman dahulukala + abd ke
VIII M. Yang kini telah berubah menjadi Kabupaten Banggai kepulauan dengan
penduduk sebanyak 171.685 jiwa mendiami 19 kecamatan. Jelasnya dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel. 1
Jumlah Penduduk Banggai Kepulauan
Hasil Sensus Penduduk tahun 2010
Kecamatan
|
Laki
|
Perempuan
|
Total
|
Labobo
|
2.686
|
2.657
|
5.343
|
Bokan
Kepulauan
|
5.835
|
5.727
|
11.561
|
Bangkurung
|
4.131
|
4.065
|
8.196
|
Banggai
|
10.188
|
9.831
|
20.089
|
Banggai
Utara
|
3.053
|
2.959
|
6.012
|
Banggai
Tengah
|
3.157
|
3.212
|
6.369
|
Banggai
Selatan
|
2.450
|
2.358
|
4.808
|
Totikum
|
5.057
|
4.810
|
9.867
|
Totikum
Selatan
|
4.037
|
3.996
|
8.033
|
Tinangkung
|
6.684
|
6.588
|
13.272
|
Tinangkung
Selatan
|
3.678
|
3.519
|
7.197
|
Tinangkung
Utara
|
3.874
|
3.793
|
7.667
|
Liang
|
4.427
|
4.344
|
8.771
|
Peling
Tengah
|
4.661
|
4.579
|
9.240
|
Bulagi
|
4.827
|
4.709
|
9.536
|
Bulagi
Selatan
|
4.955
|
4.716
|
9.671
|
Bulagi
Utara
|
4.567
|
4.321
|
8.888
|
Buko
|
4.688
|
4.665
|
9.353
|
Buko
Selatan
|
3.954
|
3.928
|
7.882
|
Banggai Kepulauan
|
86.909
|
84.776
|
171.685
|
Sumber data: Kantor BPPS Kabupaten Banggai Kepulauan.
|
Suku bangsa lain yang
kemudian mendiami Kabupaten Banggai dan Banggai kepulauan adalah; Jawa, Bali,
Gorontalo, Menado, Batak, Buton mendiami wilayah yang ada di Banggai Daratan,
sedangkan Banggai Kepulauan didiami suku suku bangsa lain ; Bajo dan Buton
Fenomena pertambahan
penduduk yang ada di Banggai Daratan dan Banggai kepulauan yakni daerah yang
pernah menjadi wilayah kekuasaan raja Banggai adalah faktor kalahiran (natalis), kematian ( mortality) dan migasi (migration), atau faktor lain seperti
yang tampak sekarang faktor yang menonjol adalah terjadinya perpindahan
penduduk dari daerah sekitar kenuju ke kabupaten Banggai kepulauan karena
terbukanya lapangan pekerjaan sektor informal dan non formal sebagai dampak
dari adanya proses pembangunan infrastruktur jalan, kantor pemerintahan,
perumahan dan kawasan industri; demikian pula meningkatnya komoditi pertanian
dan perikanan baik itu rumput laut, ikan, mutiara, serta sektor lainnya berupa
perdagangan dan jasa.
Pada masa kerajaan Banggai faktor migrasi
lebih banyak diakibatkan karena adanya tekanan dan ketakutan dari penguasa
(raja), atau karena serangan/penaklukan yang dilakukan kerajaan lain, dari pada
sektor-sektor kehidupan baik itu pertanian, perikanan atau sektor lainnya.
B.
Bahasa
dan dialek
Orang
Banggai menggunakan tiga bahasa ibu atau bahasa turun temurun yang hingga kini
masih terpakai dalam pergaulan sehari harik-hari, walaupun ada yang sudah mulai
tercampur dengan bahasa lainnya. Di
Banggai Kepulauan hampir 95 % penduduk menggunakan bahwa aqi’ dan aqi. Bahasa
Banggai Aqi’ digunakan oleh masyarakat yang ada di Pulau Peling Barat Kecamatan
Peling Tengah, Bulagi, Bulagi Selatan, Bulagi Utara, Buko, dan Buko Selatan,
dalam pelafalannya antara aqi’ dan aqi sedikit terdengar berbeda karena
pengguna bahasa a’i menekan suara
ditenggorokan sementara bahasa Banggai aqi pelafalannya tidak menekan
ditenggorokan dalam membunyikan kata.
Bahasa
Banggai ai’ hanya dapat ditemukan pada suku Seasea yang berada di di dataran
tinggi Pulau Peling antara kecamatan Peling Tengah, Bulagi dan Buko. Bahasa a’i
yang masih digunakan oleh suku Seasea oleh masyarakat Banggai dianggap bahasa
yang asli karena masih terpelihara dari pengaruh bahasa luas sebab mereka
menutup diri tidak mau bercampur dengan masyarakat yang tinggal ditepi pantai,
dan hingga kini mereka terus memelihara adat istiadat mereka seperti halnya di
daerha lain; suku kajang di Makassar, suku Badui dalam di Banten, suku sasak di
Mataram dan beberapa suku lain yang ada di pedalaman Papua.
Bahasa
orang Seasea merupakan salah satu bahasa Banggai yang mempunyai konstruksi
genitive bertiga ganda. Salah satu contoh kata aqi yang berarti tidak yang
berbeda dengan bahasa Balantak yang mengatakan sian dan Saluan menyebut madi
untuk kata yang bermakna sama. Para pengucap aki di masyarakat Banggai juga
terbagi dalam dua bagian. Satu bagian di wilayah Timur dan satu kelompok
komunitas di wilayah Barat.
Di Pulau
Peling, semakin mengarah ke wilayah barat, nampaknya memiliki perbedaan
dialektis dari pengunaan kata di banding dengan para pengguna kata aqi di wilayah
timur. Di mana komunitas di wilayah barat, khususnya di Seasea menghilangkan
huruf huruf K dan G di tengah kata dengan mengantinya dengan hamzah. Sehingga
kata aki menjadi a’i. Dialek Seasea yang
khas lainnya adalah di setiap kata yang mengandung huruf R dan diganti dengan huruf L. Sehingga, dalam
berbahasa Seasea terdengar cadel.
Ada
kemungkinan, perbedaan dialek ini terjadi karena kedua kelompok komunitas ini
terpisah dari sisi wilayah dan aksebilitas. Satu kelompok berdiam di desa dan
satu kelompok masih berdiam di hutan. Kelompok komunitas yang ada di desa Osan bagai
n luar orang Seasesa memiliki akses untuk berhubungan dengan dunia luar
sehingga memiliki system transformasi bahasa dan social budaya yang cepat
berubah. Sedang komunitas yang masih tinggal di hutan masih terisolasi. Keterisolasian
ini kemudian menciptakan sisi positif di mana bahasa asli orang Seasea yang
bermukim di hutan tidak mudah dipengaruhi oleh bahasa dan dialek lain. Terutama
pengaruh bahasa Indonesia yang umumnya menjadi bahasa sehari hari mayoritas
masyarakat yang ada di Pulau Peling.
Terkait
soal itu, Komunitas Seasea dalam meneruskan sejarah dan budayanya, termasuk
dalam melestarikan bahasa lokal hanya bergantung pada budaya tutur. Komunitas
Seasea tidak mengenal proses pendokumentasian dalam bentuk tulis, hanya lisan
dari generasi ke generasi. Di komunitas lain di Indonesia, semisal Kertagama di
Jawa dan Lagaligo dan aksara Lontara milik Bugis Makassar, terbukti mampu
melestarikan budaya dan bahasa setempat sampai saat ini. Adapun Seasea hanya
mengenal pendokumentasian bahasa asli hanya dengan teks berupa tuturan,
nyanyian, tanda dan symbol.
Secara
umum tulisan atau aksara suku Banggai apakah itu di Banggai Daratan dengan suku
Loinang Kahumamaon dan Balantak kosian, maupun di Banggai Kepulauan dengan suku
Banggai Seasea, sampai saat ini belum ditemukan wujudnya atau kongkritnya,
meskipun sebagian masyarakat menyatakan ada aksara mereka. Pada masa lampau
mereka lebih banyak menggunakan bahasa tutur (lisan) sangat jarang dengan bahasa
tulisan. Bahasa tulisan peninggalan lama hanya dapat ditemukan menggunakan
semacam tulisan Arab, seperti terlihat pada tulisan pada batu nisan di desa
Lolantang, atau tulisan pada dinding
pembatas kuburan juga di desa Lolantang.
Naskah
yang dianggap kuno adalah naskah yang mereka namakan dengan peta alam yang
diwariskan oleh Sayyid Idrus keturunan terakhir dari keturunan Arab yang
menjadi penyiar agama Islam di Pulau Peling, naskah lainnya juga hanya berupa
lembaran alquran yang disimpan di kediaman Yusuf Basan hukum tua kerajaan
Banggai sekarang yang kata beliau digunakan oleh keluarga raja-raja untuk
mengaji. Oleh karena itu sementara dapat dikatakan bahwa kerajaan Banggai tidak
memiliki aksara tersendiri dalam berkomunikasi dan mendokumentasikan sesuatu. Masyarakatnya
lebih berkomunikasi melalui bahasa lisan atau bahasa isyarat. Bahasa isyarat
ada dua, yakni isyarat yang langsung disampaikan melalui bahasa tubuh dan
isyarat yang diberikan melalui tanda-tanda tertentu menggunakan benda-benda
alam, seperti pohon yang sudah ada pemiliknya disisipkan batang kayu kecil yang
diruncingkan menandakan ada pemiliknya, atau zaman dahulu kalau ada wanita yang
sudah diminang oleh keluarga penguasa, maka di anak tangganya dililitkan kain
atau kulit batang pohon tertentu, demikian pula apabila keluarga itu memiliki
anak gadis belia yang belum kawin diberikan tanda tertentu seperti; menggantung
benda-benda berupa buah-buahan pada tempat tinggalnya, atau kalau ada
musyawarah lipu’ dilakukan bunyi-bunyian terbuat dari bambu atau meniupkan but
(terompet terbuat dari kerang besar yang
dibuat lubang bagian belakang); Bahkan dalam hal penyambutan terhadap tetamu
yang datang, sambutanya bergembira menerima atau bergembira karena akan
menghabisi tetamu yang datang). Kalau gembira menerima dilakukan dengan
menancapkan gagang teendek (tombak)
ke tanah dan runcingnya menghadap ke udara, sedangkan gembira karena yang
dicari untuk dibunuh sudah datang sendirinya adalah menancapkan runcing teendek
(tombak) ke tanah sampir mengunyah piang dan siri sampai merah.
C.
Keadaan
Masyarakat
Masyarakat
yang ada di Kabupaten Banggai dan Banggai Kepulauan yang dahulu kala menjadi
wilayah Kerajaan Banggai jelas berbeda, baik pada zaman kerajaan sampai
sekarang memiliki beberapa perbedaan sedikit, namun dapar di atasi oleh
masyarakat sendiri dan tidak pernah menimbulkan konflik yang kemudian berakhir
pada timbulnya korban.
Masyarakat
yang ada di Kabupaten Banggai pada zaman kerajaan Banggai hanya dihuni oleh dua
suku besar yakni suku Loinang (Saluan) dan Kosian (Balantak). Suku Loinang
tinggal di sebelah Barat dan suku kosian(Balantak) di sebelah Timur. Sebelah
barat dibawa kekuataan kerajaan Loinang Barat, disebelah Timur kekuasaan
Loinang Timur, mereka pada umumnya hidup
berkebun kelapa, padi dan umbi-umbian, secara struktur masyarakatnya sangat
sederhana, hanya terdiri dari Tonggol atau kepala suku dan rakyat.
Di
Banggai Kepulauan, keadaan masyarakatnya hampir sama saja dengan apa yang ada
di Banggai daratan, hanya saja mata pencaharian dan makanan utama mereka
berbeda karena mereka yang ada di Banggai Kepulauan menjadikan makanan utama
mereka adalah ubi (talas) yang konon hanya hidup disektarnya. Masyarakat
Banggai, terdiri dari pemegang kekuasaan pemerintahan, dan masyarakat biasa.
Masyarakat
yang berasal dari keturunan bangsawan
adalah keturunan daran Banginsah
dan Keturunan darah Babato. Keturunan
darah Banginsa berhakmenduduki jabatan Raja dan jabatan lain seperti Kale,
Komisi Sangkap (Mayor Ngopa, Kapita Lau, Jogugu dan Hukum Tua), Mian Tuu dan
Jimalaha; sedangkan keturunan darah Babato hanya pada jabatan Jogugu, hukum
tua, mian tuu dan Jimalaha. Jabatan-jabatan tersebut dewan yang membantu Tomundo dan
menyelenggarakan amanat kerajaan sesuai bidangnya yaitu; Mayor Ngopa: Raja
Muda, Kapita lau: Panglima Angkatan Perang, Jogugu: Menteri dalam negeri, Hukum
Tua: Pengadilan, Kale: urusan Agama, Mia Tuu’: Staf Ahli dan Jimala: Asistem
pemerintahan. Pemilihan orang-orang yang menempati posisi jabatan tersebut
dipoilih secara musyawarah, dan mufakat, oleh Basalo Sangkap, namun kegiatan
ini telah berakhir sejak tahun 1939 beriring meninggalnya Raja banggai ke 39
Awaluddin.
Kepemimpinan
kerajaan yang dikembangkan adalah kolektif kolegial, artinya walaupun masing-masing memiliki wewenag yang
diberikan keadanya, namun dalam prakteknya dilakukan dan diputuskan bersama,
serta dijalankan bersama dengan penuh rasa tanggung jawab. Kepemimpinan
kolegial kolektif ini akan terasa sekali pada saat berhadapan dengan masalah
yang krusial seperti pemilihan pimpinan atau raja Banggai, biasanya yang
menentukan adalah para basalo, bukan rajaitu sendiri menunjuk siapa
penggantinya. Oleh karena itu dalam sistem kemasyarakatan, maka kerajaan
banggai sejak zaman dahulu kala telah mendahulukan kepemimpinan kolektif kolegial
dan demokratis, dan itu pula yang dikembangkan oleh masyarakat dalam hidup
bermasyarakat.
D.
Bentuk
pemukiman
Perkampungan
yang ada di Kerajaan Banggai masa lalu merupakan kesatuan dari kampung lainnya
yang pada zaman dahulu kala dihuni oleh nenek moyangnya, sebab kalau ada satu
anggota keluarga yang meninggal di kampung itu maka serentak orang yang ada
memindahkan ke tempat lain yang tidak berjauhan karena mereka beranggapan bahwa
tempat itu sudah tidak diridhai oleh yang maha kuasa untuk ditempati, dan kalau
terus ditempati akan membawa malapetaka bagi semua orang.
Bentuk
perkampungan biasanya tidak berderet, melainkan berkelompok pada satu tempat
dan depannya berhadap-hadapan satu sama lain, mulai dari tiga sampai lima
rumah, sampai pada sepuluh rumah dan pada kelompok besar rumah-rumah yang
berkelompok ada satu rumah besar dan panjang. Rumah yang biasa ditemukan pada
kelompok hanja tiga atau lima rumah biasanya dihuni oleh keluarga atau
orang-orang yang menjadi pelindung tempat itu, mereka adalah orang-orang yang
terdepan dan memiliki kelebihan khusus dalam halbela diri dan ilmu-ilmu
lainnya, sedangkan kelompok rumah-rumah yang banyak adalah kelompok masyarakat
dan ditengah-tengah ada rumah besar, biasanya itulah rumah yang ditempati oleh
Tonggol atau pimpinan kampung. Jarak antara rumah kelompok pertama yang hanya
terdiri dari tiga sampai lima rumah biasanya setengah kilometer sampai satu
kilometer dengan rumah-rumah kelompok besar.
Dalam
perkembangan selanjutnya rumah-rumah kemudian bergeser tempat berderet-deret
dan menjadikan jalan ditengah-tengahnya dan menempatkan fasilitas peribadatan
(mesjid) diujung perkampungan, dan pemukiman demikian sebagian besar berada di
tepi sungai, atau ditepi pantai. Pemukiman masyarakat tepi pantai adalah
pemukiman masyarakat yang sudah maju dan telah menerima berbagai perubahan dan
mengikuti perkembangan, sedangkan pemukiman masyarakat yang masih terpencil
adalah pemukiman yang masih belum sepenuhnya mengikuti perubahan yang
terjadi bahkan pemukiman untuk
masyarakat pedalaman lebih terpencil lagi yakni pemukiman suku-suku yang
dianggap terasing dan mengasingkan diri, sulit untuk dijangkau, mereka
benar-benar masih hidup seperti zaman nenek moyang dahulu, walaupun telah ada
satu atau dua orang yang berusaha mendekat dengan penduduk yang sudah
berkembang peradabannya.
E.
Sistem
Kekerabatan
Kawin
mawin merupakan salah satu sarana pembentuk sistem kekerabatan pada satu
komunitas masyarakat; dalam perkawinan yang dimulai dari proses pencarian
jodoh, pada masyarakat Banggai zaman dahulu berlangsung demokratis, dan mereka
tidak mengenal kata percintaan atau pertunangan seperti pada masyarakat Banggai
sekarang ini.
Prosesi
pemilihan jodoh pada masyarakat dahulu dipelopori oleh Tonggol atau Tomundo,
pada saat setiap musin panen tiba, proses awalnya adalah penyampaian bahwa
prosesi panen akan dilangsungkan dalam satu hari serentak, dan dilakukan
berkelompok untuk memudahkan proses penen. Pada malam hari sebelum panen
dilaksanakan, semua gadis dikumpulkan di rumah Tonggol, demikian pula semua
pemuda juga demikian, tempat kumpul mereka terpisah, pihak gadis-gadis disatu
tempat bagian dalam rumah Tonggo atau Tomundo, sedangkan pemuda menempati
bagian depan, setelah prosesi pemeriksaan terhadap gadis-gadis akan kesiapan
mereka untuk berumah tangga, maka mereka di ajak melakukan pertemuan massal dan
duduk berhadap-hadapan ditengahi oleh orang tua dan tokoh-tokoh adat, setelah
itu, kemudian bubar, gadis-gadis mesuk kembali ke ruang tengah tempat mereka
menginap dan tidur menutupi seluruh tubuh dengan sejenis kain yang ditenun
panjang atau biasa disebut alumbu dengan
menyembulkan ibu jari kaki.
Menjelang
pagi hari dibawa pengawasan Tonggol dan orang tua gadis, pemuda-pemuda itu
dipersilahkan masuk dan berjalan di antara jejalan gadis-gadis, sambil mendehemkan suaranya bergantian, apabila satu
pemuda mendehemkan suara dan ada gadis yang menggoyangkan ibu jarinya, maka
orang tua gadis akan membangunkan anak
gadis tersebut dan membawa kembali ke rumah diikuti oleh sang pemuda yang
dianggap telah menjadi jodohnya.
Perkawinan
biasanya dilaksanakan pada saat selesai tiga kali panen dan paling cepat dua
kali panen sekitar (sembilan sampai enam bulan) lamanya. Tujuannya sangat
sederhana yakni mempersiapkan sang pemuda untuk matang menghidupi istrinya
kelak setelah perkawinan dan memiliki tanggungjawab yang tinggi serta kecintaan
yang mendalam. Semasa penantian baik pemuda maupun gadis yang telah memiliki
calon mendapat penjagaan ketat dari seluruh masyarakat, mereka tidak boleh
bertemu muka langsung, tetapi boleh saling mengirimkan sesuatu apakah makanan
atau sulaman dan benda lainnya.
Perkawinan
tidak dapat dilaksnakan karena ada ikatan darah langsung, seperti kakak
beradik, saudara bapak, saudara ibu, dan proses penyedilikan dilangsungkan
mulai pada masa pemilihan di rumah besar sampai pada aaat-saat tinggal beberapa
hari akan dilangsungkan pernikahan atau perkawinan. Perkawinan biasanya diawali
dengan kesiapan pemuda untuk menghidupi keluargannya seperti kebuh atau
pepohonan yang tikerjakan oleh sang pemuda sendiri sampai kepada penyiapan
keluargha terhadap beberapa keping kain untuk dipertukarkan sebagai adat.
Perkawinan dianggap selesai setelah Tonggol atau tomundo bersama orang tua
gadis dan pemuda mengantarkan mereka tinggal di satu tempat yang sudah
disiapkan oleh pemuda, mereka dibiarkan hidup bersama sampai waktunya mereka
mengungjungi orangtuanya.
Masyarakat
Banggai menyebut marga mereka dengan utus, kalau dianggai dikenal dengan pontolutusan maka di Banggai Daratan dengan dengan potoutusan, dab biasanya meeka yang
sekampung menyebut diri mereka dengan sa lipu. Saudara tu’a mereka kenal dengan
utus tu’anyo, saudara kecil utus ise’nyo, anak saudara ibu atau ayah mereka
sebut dengan; minsan, tominsan. Kalau saudara ayah atau saudara ibu mereka sebut
dengan totominsan miin san, kalau
sudah menyamping kedua mereka sebut minsan
pinduan, seterusnya pintolun,
selebih disebut utus-utus.
Perbedaan
strata dalam masyarakat yang berdarah bangsawan dengan rakyat biasa sudah lama
ditinggalkan, dan menurut beberapa orang tua sudah sejah tidak ada lagi raja
Banggai yang dinobatkan secara adat, dan sudah mengikuti pemerintah, sehingga
semuanya sama, kecuali apabila ada upacara-upacara tertentu yang menghendaki
ada identitas demikian, maka mereka yang berdarah bangsawan dipakaikan dengan
pakaian adatnya untuk suatu prosesi upacara masyarakat, seperti; upacara tumpe di
Batui, atau upacara pemilihan pemangku-pemangku adat.
Uraian-uraian
di atas menunjukan bahwa sistem kekerabatan masyarakat Banggai telah
berkembang, dan mengikuti perkembangan kemajuan zaman, kalaupun ada yang masih
melaksanakannya, itu hanya terjadi pada kelompok masyarakat yang ada di Banggai
baik Banggai Daratan atau Kepulauan yang belum bisa beradaptasi dengan
perkembangan, seperti ; Suku Seasea di Osan di Kecamatan Bulagi Pulau Peling,
Loinang kahumamaon di Kecamatan Bunta, Banggai daratan. Mereka memang masih
sulit untuk diajak bergabung dan menerima kemajuan pembangunan walaupun
berbagai upaya sudah dilakukan.
F.
Agama
dan Kepercayaan
Masyarakat yang
mendiami bekas Kerajaan Banggai yang kini sudah menjadi Kabupaten Banggai dan
Kabupaten Banggai Kepulauan, seperti lazimnya daerah lain di Indonesia memiliki agama dan kepercayaan lainnya yang
sering menjadi norma acuan kehidupan bahkan mengikat praktek-praktek hidup
masyarakat tertentu.
Di kerajaan Banggai masa lampau ada
kepercayaan-kepercayaan yang biasa dikenal dengan beberapa istilah seperti belelean, molelean yakni kepercayaan roh roh nenek moyang yang memasuki jasad
atau raga satu orang, kemudian menceritrakan keadaan masa lalu orang tertentu
atau kejadian-kejadian tertentu. Biasanya kepercayaan ini berkaitan dengan
hal-hal baik dan buruk yang menimpa satu keluarga atau satu negeri. Adalagi
kepercayaan dinamakan tobuntus yakni
kepercayaan terhadap hal-hal buruk yang menimpa seseorang akibat perbuatannya
melanggar atau tidak dirindhai orang tua atau nenek moyangnya, sehingga
hidupnya menjadi susah, atau sakit berkepanjangan dan akhirnya meninggal.
Kepercayaan-kepercayaan
tersebut banyak berkembang dalam masyarakat nama dan jenisnya berbeda-beda,
demikian pula penyembuhannya berbeda-beda, kalau yang bersifat umum biasanya
zaman dahulu disucikan melalui prosesi mandi disungai yang dipimpin oleh
seorang pemimpin agama, kale atau jimalaha dan biasanya dilakukan pada bulan muharaam,
tetapi kalau hal yang terjadi secara individu biasanya pengobatannya melalui
upacara-upacara berbentuk mantra-mantra atau doa’ do’a yang dipimpin oleh
pemuka agama atau tokoh masyarakat yang menerima polelean atau kemasukan roh nenek moyang yang kemudian menunjukan
apa yang harus dilakukan.
Meskipun demikian, umumnya masyarakat Banggai apakah itu Banggai Daratan atau
Banggai Kepulauan adalah pemeluk agama Islam yang taat dan kuat, mereka
hampir-hampir tak ada yang berpindah agama dari agama Islam ke agama manapun
yang ada, dan kalau ada yang pindah misalnya, maka orang tersebut dianggap
bukan saudara dan dipersialhkan meninggalkan kampung. Wakaupun demikian mereka
menghargai pemeluk agama lainnya seperti nashrani dan tidak pernah mengganggu
berbagai peribadatan, mereka hidup rukun dan saling membantu dalam
masalah-masalah sosial.
Sebagai bukti bahwa
Islam menjadi agama yang dianut sebagaian besar masyarakat yang pernah menjadi
wilayah kekuasaan kerajaan Banggai adalah berdirinya mesjid-mesjid dan sekolah-sekolah
atau madrasah-madrasah di desa-desa, yang kini sudah dijadikan sebagai Madrasah
Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah.
Agama Islam memang
merupakan agama yang sudah lama tumbuh dan berkembang, hal tersebut dapat
dilihat pada wilayah-wilayah yang ada di kawasan Banggai Darat maupun Banggai
Kepulauan, tidak ada peninggalan peribadatan yang mirip dengan pemujaan agama
Budha atau Hindu, karena pemujaan satu-satunya hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa,
yang dilakukan dalam bentuk praktik hidup sehari-hari mereka utamanya. Agama
islam dapat dikatakan mencapai 90 % dari agama yang dipeluk penduduk, agama
Kristen adalah salah satu agama yang didakwakan oleh missi kritiani sejak zaman
Belanda, dan pusat utamanya adalah di pulau peling tepatnya di pulau Peling
Barat dari Kecamatan Bulagi yang masa lampau merupakan pusat kerajaan Islam Fuadnino dengan ibu Kota
Palabatu.
Hebatnya missi
kristiani di Peling Barat menjadikan hampir semua desa yang ada memeluk agama
Kristen, dan desa-desa yang penduduknya
beragama Islam sangat sedikit, namun tegar di tenag-tengah ummat kristiani.
Mereka tetap berpegang teguh pada prinsip bahwa agama dan kepercayaan boleh
berbeda, tetapi mereka berasal dari nenek moyang yang sama dari negeri
Palabatu. Prinsip kepercayaan ini begitu dipercayai, sehingga tidak pernah
terdengar ada konflik agama di sana, bahkan ada beberapa kegiatan peringatan
seperti peringatan muharam yang dilakukan masyarakat dan dianggap upacara nenek
moyang bukan upacara agama, ummat kritstiani aktif berpartisipasi di dalamnya.
BAGIAN II
EKSISTENSI
KERAJAAN BANGGAI
A.
Asal
Usul dan Perkembangan Kerajaan Banggai
Kerajaan Banggai adalah salah satu dari sekian
banyak kerajaan/kesultanan yang pernah
tumbuh dan berkembang (eksis) di bumi nusantara, yang belum mendapatkan perhatian
dan terekspose ke masyarakat luas apalagi masyarakat dunia, sehingga
seakan-akan tenggelam seiring dengan hilangnya berbagai peninggalan kuno akibat
usia atau penjarahan (pencurian) oleh tukang radar,[1]
dan komplotannya yang membongkar situs-situs atau artefak dan menjualnya kepada
penada barang antik yang sampai kini masih belum jelas siapa mereka (misterius),
demikian pula hasil jarahannya tidak diketahui dikoleksi oleh siapa di bawa ke
mana dan sekarang ada ada di mana, yang jelas barang peninggalan tesebut oleh
masyarakat yang ada di beberapa pulau yang dahulu menjadi wilayah kekuasaan
pemerintahan sebelum ada kerajaan/kesultanan Banggai seperti di pulau Peleng
(peling), Banggai, Labobo, atau sekarang dikenal dengan wilayah kabupaten
Banggai Kepulauan.[2]
Pada
masa jauh sebelum kerajaan Banggai
(1571), yaitu pada masa penguasaan Singosari sampai Majapahit, di
beberapa pulau yang kini menjadi bagian dari Kabupaten Banggai dan Banggai
Kepulauan telah ada dan berdiri kerajaan kuno yang dipimpin oleh raja-raja dan
sangat ditaati serta disayangi oleh rakyatnya secara turun temurun baik itu di
pulau Peleng (Peling) Bolukan (Banggai) dan (Mansalean) Labobo.
Kedudukan raja pada masa sebelum kolonial,
bukan sekedar penguasa saja tetapi memimpin semua hal yang berkaitan dengan
kehidupan rakyatnya, sebagai pengayom
rakyat, sebagai pemutus perkara atau sengketa yang terjadi dalam masyarakatnya,
maupun sebagai pemimpin upacara-upacara untuk menyembah Yang Maha Kuasa (Jimalaha). Kerajaan
yang cukup besar dan menjadi kekuatan raja-raja sekitar pulau Peling adalah suatu kerajaan yang oleh
masyarakat peling dan pulau
sekitar pulau Peling seperti; Tanobolukan, Labobo dan timpaus, Togong dianggap
sebagai nenek moyang atau atau asal
muasal mereka. Kerajaan tersebut merrka namakan dengan;
Fuadino dan berkedudukan Palabatu
tepatnya Pulau Peling (sekarang Peling Barat, peta terlampir). Kerajaan Fuadnino berlangsung cukup lama, sampai pada
penaklukan kolonial, abad 15.[3]
Dalam
perkembangan selanjutnya Kerajaan Fuadino di Palabatu mengalami perpecahan
sehingga menjadi empat kerajaan kecil dengan induk tetap kerajaan Fuadino di
Palabatu. Kerajaan kecil tersebut yakni;
Kerajaan Buko di Buko (sekarang desa
Buko tua) dan Bulagi sekarang daerah oosan di wilayah Peling
Barat (sekarang wilayah kecamatan Buko dan kecamatan Bulagi), Kerajaan Sisisipan, Liputomundo dan Kadupadang
di Peling Tengah (sekarang kecamatan liang) dan Timur dibagian Peling Timur berdiri
kerajaan Bongganan (sekarang
kecamatan Totikum dan Tinangkung), sementara di Tanobolukan, Labobo dan timpaus
juga berdiri raja-raja lokal yang berkuasa sesuai dengan kawasan pulau itu
sendiri. Meskipun demikian Tanobolukan tetap menjadi kawasan tempat barter atau
perdagangan dengan dunia luar, sehingga armada-armada luar senantiasa berada
disana.[4]
Bukti peninggalan yang dapat diamati adalah adanya lokasi ibu kota kerajaan
atau tempat bermukimnya penguasa yang masih dapat dijumpai, seperti ibu kota
kerajaan Fuadino di Palabatu, dan
beberapa yang telah disebutkan di atas, meskipun tinggal susunan batu-batu
kapur memanjang di atas bukit-bukit dengan siswa-sisa makam dari batu yang
sudah terbongkar rata dengan permukaan tanah (gambar lokasi terlampir); kecuali
benteng/kotak kerajaan Bongganan yang masih sedikit tampak
sebagai benteng karena mulai dipelihara pemerintah kabupaten Banggai Kepulauan
dan sudah dijadikan wisata sejarah oleh masyarakat setempat, karena tempatnya tepat sekitar
1(satu) kilometer berada dibelakang Kantor Bupati Banggai Kepulauan yakni kota
Salakan.[5]
Dalam penuturan masyarakat
pemangku adat dikemukakan bahwa di kerajaan Fuadino
di Palabatu tepatnya dipusat kerajaan
di Peling Barat, zaman dahulu kala telah terbentuk pemukiman-pemukiman penduduk yakni; pemukiman untuk 8(delapan) suku bangsa di mana tujuh suku bangsa tersebut dikenal telah
memiliki peradaban tinggi di dunia
dan tercatat dalam sejarah; yaitu kawasan hunian
suku bangsa; China, Arab, India, Melayu,
Gujarat, Arab, Turki, dan Sea-Sea. Suku bangsa
tersebut hidup rukun dibawa kekuasaan raja Fuadino di Palabatu. Suku bangsa yang sangat berpengaruh
dalam kehidupan suku lokal adalah China, India dan Arab. Ketiga suku bangsa
inilah kemudian yang akhirnya menyatu dengan suku asli (lokal) dan kemudian memisahkan
diri dari suku asli yang tidak mau bercampur yang dengan esktrim tidak mau
menerima pembauran dengan suku lainnya. Mereka yang telah berasimilasi dengan
suku asli kemudian memisahkan diri dan turun ke dataran rendah atau tepi pantai
dan mereka inilai kemudian yang kemudian dikenal dengan suku bangsa Banggai
dengan menggunakan bahasa aqi’ atau
qi’, sedangkan suku yang masih memelihara budaya nenek moyang menggunakan
bahasa ai’ yang berarti “tidak”
dan keduanya saat ini hampir tidak saling memahami.
Secara genetik
suku bangsa dari Kerajaan Fuadino di Palabatu yang telah bercampur (berasimilasi) dengan suku
bangsa lain yang datang di sana dapat dikenali melalui gejala-gejala fisik
antara lain sebagai berikut; suku bangsa Sea-Sea keturunan dari percampuran
suku asli dan India dan Arab memiliki kulit hitam, bola mata besar, badan
berbulu, memiliki tulang yang besar dan berperawakan besar dengan tinggi
rata-rata di atas 165 centimeter; suku bangsa Sea-Sea keturunan campuran dengan
suku bangsa China, memiliki cirri umum berperawakan sedang, tinggi tidak
melebihi 165 centimeter, berkulit terang dan putih, badan tidak berbulu, mata
sipit, sedangkan suku asli Sea-Sea berperawakan kecil, kulit sawomatang dan
tinggi mereka tidak melebihi 160 centimeter. Ciri yang sangat berbeda sekrang
adalah suku bangsa Sea-Sea tinggal di pegunungan sedangkan suku bangsa campuran
tinggal di tepi pantai[6]
Kerajaan Fuadino
di Palabatu memiliki penduduk yang
dahulu sampai sekarang masih diketahui yakni suku bangsa sea-sea (sekarang
berada di puncak gunung Peling Barat), mereka bertempat tinggal di sana dan
setia menjaga kawasan yang sejak nenek moyangnya menjadi tempat tinggal atau
tempat tinggal raja-rajanya. Di sana terdapat kawah pemandian raja-raja
Palabatu yang dikenal dengan lemelu.
Lemelu adalah satu kawah pemandian, berisi air bening dan sangat indah,
tampatnya berada ditengah-tengah pulau Peling dan berada diketinggian bukit
yang jaraknya kurang lebih 10 (sepuluh kilometer) dari desa Buko dan Lumbi-Lumbia
yang hanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki.[7]
Kerajaan Fuadino Palabatu di pulau Peling
tergolong kerajaan yang tertua yang kemudian ditundukan oleh kerajaan
Singosari, hanya saja pengaruh kepercayaan seperti Budha dan Hindhu tidak
tampak karena tidak menunjukan bekas-bekas peninggalan seperti yang ada di
pulau Jawa dan pulau Sumatra berupa
candi. Kondisi demikian dapat mengindikasikan beberapa hal antara lain:
Pertama: bahwa memang telah ada satu kepercayaan tersendiri yang
diperpegangi oleh raja-raja dan rakyat Palabatu pada masa itu sehingga agama
(kepercayaan) Budha dan Hindu yang dianut oleh kerajaan Singosari dan Majapatih
tidak mempengaruhi masyarakat. Nama kepercayaannya tidak diketahui persis apa
namanya apakah itu monotheis, polytheis, pantheis dan sebagainya, meskipun demikian ada yang berspekulasi
menyatakan bahwa mereka beragama budha, dan sebagian lagi menyatakan mereka
tidak memiliki nama satu agama tetapi mereka menyembah dan percaya kepada yang
maha kuasa dan penguasa alam semesta, bahkan ada yang menyebutnya dengan agama Halaik namun setelah ditelusuri pengertian
halaik artinya tidak menentu dan atau
tidak jelas; meskipun demikian kepercayaan itu begitu
diyakni masyarakatnya dan sampai kini perilaku yang berkaitan dengan
kepercayaan mereka pada masa lampau yang dikerjakan nenek moyangnya dapat dijumpai/ditemukan
pada suku bangsa sea-sea yang masih tertinggal di dataran tinggi pulau Peling
daerah Peling Barat. Perilaku dimaksud seperti; berpuasa untuk bulan tertentu,
tidak boleh kawin dengan saudara kandung; menghormati binatang dan menganggap
salah satu binatang sebagai titisan dewa dan dijadikan raja aau penguasa;
binatang tersebut adalah “meong(kucing)”; terlarang menyebut apalagi
menceritrakan nama-nama, keturunan atau hal ikhwal berkaitan dengan raja atau
pimpinannya; dilarang atau terlarang bertemu atau berjumpa dengan orang atau
manusia yang bukan bagian dari suku bangsanya; pada waktu (bulan) tertentu
dilarang memakan binatang yang ada dihutan atau kata lain tidak boleh berburu,
bahkan membiarkan binatang itu hidup tanpa gangguan siapapun; mereka meyakini bahwa
ada kehidupan yang sama dengan kehidupan manusia pada binatang; hutan atau
tumbuhan tertentu sehingga tidak boleh atau terlarang dijamah manusia, dan
kalau itu dilanggar maka akan terjadi bencana besar yang melanda mereka.
Kedua: penaklukan yang dilakukan oleh kerajaan Singosari dan Majapahit
terhadap kerajaan-kerajaan kecil di nusantara khususnya di kerajaan Fuadino,
yang berkedudukan di Palabatu tidak membawa atau tidak memaksakan keyakinan
atau kepercayaan mereka, atau dengan kata lain penaklukan hanya untuk menguasai
daerah-daerah (wilayah) yang strategis terkait dengan perdagangan untuk
kebutuhan hidup rakyat dan pengakuan atau kekuasaan; tidak sama dengan
penaklukan yang dilakukan Belanda dan Pertugis mereka disamping kepentingan
perdagangan juga kepentingan missi keagamaan yakni; Katholik dan Protestan.[8]
Kerajaan Fuadino di Palabatu dengan dengan suku
bangsanya Sea-Sea adalah kerajaan lokal kuno di Pulau Peling yang diperkirakan
jauh sebelum penaklukan Singosari dan Majapahit abad 13 telah lama eksis, bahkan
beberapa peneliti memperkirakan sejak zaman sebelum adanya tulis menulis
sekitar abad ke 7 dan 8 masehi, salah satunya buktinya yang kuat adalah kerajaan
Sriwijaya sudah memasukan daerah ini sebagai daerah kekuasaan (lihat peta
terlampir) dan memiliki hubungan atau kesamaan adat istiadat dengan Kalimantan Timur (kutai).[9]
Kerajaan Fuadino
di Palabatu Pulau Peling memiliki satu tempat yang sering digunakan sebagai wadah di dalam melakukan kegiatan tukar
menukar barang (transsaksi) dengan pihak asing. Daerah tersebut kemudian
berkembang menjadi kawasan pusat perekonomian dan sangat terkenal diberbagai
pelosok nusantara. Tempat tersebut mereka namakan dengan sebutan “Tanobolukan”. Tanobolukan ini sebuah pulau yang berada di tengah-tengah pulau Peling,
Pulau Labobo dan Pulau Tidore (Ternate) (peta terlampir).
Ketenaran Tanobolukan kemudian menjadi
wilayah penaklukan yang dilakukan oleh kerajaan Singosari dan Majapahit;
penaklukan tersebut kemudian menjadikan menjadikan “tanobolukan” (sekarang dikenal dengan pulau Banggai) menjadi lebih
penting dan strategis sebagai pelabuhan transit antar pulau di nusantara,
utamanya hasil bumi berupa rempah-rempah dari sebelah utara (sekarang Mauku)
dengan kerajaan lain yang ada di pulau
Jawa, Sumatera bahkan dengan dunia luar. Kekayaan alam yang melimpah yang menjadi perburuan hasil laut seperti; rempah-rempah, mutiara, yang begitu
dibutuhkan oleh penduduk dunia barat dan timur yang menggunakannya sebagai
bahan-bahan di dalam hal kesehatan dan sebagainya. Letak pulau ini sangat
strategis sehingga sejak zaman dahulu kala menjadi tempat singgah pelaut-pelaut
nusantara, bahkan mancanegara, termasuk Kolonial Pertugis dan Belanda. Karena posisinya yang strategis inilah, pulau ini menjadi sangat dikenal
oleh para pedagang antar pulau, bahkan sampai saat ini sudah dijadikan pusat
perdagangan kabupaten Banggai Kepulauan.
Ketenaran Tanobolukan
sebagai pusat dagang dikawasan timur nusantara yang terletak di antara pulau Sulawesi
dan Halmahera (Maluku) tidak lepas dari ketenaran
rempah-rempah yang ada dan diperjual
belikan disini, bahkan dapat dikatakan Tanobolukan merupakan pintu gerbang
menuju Ambon dan pulau-pulau lain
sebagai penghasil rempah. Letak strategis inilah
yang menjadikan kerajaan Singosari
dan Majapahit tertarik untuk menjalin hubungan
perdagangan antar pulau. Pada masa kekuasaan Raja Kartanegara tahun 1288-1298, disebutksan bahwa ada kerajaan di sebelah timur
pulau Sulawesi yang bernama “Benggawi”.[10]
Penyebutan
Benggawi tidak terlepas dari pemahaman tentang kerajaan penting yang jauh di
sebelah timur pulau jawa.
Kerajaan
Fuadino yang berpusat di Pulau Peling dengan kotanya
Palabatu pada akhirnya mendapat serbuan dari penaklukan dari kerajaan Majapahit
yang dipimpin oleh Hayam Wuruk (1351-1389), sehingga dengan sendirinya kerajaan Fuadino yang
berpusat di Palabatu tinggal menjadi kerajaan kecil dan Tanobolukan yang
dahulunya hanya sebagai kota perdagangan berubah fungsi menjadi ibu kota
Kerajaan yang mereka namakan dengan Benggawi dan seterusnya setelah penaklukan
kolonial Belanda menjadi Banggai, dan akhirnya dengan sendirinya wilayah yang
menjadi kekuasaan kerajaan Fuadino menjadi kekuasaan kerajaan Benggawi termasuk
seluruh pulau kecil disektarnya.
Diantara bukti kuat bahwa Kerajaan Benggawi telah terkenal sejak
Zaman Mojopahit tulisan salah seorang Pujangga Mojopahit bernama Mpu Prapanca dalam
bukunya “Negara Kartanegara.”[11]
Hal tersebut dapat
dilihat sendiri melalui peta kerajaan Singosari berkaitan dengan wilayah yang
menjadi wilayah atau daerah kekuasaaannya (peta terlampir); bahkan pada salah satu tempat, tepatnya di desa Unu kecamatan Bulagi (Peling Barat) terdapat sebuah pedang besar yang mereka sebut dengan Pedang Masanda. Konon menurut ceritra yang
berkembang dikalangan orang-orang tua dahulu
pedang Masanda adalah pedang peninggalan tentara
kerajaan Majapahit pada saat perang menaklukan kerajaan Fuadino di Palabatu.
Pedang tersebut sekarang diabadikan masyarakat setempat di kantor Desa Unu kecamatan Bulagi Peling Barat (dapat dilihat pada gambar terlampir).
Bukti bahwa yang lain yang dapat dipercaya
bahwa Benggawi (Banggai)
pernah bergabung dengan Kerajaan Majapahit setidaknya seperti yang tertulis
dalam Negarakertagama, kitab dengan tarikh tahun Saka 1287 atau 1365 M.
Dalam karya gubahan Mpu Prapanca
ini, tepatnya pada syair nomor 14 bait ke-5, tergurat rangkaian kata
beraksara Pallawa dimana
dicantumkan nama Benggawi sebagai salah satu wilayah yang berhasil disatukan
oleh Majapahit. Nukilan naskah kuno yang
ditulis dalam bahasa Sanskerta itu berbunyi sebagai berikut:
Ikang Saka Nusa-Nusa Mangkasara, Buntun, Benggawi, Kunir, Galiayo, Murang Ling, Salayah, Sumba, Solor, Munar, Muah, Tikang, I Wandleha, Athawa, Maloko, Wiwawunri Serani Timur Mukadi Ningagaku Nusantara.
Ikang Saka Nusa-Nusa Mangkasara, Buntun, Benggawi, Kunir, Galiayo, Murang Ling, Salayah, Sumba, Solor, Munar, Muah, Tikang, I Wandleha, Athawa, Maloko, Wiwawunri Serani Timur Mukadi Ningagaku Nusantara.
Penyebutan Benggawi dalam bahasa Sansekerta sebagai bahasa
tertua di nusantara menunjukan eksistensi kerajaan Benggawi pada saat itu yang
terkenal dengan letaknya yang strategis sebagai jalur perdagangan rempah-rempah
dan hasil olahan lainnya, telah berusia cukup lama setara dengan raja-raja
keberadaan raja-raja pada kerajaan tertua di pulau jawa, sumatera atau kalimantan. Akhir
dari kerajaan tertua Fuadino di Pulau Peling tidak terlepas dari kekuasaan
penyerangan dan penaklukan yang dilakukan kerajaan Majapahit, dan tidak lepas
dari letak strategis pulau Banggai sebagai kota perdagangan dan pintu gerbang
menuju kepulauan Maluku penghasil utama rempah-rempah yang sangat dibutuhkan
oleh umat manusia di dunia barat zaman dahulu kala.
2. Masa Penjajahan
kolonial Pertugis dan Belanda
Pada masa sebelum
penaklukan kolonial Pertugis dan Belanda, pada tiap-tiap pulau sudah
berdiri kerajaan-kerajaan kecil namun mereka tetap mengakui keberadaan kerajaan
Fuadino di Peling. Raja-raja kecil yang ada di tiap-tiap pulau diberikan
kekuasaan otonom karena bagaimanapun mereka adalah; utus, atau montolutusan
artinya satu dan bersaudara karena
berasal dari nenek moyang yang sama. Di Lolantang dikenal kerajaan Fuadino,
di Labobo dikenal kerajan Basilingana, di Bangkurung dikenal keajaan Basokoang. Bahkan
di Labobo, sebelum kehadiran Adi Soko (Adi Cokro) Ayahandanya Frins Mandapar
(Frins Van Vaar ) ada semacam prasasti
yang dikenal dengan prasasti Batugaja dan Batugoan, beserta topi
kerajaan yang biasa disebut dengan ulu-ulu, terbuat dari kuningan modelnya hampir
sama dengan topi romawi.[12]
Itulah sebabnya baik itu di Pulau Peling dikenal beberapa silsila, demikian
pula di Pulau Banggai (dahulu Tano Bolukan, Benggawi) diberikan kewenangan mengelola kerajaan
mereka sendiri, terkait dengan sistim, pemerintah otonom. Itulah sebabnya
terdapat nama raja-raja yang dapat dicatat
pada saat wawancara, di Peling Barat
Kerajaan Fuadino, Buko dan Bulagi, di Pulau Banggai, dan di
Pulau Labobo bangkurung.
Beberapa catatan mengenai silsila raja-raja sebelum masa Portugis
dan Belanda sebagai berikut:
1.
Raja yang memerintah di Tanobolukan dan
Kerajaan Banggai
a.
Raja yang memerintah sebelum tahun 1600 di Tanobolukan
(Pulau Banggai sekarang) adalah:
1)
Gahani-gahani
2)
Tahani-Tahani
3)
Adi Kalut Pakalut
4)
Adi Moute
5)
Adi lam al Palambal (Adi Ambar)
6)
Kokusu
7)
Sasa (mbumbu doi Patola)
8)
Sabol
9)
Adi Soko (mbumbo Doi Jawa)
10)
Abdul Jabbar (mbumbu Doi Pengkalalas Doi Tano
11)
Mpu Nolo (mbumbu Ooi Ndalangon)
12)
Ansyar (mbumbu Doi Palakangkang)
13)
Kadubo (Mbumbu Doi Tetelengan
14)
Kalukabulang I (mbumbu Doi Batang)
15)
Kalukubulang II (mbumbu Doi Taipa)
16)
Manila (Mbumbu Dinadat)
17)
Tojani (Mbumbu Aibinggi)
18)
Abu Kasim
(mbumbu Sinabebekon)
19)
Tosali (mbumbu doi Taipa)
20)
Syidada (bumbu Pangkola.
b.
Raja yang memerintah Kerajaan Banggai sesudah
tahun 1600
1)
Maulana Frins Mandapar (Sultan Said Uddin
Berkatsyah)
2)
Molen
3)
Paudagar
4)
Mulang
5)
Abdul Gani
6)
Abu Kasim
7)
Mbumbu Doi Mondonun (Mendono)
8)
Mbumbu Doi Padongko
9)
Mbumbu Doi Mandaria
10)
Atondeng
11)
Tadja
12)
Laota
13)
Agama
14)
Tatu Tonga
15)
Tomundo Soak
16)
Tomundo Nurdin
17)
Tomundo Abdiul Azis
18)
Tomundo Abdul Rahman
19)
Tomundo Awaluddin
20)
Tomundo Nurdin Daud
21)
Tomundo S. AmiruddinAmir.
2.
Peling (Peleng)
a.
Kerajaan Fuadino-----
ke kerajaan Buko :Syaoli, Imam Sya’baan, ----- Terus ke:
1)
Tonggol Doduung (pergi ke Tano
Bolukan/Banggai),
2)
Tonggol Kalapunge;
3)
Tonggol Sabbu,
4)
Tonggol Muoso;
5)
Tonggol Sapendeng
6)
Tonggol Sigaluan
7)
Tonggol Molibi
8)
Tonggol Nggamasi
9)
Dinggolio
10)
Tonggol Papakul
11)
Tonggol Mouso
b.
Kerajaan Fuadino----------
pecahan ke kerajaan Suit:
1)
Tonggol Boine
2)
Tonggol Basonggo
3)
Tonggol Saili
4)
Tonggol Tambalu
5)
Tonggol Kaluna
6)
Tonggol Nunungi
7)
Tonggol Tatube
8)
Tonggol Saling
9)
Tonggol Ndondou
10)
Tonggol Yuludau
11)
Tonggol Biinding
12)
Tonggol Tatube
13)
Tonggol Bulukama
14)
Tonggol Kupe
15)
Tonggol Sanuang
16)
Tonggol Salipene
17)
Tonggol Suni Salaba
18)
Tonggol Safar
19)
Tonggol Salingun Yaitan
20)
Tonggol Asidin
3.
Labobo Bangkurung
a.
Tonggol Kaupapi
b.
Tonggol Pandoait
c.
Tonggol Landoait
d.
Tonggol Tandoait
e.
Tonggol Bandean
f.
Tonggol Tandean
g.
Tonggol Bandekon
h.
Tonggol Labandekon
i.
Tonggol Landetau /pandekan
j.
Tonggol Sandean
k.
Tonggol Samilano
l.
Tonggol Maruku
m.
kupiing
n.
Tonggol?
o.
Tonggol Yapi
B. Pengaruh Islam
terhadap Kerajaan Banggai
Bertitik tolak dari teori masuknya Islam di Indonesia
yang telah dikemukakan terdahulu, mulai dari teori; (i) Teori Gujarat (ii) Teori
Parsia dan (iii) Teori Mekkah (Arab); sesungguhnya berdasar fakta
lapangan yang ada di beberapa pulau yang pada saat sebelum kerajaan Banggai
didirikan oleh Sultan Ternate bersama-sama dengan Belanda, teori yang tepat
adalah teori Mekka, dan apabila teori ini yang digunakan maka Islam masuk ke
kerajaan Banggai apakah itu di Pulau Peling, Pulau Tanobolukan (Banggai), Pulau
Labobo, dan Pulau Bangkurung sekitar abad ke VII – VIII M. langsung dari tanah
Arab.
Hal ini dilihat dari begitu kentalnya pengaruh nilai
ajaran Islam terhadap kehidupan masyarakat pada waktu itu seperti; menilik nama
dari kerajaan Fuadino yang berpusat di Palabatu tepatnya di Pulau Peling Barat
merupakan nama-nama yang aksaranya lebih atau sangat dekat dengan aksara Arab
yakni; huruf fa ( ف ), wau ( و ) dal ( ډ ) dan nun (
ن ). Demikian pula
nama-nama pemimpin mereka, meskipun ada nama-nama yang memang kental dengan
nama melayu, tetap ada yang bernuansa Arab seperti Imam Syaoli yang tertulis
pada dinding makam yang ada di desa Lolantang, maupun tulisan Imam Sya’ban pada
batu nisan peninggalan pemuka Islam di desa lolantang, tulisan aksara Arab pada
media yang oleh masyarakat dan pemegangnya mereka namakan dengan peta alam. (gambar/foto terlampir) yang
dijadikan oleh Sayyid Idrus sebagai media untuk memberikan pelajaran kepada
murid-murid yang datang berguru dari belahan nusantara. pemikiran cukup
mendasar adalah ekspedisi penaklukan yang dilakukan oleh kerajaan
Singosari dan Gajah Mada yang
beragama Hindu dan Budha, namun selama beberapa abad sejak kedatangan
mereka di Benggawi sampai pada datangnya kolonial Belanda, (kurang lebih 300 tahun)
tidak memberikan pengaruh budaya baik itu berbentuk bangunan atau perilaku dan
upacara-upacara tertentu seperti dilakukan dalam pemujaan atau persembahan
kepada yang Maha Kuasa yang sama dengan apa yang ada di Pulau Jawa; termasuk
tulisan-tulisan yang ada pada beberapa benda kuno yang pernah ditemukan oleh
penggali-penggali benda kuno di Pulau Peling dan Pulau Labobo.
Aspek lainnya yang menunjukan betapa besarnya pengaruh
Islam di kawasan kerajaan Banggai adalah bahwa pada saat pengangkatan atau
penunjukan Frins Mandapar sebagai raja oleh kesultanan Ternate; Islam telah
lama berkembang karena itu Frins Mandapar menjadikan agama Islam sebagai agama
keluarga raja, sehingga ada beberapa tokoh masyarakat menyatakan bahwa Frins
Mandapar adalah pembawa Islam atau pemeluk Islam pertama di Banggai, dan mulai
saat itu agama Islam terus mempengaruhi tata kelola pemerintahan dan aspek
kehidupan masyarakat lainnya, walaupun di setiap pulau atau kerajaan
kecil-kecil yang tidak berdaulat itu terjadi perbedaan penyebutan fungsi
publiknya.
Di Pulau Peling yakni kerajaan Fuadino yang kemudian
pecah ke dalam dua kerajaan kecil Buko dan Bulagi, kemudian disusul berdirinya Kerajaan Sisipan, Kerajaan
Liputomundo,KerajaanKadupadang, dan
Bongganan, terdapat 4 (empat) struktur masyarakat yakni; Tonggol, Qadi’,
Jimalah, dan rakyat umumnya. Tonggol jelas adalah penguasa atau raja; Qadi’
adalah pembantu raja berkaitan dengan hukum atau putusan sengketa yang tmbul
dalam masyarakat; Jiimala adalah kaum intelektual, yang memberikan bantuan
kepada qadi’ dan tonggol dalam memimpin berbagai kegiatan agama dan
kemasyarakatan, Jiimalaha tidak diangkat atau dikukuhkan oleh raja atau qadi’(penuasa);
tetapi lahir atas kepercayaan rakyat dan pengakuannya diberikan rakyat, karena
itu Jiimalaha sering diangap sebagai keluarga raja atau Qadi’ tetapi
sesunguhnya bukan, dia hadir sebagai pemimpin karena kharismanya, ilmunya atau sepak
terjangnya terpuji yang ditunjukan dalam masyarakat luas; sedangkan dimaksud
rakyat umumnya adalah orang-orang yang setia mengikuti Tonggol. Hal tersebut
berlaku pula pada beberapa daerah lainnya yakni di Pulau Labobo dan Bangkurung,
serta di daerah perluasan yaitu Loinang Barat (sekarang daerah Toli - Batui)dan
Loinang Timur (Luwuk Timur, Masama, Lamala, Balantak) serta Baloa’ (sekarang
Pagimana, Bunta, Bulan).
Khusus di Pulau Banggai dahulu sebelum berdirinya
kerajaan Banggai telah ada sistem pemerintahan, namun peristilahannya berbeda;
kalau raja disebut dengan Jogugu, kemudian pendampingnya dalam urusan
masyarakat namanya qadi’ termasuk mengurusi agama, jadi tugasnya mulai dari
urusan kerumah tangga sampai dengan menangani kasus-kasus dalam masyarakat.
Pada masa setelah kerajaan Banggai berdiri maka gelar raja menjadi Tomundo, dibawahnya, Basalo,
Kapitan, dan Distrik, sedangkan
keluarga mereka dinamai dengan bosaanyo.
Pengaruh Islam terhadap sistem pemerintahannya antara lain juga adalah yang
menjadi Tomundo, Basalo, Kapitan, Distrik beragama Islam dan dilantik dalam
satu upacara dengan menggunakan sumpah, walaupun sumpah (molabuk), tersebut diucapkan dengan bahasa banggai yang dikenal
dengan “Molabuk Loyos Doy Mampastaka”
(bunyi sumpah tersebut selengkapnya terlampir).
Hal lain lagi yang menunjukan betapa pengaruh Islam
sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan kerajaan Banggai adalah
keluarga Tomundo, Basalo, Kapitan,
Distrik harus belajar mengaji dengan menggunakan alQura’an pusaka yang disalin
dengan tangan secara turun temurun dari masa sebelum berdirinya kerajaan
Banggai, dan alquran Tulisan tangan yang digunakan keluarga Tomundo, Basalo,
Kapitan, Distrik mengaji masih ada, hanya saja sampilannya tidak utuh lagi.
(copy alquran tersebut terlampir)
Pengaruh Islam terhadap kerajaan Banggai, tampaknya bukan
saja karena telah lamanya Islam berada di wilayah ini, tetapi adapula pengaruh
luar khususnya dari krajaan Gowa yang memang sudah diperintah oleh raja
beragama Islam. Kerajaan Banggai dibawa pengaruh Gowa sejak tahun 1625-1667,
setelah Sultan Hasanuddin menyerah sesuai perjanjian Bongaya, dan sejak krajaan
Gowa menguasai Banggai kurang lebih 42 tahun banyak pemuka atau ahli
agama Islam yang datang ke Banggai, sehingga mulai saat itu tejalin ikatan
emosional yang antara orang-orang makassar dengan Banggai.
Pengaruh Islam terhadap pertumbuhan dan perkembangan kerajaan
Banggai sanga jelas, sebelum kerajaan Banggai berdiri, agama Islam telah
menyebar ke berbagai pulau yang menjadi kekuasaan kerajaan Banggai, dan pada
waktu sebelum kerajaan Banggai, baik di Pulau Peling maupun di Pulau Labobo dan
Bangkurung.
Di Pulau labobo Islam berkembang dan mempengaruhi
tatanan masyarakat setempat dan sampai saat ini secara turun temurun mereka
tetap melestarikan dan menumbuh suburkan nilai musyawarah dalam memutuskan
suatu pekerjaan. Pulau Labobo yang lebih dikenal dengan Mansalean, sejak zaman
dahulu dijadikan tempat untuk menyelesaikan sengketa kerajaan-kerajaan kecil
yang ada di Pulau Peling, atau Pulau Banggai, itulah karenanya tempat ini
dinamakan mansalean artinya tempat untuk bermusyawarah atau
berdiskusi guna memutuskan perkara yang dihadapi.
Pengaruh Islam terhadap perkembangan kerajaan Banggai
jauh sebelum penaklukan Singosari dan Majapahit, hal ini banyak diperoleh
informasi melalui penuturan beberapa anggota masyarakat yang peduli bahwa di
pulau Peling, Bolukan, Labobo dan Bangkurung, rakyatnya hidup aman dan damai,
mereka melakuna kehidupan sebagai Negara maritime yang kuat dank arena semuanya
tercukupi kehidupannya oleh kekayaan alam sekitarnya, mereka tidak memiliki
semangat untuk mengintervensi wilayah lain yang ada sekitarnya, mereka mempunyi
satu kepercayaan yang dibawa orang Arab dan Cina ke sana, di Peling dikenal
Imam Syaoli Abu Da’i, Imam Sya’baan, terakhir Sayyid Idrus. Di Pulau Banggai
ada Imam Sya’baan, di Labobo di kenal sebutan atau gelar Leeng sebagai pemimpin
masyarakat. Orang-orang Arab dan Cina itu dipercaya
oleh raja untuk mengatur tata hukum kemasyarakatan dipercayakan kepada saudagar
Arab dan Cina dan dilihat dari letak pekuburan mereka selalu saja berdampingan,
ini menandakan bahwa sudah lama keturunan Arab dan cina datang ke Banggai dengan raja-rajasangat dekat hubungannya.
Satu hal yang menarik adalah bahwasanya orang Arab dan
Cina yang membawa Islam ke Banggai dalam hal ini di pulau peling tepat di
daerah Peling Barat (sekarang Kecamatan Buko, Kecamatan Bulagi) terdapat lokasi
pekuburan suku bangsa; Arab, Cina, Turki,
India, dan Gujarat, namun karena letaknya dipegunungan dengan ketinggian
kurang lebih seratus sampai empat ratus meter di atas pemukaan laut maka
kondisinya menjadi hutan, dan tidak terurus, yang tampak hanya susunan-susunan
batu kapur dengan tinggi tiga sampai tujuh meter berjejer, lebar dua meter memanjang berbentuk segi empat di
tengah-tengahnya terdapat kuburan dengan batu nisan yang tidak terurus lagi;
ada yang masih utuh berdiri batu nisannya, ada yang suda rebah. Susunan satu
lokasi kuburan selalu membentuk model shaf dalam satu kompleks ada dua sampai duabelas
kuburan satu tempat, tiap tempat pasti satu kubur yang tersendiri yang lainnya
menempat shaf yang pertama dan kedua.
(Sketsa gambar terlampir). Pekuburan-pekuburan tersebut membentang dari buko kecamatan Buko sampai
Bulagi dan tampak sekali sebagai pekuburan muslim karena batu nisan yang masih
tegak ada yang satu batu nisannya saja, ada yang dua.
Wilayah pekuburan muslim ini sekarang dari beberapa puluh
tahun lalu sejak kolonial gencar menjalankan missi Kristiani telah berubah
peta, umat muslim sedikit sekali; sebagai gambarannya Kecamatan Buko Selatan
sekarang, dari dua belas desa, berpenduduk muslim hanya dua desa yakni desa
Buko dan Kambani, yang muslim; selebihnya yakni sepuluh desa mayoritas
Kristiani. Di kecamatan Buko ada empat
desa yang mayoritas muslim dari dua
belas desa yang ada. Desa yang mayoritas penduduknya muslim adalah desa:
Leme-leme bungin, Tataba, Labasiano, Lalong di Kecamatan Bulagi Selatan yang
muslim hanya desa Balalon, dan Bone Puso.
Melihat peninggalan-peninggalan yang ada dengan kenyataan
masyarakat yang ada sekarang sangatlah bertolak belakang sebab pekuburan yang
banyak bercirikan pekuburan Islam tetapi masyarakatnya sedikit sekali yang
muslim, bahkan ada bebeapa desa yang sama sekali tidak ada orang Islamnya,
seperti desa Lolantang lama yaitu desa di mana pemuka-pemuka Islam pertama kali
masuk dan tinggal di Lolantang, sekarang tidak ada orang Islamnya, bahkan satu
tempat yang dipercaya masyarakat tempat pertama mesjid berdiri karena setiap
bulan ramadhan setiap masuk waktu maghrib dan shubuh terdengar suara adzan
sekarangg sudah menjadi kandang ternak hewan Babi. Kondisi di atas terjadi
karena di sini telah beberapa kali terjadi penyerangan besar-besaran mulai dari
zaman kerajaan Singosari, Majapahait,
dan kolonial Belanda.
Pada zaman kolonial Belanda, terjadi suatu perang yang
begitu dahsyat, sehingga bantak tentara Belanda dan Tidore (Tobelo) yang meninggal, sedangkan raja atau pemimpin dan pengawalnya tidak
bisa dikalahkan; akhirnya Belanda
menggunakan taktik perang
melalui serangan racun bekerjasama dengan orang dalam sendiri, caranya adalah :
memberi racun pada setiap sumber mata air yang dikonsumsi oleh raja dan rakyat Fuadino, sehingga akhirnya semua orang yang meminum air dari sumber mata
air yang ada di Peling Barat yang
telah diracuni banyak meninggal, kecuali
sebagian orang-orang yang melarikan diri ke beberapa kerajaan di sebelah
Barat, seperti; Kerajaan Tobungko, Loinang Barat dan Loinang Timur. Konon kabarnya di pantai-pantai yang ada di pulau
Peling Barat sangat banyak tengkorak manusia berserakan, ada yang mengatakan
itu tengkorak tentara Tobelo (Bala Tentara Kerajaan Ternate) ada yang
mengatakan itu adalah tengkorak manusia rakyat dan pemimpin kerajaan Fuadino
yang mati (meninggal) setelah meminum air yang telah di racuni oleh bala
tentara Belanda bersama Tobelo, di bantu orang-orang yang berkhianat kepada bangsanya sendiri.
Setelah peristiwa
itu Kerajaan Fuadino (Buko-Bulagi) menjadi
sangat lemah dan Belanda mulai berkuasa menjalankan missinya dengan leluasa.
Bagi penduduk yang mengikuti agama yang dianut Belanda dibiarkan menjalankan
aktifitas sehari-hari, tetapi bagi masyarakat yang bandel tidak mau mengikuti
kemauan Belanda termasuk agamanya, mereka disiksa, ditangkapi kemudian dinaikan
ke atas kapal belanda dan dibuang entah kemana dan mereka tidak pernah kembali
kekampung halaman hidup atau mati, aktifitas Belanda ini berjalan sejak
penaklukan abad 16 sampai Belanda meninggalkan nusantara.
Meskipun telah terjadi peristiwa masa lalu seperti di
atas, sikap dan perilaku yang telah diajarkan nenek moyangnya tetap dipegang
teguh oleh masyarakat setempat dan perilaku itu sangat relevan dengan nilai
ajaran Islam misalnya saja dalam hal apabila terjadi peritiwa kematian dalam
satu keuarga, mereka senantiasa melibatkan petugas pembagi harta dengan tujuan
agar tidak terjadi kekacauan dalam masyarakat, pembagian mereka terdiri dari
penerima warisan langsung, penerima warisan untuk umum dan penerima warisan
untuk orang yang mengurus warisan itu.
C. Kerajaan Banggai di masa
Kekuasaan Ternate
Pada
masa Kerajaan Banggai di bawa kekuasaan Ternater dapat dikemukakan bahwa
wilayahnya sudah mencakup Banggai kepulauan dan daratan. Di daratan memanjang
sepanjang pantai wilayah pantai selatan dan pantai timur Pulau Sulawesi; di
sebelah timur terletak daerah Balante (sekarang Balantak), di selatan terdapat
daerah Batue (sekarang Batui) atau Mondono.
Kedua
daerah itu tampaknya memiliki penduduk petani yang patuh dan damai tetapi yang
sebagian besar masuk ke pedalaman, menarik diri dari pantai karena takut kepada
perompak. Mereka menanam padi, jagung, nila, katun dan tebu, menenun baju dan
membuat perahu, mereka lebih banyak menggunakan sendiri daripada menjualnya karena
kerawanan perairan di sana.[13]
Pertanian
padi setiap tahun menghasilkan 400-500 ton untuk diekspor. Tanaman sagu di
beberapa daerah berlimpah. Banyak dipelihara masyrakat kerbau, sapi, sapi liar
dan kambingliar, hanya kuda tidak ada. Penduduk tinggal di kampung-kampung
teratur yang rumahnya, dibangun tinggi di atas tonggak, mampu menampung
sejumlah keluarga. Tuan van der Hart memperkirakan
jumlah penduduk Balante dan Mondono sebanyak kurang lebih 40-50 ribu jiwa. Tuan Bosscher dan Mattijsen yang mengunjungi negori Mondono menafsirkan 8 negori di daerah atau distrik Mondono
semuanya, yang pada akhir tahun 1852 jumlah seluruh penduduknya mencapai 9843
jiwa. Di antara negori-negori dengan penduduk berjumlah 3000 jiwa di Loinang barat; dan sekitar 4000 jiwa di Loinang timur. Mondono merupakan negeri yang dianggap sebagai
tumbuh berkembang saat itu berpenduduk 575 jiwa, Batui dengan 606 jiwa, Tankean
(Tangkian) 234 jiwa, Kintom 306 jiwa, Lantio
451 jiwa, dan Look (Luwuk) 561 jiwa.[14]
Di
wilayah ini tekanan kekuasaan Ternate sangat terasa, di Mondono ada ditempatkan
pejabat Kesultanan Ternate dengan pangkat sekretaris. Dia tunduk kepada utusan
Banggai. Disamping kerajaan Bangai ada kerajaan yang lebih besdar wilayahnya
yaitu kerajaan Tombuku. Kerajaan ini mencakup sebagian besar pantai timur
Sulawesi, yang meliputi semenanjung paling timur laut sampai ke daerah Batui
(Mondono) dan di semenanjung tenggara
sampai semenanjung Laiwui (sekarang wilayahAmpana Kepulauan)
Tombuku
sebagai satu kerajaan seperti halnya Banggai memberontak terhadap kekuasaan
Ternate. Untuk mengatasi penentangan kerajaan-kerajaan yang ada diwilayah
kekuasaanny, kerajaan ternate menggunakan jasa bajak laut yang dikenal dengan pelayaran
hongi; tujuannya adalah untuk memulihkan kekuasaan Sultan.
Pemberontakan
Tombuku terhadap Ternate pada tahun 1842 tidak bisa dipadamkan, kecuali setelah
armada kora-kora dikirim ke sana dan mengorbankan 500 orang Ternate. Sejak ini jarang ada ketenangan lagi. Raja
Tombuku yang dipilih oleh para bangsawan Tombuku tetapi diangkat oleh Sultan
Ternate tunduk kepada sultan seperti halnya raja Banggai, dan Sultan Ternate
juga memiliki utusan dan para pejabat, perwira serta serdadu lainnya yang
seperti di tempat lain hanya saja mereka yang diutus lebih banyak menindas dan
memeras penduduk tidak seperti yang dikehendaki Sultan. Raja Tombuku yang
menentang bernama Kaicil Baba.
Tombuku
dibagi dalam empat distrik yaitu Tombuku, Toepeh, Bahu Solo dan Tofi yang
seluruhnya pada akhir tahun 1852 dihuni oleh 15.030 jiwa penduduk, atau tanpa
termasuk pulau Mauni, sebanyak 13411 jiwa, suatu jumlah yang sangat kecil
ketika orang juga memperhatikan bahwa Tombuku mencakup luas dua kali wilayah
Minahasa. Tombuku utara, yang daerahnya berbatasan dengan Bolang Mongondow
tampaknya tidak berpenghuni. Distrik Toepef dan Toffi terletak di dekat teluk
Tomori, Tombuku lebih ke selatan dan distrik Bahu Solo adalah yang paling
selatan.
Distrik
Tombuku, di samping daerah pantainya yang kaya yaitu dari Banggai sampai tanjung Tapu-uluno tempat negori Faya berada
pada saat itu terdiri atas 18 negori dengan 9687 penduduk, yaitu Lanona atau
ibukota Tombuku dengan 1438 jiwa, Woso dengan 200 penduduk, Kolono dengan 418
jiwa, Tanda Olio dengan 83 jiwa, Tondo
dengan 76 jiwa, Faya dengan 74 jiwa, Faya dengan 126 jiwa, Beteh-Beteh
berpenduduk 28 jiwa, Ambunu dengan 30 jiwa, Bahu Eya dengan 115 jiwa, Tafaru berpenduduk 518 jiwa, Talabahu dengan
634 jiwa, Tokondidi berpenduduk 170 jiwa, Topogaru dengan 379 jiwa, Tokonuwa
berpenduduk 263 jiwa, Tonkala-Teronga-Bahusai berpenduduk 56 jiwa, seluruhnya
5060 jiwa.
Pusat
negori Tombuku pada tahun ini dipindahkan dari Lanona ke Sakita, lebih ke
selatan di pantai timur. Distrik Bahusolo mencakup bagian pantai selatan
kerajaan itu, terbentang dari tanjung Tapu Uluno sampai ke pulau Lambiki
(Labenke), tempat Lawui dimulai dan pada tahun 1852 hanya memiliki 5 negori di
dataran pantai dengan 423 orang penduduknya, yaitu Matarape (74 jiwa), Bahuinso
(53 jiwa), Bahu Solo (136 jiwa), Tomofi (57 jiwa) dan Bilalo (103 jiwa). Yang
termasuk distrik ini adalah pulau Manui, yang terletak di sebelah timur
kerajaan Lawui, beberapa mil dari daratan. Pulau ini memiliki lebih banyak
penduduk daripada distrik Bahu Solo yaitu 1619 jiwa, yang tinggal di 9 negori
yaitu Manui (304 jiwa), Tofoni (373 jiwa), Bulele (74 jiwa), Tanah Eteh(84
jiwa), Labota (47 jiwa), Tulang Batu (372 jiwa), Turete (125 jiwa), Minta Sala
(180 jiwa), dan Falantea (60 jiwa).
Orang-orang
Manui membuat perahu dan paduakang
yang baik, yang digunakan untuk sumber kehidupannya. Distrik To Epeh terletak
di sebelah barat Bahu Solo, di sebelah barat dan selatan dibatasi oleh Kerajaan
Luwu dan di sebelah utara oleh distrik Tombuku dan Kerajaan Mori, dan pada
tahun 1852 memiliki 10 negori dengan 2186 jiwa, yaitu Torouta (187 jiwa),
Padabahu (204 jiwa), Tafaro (236 jiwa), Tarongtongdua (160 jiwa), Masara (160
jiwa), Topodui (386 jiwa), Tiferano (413 jiwa), Tifijao (140 jiwa), Fatupali
(169 jiwa) dan Topodidi (131 penduduk). Distrik Tofi terletak di dekat teluk
Tomori, di sebelah utara bergabung dengan distrik Tombuku dan di sebelah
selatan dan timur dengan distrik Tomori. Pada tahun 1852 hanya memiliki 3
negori dengan 1115 jiwa, yaitu Tofi (411 jiwa), Tambilalan (480 jiwa) dan
Tapada (224 jiwa).
Orang
Tomori sejak bertahun-tahun tinggal di distrik ini. Sampai sekarang kekuasaan
raja Tombuku yang didukung oleh Sultan Ternate tidak cukup memadai untuk
merampas Tofi dari orang-orang Tomori. Daerah To Epeh juga menderita akibat
serangan orang-orang Tomori (269), yang pada tahun 1853 menghancurkan lebih
banyak negori dan membawa pergi penduduknya. Tanpa bantuan kita di sini, Sultan
Ternate juga tidak mampu mempertahankan kekuasaannya. Sementara saya menulis artikel
ini, tanggapan diberikan pada rencana yang telah disusun selama beberapa tahun
untuk mengirimkan suatu ekspedisi militer ke Bungku, dengan tujuan
mempertahankan kekuasaan Tombuku terhadap orang-orang Tomori.
Negori
Tombuku berada di bawah sangaji Tombuku
tetapi apabila wilayah negori itu luas, seorang pejabat Ternate akan membantu
yang tunduk kepada raja mudanya yang ditempatkan di daerah itu. Jumlah penduduk
Tombuku di atas (15030 jiwa) sama sekali tidak mengesankan besarnya jumlah
penduduk. Dari pedalaman bagian utara Tombuku, jumlah penduduk tidak diketahui
dan tidak bisa ditafsirkan. Selain itu pulau Boboni juga dihuni yang tidak saya
ketahui jumlah pastinya. Jumlah mereka diduga sangat banyak karena dilaporkan
bahwa pulau itu memiliki kekayaan tanaman dan buah-buahan, kerbau dan kambing
sementara selanjutnya beras merah dan hitam, rotan dan kelapa juga disetorkan.
Juga pulau Lenui (tetapi yang tidak saya sebutkan pada peta – mungkin seperti
Manui), menurut Tuan Bosscher dihuni dan menyetorkan hasil-hasil yang sama
seperti Boboni.
Penduduk
Tombuku di pantai sebagian memeluk Islam, penduduk di pedalaman kebanyakan
masih kafir. Mereka tinggal di rumah yang dibangun di atas tonggak tinggi. Di
sebagian besar daerah Tombuku, padi ditanam. Juga orang menemukan jagung,
katun, tembakau, berbagai ubi, sagu, kelapa dan pisang. Besi berlimpah ruah di
distrik To Eppeh dan di kerajaan Luwu yang berbatasan. Di antara orang-orang
Tombuku terdapat banyak pandai besi. Orang Bajo menangkap ikan di celah-celah
karang kepulauan yang terletak di dekat pantai selatan Tombuku. Untuk setiap
perahu yang datang mencari ikan, pajak f 2 dipungut. Tentang sejarah alam
pantai timur Sulawesi ini hanya sedikit sekali yang diketahui. Tentang kondisi
geologi dan mineralogy juga tidak banyak yang diketahui.
Flora
tidak banyak diselidiki dan mengenai fauna hanya diketahui (selain hewan jinak,
kerbau, babi, rusa) terdapat hewan menyusui yang juga muncul di tempat lain
Sulawesi seperti tonggalong atau timbu, anua atau anonang, babi rusa, dan
selanjutnya kera, babi liar, tikus dan sebagainya yang jenis-jenisnya tidak
pernah dimuat dalam laporan umum. Ular sawah dan buaya di Tombuku banyak
ditemukan. Pembiakan ikan di pantai timur Sulawesi hampir tidak dikenal dan
juga hewan lunak. Tentang informasi yang
menyangkut daerah pantai timur Sulawesi, saya harus menunjuk pada karya Tuan
van der Hart, Mattijsen dan Bosscher.
Dalam
laporan Tuan Bosscher dan Maatijsen, kondisi yang memprihatinkan atas daerah
dan penduduk Tombuku dianggap berasal dari kesalahan memerintah oleh raja, dan
aktivitas perompakan laut Mangindanau dan Tobelo. Baik para bangsawan Tombuku maupun Ternate
terbukti memiliki hubungan dengan para perompak ini. Utusan bernama Abdul
Rahman telah membuat hubungan persahabatan dengan seorang perompak
terkenal Robodoi yang kemudian tunduk
kepada kita dan memberikan persembunyian bagi istri dan anak-anaknya di Banggai
sementara dia melakukan perompakan di teluk Tomini. Sejak perairan Tombuku
dijelajahi oleh kapal-kapal perang uap, para perompak dari sana diusir, dan e
dibawa ke Ternate sebagai tawanan, raja Tombuku yang baru diangkat yaitu Kaicil
Baba dikukuhkan pada kedudukannya. Kondisi Tombuku dengan ini menjadi jauh
lebih baik, tetapi serangan orang-orang Tomori telah membuat sebagian penduduk
resah dan ketakutan.
Keadaan
Kerajaan Banggai dan Tombuku pada zaman kerajaan Ternate dan Belanda berkaitan
erat dengan pembentukan Karesidenan Ternate, pemerintahan dijalankan oleh
seorang Residen sementara Sultan Ternate, Tidore dan Bacan menjalankan
kekuasaan atas kerajaan mereka. Traktat
yang dibuat dengan mereka pada tanggal 27 Mei 1814 dan 27 September 1826
menunjukkan tindakan raja-raja yang harus tunduk pada kekuasaan Belanda.
Intervensi pemerintah Belanda dalam urusan kerajaannya hanya terbatas pada
beberapa hal, seperti persetujuan atas vonis kasus pidana dan pengangkatan para
kepala di berbagai daerah taklukkan kerajaannya.[15]
Ketika
ketidakpatuhan dan pembangkangan rakyat disebabkan pada tindakan serius,
pemerintah Belanda yang tidak sungguh-sungguh memberikan bantuan. Tetapi yang
lebih menyolok adalah bahwa hanya kerajaan Ternate yang membutuhkan dan meminta
bantuan Belanda. misalnya pada tahun 1848 penduduk pulau Makian mengobarkan
perlawanan kepada Sultan dan tidak bersedia mengakui kekuasaan para kepala yang
diangkat oleh residen. Setelah peringatan sia-sia, dengan kapal perang dan
sejumlah besar pasukan bersenjata memaksa penduduk tunduk, akhirnya beberapa saat, ketenangan
dipulihkan di sana.
Di
pantai timur Sulawesi sengketa serius sering terjadi di antara penduduk Tombuku
dan Tomori. Pada tahun 1853 para kepala adat Tombuku menyampaikan keluhan
serius kepada asisten residen Bosscher pada kesempatan kunjungannya ke sana,
tentang tindak kekerasan orang-orang Tomori, yang menghancurkan berbagai negori
di distrik To Eppe dan membawa pergi penduduknya. Asisten Residen Bosscher yang
ingin menyelesaikan sengketa itu mencoba untuk mengundang para kepala adat
Tomori agar berkumpul di Tombuku, tetapi tidak seorangpun yang diserahi sebagai
utusan datang ke sana, kecuali dengan pengawalan orang-orang bersenjata yang
diperlukan sebagai penunjuk jalan. Pemerintah yang mengetahui persoalan ini
memberikan wewenang untuk mengirimkan sebuah kapal perang yang diperkuat dengan
pasukan garnisun Ternate menuju teluk Tomori, dengan tujuan mengirimkan seorang
pejabat ke sana untuk menyelesaikan sengketa antara Tomori dan Tombuku, melalui
kesepakatan dengan perwira pemimpin kapal perang itu dan sesuai instruksi yang
diberikan oleh Gubernur Maluku kepadanya, lebih baik lewat jalur perundingan
daripada dengan kekerasan untuk mengambil keputusan dan mengakhiri permusuhan
yang ada di antara keduanya. Tetapi semua ini harus dilakukan dengan pengertian
bahwa kekuatan pasukan tidak melebihi dari 1/3 jumlah kesatuan yang ada. Oleh
penguasa Ternate kekhawatiran dilontarkan tentang tidak memadainya kesatuan
yang tersedia dengan jumlah tidak lebih dari 55 orang, dan menunjuk pada
kesulitan yang ditimbulkan oleh kondisi lahan bagi ekspedisi di musim hujan.
Untuk itu ekspedisi tidak dilakukan sementara sengketa masih terus berlangsung
dan tidak ada keputusan yang bisa diambil.
Di kepulauan
Banggai raja menjalankan kekuasaan; raja ini adalah seorang pinjaman dari
pemerintah Belanda, atau pinjaman dari Sultan. Traktat yang dibuat dengannya
menunjukkan kewajiban-kewajibannya. Terutama perjanjian itu memuat pengakuan
terhadap kekuasaan pemerintah Belanda, janji untuk memerintah dengan baik,
mencegah perampokan, memajukan perdagangan dan pertanian, mencegah perdagangan
budak, membantu awak kapal yang kandas, dan sebagainya. Raja dalam
pemerintahannya dibantu oleh seorang jogugu,
kapitan laut dan beberapa bangsawan rendahan. Atas dasar yang sama
kekuasaan di kerajaan Tombuku juga dijalankan oleh seorang raja. Suatu sketsa
tentang Kerajaan Banggai dan Bungku dibuat dalam TBG, tahun I, jilid VII dan VIII. [16]
Perlawanan di
daerah Banggai dan Bungku dipadamkan oleh tentara Sultan Ternate sendiri. Pada
tahun 1828 raja Banggai mengusir utusan Sultan Ternate dan melarikan diri ke
desa Mendono. Tetapi dia tidak diikuti oleh pengawalnya. Bujukan dari
orang-orang Bugis terutama Daeng Mangajai membuat dia melakukan perlawanan.
Raja kemudian ditangkap dan dikirim ke Ternate. Pemberontakan terakhir di
Banggai terjadi pada tahun 1846; tanpa banyak perlawanan, ketenangan dipulihkan
oleh Sultan.
Pada
tahun 1848 penduduk Makian juga
memberontak terhadap kekuasaan Sultan; menolak mengakui kekuasaan para
bangsawan rendahan dan melakukan kerja yang dituntut. Sejumlah pasukan Sultan
yang dibantu oleh anggota pertahanan sipil dan kapal perang Zwaluw diperlukan untuk memulihkan
ketertiban dan menangkap para terdakwa yang berhasil sesuai dengan keinginan.
Pada tahun 1855 bantuan dari kapal uap kerajaan Vesuvius diminta untuk menghukum negori Tobelo yang menjadi tempat
persembunyian kepala perompak Laba. Pada tahun 1856 ekspedisi kapal perang Vesuvius dan Celebes, di bawah komando Letnan laut klas-1 J.A. Uhlenbeck dan
J.E. de Man dengan 150 tentara yang diperkuat oleh 700 orang Alfur untuk
memperkuat hak-hak Sultan mendarat di pantai timur Sulawesi, di mana penduduk
Tomori yang merdeka berulang kali melancarkan serangan terhadap Kerajaan
Tombuku.[17]
Kapal
Hindia Belanda Blora yang mengangkut
perbekalan dan perlengkapan yang diperlukan bagi ekspedisi berangkat dari Ambon menuju Tombuku tetapi
terdampar di batuan karang teluk Banggai. Gubernur Kepulauan Maluku C.F.
Goldman memimpin sendiri ekspedisi ini. Komando militer diserahkan kepada Mayor
infanteri E.C.F. Happe. Di tempat ini orang-orang Tomori melancarkan serangan,
yaitu di sepanjang aliran sungai Tompira. Perundingan diusahakan dengan para makole, pemimpin Tomori. Kelompok pimpinan pribumi yang diserahi
dengan tugas itu disambut dengan tembakan gencar oleh musuh dan tidak bisa
menjalin hubungan yang diharapkan dengan mereka. Melalui hutan Tompira sebuah
jalan setapak kecil diikuti, yang ditanami dengan ranjau. Di tempat itu
rombongan bergerak sejauh 11 kilometer tanpa menemui sesuatu sampai sungai
Marokopo. Dari Marokopo beberapa orang Alfur berhasil menjangkau kampung
Usondao, benteng pertama yang terletak beberapa paal di bukit di lahan terbuka
dan di sana melihat banyak orang.
Kapten
infanteri van Oyen menduduki posisi
di Tompira dan membangun kubu pertahanan di sana, menempatkan suatu kesatuan
militer sebanyak 150 orang di bawah Letnan
Henner, di samping Letnan von Dentz
dan Letnan Laut de Stuers untuk
mengukur sungai dan memetakannya. Di sepanjang sungai itu jalan dibuka selebar
2 m dengan panjang 9 kilometer . Pada tanggal 20 Juni Kapten van Oyen dikirim ke
Usondao dengan 80 serdadu di bawah perintah Letnan van Thiel dan Henner, dan
250 orang Alfur di bawah perintah Letnan von Dentsch. Pada pukul 5 sore Usondao
dicapai. Pertahanan ini terdiri atas timbunan batuan karang dan dinding tegak
lurus hampir 1100 kaki tingginya, yang di puncaknya terdapat sejumlah rumah.
Orang-orang pribumi yang dikirim kembali dengan berita bahwa musuh tidak mau
berunding dan akan bertahan sampai tetes darah terakhir. Setelah melakukan
beberapa gerakan, pada tanggal 22 Juni pukul 7 sampai 9 pagi Usondao ditembaki
dengan mortar tangan di bawah pimpinan Letnan Jansen tanpa banyak yang
dilakukan. Benteng itu diserang dari dua sisi di bawah Letnan van Thiell, de
Graaff dan Henner dengan tujuan menguasai jalan keluar di bawah, dan mendaki
benteng itu. Pasukan kemudian diperkuat oleh Letnan Musch dengan tembakan
meriam dan Letnan laut de Stuers dengan kesatuan orang pribumi. Posisi itu
tampaknya tidak bisa dipertahankan. Sampai pukul 4 sore serangan berlangsung.
Seorang serdadu terbunuh dan beberapa orang terluka. Saat itu tindakan
dirancang untuk melempari benteng dengan granat dan mengepung dengan ketat
tempat itu, tetapi sebuah bendera putih segera dikibarkan dari Usondao.
Menjelang petang turun, bendera Belanda sudah dikibarkan di benteng tersebut. Sangaji Tomori bersama enam orang
panglimanya turun, semuanya tidak bersenjata dan menawarkan bentuk penyerahan
yang terdiri atas seekor ayam putih, sebuah telor ayam dan sebuah kotak sirih
dari tembaga yang dibungkus dengan sebuah kain putih. Mereka menyampaikan bahwa
Usondao merupakan benteng terkuat yang dianggap tidak mungkin tembus.
Orang-orang Tomori melarikan diri ke Pohontana dan Fofonsia, Fofontuku dan
Patasea dikosongkan. Usondao dipertahankan oleh 60 orang dari Tamaiki dan
Fofatu; mereka menderita empat orang terbunuh. Anak-anak dan kaum wanita dibawa
keluar Tomori karena takut pada pembalasan makole
atas penyerahan Usondao.[18]
Pada
tahun 1859 terbukti bahwa dalam suatu kunjungan residen Ternate ke Tomori,
ekspedisi ini menciptakan kesan bahwa Sultan tidak mampu mengatasi pembontakan tanpa
bantuan pemerintah Belanda, sehingga setelah Sultan meninggal sering terjadi
perlawan terhadap kerajaan Ternate, suasana menjadi tidak aman dan rakyat
selalu meminta pemerintah untuk membantu kekuasaan penguasa pribumi yang lemah.
Peristiwa yang
dikemukakan atas menunjukan bahwa penaklukan kerajaan Ternate terhadap kerajaan
Banggai dan Tombuku, mendatangkan kekacauan saja karena sultan Ternate dalam mengatasi
perlawanan penduduk menggunakan bajak laut (Hongi) dan kalau tidak bias maka,
meminta bantuan tentara Belanda, akhirnya Belnda yang berkuasa dan menjajah
daerah taklukan Ternate.
Mengenai kerajaan
Banggai dan taklukannya di daerah di beberapa kepulauan, secara keseluruhan tidak diketahui batas wilayahnya menurut Bosscher dan Mathijssen, kepulauan ini terletak antara 1o dan 2o
Lintang Selatan dan 122o52’ dan 124o26’ Bujur Timur,
tetapi pada peta sketsa terlampir letak pulau-pulau terluar lebih ke barat dan
selatan, sehingga suatu pengukuran atas pulau-pulau ini sangat diperlukan.
Sketsa ini juga dilampirkan untuk memberikan gambaran tentang daerah kekuasaan
Banggai, dan juga sejauh mungkin menunjukkan di mana kampung-kampung terpenting
berada.
Empat
pulau terpenting adalah Banggai, Labobo, Bangkulu dan Peleng (Peleng di
kalangan rakyat tidak disebut sebagai Gape seperti yang disebut dalam De Hollander, II) Para pedagang
menyebutnya Pulau Tengah karena berada di antara Banggai dan daratan Sulawesi.
Nama itu mungkin merujuk pada Duitanga yang berasal dari Riedel), semuanya
berpenghuni dan dikelilingi oleh sejumlah pulau kecil di mana penduduknya pergi
mencari ikan dan membakar garam, atau beberapa membuka kebun kecil sementara
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Pulau-pulau
yang termasuk Banggai adalah Baluka, Bakakang, Togong Akat (Togong di daerah
ini berarti pulau. Orang pribumi menulisnya togon
tetapi dengan huruf Melayu), Togong Totolu, Sausar, Togong Potil, Taulang,
Sauli, Pandoboboi, Molilis, Kambungan, Tibalat, Pufat, Tatapon, Buong-Buong, Timpaus
dan Masuni (melalui perbandingan nama-nama antara Bosscher-Mathiijssen dan para
perwira lainnya yang disebutkan oleh De
Hollander dalam sebuah catatan, yang terakhir adalah yang paling dekat.
Di
bawah Labobo terdapat pulau Malambulang atau Paidal, Saibumanuk, Tombak Pauno
dan Pulo Tombak. Yang termasuk Bangkulu adalah pulau-pulau Lamunan, Linsawak,
Togong Pilogot, Masibubu,Totoubek, Tambatun, Teluk Bulu, Sagu, Mandibolu,
Tonuan, dan Togong Bajoko. Sementara untuk Seasea di sebelah barat Peleng termasuk
pulau Dilepaan, Togong Badaang, Susun
Puong dan Mengkule.
Thiele
menyebutkan bahwa kepulauan Banggai pada tahun 1532 dikunjungi oleh Urdanete
dan raja tinggal di pulau Bonggaya tetapi juga menguasai pulau Peleng dan
pulau-pulau lainnya. Valentijn menguraikan panjang lebar sebagai berikut:”Pulau
Banggai mungkin dengan pulau-pulau lain yang terletak di dekatnya, pada tahun
1580 ditaklukkan oleh raja Babu. Dalam pemberontakan Saidi raja ini dijatuhkan,
tetapi pada tahun 1655 oleh Tuan de Vlamming direbut kembali seperti yang akan
kita lihat lebih lanjut di bawah ini.
Di
pulau Banggai pada tahun 1680 Kalkebolang dipilih sebagai raja oleh Vaandrig Haak atas nama Kompeni dan raja
Ternate (melalui kekuasaan kita) dan dilantik di sana untuk menggantikan raja
Jangkal”. Pada tahun 1655 penguasa
Banggai adalah orang Makasar, bergelar jogugu Duwani dan laksamana Colofino
(yang sejak bulan Oktober memimpin armada raja itu) kembali menempatkan daerah
tersebut di bawah Ternate. Juga perdana menteri Mandarsyah, Duwani, tidak bisa
mengikuti rajanya karena angin kencang dan gelombang, mendarat di Banggai di
mana dia menghancurkan semua yang ada dan mengusir penduduknya. Selanjutnya dia
memutuskan untuk pergi menghadap rajanya sejauh mampu dilakukan. Tetapi karena
penyakit dan cuaca buruk banyak anak buahnya yang mati, diapun meninggal di
sana”.
Pada
tahun melalui perjanjian kepulauan Banggai pada tanggal 26 Januari 1689 dan 9
November 1741 yakni selama pemerintahan
raja Kaicil Kubu Kubulang dan Kalsum Subaltern Banggai di bawah kekuasaan
Kompeni; sementara pada tahun 1773 dengan tampilnya Kaicil Bandaria kontrak
diperbaharui. Pada tahun 1782 diam-diam
Bandaria berangkat ke Batavia di mana Kompeni mengirimkannya kembali ke Ternate
(yang dicapainya pada tahun 1784), dengan
perintah untuk mengangkatnya kembali yang juga disertai
dengan pembuatan kontrak baru pada tanggal 5 Maret 1796. Kontrak terakhir dibuat pada tanggal 5 April
1808 dan diberlakukan juga bagi para penggantinya.
Baru setelah
pelarian Raja Agama pada tahun 1847, pada tanggal 24 Oktober 1852 kontrak baru
dibuat dengan raja Kaicil Tatutonga yang naik tahta dan disetujui oleh
keputusan pemerintah tanggal 2 Oktober 1853. . Raja
ini wafat pada tahun 1856 dan pada tanggal 23 Desember 1858 sebagai
penggantinya diangkat Kaicil Sowak yang pada tanggal 31 Desember tahun itu
membuat sebuah kontrak, pada tanggal 7 Januari 1859 diubah dengan keputusan
tanggal 27 Oktober disahkan oleh pemerintah, dengan ketentuan bahwa terutama
akta pengukuhan akan diberikan yang memuat pengakuan kekuasaan pemerintah
Hindia Belanda.
Setelah kematian
Suwak, jogugu Kaicil Nang putra jogugu Kaicil Tatutonga diangkat menjadi raja pada bulan Desember 1870
dan akta yang dibuat dengannya disahkan dengan keputusan pemerintah tanggal 2
Juli 1872 ; Dia wafat pada tahun 1880 dan digantikan pada tanggal 6 Mei 1882
oleh raja Kaicil Tatu, putra Kaicil Suwak, yang bekerja sebagai Katib (juru tulis).
Dalam
kekosongannya, oleh para kepala tiga orang calon diajukan kepada Sultan, yang
olehnya akan dibuat suatu pilihan dan disetujui oleh residen dan pemerintah
Hindia Belanda sebagai penguasa tertinggi. Dia yang dipilih akan mengambil
sumpah setia dan membuat akta pengukuhan yang disetujui sesuai formulir yang
telah ditetapkan. Kesulitan menempuh perjalanan jarak jauh ke Ternate
mengakibatkan banyak waktu terbuang dan selama beberapa tahun tetap tidak
terisi. Tetapi apa yang terjadi tidak menimbulkan gangguan dan kini tidak lagi
bisa dicegah dengan penempatan posthouder
(petugas Belanda yang bekerja mendampingi raja dalam melaksanakan tugas,
mengatus sesgala sesuatu yang dikerajakan raja dalam menjalankan pemerintahan).
Ibukota
Banggai tempat raja dan juga posthouder
berada, terletak di pulau Banggai pada sebuah teluk yang luas dan terkesan
memprihatinkan. Rumah-rumahnya berada di tengah pepohonan dan hutan belukar
yang terletak di sepanjang pantai terbuat dari bahan-bahan ringan, sebagian
dibangun di atas tonggak dan yang lain di atas tanah datar, kurang terawat dan
dihubungkan dengan jalan setapak yang ditumbuhi dengan tanaman sulur, dengan
beberapa bambu dan tidak tenggelam dalam lumpur yang terdiri atas tanah berawa.
Kadatu yang dibangun di atas sebuah
tanah tinggi oleh salah seorang raja sebelumnya yang mengikuti perintah Sultan
Ternate ; tampak jelas dari laut,
tampaknya oleh raja sekarang ini tidak direncanakan untuk dihuni sekali lagi.
Dia tinggal di rumah lain dengan beranda lebih luas sehingga para pengunjung
dan para kepala suku serta pengikutnya bisa diterima dengan baik, tetapi selain
itu pemandangannya sangat rapuh dan semua tanda-tanda keruntuhannya mulai
tampak. Sebagai keunikan adalah sebuah reruntuhan benteng dan kampung Kota Cina
yang terletak di dekatnya, terdiri atas beberapa reruntuhan tembok di
sana-sini, di dalamnya terdapat sejumlah rumah pribumi milik para bangsawan
Ternate, sejumlah lila(tombak) dan
meriam lain juga diletakkan di sana.
Mesjid
menjulang sangat tinggi jauh di atas rumah, tetapi tidak merata. Pohon kelapa
menjulang tinggi di mana-mana tetapi tidak ada buahnya. Di sana ditemukan enam
kampung yaitu kampung Raja (Banggai), Kota Cina, Tanah Bonua, Gonggong, Dodung
dan Monsongan (Bosscher dan Mathijsen masih melaporkan kampung Soasia sebagai
akibat dari kesalahan menduga dalam arti kata itu. Bon Tange mereka didengar sebagai Moisongan, dan lima kampung
terakhir tidak ada pada mereka yang menjelaskan perbedaan dalam jumlah
penduduk) bersama-sama dengan 1500 jiwa yang menghuni 300 rumah. Sementara itu
di berbagai tempat di pedalaman masih ada lima kampung lagi yang dijumpai yang
dikenal dengan nama Putar, Boneaka, Lampa, Paupau Banggai dan Tanotuu’ dengan
kira-kira 400 jiwa, yang semuanya memeluk Islam terkecuali penduduk kampung
terakhir dari negori Alfur Liang dan Bulagi di pulau Peleng.
Para
kepala kampung ini menyandang gelar sangaji
dan Jimalaha tetapi selain itu masih
ada pimpinan lain yaitu seorang jogugu. Para
kepala kampung langsung berada di bawah raja dan bersama jogugu, kapitan laut dan utusan Belanda atas nama Sultan Ternate
membentuk sejenis dewan di bawah pimpinannya di mana semua persoalan yang
menyangkut pemerintahan dibicarakan dan
persoalan kecil diselesaikan. Raja biasanya mengangkat mereka seumur
hidupnya, tetapi mereka tidak mempunyai penghasilan tetap, tergantung pada
hasil pemungutan pajak yang kadang-kadang sangat sulit dilakukan karena sifat
mengembara orang-orang Alfur (rakyat yang selalu berpindah tempat). Jika
orang-orang Alfur melakukan perlawanan, maka mereka melarikan diri dan bersama
keluarganya ke dalam hutan Sulawesi yang sulit dimasuki.
Pulau
Labobo dan Bangkulu (Bangkurung) masing-masing memiliki 100 penduduk, sebagian
terdiri atas orang Islam dan sebagian lagi orang kafir Alfur yang dipimpin oleh
seorang Kapitan, yang tunduk kepada raja. Peleng yang terletak antara Sulawesi
dan Halmahera, memiliki lahan berbukit yang membentang hampir di sepanjang
pantai dengan bentuk alluvial. Secara keseluruhan ada 16 kampung yakni:
- Seasea,
- Bolagi,
- Pelei dengan Nandang,
- Paisulunu,
- Tinangkung dengan Mansama,
- Popisi,
- Tatikon,
- Sambiut,
- Kabontokan, Ponding-Ponding,
- Tatakalai,
- Bonitom,
- Liang dengan Tanotuu,
- Apal,
- Lolantang,
- Leuk dengan Peleng
Kampung
tersebut dihuni oleh 3 ribu jiwa dan bersama
mereka paling banyak terdapat 200 orang Alfur. Dari kampung-kampung ini, Kampung
Seasea adalah yang paling utama karena sangaji
kampung ini dianggap sebagai yang pertama di antara para sangaji lainnya, yang
mendominasi semenanjung paling selatan. Di sini lahan berbukit perlahan-lahan
menanjak sampai ketinggian 1000-1500 kaki, yang umumnya disebut Gunung Seasea
dan dari laut puncaknya bisa terlihat dan digunakan untuk mendirikan sayafu. Sementara itu di dekat laut
sero-sero ditempatkan untuk menangkap ikan, yang ditempat lain dilakukan dengan
buluh dalam bentuk yang mirip dengan buluh besar di Makian. Di bawah sangaji masih ada beberapa pimpinan lain
yang bekerja dengan istilah tonggol
dan kapita[19].
Penduduk
dibagi di antara umat Islam yang tinggal di pantai dan suku Alfur yang berada
di hutan atau kebun; selain agama dan hal-hal yang berkaitan dengannya, hanya
ada sedikit perbedaan dalam bahasa, cara hidup atau kebiasaan (kata-kata hampir
mirip dengan penduduk pantai seperti meeng,
luwa, tolu, sangkap, lima, nom, pitu, pitu rupia, sio dan songolu;
sementara orang Alfur hanya menggunakan sanggap
untuk empat dan walu untuk delapan.
Karena baik bahasa ini maupun bahasa Tobungku tidak banyak dikenal, batas yang
ditunjukkan oleh Brandes untuk rumpun bahasa Polinesia tidak mengandung banyak
kebenaran.
Suku Alfur di
Peleng dan Banggai berjumlah 10 ribu jiwa karena menurut keterangan para kepala
adat jumlah mereka tidak kecil, namun telah kehilangan penampilan aslinya yang
kuat di pulau-pulau lain dan lebih mirip dengan tipe Makasar, yang karena cepat
atau lambat mengalami percampuran atau di masa lalu telah pindah dari daratan
Sulawesi ke pulau-pulau ini. Kaum
wanitanya berperawakan kecil dan tidak menunjukkan sifat kecantikan. Mereka
sangat penakut dan dengan mendekatnya orang pribumi asing mereka segera
melarikan diri. Di dalam hutan mereka mengikatkan kain katun di pinggulnya,
tetapi ketika turun ke pantai mereka mengenakan sejenis celana pendek, yang
menjangkau sampai di atas lutut dan mengenakan ikat kepala.
Makanan
utama mereka terdiri atas ubi, bête, sayawu atau sejenis buncis hijau (sayawu adalah istilah Maluku untuk
ketela yang bisa dimakan), pisang dan kadang-kadang nasi yang dimakan bersama
ikan yang berlimpah dari laut. Sementara itu babi liar yang mereka buru dengan
anjing dan ditikam dengan lembing atau panah, memberikan daging yang
berlebihan. Sesuai dengan lauk pauk atau karena didorong oleh rasa lapar,
mereka makan tiga sampai empat kali sehari, tetapi juga bisa kurang.
Mereka
tidak mengenal garam, tetapi dalam mengolak lauk air minum dicampur dengan air
laut yang selalu terjadi, karena orang menduga bahwa penggunaan air tawar saja
akan mendatangkan sakit perut. Saguwer diperoleh dari pohon kelapa yang dikupas
dengan cara berikut ini dan setelah itu kuncup bunganya dipotong; dari minuman
ini orang bisa menggunakannya untuk diminum di tempat lain di bagian timur
kepulauan Hindia. Pembelian sagu sangat sedikit. Ketika dibeli dari pedagang,
sagu digunakan dalam bentuk lempeng atau bubur. Rumah mereka dibangun di atas
tonggak, kadang-kadang dari kayu tetapi kebanyakan dengan dinding bambu atau
gabah-gabah dan ditutup dengan atap daun. Sebagai tempat tidur atau dapur,
diperlukan ruang khusus yang dipisahkan dengan penyekat tipis dari beranda oleh
mereka.
Panah
dan busur tidak mereka kenal; hanya tombak dan kelewang yang dibawa dari
Tobungku dan jenis bakoko kecil atau
yang disebut tolalaki. Perangkat
musik terbatas pada tifa, rebab dan suling di samping sebuah perangkat khusus
yang disebut tulalo yang terbuat dari
kayu lenggua dengan sebuah benang tembaga yang direntangkan yang dengan sebuah
jarum, yang dipasang pada ujung telunjuk dalam cincin rotan kecil dan
digerakkan dengan bergetar. Potongan kayu ini bertumpu pada sebuah tabung
bambu di atas dua potongan tempurung
kelapa yang tidak sama, dengan bagian terbesar ditekankan pada bagian dada.
Instrument ini terutama perlu digunakan sebagai iringan lagu.
Sketsa
yang kurang menguntungkan tentang suku Alfur dalam sejumlah artikel majalah,
yang pasti tidak berlebihan ditunjukkan, dan meskipun tidak tepat dugaan yang
dilontarkan tampak seolah-olah mereka tidak mengenal hubungan atau perkawinan
kerabat. Van Musschenbroek
membenarkan dalam penelitiannya bahwa mereka memiliki seorang istri yang
diperoleh dengan pembayaran mas kawin menurut model Polinesia; sengketa rumah
tangga tidak diselesaikan dengan permusuhan atau pembunuhan, mereka menuruti
kehendak kepala sukunya. Mereka tidak
mengenal perjudian, kalau pun ada hanya berlaku pada para bangsawan pribumi di
mana permainan ving-et-tun adalah
jenis yang paling disukai.
Mereka
(orang Alfur) hanya percaya kepada roh jahat
dan baik, dan untuk menyenangkannya atau setidaknya membebaskan dari
ancamannya, di depan pintu atau di kebun atau di tempat-tempat tertentu, dalam
bentuk altar dari kayu sebuah sesaji dipasang yang disebut pilogot, dan yang juga disebut sebuah pulau, yang akan menyesatkan
bagi roh-roh di tempat itu. Kematian hewan seperti babi, ayam, kambing, anjing
mereka anggap sebagai kesempatan yang cocok untuk menggambarkan masa depan dari
letak mayat atau jejaknya. Terutama ini terjadi pada orang sakit meskipun daya
sembuh tanaman sudah sangat terkenal. Jenazah yang mati dimakamkan di depan rumah atau di dalam hutan; terutama
setelah kepada sisakit ditanya apakah dirinya mau memilih makamnya karena pesan
itu harus diperhatikan secara cermat. Mereka percaya bahwa tanah di atas
punggung kerbau merupakan bentuk ketenangan dan menyatakan gempa bumi (yang
disebut manombol) disebabkan oleh
gigitan seekor nyamuk, atau hukuman roh jahat karena melakukan tindakan buruk.
Mengenai
orang-orang Bajo semuanya tinggal di Kalombatan di pantai timur Peleng dan
berada di bawah pimpinan mereka yang disebut punggawa; bagi penangkapan ikan bebas di perairan Banggai, mereka
wajib membayarkan upeti sebesar 4 (Hulden) kepada sultan. Jumlah jiwa mereka
berkisar antara 30 sampai 40 orang dan mereka melakukan perjalanan sepanjang
pantai Sulawesi sampai kepulauan Togean.
Bagian yang
berada di Banggai di bawah raja Banggai mencakup 11 distrik atau kampung
bersama tanah-tanahnya yang ada, dengan Tanjung Api yang menjadi batas paling
utara dan Togong Teong yang menjadi batas paling selatan. Distrik tersebut adalah:
1.
Batui,
2.
Tangkiang,
3.
Sinorang
4.
Kintom
5.
Mandono
6.
Lontiok
7.
Nambo
8.
Luuk (luwuk) dengan
Biak
9.
Basama,
10.
Lamala dan
11.
Pokomondolong.
Ketiganya dikenal dengan nama umum.
Balantak, memiliki negeri yang terletak di pantai utara semenanjung seperti
Pati-Pati dan Saluan, di bawah Mandono dan Boalemo di bawah Mandono, Kintom dan
Tangkiang. Hanya di Mandono seorang
utusan Sultan ditempatkan. Kepala
kampung disebut sangaji, dengan para
wakil kepala yang disebut kapitan dan danganyo.
Penduduk pantai semuanya Islam kecuali di Kentong di mana beberapa orang Alfur
tinggal. Mereka berjumlah kira-kira 3
ribu orang. Tetapi tentang penduduk gunung jumlahnya hanya diperkirakan saja. Kota dagang utama adalah Pokomondolong atau
Balantak, di daerah Nambo ditanam yang
digunakan untuk menenun sarung, meskipun kain Eropa dianggap lebih sesuai untuk
itu. Perahu dagang pribumi jarang muncul; perahu itu hanya berlayar ke
Pokomondolong. Valentijn yang waktu berkunjung ke di Balanta (Balantak)
memberikan kesaksian bahwa banyak padi dan beras yang dihasilkan dan juga
ditanam di Mandono yang sangat subur), di mana banyak beras dengan harga rata-rata
f 4 diekspor ke Gorontalo. Gorontalo dikenal dengan tembakaunya yang baik yang
diikat per setengah kati, per vadem
biasanya dijual seharga f 0,50. Daerah Mendono
ini juga merupakan satu-satunya tempat pohon sagu tumbuh dengan subur dan bisa
dikatakan sebagai lumbung padi untuk seluruh Banggai. Di kepulauan Banggai
dikenal dengan kekayaan jenis kayu
termasuk kayu cendana (yang dalam bahasa Banggai disebut mopook) yang menduduki posisi penting
dalam perdagangan kayu; Sementara itu di sebuah tempat yang disebut Mambulusan,
termasuk di Liang dan Peleng dengan kedalaman 4-5 vadem mika orang bisa menggali tanah dan dari dalam tanah di orang
bias mengambil tanah untuk melapisi dinding luar luar rumah dan menggunakannya
seperti hiasan (mika dalam bahasa Melayu sering disebut sebagai batu Banggai
dan di Ternate disebut mare gapi. (Matthes
menulis potongan mika sebagai sejenis kerang yang tidak ada kaitannya).
Komoditi ekspor
Banggai lain adalah damar seharga f 10-15 per pikul; jenis rotan tipis, lilin,
terutama dari Batui dan Kintom yang berharga f 80 per pikul (dari seluruh
produksi ini, lilin yang berjumlah 30 pikul disetorkan kepada Sultan sebanyak
1/8 bagian); kopi yang ditanam di perbukitan Peleng; sejumlah kecil sarang
burung di pulau Salui dan muskus atau timpaus (berasal dari testes tinggalu; desdes yang tidak begitu keras. Di
beberapa tempat di Hindia tampaknya bahan pembakaran aroma ini sudah dikenal), dalam potongan kecil kalau dijual f 10
harganya. Uang
baru tidak begitu disukai; masih ada duit tembaga tua yang terdiri atas 120
keping untuk satu gulden dan di pedalaman Sulawesi masih ada uang recehan
dengan satuan 360 untuk satu gulden. Di samping real empat suku 40 sen, real
Makasar memiliki nilai permanen f 2.
Sebagian besar perdagangan
barter berlaku dengan kain, seperti kain blacu dan sebagainya. Kuda-kuda dan
sapi hutan di Sulawesi, selanjutnya tinggalu,
ular air dan berbagai jenis burung bagi orang Islam dan Alfur merupakan jenis
bahan pangan yang disukai. Orang Bajo suka berburu hiu di mana mereka memakan
dagingnya dan membuang moncongnya yang mirip gergaji. Mereka juga berburu
tripang dan kura-kura pada kedalaman air 10 vadem(meter);
tombak kecil mereka sebut sosowat dan
yang besar disebut kalai.
Perdagangan
budak sama sekali berhenti dengan pembebasan tahun 1879. Bila masih ada orang
yang melakukannya, terdakwa diajukan ke depan pengadilan kerajaan Ternate dan
menerima hukuman berat. Di pantai pengawalnya siap menyambut kita dan melalui
pukulan cambuk mengiringi perjalanan kita bersama prajurit yang memakai perisai
melewati pintu gerbang yang sudah runtuh menuju benteng, yang dikelilingi
dengan pagar kayu, berada dalam kondisi sangat rapuh dan para bangsawan tinggal
di dalamnya (yang menarik adalah sejumlah lila
dan rantaka besar yang tersebar di
sana di atas tanah dan yang di masa perompakan digunakan untuk mempersenjatai
kapal-kapal dagang).
Sebagai
ilustrasi ada pengalaman menarik yang digambarkan P. van der Crab, saat
bermusyawarah di dengan raja Banggai sebagai berikut; dengan
bergerak kea rah selatan di sepanjang jembatan bambu melalui hutan sagu berawa, kami mencapai
rumah raja. Kami diminta duduk di beranda dalam yang dengan ditutup korden
suasana menjadi gelap, sehingga pada siang hari pukul setengah tiga sejumlah
lampu harus dinyalakan sebagai penerangan. Oleh seorang bangsawan yang ikut,
surat Sultan diberikan yang diletakkan di atas nampan daun dan diedarkan
sementara raja dan semua bangsawan yang hadir memberikan penghormatannya,
dengan menciumnya terlebih dahulu dan menempelkannya di dahi. Seorang katib mendekat untuk membacakan isinya.
Orang itu sudah terlalu tua dan memerlukan banyak waktu untuk membukanya
sebelum kacamatanya dipasangkan oleh salah seorang pengikutnya. Karena tidak
disinggung tentang sesuatu yang penting, berita itu dibacakan dengan tenang.
Ada rokok yang diedarkan, masalah khusus dibicarakan dan informasi penting
disampaikan sehingga beberapa orang yang berkumpul segera merasa nyaman. Usul
untuk meninjau negori itu diterima dan segera rombongan besar memenuhi jalanan.
Yang menarik adalah tiga kampung besar. Semuanya terletak di sepanjang pantai,
dengan kampung paling utara yang disebut kampung Bajo meskipun tidak ada orang
Bajo tinggal, yang tengah dengan rumah raja disebut Sakita dan yang paling
selatan adalah Tobungku. Ada perdagangan yang hidup dengan orang-orang Cina
dari Makasar dan orang-orang Bugis dari Kendari dan dari tempat lain yang
termasuk wilayah Celebes dan Sekitarnya (dalam artikel majalah tersebut,
perdagangan di Tobungku dalam arti kata yang sebenarnya dianggap tidak
berarti), jadi sejak itu telah terjadi perubahan atau sesuai dengan
perkembangan zaman. begitu juga perdagangan seperti yang dikatakan di sana
sepenuhnya merupakan monopoli raja-raja yang kekuasaannya terlalu kecil dan
bisa dikatakan tidak ada atas orang-orang Alfur di pedalaman. Juga Revius
berkata bahwa elit penguasa kerajaan masih mengelola perdagangan dengan orang
Makasar, orang Bugis, orang Mandar dan bagian lain dari kepulauan Hindia yang
telah berlangsung berabad-abad karena menurut Valentijn “mereka telah memiliki
hubungan dagang dengan para pedagang asing dan para pelaut Bugis, yang banyak
tinggal di sungai Lahan di sebelah utara Tombuku untuk mengangkut karet dan
barang-barang terlarang lainnya dari sana”). Ada pedagang Arab yang gudangnya
dipenuhi dengan damar dan rotan yang dibawa oleh orang-orang Alfur dari
pedalaman ke pantai, dan seorang Cina yang memiliki sebuah toko besar dengan
ditutup atap dari seng. Sejumlah paduakang
ditambatkan di pantai untuk menunggu muatan atau memulai perjalanan ke selatan.
Yang lain masih setengah jadi dan seluruhnya menciptakan kesan kemakmuran. Pria
dan wanita mengenakan busana yang baik sepanjang hari dan kebebasan bergaul
dengan orang-orang asing menciptakan kesan yang jelas.
Orang
menafsirkan jumlah penduduk antara pada saat itu berjumlah 1200-1500 jiwa,
semuanya Islam tetapi yang tidak selalu mematuhi kewajiban agamanya, meskipun
mesjid merupakan bangunan yang sangat besar, terbuat dari batu dan dilapisi
dengan lantai ubin, yang dibangun melalui sumbangan di bawah pimpinan sejumlah
ulama dalam waktu singkat. Rumah-rumah semua berdiri di atas tonggak
kira-kira 2 meter tingginya di atas
tanah dan terbuat dari material ringan, sementara sebuah tangga bambu
memberikan jalan masuk. Pekarangan kebanyakan dipagari dan juga dengan pagar
hidup, pekarangan dipisahkan dari jalan selebar satu vadem. Tempat memasak (138) yang bisa dikenali melalui batu-batuan
yang tertutup oleh abu, berada di dalam rumah dan seperti halnya tempat tidur
penghuninya berada di ruangan terpisah. Sebuah ruang lebih besar digunakan
sebagai ruang tamu dan ruang kerja di mana peralatan untuk menangkap ikan (jala
lempar dan jala tarik) dibuat, kain ditenun dan produk ditimbun (kain Tobungku
yang ditenun sendiri sangat kasar, tetapi karena ketahanannya sangat disukai
oleh orang-orang Alfur. Harganya adalah f 4 per potong dan warnanya biru atau
hitam). Selain lobang pintu masih ada jendela atau lobang bambu yang
memungkinkan udara dan cahaya untuk masuk. Di beberapa rumah kita bisa melihat
tulang daun kelapa yang dipenuhi dengan padi, yang juga dalam jumlah besar
disimpan di lumbung tertentu.
Di
dekat beberapa rumah ada sebuah tempat peristirahatan yang ditutup dengan bambu
di mana orang sakit dirawat dan diperlakukan dengan cara seperti yang
ditunjukkan oleh tabib sementara di mana-mana lesung beras yang terbuat dari
kayu gofasa dengan hasil garapan kasar tersebar, dilengkapi dengan telinga dan
sangat sulit dipindahkan karena beratnya. Pohon buah di mana-mana ditanam
sementara pohon kelapa ditemukan berlimpah ruah meskipun di sini minyak kelapa
juga terdesak oleh bensin sebagai bahan bakar. Segera ada orang Alfur yang
berasal dari pedalaman datang menjual lilin, damar dan rotan kepada orang
asing, kadang-kadang ditukar dengan uang tetapi biasanya dengan kain, kaca dan
tembikar. Kaum pria sedikit berbeda dengan orang Alfur Halmahera meskipun
mereka tidak begitu kuat dan bentuk wajahnya kurang menonjol. Di dalam hutan
mereka mengenakan cidaku (sejenis cawat dari kulit kayu), tetapi ketika turun ke
kampung mereka mengenakan celana pendek dan ikat kepala. Kaum wanita
berperawakan kecil dan agak ramping, tetapi bentuknya buruk; sebaliknya kaum
wanita dari penduduk Islam di pantai bisa dikatakan cantik. Busananya adalah
sebuah sarung yang diikat tinggi dan baju dari kulit pohon. Ikatan keranjang di
punggung dililitkan pada dahi, seperti ketika mereka membawa muatan berat atau
menggendong anak.
Senjata
mereka terdiri atas tombak dengan ujung besi runcing (di Tombuku disebut ponsaku, di Alfur disebut jea), sebuah pedang biasa (yang di
Tombuku disebut badi, di Alfur
disebut pada), sebuah pedang besar
(di Tombuku disebut ngomu seperti
juga di Alfur; pedang atau logam tajam ini terbuat dari besi yang dilebur dari
bijih besi yang ditemukan di dekat Toepe; saya mencoba tetapi gagal untuk
mendapatkan sepotong contoh besi ini), sebuah perisai (di Tombuku dan di Alfur
disebut kanta) dan sebuah sumpit,
yang anak panahnya ditiup untuk membunuh hewan atau manusia. Panah dan busur
tidak mereka gunakan.
Pemukulan
sampai mati merupakan akibat dari perzinahan, karena sengketa lain umumnya
jarang mencapai tingkat yang bergitu tinggi sehingga darah dituntut untuk
membersihkan rasa malu yang muncul. Pembunuhan terjadi karena tidak ada
pemerintahan teratur dan masalah yang muncul tidak bisa diselesaikan, tetapi
orang menganggap ini berasal dari swangi
baik untuk menghindari upaya penyelidikan maupun karena takut pada dendam.
Sejak perbudakan dihapuskan, masih ada beberapa kasus perdagangan budak yang
muncul tetapi toh berlangsung dengan cara yang sangat terselubung, karena
penghukumannya akan disampaikan kepada semua pimpinan adat.
Yang
sedikit menyimpang adalah kebiasaan minum sampai mabuk karena saguwer di sini
tidak diminum tetapi dua minuman lain yang disebut anes Tobungku dan panggasi.
Untuk mendapatkan anes Tobungku, saguwer
dimasak dalam periuk tanah sampai mendidih dan dalam adonan yang sangat baik
dituangkan dalam tabung bambu tipis yang pada ujung lainnya dilengkapi dengan
beberapa lobang kecil sehingga uap mengepul dan cairan bisa diminum sebagai anes. Pangasi merupakan minuman yang merupakan percampuran antara beras
dengan arak Bugis atau anes Bugis,
yang adonannya setelah dimasak dituangkan dalam tempayan dan dicampur dengan
air dan didiamkan selama beberapa hari. Di pantai ini merupakan minuman umum
tetapi orang Alfur lebih menyukai anes;
orang Alfur tidak merokok, tetapi orang pantai melakukannya.
Selain
melalui keputusan ujian yaitu dengan pembenaman kepala di dalam air dan siapa
yang muncul duluan berarti pihak yang kalah (di Tombuku disebut lomeo), sengketa atas hak milik seperti
pohon sagu diselesaikan dengan adu ayam (batadi),
sehingga pemilik ayam yang menang akan menerima pohon yang disengketakan itu.
Dalam kasus serius, pengambilan sumpah (metunda)
diterapkan yang menunjukkan bahwa pada sebuah mangkuk putih dengan separuh
berisi air sebutir emas dan sebuah peluru dimasukkan, seorang tetua (bobeto) membacakan mantera dan pihak
yang ditunjuk harus meminum dari cairan ini dan tubuhnya juga gemetaran;
artinya, dia akan mati terkena peluru atau lebur seperti emas apabila dia tidak
berkata benar.
Para
penulis artikel majalah salah dalam menduga bahwa mas kawin tidak dikenal di
daerah ini. Sebaliknya seperti di tempat lain, gadis harus dibeli dengan kain,
tembikar dan barang-barang lain dari orangtuanya. Apa yang mereka sampaikan
tentang jenasah juga tidak benar. Jenasah dimasukkan dalam peti kayu berbentuk
perahu atau diletakkan di atas pohon tinggi, atau diletakkan dalam goa dan juga
dikuburkan. Dahulu orang-orang mengumpulkan tulang-tulang yang masih tersisa dari seluruh keluarga
dalam periuk tanah yang besar yang kini masih dijumpai di goa-goa itu. Sejauh
mana bahasa Alfur berbeda dengan Tombuku, tidak diketahui.
Wilayah
kerajaan Banggai yang sudah dikemukakan juga mencakup dua pulau yang ada
diujung timur; dari teluk Taliabu sampai Tanjung Nipah-Nipah sepanjang pantai,
di dekat Kendari masih ada sejumlah pulau lain yaitu Langgala, Toko Eja, Paku,
Tombolo, Sain Nua, Ontalau, Bungin Tende, Safaile, Toro Asolo, Tamagolo, Bete,
Pulu Tiga, Kuikuila, Bungi Bungi, Padei, Rumbia, Nanaka, Batu, Pengia, Gimpa,
Dediri, Karanto, Nonasi, Bolasikan, Paropati, Pinapinasa, Tatabonti, Bobosi,
Togong Talam, Togong Teong, Labengki, Basulu, Bahu Bulu, Labungka, Ambewa dan
Nanga Simbori yang letaknya tidak pernah ditentukan, karena belum ada kapal
yang datang mengukur daerah ini. Nama-nama yang disebutkan di sini sangat
berbeda dengan nama-nama dalam artikel majalah dan berkas-berkas yang diambil
alih oleh Bleeker karena di Ternate orang tidak pernah mendengar informasi
tentang Bungku.
Antara Banggai
dan Tobungku pernah terjadi sengketa perbatasan wilayah kerajaan, masing-masing
mengklaim wilayah Pulau Togong Teong, ternyata pulau ini hanya merupakan sebuah
pulau karang dengan perpanjangan alluvial ke barat yang hanya menampung
sejumlah keong putih; tempat ini hanya terbuka pada saat
permukaan rendah (surut) pulau ini dianggap lebih cocok sebagai batas dan
dipertahankan demikian setelah pembicaraan dengan para kepala adat.
Dari penjelasan
yang dikemukakan tentang kerajaan Banggai masa Ternate tersebut tampaknya
pelantikan yang dilakukan sampai kepada raja-raja yang memerintah secara turun
temurun hanyalah boneka dari Belanda atas pesetujuan sultan Ternate, semua
kekuasaan baik pemerintahan dan ekonomi dikuasai Belanda dan rakyat mengirim
upeti kepada sultan Ternate, kalau ada raja Banggai yang melawan seperti Abu
Kasim, Raja Agama dan lainnya, mereka diperangi sultan Ternate dibantu Belandam
sehingga dapat dikatakan praktis raja-raja Banggai hanyalah raja dari simbol kekuasaan Belanda dan sultan
Ternate yang ada di Banggai.
[1]Katsir H.Djiha di
Palu, H.Noho Takunas, Hj. Saadiah Takunas, Ranur Sabbu di desa Lumbi-lumbia, Nursalam Sabbu, Thamrin Sabbu, di desa Buko,
H. Hamid di Desa Kambani, Bone Puso, Azidin di desa Suit; (Pulau Peling); Muh.Zamrud Dulumina, Ahmadi Laissi, Djasman
Masia, Haidjon, Sahia dan Dantje di desa Mansalean (Pulau Labobo); Hj. Halimah.
A.Dj. di desa Loonas, Hasman Abbas di
desa Loonas, Taufiq Malida di desa Boneyaka (Pulau Banggai) menjelaskan bahwa; Tukang
Radar adalah orang-orang tertentu dari
masyarakat setempat yang ada di P.Peling, P.Banggai, P.Labobo, serta Pulau
Timpaus, yang bertugas mencari barang-barang antik peninggalan nenek moyang
yang dikubur bersama-sama jasad raja, baik itu berupa piring, atau benda berharga
lainnya seperti patung Budha yang terbuat dari perunggu yang menoleh ke sebela
kiri, meriam-meriam dan sebagainya untuk di jual kepada pembeli (penadah).
Tukang radar menggunakan alat pencari jejak barang antik melalui media sebuah
besi panjang (besi berukuran kurang lebih satu sampai satu setengah meter,
tebal kurang lebih sepuluh milimeter
berbentuk hurup T yang ditancapkan ke setiap tempat yang dianggap menyimpan
benda kuno, dan apabila menemukan ada benda di dalamnya mereka akan membongkar
tempat itu, tak peduli makam siapa,
situs apa yang penting mereka mendapatkannya, sehingga hampir semua makam-makam
peninggalan tua yang ada di bulau-bulau yang pernah menjadi pusat kekuasaan
sebelum kerajaan Banggai berdiri, kini hamper seluruhnya sudah rata dengan
tanah, yang tampak tinggal onggokan batu-batu kapus saja yang ada seperti yang
ada di desa Lumbi-lumbia, Buko, Mansalean, Salakan,”interviu/wawancara” di
lakukan sejak Tanggal 10 Juli – 2 Agustus 2011 di Palu, Peling, Banggai, sampai
P.labobo.
[2]H. Yusuf Basan, Hukum
Tua (Ketua Adat) Banggai sekarang, di wawancarai tanggal 21 Juli 2010 di
Salakan (Ibu Kota Kabupaten Banggaai Kepulauan); Muhammad Zamrut Dulumina,
Djasman Masia, Hukum Tua Labobo Timpaus, di wawancarai tanggal 23 Juli 2010 di
Mansalean Ibu Kota Kecamatan Labobo.
[3]Hale Djiha,
tokoh/pemuka agama di Kecamatan Bulagi, wawancara di lakukan di desa
Lolantang tanggal, 21 Juli 2011,
Dj.Masia tokoh masyarakat, Hukum Tua di Mansalean Pulau Labobo, di wawancarai tanggal 23 Juli 2011. Dalam penjelasannya
bahkan Dj.Masia mengemukakan salah seorang yang berasal dari raja-raja yang ada
di Peling bernama Lee ing (leengt) menjadi penguas di pulau Labobo dan menjalin
hubungan dengan raja-raja kediri, utamanya bidang perdagangan sehingga banyak
hasil dari Pulau Labobo dan sekitarnya dibawa berdagang ke kediri, dan
perdagangan antar pulau ini berlangsung sampai tahun 1900 an, dan beliau
sendiri dengan beberapa orang pernah melaksanakan kegiatan perdagangan antar
pulau tersebut sampai ke wilayah malaka (sekarang kepulauan riau).
[4]Nursalam Sabbu di
Buko, dan Azidin di Desa Sui, menjelaskan bahwa perpecahan raja-raja Fuadino di
Palabatu diakibatkan oleh keinginan anak keturunan Raja Fuadino di Palabatu
yang semuanya ingin menjadi penguasa (raja), bahkan sealah seorang anak raja
yang pergi meninggalkan Palabatu menuju Timur dan singgah di satu pulau yang
kini dinamakan pulau Banggai, bernama Dodung, yang kemudian diabadikan menjadi
nama desa Dodung sekarang masuk dalam kawasan kota Banggai ibu kota Banggai kepulauan yang lama sebelum
dipindahkan ke Salakan.
[5]Noho Takunas,
Hj.Saadiah Takunas, Ranur Sabbu di desa Lumbi-lumbia, Nursalam Sabbu, Thamrin Sabbu, di desa Buko
menjelaskan, dan mereka menyatakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari
Palabatu, Noho Takunas menjelaskan lagi bahwa sampai saat ini suku sea-sea
masih mewarisi satu budaya yang dikatakan dengan puasa tumbuno yakni semacam
larangan untuk tidak mengkonsumsi binatang yang diharamkan Islam seperti;
anjing, babi, ular dan sebagainya atau melakukan sesuatu yang dianggap
mencederai atau melukai orang dan makhluk lainnya, dan hal itu semua serentak
dilakukan oleh suku di pegunungan (sea-sea),
meskipun diakui mereka juga sudah terpecah menjadi sea-sea yang sudah
beradaptasi dengan masyarakat pantai dan suku sea-sea yang tidak mau beradatasi
dengan masyarakat pantai, suku sea-sea yang tidak mau bergabung dengan
masyarakat pantai karena mereka takut adat istiadat mereka dipengaruhi an
terpengaruh oleh masyarakat luar, sehingga mereka lebih memilih hidup dipuegunungan
batu yang jauh dari jangkauan penduduk pantai, mereka hanya memakan ubi (talas)
yang hidup di sela-sela batu kapur dengan lauk ikan yang diambil dari kawah pemandian Lemelu.
[6]Hale Djiha di desa
Lolantang, Nursalam Sabbu, Thamrin Sabbu, Noho Takunas di desa Lumbi-lumbia,
Azidin di desa Suit, Djasman Masia di desa Mansalean Pulau Labobo,
menceritrakan pada saat melakukan wawancara/interviu dilaksanakan tanggal 21-24
Juli 2001
[7]Ranur Sabbu di desa Lumbi-lumbia, Nursalam Sabbu, Thamrin Sabbu di desa Buko
menjelaskan bahwa pemandian Lemelu biasanya dijadikan tempat pemandian
penyucian diri oleh suku bangsa Sea-Sea pada waktu-waktu bulan Muharram,
setelah mereka kelakukan kegiatan puasa “tumbuno”; wawancara / interviu
dilaksanakan tanggal 21-24 Juli 2001.
[8]Hale Djiha di Desa
Lantang, Nursalam Sabbu, Thamrin Sabbu, Noho Takunas di desa Lumbi-lumbia,
Azidin di desa Suit, menceritrakan pada saat melakukan wawancara interviu
dilaksanakan tanggal 21-24 Juli 2001.
[9]Katsir H.Djiha, Guru,
tokoh Masyarakat, menjelaskan bahwa sangat beanyak adat istiadat yang mempunyai
kesamaan antara apa yang ada di Kalimantan, Kutai Kartanegara,Tenggarong dengan apa yang ada di daerah Bulagi selatan,
Lolantang, Buko, Kambani dan sekitarnya, sehingga kemungkinan besar Kerajaan
Fuadino yang ada di Palabatu itu mempunyai kaitan erat dengan kerajaan yang ada
di Kalimantan. Apalagi masa Islam, terasa sekali adanya kesamaan adat istiadat
bernuansa Islam antara apa yang ada di Lolantang sekitarnya dengan Kalimantan.
[10]Nursalam Sabbu,
Thamrin Sabbu, Noho Takunas di desa Lumbi-lumbia di Pulau Peling; Dj.Masia, Jamrut Dulumina di Pulau Labobo ;
Syamsuddin T.Suli di Batui, Puar Abuda di Salakan menceritrakan bahwa: sebutan “Benggawi” hanya
ada dalam tulisan para sejaran yang menceritrakan
perihal kekuasaan kerajaan Singosari dan Majapahati, namun pada masyarakat yang
ada di pulau-pulau yang kini menjadi bagian kabupaten Banggai Kepulauan, tidak
dikenal dan mereka sendiri hanya mengenal Pulau Banggai dahulu Benggawi dengan
sebutan Tanobolukan. Tanobolukan atau tanobalukan adalah nama lain dari pulau
pedagangan atau sekarang dikenal dengan pulau sebagai kawasan perdagangan.
[11]Iswara N. Raditya, Sejarah Melayu. http: //melayuonline.com / lnd/history /dig /505/
kerajaan - banggai, di akases tanggal 28 Agustus 2011
[12]Dj.Masia,
Jamrut Dulumina di Pulau Labobo, menceritakan bahwa prasasti tersebut pada
tahun 1980 an masih ada dan disimpan di rumah adat, namun setelah rumah adat
sudah rusak, maka benda-benda tersebut
berpindah tangan pada keluarga yang merasa memiliki hubungan dengan
dengan raja-raja, hingga akhirnya sekarang tidak diketahui siapa yang
menyimpan, ada yang menginformasikan dibawa ke Ternate, ada yang
menginformasikan ada di Bangkurung, ada yang menginformasikan sudah dibawa ke
Jakarta sebagai tanda kesetiaan terhadap NKRI, mana yang benar tidak diketahui.
Wawancara dilakukan di Mansalean Tanggal 24 Juli 2011.
[13]Sumber : Pieter
Bleeker, Reis door de Minahasa en
Molukschen Archipel, gedaan in de maanden September en Oktober 1855, volume I (Batavia,
1856, Lange en Co)
[14]ibid
[15]Albertus Jacobus
Duymaer van Twist, Aanteekeningen
betreffende een reis door de Molukken (‘s Gravenhage, 1856, M. Nijhoff)
[16]P. van der Crab, De Moluksche eilanden: Reis van Z.E. den
Gouverneur Generaal C.F. Pahud (Batavia, 1862, Lange en Co)
h.312
BAGIAN III
HASIL PENELITIAN
Dalam tinjauan historis
dan dengan menggunakan pendekatan teori sejarah yang dikemukakan dalam bentuk
narasi fungsional yang menekankan kepada konsep-konsep terkait terdapat
beberapa temuan terkait dengan kerajaan Banggai sebagai berikut:
A. Eksistensi Kerajaan Banggai
Kerajaan Banggai eksis
menjadi satu kerajaan nusantara sejak tahun 1600 pada saat putra Adi Cokro
bernama Frins Mandapat atau disebut masyarakat di Pulau Peling dengan Frins Van
Den Vaar di lantik oleh sultan Ternate sebagai Raja Banggai pertama. Secara de
yure kerajaan Banggai berakhir pada tanggal 12 Agustus 1952 sejak
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1952 tentang penghapusan
daerah Otonom Federasi Kerajaan Banggai.
Sebagai bentuk
pengakuan akan jasa-jasa kerajaan sebagai wadah untuk melestarikan nilai historis dan berbagai adat istiadat
yang menjadi khazanah kekayaan bangsa, kerajaan Banggai tetap saja ada, namun
tidak memiliki kekuasaan pemerintahan, dan Raja pada waktu itu adalah Muhammad
Chair Amir, keturunan dari Tomundo Abdul Rahman Raja banggai ke 18.
Sebelum Kerajaan
Banggai didirikan melalui pengakuan Sultan Ternate dan Belanda, telah berdiri
beberapa kerajaan sebelumnya yang melindungi rakyat yang ada di Pulau-Pulau
yang kemudian menjadi wilayah Kerajaan Banggai. Kerajaan- kerajaan tersebut
adalah Kerajaan Fuadino berkedudukan di Palabatu wilayah Pulau Peling tepatnya
di Peling Barat. Kerajaan ini telah berdiri sebelum kedatangan Bala tentara
Singosari dan Majapahit dibawa panglima perang Hayam Wuruk. Setelah penyerbuan
tentara Majapahit kerajaan Fuadino semakin menurun pamornya, namun eksis
sebagai satu kerajaan di mana raja-raja mengatur kehidupan rakyatnya. Karena
semakin lembah kemudian terjadi pembagian kerajaan yakni Kerajaan Buko,
Kerajaan Bulagi, kemudian menyusul berdiri Kerajaan Sisispan, Kerajaan
Liputomundo, Kerajaan Kadupadang dan Bongganan di bagian Timur Pulau Peling. Di
Tanobolukan yang akhirnya menjadi pusat kerajaan Banggai, berdiri kerajaan
kecil yang dikenal oleh kerajaan Singosari dengan Benggawi memiliki raja-raja
bernama: Raja Gahani- Gahani, Raja Tahani-Tahani; Raja Adi Pakalut; Raja Adi
Moute; Raja Adi Lambai; Raja Kokusu; Raja Sasa; Raja Sabol; raja Adi Cokro;
Raja Abdul Djabbar; Raja Mpu Nolo; Raja Ansyarah; Raja Kadubo; Raja Kalubalang
I; Raja Kalubalang II; Raja Manila; Raja Abu Kasim; Raja Tosali; Raja Syidada.
Setelah kolonial masuk
nusantara dan berada di Ambon dan ternate, maka sekitar tahun 1600, maka Sultan
Ternate melantik Frins Mandapat Putra Adi Cokro Raja asal Kediri, Benggawi ke
9. Dengan Pelantikan Frins Mandapar, maka kerajaan-kerajaan kecil yang ada di
Pulau Peling, Pulau labobo, Pulau Bangkurung, Loinang Barat, Loinang Timur
bahkan Tombuku dipersatukan menjadi kerajaan Banggai. Periode kerajaan Banggai
dimulai Tahun 1600 – 1952 setelah diterbitkan dan diberlakukannya PP No.33
Tahun 1952 Tanggal 12 Agustus 1952
tentang Penghapusan Daerah Otonom Federasi Kerajaan Banggai, maka berakhir
pula masa kekuasaan atau otonomisasi Kerajaan Banggai.
B. Hubungan Kerajaan dengan Kerajaan
Nusantara
Sekitar abad ke-13,
masa pada masa keemasan kerajaan Singosari yang berpusat di jawa Timur, ketika
itu Singosari di bawah kekuasan terakhir dan terbesar yaitu Kertanegara (
1268-1292 ), nama Banggai telah di kenal dan menjadi bagian kerajaan Singaosari.
Berikutnya, sekitar abad 13-14 Masehi pada masa kerajaan Mojopahit yang juga
berpusat di Jawa Timur, ketika tampuk pemerintahan di pegang raja terbesar
Mojopahit bernama Hayam Wuruk ( 1351-1389 ) saat itu kerajaan Banggai sudah
dikenal dengan sebutan "BENGGAWI"dan menjadi bagian kerajaan
Mojopahit. Bukti bahwa kaerajaan Banggai sudah di kenal sejak zaman Mojopahit
dengan nama Benggawi setidaknya dapat di lihat dari apa yang telah di tulis
seorang pujangga Mojopahit yang bernama Mpu Prapanca dalam bukunya"Negara
Kartagama" buku bertarikh caka 1478 atau tahun 1365 Masehi,yang dimuat
dalam seuntai syair nomor 14 bait kelima sebagai berikut "Ikang Saka
Nusa-Nusa Mangkasara,Buntun Benggawi,Kuni,Galiayo,Murang
LingSalayah,Sumba,solor,Munar,Muah,Tikang,I Wandleha, Athawa Maloko, Wiwawun ri
Serani Timur Mukadi Ningagaku Nusantara".(Mangkasara = Makasar, Buntun =
Buton, Benggawi = Banggai, Kunir = Pulau Kunyit,Salayah = Selayar, ambawa =
Ambon,Maloko = Maluku ).
Hayam Wuruk ingin
mempersatukan Nusantara lewat sumpah Palapa yang di ucapkan sang Pati Gajah
Mada.Dengan sumpah tersebut Hayam Wuruk makin terkenal dengan programnya
mempersatukan Nusatara. Di daerah yang sekarang kita kenal sebagai Kabupaten
Banggai pernah bediri kerajaan-kerajaan kecil.Yang tertua bernama kerjaan
bersaudara Buko dan Bulagi.letak kerajaan Buko dan Bulagi berada di pulau
Peling belhan barat.Kemudian muncul keajaan-kerajaan baru seperti, Kerajaan
Sisipan, Kerajaan Lipotomundo, dan Kadupadang.Semuanya beada di pulau Peling
bagian tengah (sekarang kecamatan Liang).
Sementara di bagian
pulau Peling sebelah timur (sekitar Kecamatan Totikum dan Tinangkung) waktu itu
telah berdiri kerajaan yang agak besar yakni kerajaan Bongganan. Upaya unntuk
memekarkan kerjaan Bongganan dilakukan Pangeran dan beberapa bansawan kerajaan
akhirnya membuahkan hasil bila sebelumnya wilayah kerajaan banggai hanya
meliputi pulau Banggai, kemudian dpat diperlebar. Di banggai Darat ( kabupaten
Banggai, waktu itu sudah berdiri Kerajaan Tompotika yang berpusat di sebelah utara
(Kecamatan Bualemo ) bagian Selatan kerajaan tiga bersaudara Motindok, Balaloa,
dan Gori-Gori. Perkembangan Kerajaan Banggai yang ketika itu masih terpusat di
Pulau Banggai, mulai pesat dan menjadi Primus Inter Pares atau yang utama dari
beberapa kerajaan yang ada, sewaktu pemerintahan Kerajaan Banggai berada di
bawah pembinaan Kesultanan ternate akhir abad 16.
Wilayah Kerajaan
Banggai pada tahun 1950-an hanya meliputi Pulau Banggai, kemudian diperluas
sampai ke Banggai Darat, hingga ke Tanjung Api, Sungai Bangka dan Togong Sagu yang terletak di sebelah
Selatan Kecamatan Batui. Perluasan wilayah Kerajaan Banggai dilakukan oleh Adi
Cokro yang bergelar Mumbu Doi Jawa pada abad ke-16. Istilah " Mumbu
Doi" berarti yang wafat atau mangkat, khusus dipakai untuk raja-raja
Banggai yang tertinggi derajatnya. Adi Cokro adalah bangsawan dari Pulau Jawa
yang mengabdikan diri kepada Sultan Baab-Ullah dari Ternate. Di tangan Adi
Cokro kerajaan-kerajaan Banggai mampu dipersatukan hingga akhirnya ia dianggap
sebagai pendiri Kerajaan Banggai. Adi Cokro tercatat pula sebagai orang yang
memasukkan agama Islam ke Banggai. hal tersebut sebagaimana ditulis Albert C.
Kruyt dalam bukunya De Vorsten Van Banggai ( Raja-raja Banggai). Adi Cokro
bergelar Mumbu Doi Jawa, yang dalam dialeg orang Banggai disebut Adi Soko,
mempersunting seorang wanita asal Ternate berdarah Portugis bernama Kastellia (Kastella).
Perkawinan Adi dengan Kastellia melahirkan putra bernama Mandapar yang kemudian
menjadi Raja Banggai. Istilah " Adi" merupakan gelar bangsawan bagi
raja-raja Banggai, hal tersebut sama dengan gelar RM ( Raden Mas) untuk
bangsawan Jawa atau Andi bagi bangsawan bugis. Karena Kerajaan Banggai dikenal
Oleh Kerajaan Ternate, sementara Kerajaan Ternate ditaklukan Bangsa Portugis,
otomatis Kerajaan Banggai berada dibawah kekuasaan Bangsa Portugis. Bukti, itu
setidaknya dapat dilihat dengan ditemukannya sisa-sisa peninggalan Bangsa
Portugis di daerah ini di antaranya meriam kuno atau benda peninggalan lainnya.
Tahun 1532 P.A. Tiele pernah menulis dalam bukunya De Europeers in Den
maleischen Archipel, di sana disebutkan, bahwa pada tahun 1532. Laksamana
Andres De Urdanette yang berbangsa Spanyol merupakan sekutu ( kawan ) dari
Sultan Jailolo, pernah mengunjungi wilayah sebelah Timur Pulau Sulawesi (
Banggai ). Andres de Urdanette merupakan orang barat pertama yang menginjakan
kaki di Banggai. Sedang orang Portugis yang pertama kali datang ke Banggai
bernama Hernando Biautemente tahu 1596. Tahun 1956 Pelaut Belanda yang sangat
terkenal bernama Cornelis De Houtman datang ke Indonesia. Menariknya, pada
tahun 1594 atau dua tahun sebelum datang ke Indonesia Cornelis De Houtman sudah
menulis tentang Banggai. ketika Adi Cokro ynag bergelar Mumbu Doi Jawa, kembali
ke tanah Jawa dan wafat disana, tampuk Kerajaan Banggai dilanjutkan oleh
Mandapar dengan gelar Mumbu Doi Godong. Mandapar dilantik sebagai Raja Banggai
pada tahun 1600 di Ternate oleh Sultan Said Uddin Barkat Syah. Tahun 1602
Belanda datang ke Indonesia dan mendirikan Vereeniging Oast Indische Compagnie
( VOC ) yang merupakan Kongsi Dagang Belanda untuk perdagangan di Hindia Timur
( Indonesia ). Kesaksian salah seorang pelaut bangsa Inggris bernama David
Niddeleton yang pernah dua kali datang ke Banggai menyebutkan. Pengaruh VOC di
Banggai sudah ada sejak Raja Mandapar memimpin Banggai. Kerajaan Banggai pernah
dikuasai Ternate. namun setelah Kerajaan Ternate dapat ditaklukan dan direbut
oleh Sultan Alaudin dari Kerajaan Gowa ( Sulawesi Selatan ) maka Banggai ikut
menjadi bagian dari Kerajaan Gowa. Dalam sejarah tercatat Kerajaan Gowa sempat
berkembang dan mempunyai pengaruh yang sangat besar dan kuat di Indonesia
Timur. Kerajaan Banggai berada di bawah pemerintahan Kerajaan Gowa berlangsung
sejak tahun 1625-1667.
Pada tahun 1667
dilakukan perjanjian Bongaya yang sangat terkenal antara Sultan Hasanuddin dari
Kerajaan Gowa melepaskan semua wilayah yang tadinya masuka dalam kekuasaan
Kerajaan Ternate seperti Selayar, Muna, Manado, Banggai, Gapi ( Pulau Peling ),
Kaidipan, Buol Toli-Toli, Dampelas, Balaesang, Silensak dan kaili. Pada saat
Sultan Hasanuddin dikenal sebagai raja yang sengit melawan Belanda. Bentuk
perjuangan yang dilakukan Hasanuddin ternyata memberikan pengaruh tersendiri
bagi Raja Banggai ke-4, yakni Raja Mbulang dengan gelar Mumbu Doi Balantak (
1681-1689 ) hingga Mbulang memberontak terhadap Belanda. Sebenarnya Mbulang Doi
Balantak menolak untuk berkongsi dengan VOC lantaran monopoli dagang yang
terapkan Belanda hanya menguntungkan Belanda sementara rakyatnya di posisi
merugi. Tapi apa hendak dikata, karena desakan Sultan Ternate yang menjadikan
Kerajaan Banggai sebagai bagian dari taklukannya, dengan terpaksa Mbulang Doi
Balantak tidak dapat menghindar dari perjanjian yang dibuat VOC ( Belanda ).
Tahun 1741 tepatnya tanggal 9 November perjanjian antara VOC dengan Mbulang Doi
Balantak diperbarui oleh Raja Abu Kasim yang bergelar Mumbu Doi Bacan. Meski
perjanjian telah diperbaharui oleh Abu Kasim, tetapi secara sembunyi - sembunyi
Abu Kasim menjalin perjanjian kerjasama baru dengan Raja Bungku. Itu dilakukan
Abu Kasim dengan target ingin melepaskan diri dari Kerajaan Ternate. Langkah
yang ditempuh Abu Kasim ini dilakukan karena melihat beban yang dipikul oleh
rakyat Banggai sudah sangat berat karena selalu dirugikan oleh VOC. Tahu raja
Abu Kasim menjalin kerjasama dengan Raja BUngku, akhirnya VOC jadi berang (
marah ). Abu Kasim lantas ditagkap dan dibuang ke Pulau Bacan ( Maluku Utara ),
hingga akhirnya meninggal disana.
Usaha Raja - raja
Banggai untuk melepaskan diri dari belenggu Kerajaan Ternate berulang kali
dilakukan. dan kejadian serupa dilakukan Raja Banggai ke-9 bernama Antondeng
yang bergelar Mumbu Doi Galela ( 1808 - 1829 ).Serupa dengan Raja-raja Banggai
sebelumnya, Antondeng juga melakukan perlawanan kepada Kesultanan Ternate.
Sebenarnya perlawanan Anondeng ditujukan kepada VOC ( Belanda ). Karena
Antondeng menilai perjanjian yang disebut selama ini hanya menguntungkan Hindia
Belanda dan menjepit rakyatnya. Karena itulah Antondeng berontak. Karena
perlawanan kurang seimbang, Antondeng kemudian ditangkap dan dibuang ke Galela
( Pulau Halmahera ). Setelah Antondeng "dibuang" ke Halmahera,
Kerajaan Banggai kemudian dipimpin Raja Agama, bergelar Mumbu Doi Bugis.
Memerintah tahun 1829 - 1847.
Raja Agama sempat
melakukan perlawanan yang sangat heroik dalam perang Tobelo yang sangat
terkenal. Tetapi Kerajaan ternate didukung armada laut yang "modern"
akhirnya mereka berhasil mematahkan perlawanan Raja Agama. pusat perlawanan
Raja Agama dilakukan dari "Kota Tua" banggai ( Lalongo ). Dalam
perang Tobelo, raja Agama sempat dikepung secara rapat oleh musuh. Berkat
bantuan rakyat yang sangat mencintainya, Raja Agama dapat diloloskan dan
diungsikan ke wilayah Bone Sulawesi Selatan, sampai akhirnya wafat di sana
tahun 1874. Setelah Raja Agama hijrah ke Bone, munculah dua bersaudara Lauta
dan Taja. Kepemimpinan Raja Lauta dan Raja Taja tidak berlangsung lama. Meski
hanya sebentar memimpin tetapi keduanya sempat melakukan perlawanan, hingga
akhirnya Raja Lauta dibuang ke Halmahera sedang Raja Taja diasingkan ke Pulau
Bacan, Maluku Utara. Dalam Pemerintahan Kerajaan Banggai, sejak dulunya sudah
dikenal sistem demokrasi. Dimana dalam menjalankan roda pemerintahan Raja akan
dibantu oleh staf eksekutif atau dewan menteri yang dikenal dengan sebutan
komisi empat, yaitu : 1. Mayor Ngopa atau Raja Muda 2. Kapitan Laut Kepala
Angkatan Perang 3. Jogugu atau Menetri Dalam Negeri 4. Hukum Tua atau
Pengadilan Penunjukan dan pengangkatan komisi empat, dilakukan langsung oleh
Raja yang tengah bertahta. Sementara badan yang berfungsi selaku Legislatif
disebut Basalo Sangkap. Terdiri dari Basalo Dodonung, Basalo Tonobonunungan,
Basalo Lampa, dan Basalo Ganggang. Basalo Sangkap diketuaioleh Basalo Dodonung,
dengan tugas melakukan pemilihan setipa bangsawan untuk menjadi raja. Demikian
pula untuk melantik seorang raja dilakukan di hadap[an Basalo Sangkap. Basalo
sangkap yang akan melantik raja, lalu akan meriwayatkan secara teratur sejarah
raja- raja Banggai. Berurut kemudian disebutkanlah calon raja yang akan dilantik,
yang kepadanya akan dipakaikan mahkota kerajaan. Dengan begitu, raja tersebut
akan resmi menjadi Raja Kerajaan Banggai.
C. Masuk dan berkembangnya Islam
Dengan menggunakan teori Mekkah, maka masuknya Islam di Kerajaan Banggai
jauh sebelum kerajaan banggai berdiri tahun 1600. Sebab dalam penelitian
sejarah Belanda dan penelusuran terhadap kerajaan yang pernah ada sejarawan
Belanda mencatatkan bahwa jauh sebelum Belanda atau Portugias datang Islam
sudah ada, bukti yang dapat diketahui tinggalah menurut penuturan masyarakat
yang ada di pulau-pulau seperti pulau Peling, Banggai, dan Labobo. Mereka
menyatakan bahwa mereka memiliki nenek moyang dari Palabatu, dan pada zaman itu
Palabatu merupakan negeri ibu kota dari kerajaan Fuadino. Di Palabatu telah ada
perkampungan-perkampungan orang cina, Arab, India, Turki, dan Gujarat.
Bukti lain yang dapat diperkirakan adalah pada saat penaklukan kerajaan
Singosari dan Majapahit, yang beragama Budha dan Hindu, rakyatnya tidak ada
yang beragama Budha atau Hindu sehingga tidak ada peninggalan barupa candi atau
poemujaan Budha atau Hindu seperti daerah di mana agama Bidha dan Hindu berkuasa.
Bukti lainya adalah bahasa yang digunakan oleh nenek moyang suku bangsa
Banggai atau Seasea di Palabatu menggunakan aksara Arab, seperti tertulis pada
batu nisan makam imam Sya’ban Abu Da’i, dan pendahulunya yang bernama syaoli
seperti terpahat pada dinding kotak atau banteng tempat Syaoli dikuburkan.
Islam kemudian lebih berkembang lagi setelah ternate berkuasa dan
menunjuk frins mandapat sebagai raja dan kemudian menjadikan agama islam
sebagai agama Kerajaan sehingga raja-raja atau pimpinan pemerintahan harus
beragama Islam.
BAGIAN 4
SIMPULAN HASIL PENELITIAN
Pembentukan keberadaan Kerajaan Banggai tidak terlepas dari pengaruh Islam, karena ajaran Islam dijadikan agama resmi kerajaan dan keluarga kerajaan Banggai, juga perangkat dibawahnya seperti tampak pada istilah kerajaan yang mempengaruhinya, yakni Basalo, Kapitalau, sampai kepala distrik harus dapat mengaji (membaca Alquran); bahkan sebagai simbol pengakuan dan simpati SultanTernate terhadap dijadikannya Islam sebagai agama kerajaan, maka Sultan Ternate memberikan hadiah sebuah guci besar yang digunakan menampung air untuk berwudhu mereka yang sholat. Keberadaan Islam di Kerajaan Banggai, jauh sebelum kerajaan ini berdiri sudah ada, bahkan diperkirakan sudah ada sejak abad VII-VIII yang dibawa langsung oleh orang-orang Arab, hal ini dapat dimengerti karena pada masa kerajaan Fuadino di Palabatu, jauh sebelum penaklukan kerajaan Majapahit telah ada beberapa perkampungan Arab, Cina, India, dan Turki, mereka hidup rukun dengan suku atau penduduk asli Seasea. Bukti yang mendukung adalah aksara yang digunakan zaman dahulu berwujud aksara Aran, hal ini dapat dijumpai pada beberapa prasasti berupa batu nisan bertuliskan Aksara Arab, demikian pula penjelasan didinding kotak (Benteng) yang ditulis dengan aksara Arab yang menunjukan bahwa ada salah seorang penyiar Islam bernama Imam Syaoli Abu Da’i. Bukti lainnya adalah peta alam yakni semacam media belajar menggunakan huruf / aksara Arab, menceritrakan tentang kota Mekkah.
Kerajaan Banggai berdiri sejak dinobatkannya Frins Mandapar tahun 1600 putra Adi Cokro asal Kediri, oleh Sultan Ternate bergelar Sultan Uddin Berkatsyah di Banggai, meskipun demikian Kerajaan Banggai memiliki sejarah yang panjang, karena sesungguhnya sebelum Kerajaan Banggai resmi didirikan oleh Sultan Ternate telah ada kerajaan-kerajaan sebelumnya yang berdaulat dan diakui oleh kerajaan besar seperti kerajaan Singosari, dan Kerajaan Majapahit. Kerajaan tersebut yang tertua adalah Kerajaan Fuadino yang berpusat di Palabatu Pulau Peling. Kerajaan ini mengalami kemunduran karena serangan Majapahit, dengan Panglima perangnya Hayam Wuruk, sehingga akhirnya Kerajaan Fuadino terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil seperti: Kerajaan Buko dan Kerajaan Bulagi, terus berdiri lagi Kerajaan Sisipan, Kerajaan Kadupadang, dan Kerajaan Bongganan. Dengan berdirinya kerajaan Banggai tahun 1600, maka kerajaan-kerajaan kecil yang pernah ada dipersatukan, bahkan juga kerajaan yang ada di daratan besar Pulau Sulawesi seperti; Kerajaan Loinang Barat, Tombuku, dan Loinang Timur yang dikenal dengan Kerajaan Tompotika ikut ditaklukan dan dipersatukan sehingga Kerajaan Banggai menjadi luas sampai menembus pulau-pulau Togean.
ini saya menceritakan sedikit sejara tutur mengenai adi saka di wilayah bulagi,.....
BalasHapus.. dahulunya sekitar awal abad ke VI ADI SAKA datang pertama menginjakan kakinya di daerah buko, dan menikah dgn putri seorang basalo di buko dan dikaruniai seorang putra namanya blm diketahui, setelah itu ada seorang basalo dari banggai mengutus seoseorang untuk meminta ADI SAKA mebunuh seekor burung elang raksa atau bhs banggainya alai mbelong, beliaupun menerima permintaan bantuan tersebut setelah burung itu ia bunuh maka dipun menikah dengan putri basalo tersebut yg kemudian melahirkan 2 org putra yg kaka bernama FUADIN atau LIPUADINO dan adiknya belum diketahui namanya, setelah tinggal beberapa waktu dibanggai diapun berangkat ke jawa dan mendirikan sebuah kerajaan di jawa sehingga pada saat itu kerajaan banggai kekosongan raja kemudian dimintalah anaknya untuk memimpin banggai namun mereka katakan mereka mau memimpin banggai tpi harus sepengetahuan bapanya dan akhirnya mereka berangkat ke jawa dengn membawa 40 pengawal, setelah sampai di jawa dan disetujui oleh ayahnya yaitu ADI SAKA adiknya pulang terlebih dulu dgn membawa 9 bendera guna mempersiapkan penyambutan kedatangan kaknya FUADIN untuk dinobatkan sebagai raja namun setelah sampai di banggai diapun lansung diangkat jdi raja. kemudian menyusul kakanya FUADIN dgn membawa 12 bendera tpi sesampai dibanggai dia mendengar bahwa adiknya telah memimpin banggai maka diapun berlayar menuju bulagi dan menikah dengan anak dari BASALO SALAUP bulagi yg kemudian dia meninggal di thn 68 H, beliau FUADIN masuk islam pada seorang penyebar islam yang lebih dikenal dengan nama MIAN TU atau manusia sempurna, BASALO SALAUP atau BASALO SUJUD sendiri masuk islam melalui MIAN TU.untuk adi saka memang tidak begitu jelas asal usulnya sebab ADI SAKA sendiri itu hanya gelar. saya skarang sedang membagi informasi dengan seorang tokoh budayawan jogja yaitu herman sinung jautama mengenai ADI SAKA sebab kalau dijawa sendiri ada seorang sosok sejara yg pembuat huruf jawa yaitu AJI SAKA, dan AJI SAKA sendiri dalam sejarah jawa mereka blum dapat pastikan asal usulnya dan hadirnya tahun berapa beliau di jawa belum mereka dapat pastikan sebab ada yg mengatakan AJI SAKA datang di jawa skitar abad ke-3, yg lain mengatakan ke-4, ke-5, ke-6, ke-7 sampai ke-10.. beberapa waktu lalu saya berbagi info dengannya diapun mengatakan kemungkinan ADI SAKA di banggai yang kedatangannya sekitar abad ke VI dan aji saka di jawa ialah satu sosok..
maaf tidak terlalu rinci tpi muda2han bisa bermanfaat..
Numpang copy ustadz...
BalasHapusAdi Cokro bukan pemersatu...
BalasHapusMelainkan penjajah..
Sebab setelah menaklukkan kerajaan-kerajaan yang ada dan katanya di"SATUKAN" menjadi kerajaan Banggai,, kerajaan ini pun menjadi kerajaan BONEKA TERNATE dan dijadikan jaminan atas piutang Ternate terhadap VOC....
Buktinya ketika raja-raja Banggai melakukan perlawanan kepada pihak VOC,, oleh Kerajaan Ternate jangankan dibantu direstui saja tidak,, yang ada malah raja-raja Banggai yang melawan VOC dijatuhi hukuman oleh pihak ternate...
Terus katanya Adi Cokro penyebar Islam...
BalasHapusDengan cara perang...????
Dengan membumihanguskannya...???
(contoh : kerajaan Tompotika )
Seperti inikan cara Islam Menyebarkan Agamanya...??
Gilleeeee benerrr tuch cara yak...??
Saudaraku tercinta, bantahan dan sanggahan sebaiknya dalam bentuk penelitian juga.. jadai terjadi banyak sudut pandang yang dinamis atas persoalan yg ada di tulisan ini.. tulisan ini berdasar pada penelitian
Hapustulisan ini mohon membedakan ulasan tentang kerajaan banggai dengan kerajaan tombuku. kelihatannya penulis tidak memisahkan ulasan kedua kerajaan ini yang merupakan saduran dari buku "Ternate" karya De Clerck. akibatnya bahasannya jadi ngawur.
BalasHapusterima kasih atas kritikan terhadap tulisan di blog ini. Mohon maaf penulis dari blog ini sudah tidak bisa memperbaiki tulisan ini lagi.
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTulisan ini banyak yang ngawur menurut saya, tercampur aduk bagaimana gitu. Yang berikut apakah ini sebuah penjelasan sejarah atau apa? Karena nadanya kebanyakan memprovokasi agama. Terus terang saya tidak terima bila dikatakan Kolonial menjalankan Misi Kristiani. Atas dasar penelitian yang bagaimana bahasa ini dikeluarkan? Apakah anda pernah tahu kalau seorang Penyiar Kristiani untuk ikut dalam ekspedisi Pasukan Kolonial harus meminta izin kepada Pihak Militer atau kepada pihak yang berwenang dan kadang-kadang mendapat penolakan? Jadi jangan sok tahu dengan mengatakan Pemerintahan Kolonial menjalankan misi Kristiani. Ingat, dalam kamus Ke-Kristenan aspek agama tidak pernah dicampurbaurkan dengan Masalah politik dan sebagainya sebagaimana dalam islam. Jadi, Masuknya Ke-Kristenan ke Indonesia bukan bagian dari misi Kolonial, tapi sebagai usaha dari pihak Gereja untuk melayani, sebagaimana kata-kata pengutusan dari seorang Isa Almasih: Ajarilah segala bangsa menjadi muridKu. Jangan samakan kekejaman dengan Agama Kristen, Bukan karena Kolonial itu Kristiani terus anda mengeluarkan statement seolah-olah agama yang disebarkan para penyebar agama Kristiani juga berjiwa kejam seperti yang dilakukan pemerintah Kolonial kepada penduduk. Kalau anda pernah membaca bagaimana Kisah para penyebar Kristen yang berusaha ikut ekspedisi ke mana saja dan rela dibunuh tanpa melawan, seperti di aceh di masa lalu. Penyebar agama dijadikan sama seperti seorang tentara Kolonial, padahal mereka tidak sama sekali membuat sebuah kekejaman, tapi oleh penduduk Aceh yang telah memeluk Islam tidak perduli dengan hal itu. Namun tidak penting juga saya harus menceriterakan sebenarnya karena oleh karena kefanatikan agama membuat segala statement yang dikeluarkan pihak yang tidak segolongan akan sia-sia juga. Semuanya akan dianggap palsu, karena seperti itu keadaan dunia masa ini.
BalasHapusYang berikut, penataan penulisannya seperti dicopy paste saja, karena setiap bagian jenis fontnya berubah-ubah. Ini menjadi tidak menarik.
terima kasih atas kritikan terhadap tulisan ini di blog ini, mohon maaf penulis blog ini sudah tidak dapat membalas kritikan anda. tapi saya ingin menambahkan bahwa apabila tulisan ini dianggap ngawur atau asal-asalan, tidak mungkin tulisan ini diseminarkan dan dibukukan oelh puslitbang kementrian RI pada tahun 2012, sudah pasti di tolah dari awal.
HapusDan tulisan yang seperti di copy paste,itu benar karena tulisan di blog ini dicopy dari file ms.word penelitian ini.
terima kasih atas kritikan anda terhadap tulisan di blog ini. Mohon maaf.
Almarhum tidak dapat membalas tulisan anda
HapusPERHATIKAN PARAGRAF INI:
BalasHapusAspek lainnya yang menunjukan betapa besarnya pengaruh Islam di kawasan kerajaan Banggai adalah bahwa pada saat pengangkatan atau penunjukan Frins Mandapar sebagai raja oleh kesultanan Ternate; Islam telah lama berkembang karena itu Frins Mandapar menjadikan agama Islam sebagai agama keluarga raja, sehingga ada beberapa tokoh masyarakat menyatakan bahwa Frins Mandapar adalah pembawa Islam atau pemeluk Islam pertama di Banggai, dan mulai saat itu agama Islam terus mempengaruhi tata kelola pemerintahan dan aspek kehidupan masyarakat lainnya, walaupun di setiap pulau atau kerajaan kecil-kecil yang tidak berdaulat itu terjadi perbedaan penyebutan fungsi publiknya.
Coba ANALISA, Ini sebuah paragraf yang sangat rancu. Mula-mula mengatakan Islam telah lama berkembang, tapi kemudian dikatakan sehingga beberapa tokoh menyebut Frins Mandapar (yang baru saja dilantik) sebagai orang pertama yang memeluk Islam... ?????? Wow, betapa bodohnya tulisan ini..
mungkin penulisnya bisa cek sendiri dan dirubah, soalnya bisa bingung orang memahaminya..
Hapusbapak Aldrino yang terhormat, mohon maaf atas kesalahan dalam penulisan di blog ini. Penulis Blog ini sudah tidak bisa membacanya lagi.
Hapusbapak Jalil Manggalia yang terhormat, almarhum penulis sudah tidak bisa mengeceknya lagi
Hapusinnalillahiwainailaihi ruhjiun..
Hapusmuda2han amal ibadah bapak dapat diterima di sisi-Nya. amin...
Assalamualaikum wrb, saya mohon maaf kalau postingan saya menyinggung perasaan anda semua tapi saya lillahi ta’ala hanya mau menceritakan pengalaman pribadi saya saya berharap ada yang sama seperti saya.perkenalkan terlebih dahulu saya aini andari tinggal di Padang,dulu saya penjual kue keliling himpitan ekonomi yang membuat saya seperti ini,saya tidak menyerah dengan keadaan saya tetap usaha,pada suatu malam saya buka internet tidak sengaja saya lihat postingan seseorang yang sama seperti saya tapi sudah berhasil,dia dibantu oleh mbah bedjo tampa pikir panjang saya hubungi beliau saya dikasi pencerahaan dan dikasi solusi,awalnya saya tidak mau tapi sya beranikan diri mengikuti saran beliau,alhamdulillah berjalan lancar sekarang saya punya toko bangunan Jaya Abadi didaerah Padang,terimah kasih saya ucapkan pada mbah bedjo berkat beliau saya seprti ini,mungkin banyak orang yang menyebut saya mengada-ada tapi saya buktikan sendiri,khusus yang serius mau bantuan silahkan hub beliau mbah bedjo beliau orangnya baik ini nomor beliau 082316139285 atau ini pengalaman pribadi saya percaya atau tidak semua tergantung pembaca demi Allah ini nyata sekian dan terima kasih ,Assalamualaikum Wrb....allahuakbar....allahuakbar....allahuakbar
BalasHapusJika ada yang tidak sepakat dengan tulisan dan penelitian ini,=.. maka sekiranya para pengkritik yang tidak sepakat, perlu melakukan penelitian untuk membantah dan membuktikan bahwa tulisan yang didasarkan pada penelitian ini banyak yang keliru dan ngawur...sungguh benar hanya punya Tuhan...setiap pendekatan penelitian yang beda hampir pasti bisa menghasilkan perbedaan.. jadi sebaiknya komentator perlu melakukan penelitian dan membuktikan bahwa tulisan ini banyak yang keliru..
BalasHapusPuslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, 2012
BalasHapus©2012
xii, 159 pages ; 21 cm
ISBN 9786028766494
https://lektur.kemenag.go.id/web/koleksi-308-sejarah-kesultanan-banggai
BalasHapusPengarang : Sofyan Madina, Nama Lengkap SOfyan KL. Madina
BalasHapusTTL : Luwuk, Kec. Kintom ( Talang Batu / Tangkian) 10 Oktober
1959
Suku : Saluan
Wafat : Yogyakarta, 16 Maret 2016
Ijin pak sejak kapan kerajaan banggai jadi kesultanan?
BalasHapusPak mohon penjlsannya sosok adi lambal polambal, supaya jelas siapa dia dan kapasitasnya di kerajaan Banggai modern supaya tidak ada penghapusan sejarah karena saya liat dalam tulisan tidak jelas siapa adi lambal itu, padahal dia adalah pangeran Kerajaan Bongganan yg pusatnya di Salakan dan patut diketahui pondasi awal kerajaan banggai modern yang mnytukan ialah adi lambal polamabal sebelum dtngnya boneka Ternate adi cokro
BalasHapusJadi mohon penjelasannya pak???