KURIKULUM
( Kajian Implementasi Pendidikan Formal)
Oleh:
Drs. Sofyan Madina, M.Pd
Mempertinggi
mutu sekolah tidak lepas dari mempertinggi mutu pendidik(Guru), demikianlah pesan salah seorang pejuang NKRI Mr.
Muhammad Yamin. Pesan itu terutama ditujukan kepada penanggung jawab dunia
pendidikan, khususnya yang mengurus tentang pendidik dan tenaga kependidikan. Upaya peningkatan mutu pendidikan tidak
akan berhasil tanpa melalui jalan dan upaya peningkatan mutu pendidiknya. Tanpa
guru yang dapat dijadikan andalannya, mustahil sesuatu sistem pendidikan
berikut acara kurikulernya dapat mencapai hasil sebagaimana diharapkan. Maka
prasyarat utama yang harus dipenuhi bagi berlangsungnya proses belajar-mengajar
yang menjamin optimalisasi hasil ‘pembelajaran’ secara kurikuler ialah
tersedianya guru dengan kualifikasi dan kompetensi yang mampu memenuhi tuntutan
tugasnya.
Proses
belajar-mengajar atau proses pembelajaran merupakan suatu kegiatan melaksanakan
kurikulum suatu lembaga pendidikan, agar dapat mempengaruhi para siswa mencapi
tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.tujuan pendidikan pada dasarnya adalah
mengantar para siswa menuju pada perubahan-perubahan tingkah-laku,baik
intelektual, moral, maupun sosial agar dapat hidup mandiri sebagai individu dan
mahluk sosial.
Didalam mencapai tujuan tersebut,siswa berinteraksi
dengan lingkungan belajar yang diatur guru melalui proses pembelajaran. lingkungan
belajar mencakup tujuan pembelajaran, bahan pembelajaran, metode pembelajaran
dan penilaian pembelajaran. Unsu-unsur tesebut dikenal sebutan
kompenen-kompenen pembelajaran
Tunjuan pembelajaran adalah rumusan kemampuan yang diharapkan dimiliki para siswa menempuh berbagai pengalaman belajar (pada akhir pembelajaran).bahan pelajaran adalah seperangkat materi keilmuan yang terdiri atas fakta, konsep, generalisasi suatu ilmu pengetahuan yang bersumber dari kurikulum dan dapat menunjang tercapainya tujuan pembelajaan.metodelogi pembelajaran adalah metode dan teknik yang digunakan guru dalam menggunakan interaksi dengan siswa agar bahan pembelajaan sampai kepada mereka sehingga siswa menguasai tujuan pembelajaran.penilain pembelajaran adalah alat untuk mengukur atau menentukan tarap tercapainya tidaknya tujuan pembelajaran.
Tunjuan pembelajaran adalah rumusan kemampuan yang diharapkan dimiliki para siswa menempuh berbagai pengalaman belajar (pada akhir pembelajaran).bahan pelajaran adalah seperangkat materi keilmuan yang terdiri atas fakta, konsep, generalisasi suatu ilmu pengetahuan yang bersumber dari kurikulum dan dapat menunjang tercapainya tujuan pembelajaan.metodelogi pembelajaran adalah metode dan teknik yang digunakan guru dalam menggunakan interaksi dengan siswa agar bahan pembelajaan sampai kepada mereka sehingga siswa menguasai tujuan pembelajaran.penilain pembelajaran adalah alat untuk mengukur atau menentukan tarap tercapainya tidaknya tujuan pembelajaran.
Untuk
dapat meningkatkan profesionalisme guru dengan baik, para guru dan calon guru
harus memiliki empat standar kompetensi guru, yaitu: (1) kompetensi pedagogis,
(2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi sosial, dan (3) kompetensi
profesional.
Kompetensi pedagogis adalah kompetensi yang terkait dengan penguasaan
guru tentang teori belajar mengajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang
mendidik. Kompetensi profesional adalah kompetensi yang terkait dengan
penguasaan disiplin ilmu atau mata pelajaran yang akan diajarkan, termasuk di
dalamnya penguasaan terhadap hal-hal yang terkait dengan kurikulum. Mata kuliah
Kurikulum dan Pengembangan Materi Pembelajaran ini diharapkan dapat menjadi
salah satu bekal bagi para calon guru agar memiliki kompetensi yang memadai,
khususnya kompetensi pedagagogis dan kompetensi profesional. Dengan demikian, guru yang dihasilkan dari
lembaga pengembangan tenaga kependidikan (LPTK) ini adalah guru yang
profesional.
Di
samping itu, para calon guru harus memiliki pemahaman yang mendalam bahwa guru
mempunya posisi sentral dalam sistem pendidikan nasional. Ada tiga komponen
utama dalam sistem pendidikan nasional, yaitu: (1) peserta didik; (2) guru, dan (3) kurikulum.
Dalam proses
belajar mengajar, ketiga komponen tersebut mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara
satu dengan yang lain. Tanpa
peserta didik, guru tidak akan dapat melaksanakan proses pembelajaran. Tanpa
guru para siswa juga tidak akan dapat secara optimal belajar. Tapa kurikulum,
guru pun tidak akan mempunyai bahan ajar yang akan diajarkan kepada peserta
didik. Dengan demikian, tanpa kehadiran salah satu komponen tersebut, proses
interaksi edukatif tidak akan terjadi.
Antara kurikulum dengan
pembelajaran ibarat dua sisi mata uang. Kurikulum adalah konsepnya.
Pembelajaran merupakan pelaksanaannya. Mata kuliah Kurikulum dan Pengembangan
Materi Pembelajaran ini mencakup dua hal penting: (1) kurikulum, dan (2)
pengembangan materi pembelajaran dan penerapannya dalam proses belajar mengajar
di dalam kelas.
2. Kompetensi
Setelah mengikuti
kegiatan perkuliahan dalam mata kuliah Kurikulum dan Pengembangan Materi
Pembelajaran, diharapkan mahasiswa dapat memiliki kompetensi sebagai
berikut:
1.
Memahami pengertian kurikulum;
2.
Memahami definisi kurikulum;
3.
Memahami komponen utama kurikulum;
4.
Memahami proses pengembangan kurikulum;
5.
Memahami macam-macam kurikulum;
6.
Memahami
hubungan antara kurikulum, pengajaran, dan tujuan pendidikan;
7.
Memahami sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia;
8.
Memahami
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP);
9.
Memahami
silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
3. Tujuan Pembelajaran
1.
Menjelaskan pengertian etimologis kurikulum;
2.
Menjelaskan tentang filosofi dan definisi kurikulum;
3.
Menjelaskan beberapa macam kurikulum;
4.
Menyebutkan komponen utama kurikulum;
5.
Menjelaskan
hubungan antara kurikulum, pembelajaran, dan tujuan pendidikan;
6.
Menjelaskan proses pengembangan kurikulum dan pemangku
kepentingan yang terlibat dalam proses pengembangan kurikulum;
7.
Menjelaskan
perkembangan kurikulum di Indonesia
8.
Menyebutkan
dua dokumen KTSP;
9.
Menjelaskan
KTSP;
10. Menjelaskan silabus;
11. Menyusun silabus;
12. Menjelaskan RPP;
13. Menyusun RPP.
4. Kegiatan Pembelajaran
4.1. Rincian Materi Pembelajaran
Mata kuliah ini disampaikan kepada mahasiswa dalam 16 kali pertemuan dengan
rincian materi pembelajaran dalam tabel berikut:
Tabel 4.1: Rincian Materi Pembelajaran
Pertemuan
|
Materi
pembelajaran
|
I
|
Informasi Mata
Kuliah
|
II
|
Pengertian
Etimologis Kurikulum
|
III
|
Filosofi dan
Definisi Kurikulum
|
IV
|
Komponen
Kurikulum
|
V
|
Hubungan
Kurikulum, Pembelajaran, dan Tujuan Pendidikan
|
VI
|
Macam-macam
Kurikulum
|
VII
|
Proses
Pengembangan Kurikulum
|
VIII
|
UTS (Ujian
Tengah Semester)
|
IX
|
Perkembangan
Kurikulum Di Indonesia
|
X
|
KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan): Dokumen I
|
XI
|
KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan): Dokumen II
|
XII
|
Silabus
|
XIII
|
Praktik
Penyusunan Silabus
|
XIV
|
RPP (Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran)
|
XV
|
Praktik
Penyusunan RPP
|
XVI
|
UAS (Ujian
Akhir Semester)
|
4.2. Uraian Materi Pembelajaran dan Beberapa Contoh
Pertemuan I: Informasi Mata Kuliah
Dalam pertemuan ini
mahasiswa akan menerima fotokopi hand out
silabus mata kuliah atau modul ini sekaligus, agar secara dini mahasiswa dapat
mengetahui apa saja yang akan dipelajari selama satu semester. Dengan demikian,
mahasiswa diharapkan dapat memperoleh bahan lain untuk lebih memperkaya
pengetahuan dan pemahamannya terhadap materi kuliah ini. Beberapa butir kontrak
perkuliahan antara lain dapat disepakati sebagai berikut:
1. Setiap mahasiswa wajib memilik i modul ini;
2. Setiap mahasiswa juga harus --- paling
tidak --- memiliki satu buku referensi yang disebutkan dalam modul ini;
3. Untuk itu, mahasiswa harus melaporkan
tentang buku referensi apa yang dimilikinya;
4. Pertemuan ini seluruhnya dilakukan dengan
cara pemberian informasi dialog antara dosen dengan mahasiswa;
5. Tugas mandiri yang harus dikerjakan oleh
mahasiswa harus segera diserahkan kepada mahasiswa sesuai dengan jadwal yang
telah disepakati;
6. Dosen harus mengoreksi dan mengembalikan
tugas mandiri kepada mahasiswa;
7. Mahasiswa yang belum mencapai kriteria
ketuntasan minimum (KKM) harus mengikuti remedial
teaching atau pembelajaran remedial tentang materi yang masih kurang
tersebut.
Pertemuan II: Pengertian Etimologis Kurikulum
Secara etimologis, kurikulum berasal dari kata
dalam Bahasa Latim ”curir” yang artinya pelari, dan ”curere” yang artinya ”tempat berlari”, yang mengandung pengertian
suatu jarak yang harus ditempuh oleh pelari mulai dari garis start sampai dengan finish. Dengan demikian, istilah kurikulum pada awalnya berasal
dari dunia olah raga pada zaman Romawi kuno di Yunani, dan kemudian diadopsi ke
dalam dunia pendidikan.
Pengertian
tersebut kemudian digunakan dalam dunia pendidikan, dengan pengertian sebagai
rencana dan pengaturan tentang sejumlah mata pelajaran yang harus dipelajari
peserta didik dalam menempuh pendidikan di lembaga pendidikan.
In
The Curriculum, the first
textbook published on the subject, in 1918, John Franklin Bobbitt said that curriculim,
as an idea, has its roots in the Latin word for race-course, explaining the
curriculum as the course of deeds and experiences through which children become
the adults they
should be, for success in adult society.
Furthermore, the curriculum encompasses the entire scope of formative deed and
experience occurring in and out of school, and not experiences occurring in school; experiences
that are unplanned and undirected, and experiences intentionally directed for
the purposeful formation of adult members of society (www.wikipedia.com).
Secara bebas,
kutipan tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut: “Di dalam The Curriculum, buku teks pertama yang
diterbitkan tentang mata kuliah itu pada tahun 1918, John Franklin Bobbit
mengatakan bahwa kurikulum, sebagai satu gagasan, memiliki akar kata Bahasa
Latin “race course” (tempat berlari),
yang menjelaskan bahwa kurikulum sebagai mata pelajaran dan pengalaman yang
harus diperoleh anak-anak sampai menjadi dewasa, agar kelak sukses setelah
menjadi dewasa. Lebih dari itu, kurikulum merupakan keseluruhan kegiatan dan
pengalaman yang diperoleh di dalam dan di luar sekolah, pengalaman yang
direncanakan dan yang tidak direncanakan, serta pengalaman yang secara
sungguh-sungguh diarahkan untuk mencapai tujuan pembentukan warga masyarakat
orang dewasa.
In formal
education or schooling (cf. education), a curriculum
is the set of courses, course work, and content offered at a school or university. A
curriculum may be partly or entirely determined by an external, authoritative
body (i.e. the National
Curriculum for England in English schools).
In the U.S., each state, with the individual school districts, establishes the
curricula taught. Each state, however, builds its curriculum with great
participation of national academic subject groups selected by the United States Department of Education, e.g. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) for
mathematical instruction. In Australia each
state's Education Department establishes curricula. UNESCO's International Bureau of Education
has the primary mission of studying curricula and their implementation
worldwide.
Curriculum
means two things: (i) the range of courses from which students choose what
subject matters to study, and (ii) a specific learning program. In the latter
case, the curriculum collectively describes the teaching, learning, and
assessment materials available for a given course of study.
Secara terminologis, istilah kurikulum yang
digunakan dalam dunia pendidikan mengandung pengertian sebagai sejumlah
pengetahuan atau mata pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan siswa
untuk mencapai satu tujuan pendidikan atau kompetensi yang ditetapkan. Sebagai
tanda atau bukti bahwa seseorang peserta didik telah mencapai standar kompetensi
tersebut adalah dengan sebuah ijazah atau sertifikat yang diberikan kepada
peserta didik,
Pengertian
kurikulum mengalami perkembangan selaras dengan perkembangan masyarakat dan ilmu
pengetahuan itu sendiri. Prof. Dr. H. Engkoswara, M.Ed, guru besar Universitas
Pendidikan Indonesia telah mencoba untuk merumuskan
perkembangan pengertian kurikulum tersebut dengan menggunakan formula-formula
sebagai berikut:
1.
K = -------------, artinya kurikulum
adalah jarak yang harus ditempuh
oleh pelari.
2.
K = Σ MP,
artinya kurikulum adalah sejumlah mata
pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik.
3.
K = Σ MP +
KK, artinya kurikulum adalah sejumlah mata
pelajaran dan kegiatan-kegiatan
yang telah direncanakan sekolah yang harus ditempuh oleh peserta didik.
4.
K = Σ MP +
K + SS + TP, artinya kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran dan kegiatan-kegiatan
dan segala sesuatu yang yang
berpengaruh terhadap pembentukan pribadi peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan
oleh pemerintah atau sekolah.
Dari ke empat
formula definisi kurikulum tersebut, dapat diambil dua butir kesimpulan bahwa
(1) definisi kurikulum berasal dari dunia olah raga, dan kemudian digunakan
dalam dunia pendidikan; (2) definisi
kurikulum senantiasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, mulai dari
definisi yang amat sederhana menjadi definisi yang sangat kompleks. Untuk
memahami makna definisi kurikulum biasanya perlu dilakukan analisis makna unsur-unsur
definisi kurikulum, sehingga dapat diketahui formula yang membentuk
definisi kurikulum tersebut.
Pertemuan III: Filosofi
dan Definisi Kurikulum
Dewasa ini terdapat
banyak sekali definisi
kurikulum, yang kalau dipelajari secara mendalam ternyata dipengaruhi oleh
filosofi atau aliran filsafat tertentu. Pertama, pakar kurikulum yang beraliran perenialisme mendefinisikan
kurikulum sebagai ”subject matter”
atau mata pelajaran, ”content” atau
isi, dan ”transfer of culture” atau
alih kebudayaan (Said Hamid Hasan, dari Tanner dan Tanner, 1980: 104). Kedua,
pakar kurikulum yang menganut aliran
essesialisme mendefinisikan kurikulum sebagai ”academic exellence” atau keunggulan akademis dan ”cultivation of intellect” atau
pengolahan intelek.
Persamaan kedua
aliran tersebut sama-sama mengagungkan keunggulan akademis dan intelektualitas.
Sedangkan perbedaannya, aliran perenialisme menitikberatkan pada tradisi
intelektualitas Bangsa Barat, seperti membaca, retorika, logika, dan
matematika, sementara aliran esensialisme mengutamakan disiplin akademis yang
lebih luas seperti Bahasa Inggris, matematika, sains, sejarah, dan
bahasa-bahasa modern.
Kedua aliran
tersebut termasuk kelompok aliran konservatif.
Di samping itu ada kelompok aliran progresif, yang lebih memandang kurikulum ---
bukan hanya untuk meneruskan tradisi intelektualitas masa lalu --- tetapi juga untuk memenuhi tuntutan perubahan
masa sekarang dan masa depan, Termasuk kelompok aliran progresif adalah aliran romantis
naturalisme, eksistensialisme, eksperimentalisme, dan rekonstruksionisme.
Menurut aliran
rekonstruksionisme, kurikulum tidak hanya berfungsi untuk melestarikan budaya
atau apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga membentuk apa yang akan
dikembangkan di masa depan. Menurut McNeil (1977: 19), kurikulum
berfungsi untuk membentuk masa depan atau "shaping the future",
bukan hanya "adjusting, mending or
reconstructing the existing conditions of the life of community".
McNeil menjelaskan bahwa:
Social reconstructionists are opposed to the notion that the curriculum should help students adjusts or fit the existing society. Instead, they conceive of curriculum as a vehicle for fostering critical discontent and for equipping learners with the skills needed for conceiving new goals and affecting social change.
Beberapa definisi kurikulum dapat disebutkan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel III.1: Beberapa Definisi Kurikulum
No.
|
Pakar
|
Definisi
|
1
|
John Franklin
Bobbit, 1918
|
|
2
|
Hilda Taba (1962)
|
Curriculum is a plan for learning.
|
3
|
Caswell and Campbell (1935)
|
Curriculum is all of the experiences
children have under the guidance of teachers.
|
4
|
Edward A. Krug (1957)
|
A curriculum consists of the means used
to achieve or carry out given purposes of schooling.
|
5
|
Beauchamp (1972)
|
A curriculum is a written document which
may contain many ingredients, but basically it a plan for the education of
pupil during their enrollment in given school.
|
5
|
Saylor dan Alexander
|
“The total effort of school to going
desired outcomes in school and out school situations”.
|
6
|
Hilda Taba
|
Curriculum is a plan for learning.
|
7
|
Johnson
|
A structural series of intended kearning
outcomes.
|
8
|
J.F. Kerr (1972)
|
All the learning which is planned or
guided by school, whether it is carried on in groups or individually, inside
of or outside the school.
|
9
|
Caswell and Campbell
|
Curriculum is all of the experiences
children have under the guidance of teacher
|
10
|
Oliva (2004)
|
Curriculum is a plan or program for all
experiences when the learner encounters under the direction of the school.
|
11
|
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (pasal 1 ayat 19)
|
Kurikulum
adalah "seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu.
|
Sumber: Dari berbagai sumber.
Daftar definisi kurikulum tersebut dapat diperpanjang.
Definisi tersebut tampak sangat bervariasi. Dari definisi yang sangat pendek
seperti yang dikemukakan oleh Hilda Taba, atau pun Johnson, sampai dengan
definisi yang panjang dari Beauchamp. Bahkan, George Beauchamp (1972) sendiri
mencoba mengelompokkan definisi kurikulum dalam tiga kelompok. Pertama,
kelompok yang mendefinisikan bahwa kurikulum adalah a plan for subsequent action. Kedua, adalah kelompok yang
menyatakan bahwa kurikulum tidak lain adalah pengajara dan pembelajaran (curriculum and instruction as synonums or a
unified concept). Ketiga, kelompok yang mendefiniskan sebagai istilah yang
sangat luas, yang meliputi proses psikologikan peserta didik sebagai pengalaman
belajar (a very broad term, encompassing
the learner's psychological process as she or he acquires educational experiences).
Pada pertemuan sebelumnya telah dipelajari bahwa untuk
memahami kurikulum kita dapat membedah definisi kurikulum ke dalam unsur-unsur
kurikulum. Dengan mengetahui unsur-unsur kurikulum, kita akan jauh lebih mudah
untuk mengetahui komponen-komponen kurikulum.
Perbedaan ruang lingkup kurikulum juga dapat menggambarkan
berbagai perbedaan dalam definisi kurikulum. Ada yang berpendapat bahwa kurikulum adalah
"statement of objectives"
(McDonald; Popham), ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rencana bagi guru untuk mengembangkan
proses pembelajaran atau instruction (Saylor, Alexander,dan Lewis, 1981).
Ada
yang mengatakan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis yang berisikan berbagai
komponen sebagai dasar bagi guru untuk mengembangkan kurikulum guru
(Zais,1976:10). Ada juga pendapat resmi negara seperti yang dinyatakan dalam
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa kurikulum adalah
"seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaranserta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu" (pasal 1 ayat 19).
Dari definisi kurikulum sebagaimana telah dirumuskan dalam UU
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut, kita dapat
menyimpulkan bahwa kurikulum itu terdiri dari beberapa komponen utama:
1.
Isi dan bahan pelajaran;
2.
Cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran;
3.
Tujuan pendidikan yang akan dicapai
Subandiyah dalam bukunya
menyebutkan komponen utama kurikulum adalah:
1.
Tujuan pendidikan;
2.
Isi/materi;
3.
Organisasi/strategi;
4.
Media;
5.
Proses belajar mengajar;
Sedang komponen penunjangnya
adalah:
1.
Sistem administrasi dan supervise;
2.
Bimbingan dan penyuluhan;
3.
Sistem evaluasi
Pertemuan V: Hubungan
Kurikulum, Pengajaran, dan Tujuan Pendidikan
Oliva (1997:12) menyatakan secara tegas bahwa "Curriculum itself is a construct or concept,
a verbalization of an extremely complex idea or set of ideas". Dengan
kata lain, salah satu pengertian yang melekat pada kurikulum adalah kurikulum
sebagai verbalisasi dari ide atau gagasan yang teramat kompleks yang ingin
dicapai oleh dunia pendidikan. Definisi
lain menyatakan kurikulum sebagai satu dokumen tertulis. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa sesungguhnya gagasan tersebut memerlukan penerapan atau
pelaksanaan dalam bentuk proses pengajaran dan pembelajaran. Kurikulum sebagai
dokumen dan sebagai konsep tidak mempunyai makna apa-apa jika tidak
dilaksanakan oleh pendidik dalam proses pengajaran dan pembelajaran di dalam
atau di luar kelas. Bahkan, dalam proses pelaksanaan atau penerapan kurikulum
itu sendiri juga menjadi salah satu materi tersendiri dalam kurikulum itu, yang
kita kenal sebagai kurikulum tersembunyi. Dalam kenyataan di lapangan apa yang
dilakukan oleh guru di dalam dan di luar sekolah akan menjadi pengalaman
belajar yang sangat mempengaruhi peserta didik. Dan oleh karena itulah maka
pengalaman belajar yang diperoleh siswa di sekolah dalam proses pelaksanaan
kurikulum ideal disebut sebagai kurikulum yang sebenarnya (real curriculum) atau kurikulum faktual (factual curriculum).
Jika dokumen kurikulum yang dikembangkan disebut sebagai ideal
curriculum, dan proses pengajaran dan
pembelajaran di dalam dan di luar kelas sebagai factual curriculum, maka
kedua-duanya tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk mencapai tujuan pendidikan
yang telah ditetapkan. Dalam kurikulum ideal terdapat komponen tujuan
pendidikan yang akan dicapai. Demikian juga dalam pelaksanaan pengajaran dan
pembelajaran terkandung tujuan instruksional yang tidak lain adalah tujuan
pendidikan dalam level di dalam kelas. Walhasil, baik kurikulum dalam bentuk
dokumen atau ideal maupun kurikulum faktual berupa proses pengajaran semuanya
memiliki orientasi tunggal, yakni tujuan pendidikan.
Pertemuan VI: Macam-macam Kurikulum
Kita mengenal berbagai macam kurikulum
ditinjau dari berbagai aspek:
Ditinjau dari konsep dan pelaksanaannya, kita mengenal
beberapa istilah kurikulum sebagai berikut:
1. Kurikulum ideal,
yaitu kurikulum yang berisi sesuatu yang ideal, sesuatu yang dicita-citakan
sebagaimana yang tertuang di dalam dokumen kurikulum
2.
Kurikulum aktual
atau faktual, yaitu kurikulum yang dilaksanakan dalam proses pengajaran dan
pembelajaran. Kenyataan pada umumnya memang jauh berbeda dengan harapan. Namun
demikian, kurikulum aktual seharusnya mendekati dengan kurikulum ideal. Kurikulum
dan pengajaran merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Kurikulum
merujuk kepada bahan ajar yang telah direncanakan yang akan dilaksanakan dalam
jangka panjang. Sedang pengajaran merujuk kepada pelaksanaan kurikulum tersebut
secara bertahap dalam belajar mengajar.
3. Kurikulum
tersembunyi (hidden curriculum),
yaitu segala sesuatu yang terjadi pada saat pelaksanaan kurikulum ideal menjadi
kurikulum faktual. Segala sesuatu yang terjadi di dalam kelas, seperti
kebiasaan guru, kehadiran guru, kepala sekolah, tenaga administrasi, atau
bahkan dari peserta didik itu sendiri dan sebagainya akan dapat menjadi
kurikulum tersembunyi yang akan berpengaruh terhadap pelaksanaan kurikulum
ideal di sekolah. Kebiasaan guru datang tepat waktu ketika mengajar di kelas,
sebagai contoh, akan menjadi kurikulum tersembunyi yang akan berpengaruh kepada
pembentukan kepribadian peserta didik.
Berdasarkan
struktur dan materi mata pelajaran yang diajarkan, kita dapat membedakan:
- Kurikulum terpisah-pisah (separated curriculum), kurikulum yang mata pelajarannya dirancang untuk diberikan secara terpisah-pisah. Misalnya, mata pelajaran sejarah diberikan terpisah dengan mata pelajaran geografi, dan seterusnya. Kurikulum sebelum tahun 1968 di Indonesia termasuk dalam kategori kurikulum terpisah-pisah.
- Kurikulum terpadu (integrated curriculum), kurikulum yang bahan ajarnya diberikan secara terpadu. Misalnya Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan fusi dari beberapa mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi, dan sebagainya. Dalam proses pembelajaran dikenal dengan pembelajaran tematik yang diberikan di kelas rendah Sekolah Dasar. Mata pelajaran matematika, sains, bahasa Indonesia, dan beberapa mata pelajaran lain diberikan dalam satu tema tertentu. Kurikulum 1968 di Indonesia termasuk dalam kategori kurikulum terpadu.
- Kurikulum terkorelasi (corelated curriculum), kurikulum yang bahan ajarnya dirancang dan disajikan secara terkorelasi dengan bahan ajar yang lain.
Berdasarkan proses
pengembangannya dan ruang lingkup penggunaannya, kurikulum dapat dibedakan
menjadi:
1.
Kurikulum
nasional (national curriculum), yakni
kurikulum yang disusun oleh tim pengembang tingkat nasional dan digunakan
secara nasional.
2.
Kurikulum
negara bagian (state curriculum),
yakni kurikulum yang disusun oleh masing-masing negara bagian, misalnya di
masing-masing negara bagian di Amerika Serikat, dan digunakan oleh
masing-masing negara bagian itu.
3.
Kurikulum
sekolah (school curriculum), yakni
kurikulum yang disusun oleh satuan pendidikan sekolah. Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum sekolah. Kurikulum sekolah lahir dari keinginan
untuk melakukan diferensiasi dalam kurikulum.
Pertemuan VII:
Proses Pengembangan Kurikulum
Proses pengembangan kurikulum a complex process of
assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing for
instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural, social, and
personal needs that the curriculum is to serve. Unruh dan Unruh (1984)
Kurikulum memang harus dibuat. Disusun dengan proses tertentu. Negara yang
memiliki UU tentang Sistem Pendidikan Nasional mempunyai kepentingan untuk
menyusun kurikulum tersebut berdasarkan amanat yang ada di dalam undang-undang
tersebut.
Untuk
menyusun kurikulum nasional, sudah barang tentu ada lembaga tertentu yang telah
diberikan tugas dan tanggung jawab untuk menyusun atau mengembangkan kurikulum
yang akan digunakan secara nasional. Di Indonesia, lembaga itu dikenal sebagai
Pusat Kurikulum, yang berada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan
Pendidikan Nasional (Balitbang Diknas). Di negara lain tentu saja ada lembaga
seperti itu. Ada beberapa pemangku kepentingan yang menurut David G. Amstrong
biasanya dilibatkan dalam pengembangan kurikulum, yaitu:
1.
Curriculum specialist (spesialis kurikulum, ahli
kurikulum);
2.
Teacher/instructors (guru/instruktur);
3.
Learners (peserta didik);
4.
Principals/corporate
unit supervisors (kepala sekolah/unit pengawas sekolah);
5.
Central office
administrators/corporeate administrators (administrator kantor
pusat/administrator perusahaan;
6.
Special experts (ahli special);
7.
Lay public
representatives (perwakilan masyarakat umum).
Yang dimaksud
pengembangan kurikulum adalah proses perencanaan dan penyusunan kurikulum oleh
pengembang kurikulum (curriculum
developer) dan kegiatan yang dilakukan
agar kurikulum yang dihasilkan dapat menjadi bahan ajar dan acuan yang
digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Definisi yang dikemukakan terdahulu menggambarkan pengertian yang membedakan antara apa yang direncanakan (kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi di kelas (instruction atau pengajaran). Memang banyak ahli kurikulum yang menentang pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut pendapat adanya perbedaan antara keduanya. Kelompok yang menyetujui pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum adalah rencana yang mungkin saja terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan apa yang terjadi di sekolah/kelas adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang mungkin berdasarkan rencana tetapi mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang dari apa yang direncanakan. Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan perbedaan cara pandang antara kelompok ahli kurikulum dengan ahli teaching (pangajaran). Baik ahli kurikulum mau pun pengajaran mempelajari fenomena kegiatan kelas tetapi dengan latar belakang teoritik dan tujuan yang berbeda.
Unruh dan Unruh (1984:97) mengatakan bahwa proses pengembangan
kurikulum a complex process of assessing needs, identifying desired learning
outcomes, preparing for instruction to achieve the outcomes, and meeting the
cultural, social, and personal needs that the curriculum is to serve.
Berbagai faktor seperti politik, sosial, budaya, ekonomi,
ilmu, teknologi berpengaruh dalam proses pengembangan kurikulum. Oleh karena
itu Olivia (1992:39-41) selain mengakui bahwa pengembangan kurikulum adalah
suatu proses yang kompleks lebih lanjut mengatakan curriculum is a product
of its time. curriculum responds to and is changed by social forced,
philosophical positions, psychological principles, accumulating knowledge, and
educational leadership at its moment in history. Secara singkat dapat
dikatakan bahwa dalam pengembangan kurikulum fokus awal memberi petunjuk jelas
apakah kurikulum yang dikembangkan tersebut kurikulum dalam pandangan
tradisional, modern ataukah romantism.
Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan dalam banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih banyak mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang dikembangkan pada langkah awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam belajar suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya. Pada fase pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada permasalahan transfer dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan tujuan yang terbatas
Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan dalam banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih banyak mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang dikembangkan pada langkah awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam belajar suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya. Pada fase pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada permasalahan transfer dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan tujuan yang terbatas
Dalam proses pengembangan tersebut unsure-unsur luar seperti
kebudayaan di mana suatu lembaga pendidikan berada tidak pula mendapat
perhatian. Konsep diversifikasi kurikulum menempatkan konteks social-budaya
seharusnya menjadi pertimbangan utama. Sayangnya, karena sifat ilmu yang
universal menyebabkan konteks social-budaya tersebut terabaikan. Padahal
seperti dikemukakan Longstreet dan Shane (1993:87) bahwa kebudayaan berfungsi
dalam dua perspektif yaitu eksternal dan internal:
The environment of the curriculum is external insofar as
the social order in general establishes the milieu within which the schools
operate; it is internal insofar as each of us carries around in our mind's eye
models of how the schools should function and what the curriculum should be.
The external environment is full of disparate but overt conceptions about what
the schools should be doing. The internal environment is a multiplicity of
largely unconscious and often distorted views of our educational realities for,
as individuals, we caught by our own cultural mindsets about what should be,
rather than by a recognition of our swiftly changing, current realities.
Model kedua yang diajukan dalam makalah ini adalah model yang
menempatkan kurikulum dalam posisi kedua dan ketiga. Dalam model ini maka
proses pengembangan kurikulum dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat.
Identifikasi masalah dalam masyarakat dan kualitas yang dimiliki suatu
komunitas pada saat sekarang dijadikan dasar dalam perbandingan dengan kualitas
yang diinginkan masyarakat sehingga menghasilkan harus dikembangkan oleh
kurikulum. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum selalu dimulai
dengan evaluasi terhadap masyarakat. Pencapaian tujuan kurikulum pun diukur
dengan keberhasilan lulusan di masyarakat.
Pertemuan VIII: UTS
Dalam pertemuan V ini, mahasiswa akan menjawab menjawab
soal-soal berbentuk Benar – Salah (B/S) sebagai berikut:
1.
Secara etimologis, kurikulum diartikan sebagai jarak
yang harus ditempuh oleh seorang pelari (B/S)
2.
Pengertian awal kurikulum berasal dari dunia bisnis dan
kemudian diadopsi ke dalam dunia pendidikan (B/S)
3.
Pengertian curriculum
sama artinya dengan curriculum vitae
(B/S)
4.
Kurikulum
berasal dari kata dalam Bahasa Latim ”curir” yang artinya pelari, dan ”curere”
yang artinya ”tempat berlari” (B/S).
5.
Perilaku
dan kegiatan pendidik yang secara langsung maupun tidak langsung menjadi pengalaman
belajar peserta didik dalam proses pembelajaran merupakan kurikulum tersembunyi
(hidden curriculum) (B/S)
6.
KTSP
merupakan national curriculum (B/S)
7.
Pada
tahun 1940-an, lembaga pendidikan di Indonesia telah mulai menggunakan istilah
kurikulum (B/S)
8.
Perubahan
kurikulum merupakan keinginan dan kebijakan dari menteri pendidikan atau para
pengambil kebijakan pendidikan (B/S)
9.
Rencana
Pengajaran 1947 sesungguhnya bukan kurikulum (B/S)
10. Kurikulum untuk lembaga pendidikan
sekolah/madrasah lebih baik tidak perlu diubah-ubah sehingga menimbulkan kesan
berubah menteri berubah kurikulmnya (B/S)
11. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan
mata pelajaran dalam Integrated
Curriculum (B/S).
12. Model pembelajaran tematik yang diberikan
di kelas awal Sekolah Dasar merupakan pelaksanaan dari Separated Curriculum (B/S)
13. Sejarah merupakan mata pelajaran
dalam Separated Curriculum (B/S)
14. Sains merupakan mata pelajaran dalam
Corelated Curriculum (B/S)
15. Proses pengajaran dan pembelajaran
sesungguhnya dalam disebut sebagai kurikulum faktual (B/S)
16. Tujuan pendidikan nasional terlepas dari
makna, pengertian, atau definisi kurikulum, baik dokumen kurikulum maupun
proses pengajaran (B/S)
17. Perenialisme dan esensialisme merupakan
aliran progresif dalam kurikulum (B/S)
18. Aliran perenialisme dan esensialisme
kedua-duanya mementingkan mata pelajaran yang dapat mengembangkan
intelekualitas dan transfer budaya atau transfer
of culture (B/S).
19. UU Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa kurikulum
adalah "seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaranserta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu” (B/S)
20. Dokumen kurikulum merupakan kurikulum yang
bersifat faktual (B/S)
21. Proses pengajaran dan pembelajaran
merupakan kurikulum yang bersifat ideal (B/S)
22. Kurikulum sebagai dokumen dan proses
pengajaran di dalam kelas, keduanya diusahakan untuk mencapai tujuan pendidikan
yang telah ditetapkan (B/S)
23. Aliran rekonstruksionisme menekankan
kurikulum pada aspek transfer budaya intelektualitas masa lalu (B/S).
24. Pemberian mata pelajaran teknologi
informasi dalam pendidikan sekolah di Indonesia memberikan indikasi bahwa
Indonesia juga menganut aliran rekonstruksionisme dalam kurikulum (B/S)
25. Aliran rekonstruksionisme termasuk aliran
konservatif dalam kurikulum (B/S)
Pertemuan IX:
Perkembangan Kurikulum di Indonesia
Secara
umum, perubahan dan penyempurnaan kurikulum dilakukan setiap sepuluh tahun sekali. Perubahan kurikulum
tersebut dilakukan agar kurikulum tidak ketinggalan dengan perkembangan
masyarakat, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologinya. Kurikulum yang pernah
diberlakukan secara nasional di Indonesia dapat dijelaskan dalam tabel sebagai
berikut:
Tabel IX.1: Sejarah Perkembangan
Kurikulum di Indonesia
No.
|
Kurikulum
|
Keterangan
|
1
|
Rencana
Pelajaran 1947
|
·
Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, Mr. Suwandi, membentuk
Panitia Penyelidik Pengajaran.
·
Merupakan kurikulum pertama di Indonesia. Rencana Pelajaran yang
disusun harus memperhatikan; (1) mengurangi pendidikan pikiran, (2)
menghubungkan isi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, (3) memberikan
perhatian kepada kesenian, (4) meningkatkan pendidikan watak, (5)
meningkatkan pendidikan jasmani, dan (6) meningkatkan kesadaran bernegara dan
bermasyarakat.
· Istilah kurikulum belum digunakan. Istilah yang digunakan adalah Rencana
Pelajaran. Unsur pokok kurikulum adalah: (1) daftar jam pelajaran atau
struktur program, (2) garis-garis besar program pengajaran.
· Struktur program dibagi menjadi: (1)
struktur program yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa Daerah, (2) struktur
program yang menggunakan bahasa pengantar Bahasa Indonesia.
· Merupakan kurikulum dengan mata
pelajaran terpisah-pisah (separated
curriculum).
|
2
|
Rencana
Pelajaran 1950
|
· Lahir karena tunturan UU Nomor 4 Tahun
1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah.
· Kurikulum ini masih relatif sama dengan
Rencana Pelajaran 1947
· Istilah kurikulum masih belum digunakan.
Istilah yang dipakai adalah Rencana Pelajaran.
· Kurikulum ini merupakan kurikulum masih
dengan mata pelajaran terpisah-pisah (separated
curriculum).
|
3
|
Rencana
Pelajaran 1958
|
· Merupakan penyempurnaan dari Rencana
Pelajaran 1950.
· Digunakan sampai dengan tahun 1964
|
4
|
Rencana
Pelajaran 1964
|
· Merupakan penyempurnaan dari Rencana
Pelajaran 1958
· Digunakan sampai dengan tahun 1968.
· Terdapat pembagian kelompok cipta, rasa,
karsa, dan krida.
|
5
|
Kurikulum 1968
|
· Kurikulum ini merupakan kurikulum
terpadu pertama di Indonesia. Beberapa mata pelajaran Ilmu Hayat, Ilmu Alam,
dan sebagainya mengalami fusi menjadi Ilmu Pengetahun Alam (IPA) atau yang
sekarang sering disebut Sains.
· Struktur program dibagi menjadi (1)
pembinaan jiwa Pancasila, (2) pengetahuan dasar, dan (3) kecakapan khusus.
· Struktur program untuk Sekolah Dasar,
program pembinaan jiwa Pancasila meliputi mata pelajaran (1) Pendidikan
Agama, (2) Pendidikan Kewargaan Negara, (3) Pendidikan Bahasa Indonesia, (4)
Bahasa Daerah, dan (5) Pendidikan Olahraga.
· Untuk program pengetahuan dasar meliputi
mata pelajaran (1) Berhitung, (2) IPA,
(3) Pendidikan Kesenian, dan (4) Pendidikan Kesejahteraan Keluarga.
· Untuk program kecakapan khusus meliputi
mata pelajaran Pendidikan Khusus.
· Untuk pertama kalinya istilah kurikulum
dipakai di Indonesia.
|
6
|
Kurikulum 1975
|
· Lahir sebagai tuntutan Ketetapan MPR
Nomor IV/MPR/1973 tentang GBHN 1973, dengan tujuan pendidikan ”membentuk
manusia Indonesia untuk pembangunan nasional di berbagai bidang.
· Struktur program untuk SD meliputi
bidang studi (1) Agama, (2) Pendidikan Moral Pancasila, (3) Bahasa Indonesia,
(4) Ilmu Pengetahuan Sosial, (5) Matematika, (6) Ilmu Pengetahuan Alam, (7)
Olahraga dan Kesehatan, (8) Kesenian, dan (9) Keterampilan Khusus.
· Untuk SMP ditambah dengan bidang studi
Bahasa Daerah, Bahasa Inggris, dan Pendidikan Keterampilan, baik yang pilihan
terikat atau pilihan bebas.
· Untuk SMA sudah barang tentu ada bidang
studi berdasarkan jurusan, baik IPA dan IPS.
· Untuk SMK dikenal dengan Kurikulum 1976.
· GBPP untuk kurikulum 1975 dikenal dengan
format yang sangat rinci.
|
7
|
Kurikulum 1984
|
· Kurikulum ini merupakan penyempurnaan
dari kurikulum 1975. Oleh karena itu Kurikulum 1984 dikenal juga sebagai
Kurikulum 1975 Yang Disempurnakan.
· Kurikulum 1984 berlaku berdasarkan
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0461/U/1983 tanggal 22
Oktober 1983 tentang Perbaikan Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah di
Lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
· Ada empat aspek yang disempurnakan dalam
Kurikulum 1984, yakni: (1) pelaksanaan PSPB, (2) penyesuaian tujuan dan
struktur program kurikulum, (3) pemilihan kemampuan dasar serta keterpaduan
dan keserasian antara ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik, (4)
pelaksanaan pelajaran berdasarkan kerundatan belajar yang disesuaikan dengan
kecepatan belajar masing-masing peserta didik.
|
8
|
Kurikulum 1994
|
· Kurikulum 1994 merupakan pelaksanaan
amanat UU Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
· Kurikulum 1994 dilaksanakan berdasarkan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993 tanggal 25 Februari 1993.
· Kurikulum 1994 berisi 3 lampiran: (1)
Landasan, Program, dan Pengembangan Kurikulum, (2) GBPP, dan (3) Pedoman
Pelakskanaan Kurikulum.
|
9
|
Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK)
|
· Kurikulum ini belum diterapkan di
seluruh sekolah di Indonesia.
· Pusat Kurikulum, Balitbang Diknas
bersama dengan Direktorat Teknis telah melakukan uji coba dalam rangka proses
pengembangan kurikulum berbasis kompetensi ini.
· Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005,
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mempunyai kewenangan untuk
mengembangkan standar nasional pendidikan, termasuk standar kurikulum yang
digunakan di sekolah-sekolah.
|
10
|
Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
|
·
KBK sering disebut sebagai jiwa KTSP, karena KTSP sesungguhnya telah
mengadopsi KBK.
·
Kurikukulum ini dikembangkan oleh BSNP (Badan Standar Nasional
Pendidikan).
·
Kurikulum ini disusun oleh satuan pendidikan sekolah/madrasah bersama
dengan semua pemangku kepentingan di sekolah.
|
Sumber: Lima Puluh Tahun Pendidikan
Indonesia.
Pertemuan X: KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Dokumen I
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 (UU 20/2003) tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan kurikulum pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah disusun
oleh satuan pendidikan dengan mengacu kepada standar isi (SI) dan standar
kelulusan (SKL) serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP).
Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan
Dasar dan Menengah menyebutkan tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) bahwa:
1.
Sekolah/Madrasah menyusun KTSP.
2.
Penyusunan KTSP memperhatikan Standar Kompetensi Lulusan, Standar Isi,
dan peraturan pelaksanaannya.
3.
KTSP dikembangkan sesuai dengan kondisi sekolah/madrasah, potensi atau
karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik.
4.
Kepala Sekolah/Madrasah bertanggungjawab atas tersusunnya KTSP.
5.
Wakil Kepala SMP/MTs dan wakil kepala SMA/SMK/MA/MAK bidang kurikulum
bertanggungjawab atas pelaksanaan penyusunan KTSP.
6.
Setiap guru bertanggungjawab menyusun silabus setiap mata pelajaran
yang diampunya sesuai dengan Standar Isi, Standar Kompetensi Lulusan, dan
Panduan Penyusunan KTSP.
7.
Dalam penyusunan silabus, guru dapat bekerjasama dengan Kelompok Kerja
Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), Lembaga Penjaminan Mutu
Pendidikan (LPMP), atau Perguruan Tinggi.
8.
Penyusunan KTSP tingkat SD dan SMP dikoordinasi, disupervisi, dan
difasilitasi oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota sedangkan SDLB, SMPLB, SMALB,
SMA dan SMK oleh Dinas Pendidikan Provinsi yang bertanggungjawab di bidang
pendidikan. Khusus untuk penyusunan KTSP
Pendidikan Agama (PA) tingkat SD dan SMP dikoordinasi, disupervisi, dan
difasilitasi oleh Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota, sedangkan untuk SDLB,
SMPLB, SMALB, SMA dan SMK oleh Kantor Wilayah Departemen Agama.
9. Penyusunan KTSP tingkat MI dan MTs dikoordinasi,
disupervisi, dan difasilitasi oleh Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota,
sedangkan MA dan MAK oleh Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi.
Apa yang dimaksud kurikulum dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional? Apa yang dimaksud KTSP ?
Kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta
kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan
potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum
disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program
pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Sedang kurikulum
tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh
masing-masing satuan pendidikan.
Bagaimana Konsep Dasar KTSP?
Konsep dasar KTSP meliputi 3 (tiga) aspek yang saling terkait, yaitu
(a) kegiatan pembelajaran, (b) penilaian, dan (c) pengelolaan kurikulum
berbasis sekolah.
Kegiatan pembelajaran dalam KTSP mempunyai karakteristik sebagai
berikut:
1.
Berpusat pada peserta didik
2.
Mengembangkan kreativitas
3.
Menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang
4.
Kontekstual
5.
Menyediakan pengalaman belajar yang beragam
6.
Belajar melalui berbuat
Penilaian dalam KTSP mempunyai
karakteristik
1.
Dilakukan
oleh guru untuk mengetahui tingkat
penguasaan kompetensi yang ditetapkan, bersifat internal, bagian dari
pembelajaran, dan sebagai bahan untuk peningkatan mutu hasil belajar;
2.
Berorientasi
pada kompetensi, mengacu pada patokan, ketuntasan belajar, dilakukan melalui
berbagai cara, yaitu (a) portfolios
(kumpulan kerja siswa), (b) products
(hasil karya), (c) projects (penugasan),
(d) performances (unjuk kerja), dan
(e) paper & pen test (tes tulis).
Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah
Pengelolaan kurikulum berbasis
sekolah mempunyai prinsip-prinsip:
1.
Mengacu
pada Visi dan Misi Sekolah
2.
Pengembangan
perangkat kurikulum (a.l. silabus)
3.
Pemberdayaan
tenaga kependidikan dan sumber daya lainnya untuk meningkatkan mutu hasil
belajar
4.
Pemantauan dan
Apa Landasan KTSP ?
1.
UU
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional
2.
PP
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
3.
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
4.
Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan
5.
Permendiknas
Nomor 24 Tahun 2006 dan Nomor 6 Tahun 2007 tentang pelaksanaan
Permendiknas Nomor 22 dan 23/2006
6.
Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar
Penilaian Pendidikan
Bagaimana Prinsip
Pengembangan KTSP?
Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) mengacu kepada standar nasional pendidikan untuk menjamin
pencapaian tujuan pendidikan nasional. Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, disebutkan sistem pendidikan nasional
memiliki 8 (delapan) standar, yang meliputi (1) standar isi, (2) standar proses,
(3) standar kompetensi lulusan, (4) standar tenaga kependidikan, (5) standar sarana
dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan. Dua dari
kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan
dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum untuk satuan pendidikannya.
|
|
||||||
|
Prinsip-prinsip
pengembangan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
1. Berpusat
pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan
lingkungannya.
Kurikulum
dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral
untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta
didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan
peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti
kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik.
2. Beragam
dan Terpadu
Kurikulum
dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik,
kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak
diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status
sosial ekonomi, dan jender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib
kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun
dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
3. Tanggap
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
Kurikulum
dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
yang berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, semangat dan isi kurikulum
memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
4. Relevan
dengan kebutuhan kehidupan
Pengembangan
kurikulum dilakukan dengan melibatkan
pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan
kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan
keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan
akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
5. Menyeluruh
dan berkesinambungan
Substansi
kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran
yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang
pendidikan.
6. Belajar
sepanjang hayat
Kurikulum
diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan peserta
didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan
antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan
lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
7. Seimbang
antara kepentingan Nasional dan kepentingan Daerah
Kurikulum
dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah
untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan
nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan
dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Acuan Operasional Penyusunan KTSP
1.
Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia
2.
Peningkatan
potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan
peserta didik
3.
Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan
lingkungan
4.
Tuntutan pembangunan daerah dan nasional
5.
Tuntutan dunia kerja
6.
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
7.
Agama
8.
Dinamika perkembangan global
9.
Persatuan
nasional dan nilai-nilai kebangsaan
10. Kondisi
sosial budaya masyarakat setempat
11. Kesetaraan
gender
12.
Karakteristik satuan pendidikan
Dokumen I KTSP
Dokumen I KTSP terdiri atas 4 bab, meliputi:
1.
Bab I
Pendahuluan, meliputi subbab (A) Latar Belakang, (B) Tujuan, dan (C) Prinsip
Pengembangan KTSP.
2.
Bab
II Tujuan Pendidikan, meliputi subbab (A) Visi, (B) Misi, (C) Tujuan Sekolah.
3.
Bab
III Struktur dan Muatan Kurikulum, meliputi (A) mata pelajaran, (B) muatan
lokal, (C) kegiatan pengembangan diri, (D) pengaturan beban belajar, (E)
ketuntasan belajar, (F) kenaikan kelas dan kelulusan, (G) pendidikan kecakapan
hidup, dan (H) pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global.
Mata pelajaran
muatan nasional, alokasi jam pelajaran, dan pengelompokan mata pelajaran serta
aturan pengelolaan jam pelajaran mengacu
pada Bab II Standar Isi. Muatan Lokal merupakan mata pelajaran yang
dikembangkan untuk mengakomodasi kepentingan daerah atau satuan pendidikan.
Pengembangan Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar yang akan dicapai
dilakukan oleh satuan pendididkan dan/atau Dinas Pendidikan yang terkait.
Kegiatan
pengembangan diri merupakan kegiatan yang mewadahi bakat dan minat peserta
didik. Tujuan kegiatan pengembangan diri
adalah mengembangkan potensi
peserta didik, terutama pada perubahan perilaku sesuai dengan target yang
dicanangkan oleh satuan pendidikan.
Pengaturan beban
belajar mengacu pada bab III Standar Isi. Beban belajar dalam bentuk tatap muka
dirancang bersama oleh satuan pendidikan. Rancangan beban belajar dalam bentuk
penugasan terstruktur dan kegiatan mandiri tidak terstruktur dirancang oleh
guru mata pelajaran.
Ketuntasan belajar
adalah target minimal yang akan dicapai oleh satuan pendidikan. Kriteria
Ketuntasan minimal (KKM) merupakan hasil analisis atas kompleksitas, daya
dukung, dan intake siswa terhadap kompetensi dasar, standar kompetensi, dan
mata pelajaran yang dibelajarkan. Agar hasil belajar peserta didik dapat
mencapai, bahkan melebihi KKM, satuan
pendidikan merancang program remedial dan pengayaan.
Kriteria kenaikan
kelas dan kelulusan dikembangkan oleh satuan pendidikan. Acuan minimal kriteria
kenaikan kelas adalah Peraturan Dirjen tentang Laporan Hasil Belajar dan POS UN
tahun sebelumnya.
Pendidikan
kecakapan hidup adalah pendidikan kecakapan yang diperlukan agar
seseorang mampu dan berani menghadapi
problema kehidupan dan memecahkannya secara arif dan kreatif. Kecakapan hidup
yang perlu dikembangkan adalah kecakapan personal, sosial, dan akademik.
Kecakapan vokasional terakomodasi dalam mata pelajaran muatan lokal.
Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global dikembangkan dengan
memanfaatkan keunggulan lokal dan meningkatkan daya saing global. Keunggulan
lokal dapat dikembangkan dalam muatan lokal, pengembangan diri, maupun
terintegrasi dalam mata pelajaran.
4. Bab IV Kalender pendidikan berisi rancangan
kalender sekolah yang mengacu pada kalender dinas pendidikan terkait dan
pedoman penyusunan kalender yang terdapat dalam bab IV standar isi.
Pertemuan XI: KTSP
(Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Dokumen II
KTSP
terdiri atas dua dokumen, yaitu (1) dokumen I yang berisi tentang (a) landasan,
(b) program, dan (c) pengembangan kurikulum. Dokumen I (pertama) disusun oleh
tim handal yang dibentuk oleh sekolah dengan melibatkan semua pemangku
kepentingan. Pemangku kepentingan tersebut adalah (1) kepala sekolah, (2) guru,
(3) tenaga administrasi, (4) pengawas sekolah, dan (5) komite sekolah dan
orangtua siswa, serta (6) dinas pendidikan.
Dokumen
II (kedua) merupakan penjabaran secara operasional dari dokumen pertama,
terdiri atas (a) silabus dan (b) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Dokumen
Dokumen II disusun oleh guru kelas dan guru mata pelajaran, atau kelompok kerja
guru kelas atau guru mata pelajaran dalam kegiatan organisasi profesi seperti
Kelompok Kerja Guru (untuk guru sekolah dasar), Musyawarah Guru Mata Pelajaran
(MGMP), atau bahkan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI).
Pertemuan XII: Silabus
Apakah itu silabus?
Silabus adalah rencana pembelajaran
pada suatu dan/atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar
kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran,
indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian, penilaian, alokasi waktu, dan
sumber belajar
Silabus menjawab tiga pertanyaan dalam
kegiatan belajar mengajar, yaitu apa kompetensi yang harus dikuasai siswa,
bagaimana cara mencapainya, dan bagaimana cara mengetahui pencapaiannya.
Siapa yang menyusun silabus?
Silabus disusun
oleh guru yang mengajarkan mata pelajaran. Proses penyusunan silabus dapat saja
disusun bersama oleh satu tim guru mata pelajaran, dalam satu kegiatan guru,
misalnya dalam kegiatan MGMP.
Apa landasan penyusunan silabus?
Berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 17 Ayat (2), Sekolah dan komite
sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat
satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum
dan standar kompetensi lulusan, di bawah supervisi dinas kabupaten/kota yang
bertanggung jawab di bidang pendidikan untuk SD, SMP, SMA, dan SMK, dan
departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI. MTs,
MA, dan MAK.
Pertemuan XIII: Praktik
Penyusunan Silabus
Contoh
format silabus dapat dijelaskan sebagai berikut:
FORMAT SILABUS
Nama
Sekolah
|
:
|
|
Mata
Pelajaran
|
:
|
|
Standar
Kompetensi
|
:
|
|
Kompetensi Dasar
|
Materi Pembelajaran
|
Kegiatan
Pembelajaran
|
Indikator
|
Penilaian
|
Alokasi
Waktu
|
Sumber Belajar
|
||
Teknik
|
Instrumen
|
Contoh
|
||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Indentitas:
Nama Sekolah:
diisi dengan nama sekolah, seperti SMP Negeri 1 Biromaru
Mata Pelajaran:
diisi dengan mata pelajaran yang diajarkan, sepert Bahasa Inggris, Bahasa
Indonesia, dsb.
Standar
Kompetensi: diisi dengan standar kompetensi yang diambil dari standar isi yang
terdapat dalam Permendiknas Nomor 22
sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan.
Kolom-kolom format silabus:
1.
Kompetensi
Dasar: diisi dengan kompetensi dasar yang dikutip dari standar isi;
2.
Materi
Pembelajaran: diisi dengan materi pembelajaran yang dijabarkan dari kompetensi
dasar tersebut;
3.
Kegiatan
Pembelajaran: diisi dengan kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan agar
proses pembelajaran tersebut dapat mencapai kompetensi dasar yang diharapkan;
4.
Indikator:
diisi dengan indikator yang dapat digunakan untuk mengukur apakah kompetensi
dasar telah dapat dicapai atau belum;
5.
Teknik
Penilaian: diisi dengan teknik penilaian yang digunakan untuk mengukur
ketercapaian kompetensi dasar berdasarkan indikator, misalnya tes tertulis, tes
lisan, dsb;
6.
Instrumen
Penilaian: diisi dengan bentuk instrumen yang digunakan;
7.
Alokasi
Waktu: diisi dengan berapa kali pertemuan X menit yang diperlukan;
8.
Sumber
Belajar: diisi sumber belajar yang digunakan dalam proses pembelajaran, seperti
buku apa, media belajar, sumber belajar dari alam, dsb.
Contoh Silabus
SILABUS
|
||||||||||
Nama Sekolah
|
: SMP
|
|||||||||
Mata Pelajaran
|
: Pendidikan Agama Islam
|
|||||||||
Kelas/semester
|
: VII/ 1 dan 2
|
|||||||||
Standar Kompetensi
|
: 1. Menerapkan Hukum
bacaan ”Al” Syamsiyah dan ”Al”Qomariyah
|
|||||||||
Alokasi Waktu
|
: 4 X 40 menit
|
|||||||||
KOMPETENSI DASAR
|
MATERI POKOK
|
KEGIATAN PEMBELAJARAN
|
INDIKATOR
|
PENILAIAN
|
ALOKASI WAKTU
|
SUMBER BELAJAR
|
||||
TEKNIK
|
BTK INSTR
|
CONTOH INSTRUMEN
|
||||||||
1,1
|
Menjelaskan hukum bacaan
bacaan ”Al” Syamsiyah dan ”Al”Qomariyah
|
hukum bacaan bacaan ”Al”
Syamsiyah dan ”Al”Qomariyah
|
Siswa membaca dan
menelaah uraian tentang hukum bacaan Alif Lam Syamsiyah dan Alif Lam
Qamariyah
|
-
|
Menjelaskan
pengertian "Al" Syamsiyah
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Jelaskan pengertian
"Al' Syamsiyah!
|
1 X 40'
|
-PAI Erlngga
|
-
|
Menjelaskan pengertian "Al" Qamariyah
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Jelaskan pengertian "Al" Qamariyah!
|
|
|
||||
-
|
Menyebutkan huruf-huruf Syamsiyah
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Sebutkan huruf-huruf
Syamsiyah!
|
|
|
||||
-
|
Menyebutkan huruf-huruf Qamariyah
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Sebutkan huruf-huruf Qamariyah!
|
|
|
||||
1,2
|
Membedakan hukum bacaan bacaan ”Al” Syamsiyah dan
”Al”Qomariyah
|
Perbedaan ”Al” Syamsiyah
dan ”Al”Qomariyah
|
Siswa mengidentifikasi
perbedaan Alif Lam Syamsiyah dan Alif Lam Qamariyah dengan membandingan ayat
yang mengandung bacaan "Al" Syamsiyah dengan ayat yang mengandung
"Al" Qamariyah
|
-
|
Membedakan lafaz yang
mengandung "Al" Syamsiyah dengan "Al" Qamariyah dari segi
tulisan
|
Tes tertulis
|
Tes isian
|
Lafaz الكبير
mengandung bacaan "Al" ….
|
1 X 40'
|
-PAI Erlngga
-Peraga |
-
|
Membedakan lafaz yang
mengandung "Al" Syamsiyah dengan "Al" Qamariyah dari segi
bacaan
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Sebutkan perbedaan lafaz
yang mengandung "Al" Syamsiyah dengan "Al" Qamariyah dari
segi bacaan!
|
|
|
||||
1,3
|
Menerapkan bacaan bacaan
”Al” Syamsiyah dan ”Al”Qomariyah dalam
bacaan surat-surat Al-Qur’an dengan benar
|
Penerapan bacaan ”Al”
Syamsiyah dan ”Al”Qomariyah
|
Siswa berlatih menerapkan
bacaan "Al" Syamsiyah dan "Al" Qamariyah dalam ayat-ayat
atau surat-surat pilihan
|
-
|
Mepraktekkan bacaan
"Al" Syamsiyah dalam ayat-ayat pilihan
|
Unjuk kerja
|
Tes identifikasi
|
Bacalah surat Ad Dhuha
dengan memperhatikan bacaan "Al" syamsiyah dan "Al"
Qamariah!
|
2 X 40'
|
-PAI Erlngga
-al-Quran |
-
|
Mempraktekkan bacaan
"Al" Qamariyah dalam ayat-ayat pilihan
|
Unjuk kerja
|
Tes identifikasi
|
|
|
|||||
Standar Kompetensi
|
: 2. Meningkatkan
keimanan kepada Allah SWT melalui pemahaman sifat-sifatNya
|
|||||||||
Alokasi Waktu
|
: 6 X 40 menit
|
|||||||||
KOMPETENSI DASAR
|
MATERI POKOK
|
KEGIATAN PEMBELAJARAN
|
INDIKATOR
|
PENILAIAN
|
ALOKASI WAKTU
|
SUMBER BELAJAR
|
||||
TEKNIK
|
BTK INSTR
|
CONTOH INSTRUMEN
|
||||||||
2,1
|
Membaca ayat-ayat
Al-Qur’an yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah
|
Ayat-ayat al-Quran
tentang Sifat-sifat Allah SWT
|
Siswa menelaah
sifat-sifat Allah SWT dengan membaca dalil naqlinya
|
-
|
Menjelaskan pengertian iman kepada Allah SWT
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Sebutkan sifat-sifat
Allah !
|
2 X 40'
|
-PAI Erlngga
|
-
|
Membaca dalil naqli
tentang sifat-sifat Allah SWT
|
Unjuk kerja
|
Tes identifikasi
|
Bacalah dalil naqli
tentang sifat-sifat Allah SWT!
|
|
|
||||
-
|
Menyebutkan sifat-sifat
Allah
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Sebutkan sifat-sifat
Allah !
|
|
|
||||
2,2
|
Menyebutkan arti
ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah SWT
|
Arti Ayat-ayat al-Quran
tentang Sifat-sifat Allah SWT
|
Siswa menelaah ayat
al-Quran yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah
|
-
|
Menjelaskan sifat-sifat
wajib dan mustahil Allah SWT
|
Tes tertulis
|
Tes isian
|
Sifat yang pasti dimiliki
Allah disebut sifat ….
|
2 X 40'
|
-PAI Esis
-Peraga |
-
|
Menjelaskan sifat jaiz
bagi Allah SWT
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Jelaskan sifat jaiz bagi
Allah SWT!
|
|
|
||||
2,3
|
Menunjukkan tanda-tanda
adanya Allah SWT
|
Tanda-tanda Adanya Allah
SWT
|
Siswa mencari dan
menemukan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT melalui pengamatan terhadap
lingkungan sekitar secara langsung atau melalui media lain, baik media cetak
maupun elektronik.
|
-
|
Menyebutkan tanda-tanda
kekuasaan Allah SWT melalui ayat-ayat qauliyah
|
Penugasan
|
Tugas rumah
|
Lakukan pengamatan di
lingkungan tempat tinggalmu atau melalui media elektronik, carilah dan
temukan tanda-tanda kekuasaan Allah!
|
1 X 40'
|
-PAI Esis
-Peraga |
-
|
Menyebutkan tanda-tanda
kekuasaan Allah SWT melalui ayat-ayat kauniyah
|
Penugasan
|
Tugas rumah
|
|
|
|||||
2,4
|
Menampilkan perilaku sebagai
cermin keyakinan akan sifat-sifat Allah SWT
|
Perilaku Orang Yang
Beriman Kepada Allah SWT
|
Siswa mengidentifikasi
perbedaan perilaku orang yang beriman dengan orang yang tidak beriman
kemudian membiasakan diri berperilaku yang menampilkan diri sebagai orang
yang beriman kepada Allah SWT
|
-
|
Membedakan perilaku orang yang beriman dengan yang
tidak beriman
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Jelaskan perbedaan perilaku orang yang beriman
dengan yang tidak beriman!
|
1 X 40'
|
-PAI Erlngga
-al-Quran |
-
|
Menjelasakan gambaran
perilaku orang yang beriman.
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Bagaimana gambaran
perilaku orang yang beriman?
|
|
|
||||
-
|
Menunjukkan perilaku yang
mencerminkan diri sebagai orang yang beriman kepada Allah SWT
|
Penilaian diri
|
Lembar penilaian diri
|
Tak ada satupun
barang-barang yang menempel di tubuhku adalah buatanku sendiri ( SS - S - R -
TS)
|
|
|
||||
Standar Kompetensi
|
: 3. Memahami Asmaul
Husna
|
|||||||||
Alokasi Waktu
|
: 4 X 40 menit
|
|||||||||
KOMPETENSI DASAR
|
MATERI POKOK
|
KEGIATAN PEMBELAJARAN
|
INDIKATOR
|
PENILAIAN
|
ALOKASI WAKTU
|
SUMBER BELAJAR
|
||||
TEKNIK
|
BTK INSTR
|
CONTOH INSTRUMEN
|
||||||||
3,1
|
Menyebutkan arti
ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan 10 Asmaul Husna
|
Ayat-ayat al-Quran
tentang 10 Asmaul Husna (al-Aziz, al-Wahhab, al-Fattah, al-Qoyyum, al-Hadi,
ar-Rozzaq, al-Latif, al-Adlu, al-Malik, dan al-Ghoffar)
|
Siswa menelaah
sifat-sifat Allah SWT dengan membaca dalil naqlinya
|
-
|
Menjelaskan pengertian Asmaul Husna
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Jelaskan pengertian
Asmaul Husna !
|
3 X 40'
|
-PAI Esis
|
-
|
Menjelaskan pengertian 10
Asmaul Husna (al-Aziz, al-Wahhab, al-Fattah, al-Qoyyum, al-Hadi, ar-Rozzaq,
al-Latif, al-Adlu, al-Malik, dan al-Ghoffar)
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Jelaksan maksud
al-Fattah!
|
|
|
||||
-
|
Membaca dalil naqli
tentang 10 Asmaul Husna (al-Aziz, al-Wahhab, al-Fattah, al-Qoyyum, al-Hadi,
ar-Rozzaq, al-Latif, al-Adlu, al-Malik, dan al-Ghoffar)
|
Unjuk kerja
|
Tes identifikasi
|
Bacalah dalil naqli
tentang asmaul husna al-Aziz!!
|
|
|
||||
3,2
|
Mengamalkan isi kandungan
10 Asmaul Husna
|
Perilaku Cerminan 10
Asmaul Husna
|
Siswa menelaah perilaku
yang sesuai dengan 10 Asmaul Husna dan membiasakan diri berperilaku mulia
sebagai cerminan 10 Asmaul Husna
|
-
|
Menjelaskan penerapan
menghayati 10 Asmaul Husna dalam perilaku sehari-hari
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Bagaimana penerapan
menghayati al-Wahab?
|
1 X 40'
|
-PAI Erlangga
-al-Quran |
-
|
Berperilaku yang
mencerminkan penghayatan 10 Asmaul Husna
|
Penilaian diri
|
Lembar penilaian diri
|
Saya berkeinginan menjadi
orang yang berwibawa dan terhormat
kecenderungan hati : (sangat kuat, kuat, cukup, lemah) |
|
|
||||
Standar Kompetensi
|
: 4. Membiasakan perilaku
terpuji
|
|||||||||
Alokasi Waktu
|
: 4 X 40 menit
|
|||||||||
KOMPETENSI DASAR
|
MATERI POKOK
|
KEGIATAN PEMBELAJARAN
|
INDIKATOR
|
PENILAIAN
|
ALOKASI WAKTU
|
SUMBER BELAJAR
|
||||
TEKNIK
|
BTK INSTR
|
CONTOH INSTRUMEN
|
||||||||
4,1
|
Menjelaskan pengertian
tawadhu, ta’at, qana’ah dan sabar
|
Tawadhu, ta’at, qana’ah
dan sabar
|
Siswa membaca dan
menelaah uraian tentang tawadhu, ta’at, qana’ah dan sabar
|
-
|
Menjelaskan pengertian tawadhu, ta’at, qana’ah dan
sabar
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Jelaskan fungsi sabar
dalam kehidupan!
|
2 X 40'
|
-PAI Esis
|
-
|
Membaca dan mengartikan
dalil naqli tentang tawadhu, ta’at, qana’ah dan sabar
|
Unjuk kerja
|
Tes identifikasi
|
Bacalah dalil naqli
tentang tawadhu, ta’at, qana’ah dan sabar!
|
|
|
||||
-
|
Menjelaskan fungsi
tawadhu, ta’at, qana’ah dan sabar dalam kehidupan
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Jelaskan fungsi tawadhu,
ta’at, qana’ah dan sabar dalam kehidupan!
|
|
|
||||
4,2
|
Menampilkan contoh-contoh
perilaku tawadhu, ta’at, qana’ah dan
sabar
|
Contoh-contoh
perilaku tawadhu, ta’at, qana’ah dan
sabar
|
Siswa mencari dan
menemukan contoh-contoh nyata perilaku
tawadhu, ta’at, qana’ah dan sabar yang terjadi dalam kehidupan sehari,
baik melalui pengalaman langsung, media cetak maupun elektronik.
|
-
|
Menyebutkan contoh-contoh
perilaku tawadhu, ta’at, qana’ah dan sabar dalam kehidupan
|
Penugasan
|
Tugas rumah
|
Carilah dan temukan
contoh-contoh perilaku tawadhu serta manfaat yang didapat melalui pengalaman,
pengamatan langsung, maupun melalui tayangan media elektronik!
|
1 X 40'
|
-PAI Erlangga
-Peraga |
-
|
Menunjukkan sikap senang
berperilaku tawadhu, ta’at, qana’ah dan sabar dalam kehidupan
|
|
|
|||||||
4,3
|
Membiasakan perilaku
tawadhu, ta’at, qana’ah dan sabar
|
Pembiasaan perilaku tawadhu,
ta’at, qana’ah dan sabar
|
Siswa berlatih menerapkan
perilaku tawadhu, ta’at, qana’ah dan sabar melalui kegiatan pembiasaan.
|
-
|
Membiasakan diri
berperilaku tawadhu, ta’at, qana’ah dan sabar dalam kehidupan
|
Unjuk kerja
|
Tes simulasi
|
Simulasikan sikap anak
yang tawadhu' ketika bertemu dengan guru/orang tua!
|
1 X 40'
|
-PAI Erlangga
-al-Quran |
-
|
Merasakan manfaat
berperilaku tawadhu, ta’at, qana’ah dan sabar dalam kehidupan
|
Portofolio
|
Laporan kegiatan
|
Ceritakan salah satu
perilaku kamu yang mencerminkan sikap tawadhu, tulislah apa yang kamu
rasakan!
|
|
|
||||
Standar Kompetensi
|
: 5. Memahami ketentuan-ketentuan thaharah (bersuci)
|
|||||||||
Alokasi Waktu
|
: 4 X 40 menit
|
|||||||||
KOMPETENSI DASAR
|
MATERI POKOK
|
KEGIATAN PEMBELAJARAN
|
INDIKATOR
|
PENILAIAN
|
ALOKASI WAKTU
|
SUMBER BELAJAR
|
||||
TEKNIK
|
BTK INSTR
|
CONTOH INSTRUMEN
|
||||||||
5,1
|
Menjelaskan ketentuan-ketentuan mandi wajib
|
Mandi Wajib
|
Siswa membaca dan
menelaah uraian tentang ketentuan-ketentuan mandi wajib serta
mendemonstrasikannya melalui kegiatan simulasi dengan alat peraga.
|
-
|
Menjelaskan pengertian
mandi wajib
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Jelaskan pengertian mandi
wajib!
|
2 X 40'
|
-PAI Erlangga
|
-
|
Menyebutkan hal-hal yang
menyebabkan mandi wajib
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Sebutkan hal-hal yang
menyebabkan mandi wajib!
|
|
|
||||
-
|
Menjelaskan tata cara
mandi wajib
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Jelaskan tata cara mandi
wajib
|
|
|
||||
-
|
Mendemonstrasikan mandi
wajib
|
Unjuk kerja
|
Uji petik kerja prosedur
|
Lakukan simulasi mandi
wajib dengan cara memandikan peraga berupa miniatur manusia.
|
|
|
||||
5,2
|
Menjelaskan perbedaan hadas dan najis
|
Perbedaan hadats dan
najis
|
Siswa mencari dan
menemukan perbedaan antara hadats dan najis melalui berbagai kasus.
|
-
|
Menjelaskan pengertian
hadas dan najis
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Jelaskan pengertian
hadas!
|
2 X 40'
|
-PAI Erlangga
-Peraga |
-
|
Menyebutkan macam-macam
hadas dan cara mensucikannya
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Bagaimana cara mensucikan
hadas kecil?
|
|
|
||||
-
|
Menyebutkan macam-macam
najis dan cara mensucikannya
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Bagaimana cara mensucikan
najis mukhafafafah?
|
|
|
||||
-
|
Menjelaskan perbedaan
antara hadas dengan najis
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Jelaskan perbedaan hadas
dengan najis!
|
|
|
||||
Standar Kompetensi
|
: 6. Memahami
tatacara salat
|
|||||||||
Alokasi Waktu
|
: 6 X 40 menit
|
|||||||||
KOMPETENSI DASAR
|
MATERI POKOK
|
KEGIATAN PEMBELAJARAN
|
INDIKATOR
|
PENILAIAN
|
ALOKASI WAKTU
|
SUMBER BELAJAR
|
||||
TEKNIK
|
BTK INSTR
|
CONTOH INSTRUMEN
|
||||||||
6,1
|
Menjelaskan ketentuan –ketentuan salat wajib
|
Ketentuan salat Wajib
|
Siswa membaca dan
menelaah uraian tentang ketentuan-ketentuan salat wajib melalui berbagai
literatur.
|
-
|
Menjelaskan pengertian
salat wajib
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Jelaskan pengertian salat
wajib!
|
4 X 40'
|
-PAI Erlangga
|
-
|
Membaca dan mengartikan
dalil naqli tentang salat wajib
|
Unjuk kerja
|
Tes identifikasi
|
Sebutkan hal-hal yang
menyebabkan mandi wajib!
|
|
|
||||
-
|
Menyebutkan suarat-syarat
salat
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Bacalah dalil naqli
tentang kewajiban salat beserta artinya!
|
|
|
||||
-
|
Menyebutkan rukun salat
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Sebutkan rukun salat!
|
|
|
||||
-
|
Menyebutkan sunah-sunah
salat
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Sebutkan sunah-sunah
salat!
|
|
|
||||
-
|
Menyebutkan hal-hal yang
membatalkan salat
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Sebutkan hal-hal yang
membatalkan salat!
|
|
|
||||
6,2
|
Memperaktikkan salat wajib
|
Praktik salat Wajib
|
Siswa berlatih
mempraktikkan salat wajib secara berkelompok dengan metode tutor sebaya.
|
-
|
Hafal bacaan-bacaan salat
|
Unjuk kerja
|
Tes identifikasi
|
Hafalkan bacaan-bacaan
salat!
|
2 X 40'
|
-PAI Erlangga
-Peraga |
-
|
Memperagakan
gerakan-gerakan salat
|
Unjuk kerja
|
Tes simulasi
|
Peragakan gerakan rukuk!
|
|
|
||||
-
|
Mempraktikkan salat wajib
|
Unjuk kerja
|
Uji petik kerja prosedur
|
Lakukan praktik salat
magrib dengan benar!
|
|
|
||||
Standar Kompetensi
|
: 7. Memahami
tatacara salat jamaah dan munfarid (sendiri)
|
|||||||||
Alokasi Waktu
|
: 4 X 40 menit
|
|||||||||
KOMPETENSI DASAR
|
MATERI POKOK
|
KEGIATAN PEMBELAJARAN
|
INDIKATOR
|
PENILAIAN
|
ALOKASI WAKTU
|
SUMBER BELAJAR
|
||||
TEKNIK
|
BTK INSTR
|
CONTOH INSTRUMEN
|
||||||||
7,1
|
Menjelaskan pengertian salat jama’ah
dan munfarid
|
Ketentuan salat Jamaah
dan Munfarid
|
Siswa membaca dan
menelaah uraian tentang ketentuan-ketentuan salat jamaah dan munfarid melalui
berbagai literatur.
|
-
|
Menjelaskan pengertian
salat jamaah dan munfarid
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Jelaskan pengertian salat
jamaah!
|
2 X 40'
|
-PAI Erlangga
|
-
|
Membaca dan mengartikan
dalil naqli tentang keutamaan salat jamaah
|
Unjuk kerja
|
Tes identifikasi
|
Bacalah dalil naqli
tentang keutamaan salat berjamaah beserta artinya!
|
|
|
||||
-
|
Menjelaskan syarat-syarat
salat berjamaah
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Jelaskan syarat-syarat
salat berjamaah!
|
|
|
||||
-
|
Menjelasakan ketentuan
imam dan makmum.
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Sebutkan kriteria orang
dipilih menjadi imam!
|
|
|
||||
-
|
Menjelaskan ketentuan
makmum masbuk dan muwafiq
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Jelaksan maksud makmum
masbuk!
|
|
|
||||
-
|
Menjelaskan ketentuan
shaf salat berjamaah
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Bagaimana pengaturan shaf
salat jamaah bila makmumnya hanya satu orang?
|
|
|
||||
-
|
Menyebutkan halangan
salat jamaah
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Sebutkan halangan salat
berjamaah!
|
|
|
||||
7,2
|
Memperaktikkan salat jama’ah dan salat munfarid
|
Praktik salat Jamaah dan
Munfarid
|
Siswa berlatih
mempraktikkan salat jamaah dan munfarid secara berkelompok dengan metode
tutor sebaya.
|
-
|
Mempraktikkan salat
berjamaah.
|
Unjuk kerja
|
Tes identifikasi
|
Lakukan praktik salat
magrib dengan berjamaah!
|
2 X 40'
|
-PAI Erlangga
-Peraga |
-
|
Mensimulasikan shaf salat
jamaah dengan satu makmum, dua makmum, dan tiga makmum
|
Unjuk kerja
|
Tes simulasi
|
Simulasikan shaf salat
jamaah dengan satu makmum, dua makmum, dan tiga makmum!
|
|
|
||||
-
|
Mensimulasikan makmum
muwafiq dan makmum masbuk.
|
Unjuk kerja
|
Uji petik kerja prosedur
|
Lakukan simulasi menjadi
makmum masbuk dan muwafiq!!
|
|
|
||||
Standar Kompetensi
|
: 8. Memahami sejarah
Nabi Muhammad SAW
|
|||||||||
Alokasi Waktu
|
: 4 X 40 menit
|
|||||||||
KOMPETENSI DASAR
|
MATERI POKOK
|
KEGIATAN PEMBELAJARAN
|
INDIKATOR
|
PENILAIAN
|
ALOKASI WAKTU
|
SUMBER BELAJAR
|
||||
TEKNIK
|
BTK INSTR
|
CONTOH INSTRUMEN
|
||||||||
8,1
|
Menjelaskan sejarah Nabi Muhammad SAW
|
Sejarah lahirnya Muhammad
sampai diangkat menjadi Rasul
|
Siswa membaca dan
menelaah sejarah lahirnya Muhammad sampai diangkat menjadi Rasul
|
-
|
Menjelaskan kehidupan
bangsa Arab menjelang kelahiran Muhammad
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Jelaskan kehidupan bangsa Arab menjelang kelahiran
Muhammad!
|
2 X 40'
|
-PAI Esis
|
-
|
Menceritakan kehidupan
Muhammad semasa kanak-kanak
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Ceritakan kehidupan
Muhammad semasa kanak-kanak!
|
|
|
||||
-
|
Menceritakan kehidupan
Muhammad semasa remaja dan dewasa
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Ceritakan kehidupan
Muhammad semasa remaja dan dewasa!
|
|
|
||||
-
|
Menjelaskan proses
diangkatnya Muhammad menjadi Rasul
|
Tes tertulis
|
Tes uraian
|
Jelaskan proses
diangkatnya Muhammad menjadi Rasul!
|
|
|
||||
8,2
|
Menjelaskan misi nabi Muhammad untuk semua manusia dan bangsa
|
Misi nabi Muhammad untuk semua manusia dan bangsa
|
Siswa berdiskusi untuk
mengidentifikasi misi nabi Muhammad
untuk semua manusia dan bangsa
|
-
|
Membaca dan mengartikan
dalil naqli bahwa Nabi Muhammad SAW diutus untuk seluruh umat manusia dan
bangsa.
|
Unjuk kerja
|
Tes identifikasi
|
Bacalah dan artikan dalil
naqli bahwa Nabi Muhammad SAW diutus untuk seluruh umat manusia dan bangsa!
|
2 X 40'
|
-PAI Erlangga
-Peraga |
-
|
Menjelaskan misi Nabi
Muhammad SAW untuk kemajuan dan kebaikan umat manusia tanpa membedakan suku
dan bangsa.
|
|
|
Jelaskan misi Nabi
Muhammad SAW untuk meluruskan untuk kemajuan dan kebaikan umat manusia tanpa
membedakan suku dan bangsa!
|
|
|
Pertemuan XIV: RPP
(Rencana Pelaksanaan Pembelajaran)
Setiap kali guru akan mengajar, ia harus
menyusun sebuah rencana yang kini dikenal dengan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP). Rencana ini akan menggambarkan prosedur dan langkah-langkah
pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar berdasarkan
standar isi dan telah ditetapkan dalam silabus.
Mengapa harus membuat rencana? Apakah
rencana itu harus dibuat oleh guru yang belum berpengalaman saja? Apakah guru
yang sudah senior atau sudah berpengalaman masih perlu membuat rencana
mengajar? Bukankah guru senior atau yang sudah berpengalaman telah menguasai
semua materi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswanya? Apakah RPP yang
telah dibuat masih dapat digunakan dalam proses pembelajaran yang akan
dilaksanakan? Apakah secara administratif penyusunan RPP tidak justru
memberatkan tugas-tugas guru di lapangan, yang kemudian justru akan mengganggu
proses pembelajarannya sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sering muncul
dalam acara diskusi dengan para guru pada saat membahas tentang rencana mengajar.
Pertanyaan tersebut dapat dijawab sebagai berikut. Pertama, setiap guru akan melaksanakan pembelajaran, ia harus
menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), baik untuk guru senior atau
terlebih-lebih untuk guru yunior. Kedua, penyusunan RPP sama sekali tidak
untuk memberatkan pekerjaan guru, justru untuk memudahkan guru dalam
pelaksanaan tugas profesionalnya. Penyusunan RPP merupakan salah satu unsur
dari standar kompetensi professional bagi para guru. Ketiga, sudah barang tentu, RPP yang lama dapat saja digunakan lagi
dalam proses pembelajaran pada tahun berikutnya, sepanjang RPP tersebut masih
relevan dengan kompetensi siswa yang akan dicapai. Oleh karena itu, RPP yang
pernah dibuat harus dikaji ulang untuk terus disempurnakan dan disesuaikan dengan
perkembangan baru dalam dunia pendidikan.
Ruang lingkup RPP mencakup 1 (satu)
kompetensi dasar yang terdiri atas 1 (satu) atau beberapa indikator untuk 1
(satu) kali pertemuan atau lebih. Perencanaan merupakan langkah yang sangat penting sebelum pelaksanaan
kegiatan. Kegiatan belajar mengajar
(KBM) membutuhkan perencanaan yang matang agar proses belajar mengajar dapat berjalan
secara efektif. Perencanaan tersebut dituangkan ke dalam Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) atau beberapa istilah lain yang digunakan, seperti rencana
mengajar atau lesson plan, desain
pembelajaran, skenario pembelajaran, yang memuat seluruh kompetensi dasar yang
dijabarkan dari standar kompetensi, materi pelajaran, dan indikator yang akan dicapai,
langkah pembelajaran, waktu, media dan sumber belajar serta penilaian untuk
setiap kompetensi dasar.
Rencana
pelaksanaan pembelajaran harus dibuat agar kegiatan pembelajaran berjalan
sistematis dan mencapai tujuan pembelajaran, tanpa rencana pelaksanaan
pembelajaran kegiatan pembelajaran di kelas biasanya tidak terarah. Oleh karena
itu peserta harus mampu menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran berdasarkan
silabus yang disusunnya. Rencana pelaksanaan pembelajaran harus mencerminkan
pendekatan PAKEM dalam pembelajaran.
Dengan
demikian, jika silabus merupakan program pembelajaran dalam jangka satu
semester atau satu tahun pelajaran, maka RPP merupakan pencabaran dari silabus
sebagai program pembelajaran untuk hari ke hari pembelajaran di sekolah, dalam
satu atau beberapa kali pertemuan pembelajaran.
Pertemuan XV: Praktik
Penyusunan RPP
Pada umumnya format RPP adalah sebagai berikut:
|
Untuk praktik
penyusunan RPP, cobalah mengikuti cara pengisian format RPP sebagai berikut:
1. Untuk mengisi identitas RPP, mulai dari
mata pelajaran sampai dengan kompetensi dasar, isilah dengan mengacu pada
standar isi mata pelajaran yang akan diajarkan. Permendiknas Nomor 22, 23, dan
24 harus dijadikan acuannya.
2. Untuk indikator, tujuan pembelajaran, dan
seterusnya tentu saja harus dikembangkan dari standar isi tersebut.
Masing-masing gurulah yang harus mengembangkannya.
a. Indikator adalah patokan dasar atau tanda-tanda
utama yang akan dijaikan bukti bahwa
peserta didik telah mencapai kompetensi dasar yang telah ditetapkan.
b. Tujuan
pembelajaran adalah tujuan instruksional yang akan dicapai melalui kegiatan
belajar dalam satu pertemuan tertentu.
c. Metode
mengajar diharapkan metode yang menggunakan pendekatan PAKEM untuk Sekolah
Dasar, dan pendekatan Contextual Teaching dan Learning (CTL) untuk SMP dan SMA.
d. Langkah pembelajaran meiputi: (1) kegiatan
awal, (2) kegiatan inti, dan (3) kegiatan penutup.
PENJELASAN Pertemuan XVI: UAS (Ujian Akhir Semester)
Jika
mahasiswa memenuhi tingkat kehadiran minimal 80%, mahasiswa dapat mengikuti UAS
dengan materi tes seperti dalam modul ini. Selain mengikuti UAS, mahasiswa
harus melaksanakan tugas mandiri. Nilai akhir semester merupakan gabungan nilai
UAS dengan nilai tugas mandiri tersebut.
Adakan
wawancara dengan MINIMAL 3 (tiga)
orang guru, yang masing-masing guru SMP atau MTs, dan SMA atau MA, untuk menanyakan tentang KTSP pada umumnya dan
silabus serta RPP pada khususnya, dengan langkah-langkah kegiatan sebagai
berikut:
1. Buatlah lembar pertanyaan untuk panduan
wawancara dengan guru-guru yang akan DIWAWANCARAI;
2. Lakukan wawancara dengan MENGGUNAKAN
panduan wawancara tersebut.
3. CATAT hasil wawancara dengan GURU yang sudah
diwawancarai ;
4. Buatlah laporan wawancara tersebut,
minimal dalam 10 (sepuluh) halaman kertas ukuran A4, termasuk lampiran pedoman
wawancara yang anda buat; ditulis dalam ketikan komputer, jilid dengan rapi
warna BIRU
5. Serahkan kepada dosen atau
perwakilan komisariat Anda sehari sebelum UAS.
1.1 Tes Formatif Untuk Masing-masing Pertemuan
Tes Formatif Pertemuan II:
Pengertian Etimologis Kurikulum
Tes esai:
1.
Jelaskan
pengertian kurikulum secara etimologis ?
2.
Jelaskan
formula kurikulum berikut:
No.
|
Formula
Kurikulum
|
Penjelasan
|
1
|
K =
-------------
|
|
2
|
K
= Σ MP
|
|
3
|
K
= Σ MP + KK
|
|
4
|
K
= Σ MP + K + SS + TP
|
|
Tes Formatif Pertemuan
III: Filosofi dan Definisi Kurikulum
1.
Jelaskan
minimal dua definisi kurikulum yang Anda ketahui ?
2.
Sebutkan
dua aliran dalam kurikulum. Jelaskan perbedaan masing-masing secara singkat. ?
3.
Aliran
manakah definisi kurikulum yang tertuang dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional ?
4.
Definisi
yang manakah yang Anda paling lengkap. Jelaskan apa alasan Anda.
Tes Formatif
Pertemuan IV: Komponen Kurikulum
1.
Sebutkan
dan jelaskan komponen kurikulum menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. ?
2.
Sebutkan
komponen utama kurikulum menurut Subandiyah; ?
3.
Sebutkan
komponen penunjangnya; ?
4.
Menurut
Anda komponen kurikulum yang sangat penting?
Tes Formatif Pertemuan V: Hubungan
Kurikulum, Pengajaran, dan Tujuan Pendidikan
1.
Jelaskan
dengan kalimat Anda sendiri apa hubungan antara kurikulum dengan pengajaran dan
pembelajaran. ?
2.
Jelaskan
dengan kalimat Anda sendiri apa hubungan antara pengajaran dan pembelajaran
dengan tujuan pendidikan. ?
3.
Jelaskan
dengan kalimat Anda sendiri apa hubungan antara kurikulum dengan tujuan
pembelajaran. ?
Tes Formatif Pertemuan VI: Macam-macam Kurikulum
1.
Jelaskan
perbedaan antara kurikulum ideal dan kurikulum aktual ?
2.
Jelaskan
apa yang dimaksud kurikulum tersembunyi (hidden
curriculum) ? Berikan contohnya. !
3.
Jelaskan
apa yang dimaksud separated curriculum,
corelated curriculum, dan integrated
curriculum. Berikan contohnya. ?
4.
Jelaskan
pengertian national curriculum, state
curriculum, dan school curriculum.
? Berikan contohnya. !
Tes Formatif Pertemuan
VII: Proses Pengembangan Kurikulum
1.
Apakah
yang dimaksud pengembangan kurikulum (curriculum
development)?
2.
Instansi
manakah di Departemen Pendidikan Nasional yang bertanggung jawab dalam
pengembangan kurikulum?
3.
Lembaga
apakah BSNP itu? Apa kaitannya dengan proses pengembangan kurikulum?
4.
Menurut
G Amstrong, siapakah yang terlibat dalam pengembangan kurikulum?
5.
Jelaskan
bagan proses pengembangan kurikulum menurut Said Hamid Hasan sebagai berikut:
Tes Formatif
Pertemuan VIII (UTS)
Tes tertulis dalam bentuk esai.
1.
Kurikulum
1968 adalah kurikulum terintegrasi (integrated
curriculum) (B/S)
2.
Kurikulum
adalah apa yang diajarkan, guru adalah siapa yang mengajarkan, dan siswa adalah
siapa yang diberikan pelajaran (B/S).
3.
Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (B/S)
4.
Kurikulum
dapat diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang akan dipelajari oleh
peserta didik (B/S)
5.
Kurikulum
faktual amat ditentukan oleh agen pembelajaran atau guru (B/S)
6.
Kurikulum
sebelum tahun 1968 masih menganut kurikulum terpisah-pisah (separated curriculum) (B/S)
7.
Kurikulum
tersembunyi (hidden curriculum)
adalah kurikulum yang tidak diketahui oleh guru (B/S)
8.
Pembelajaran
adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar (B/S)
9.
Rencana
Pelajaran 1947 merupakan kurikulum pertama di Indonesia (B/S)
10. Rencana Pelajaran 1947 sampai dengan
Kurikulum 2004 termasuk kurikulum sekolah (B/S)
11. Rencana Pelajaran 1947 sampai dengan
Kurikulum 2004 termasuk kurikulum ideal (ideal
curriculum) (B/S)
12. Rencana Pelajaran merupakan istilah lama
untuk kurikulum (B/S)
13. Sebelum tahun 1968 dunia pendidikan di
Indonesia telah mengenal istilah kurikulum (B/S)
14. Secara etimologis, kurikulum berarti jarak
yang harus ditempuh oleh pelari (B/S)
15. Semua kegiatan yang dirancang dan
dilaksanakan oleh sekolah juga termasuk dalam pengertian kurikulum (B/S)
16. KTSP termasuk dalam kategori kurikulum national curriculum (B/S)
17. Rumusan tujuan terdapat dalam kurikulum
(B/S)
18. Jika kurikulum termasuk dalam kategori ideal curriculum, maka proses
pembelajaran dan pengajaran termasuk dalam kategori actual curriculum (B/S)
19. Proses pembelajaran dan pengajaran
dilaksanakan tidak lain untuk mencapai tujuan pendidikan (B/S)
20. Masyarakat awam tidak dapat dilibatkan
dalam penyusunan kurikulum (B/S)
Tes Formatif Pertemuan
IX: Perkembangan Kurikulum di Indonesia
1.
Apakah
kurikulum pertama yang dimiliki Indonesia? Apakah ketika itu telah menggunakan
istilah kurikulum?
2.
Apa
pomeo dalam masyarakat yang menyatakan bahwa setiap ganti menteri ganti
kurikulum di Indonesia? Benarkah hal tersebut? Jalaskan argumentasi Anda.
3.
Kapan
istilah kurikulum pertama kali digunakan di Indonesia?
4.
Sebelum
sekolah-sekolah menyusun sendiri kurikulumnya dalam KTSP, sebelumnya
sekolah-sekolah menggunakan kurikulum apa?
5.
Apa
itu BSNP ? Jelaskan.
Tes Formatif Pertemuan X:
KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Dokumen I
1.
UU
Nomor 20 Tahun 2003 mengatur tentang apa?
2.
Sedang
PP Nomor 19 Tahun 2005 mengatur tentang apa pula?
3.
Adapun
Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 mengatur tentang apa?
4.
Di
tingkat sekolah siapakah yang paling bertanggung jawab dalam penyusunan KTSP?
5.
Apakah
yang dimaksud KTSP? Ingat bukan kepanjangannya lho.
6.
Siapakah
yang mengkoordinasikan dan melakukan supervisi dalam penyusunan KTSP?
7.
Sebutkan
8 (delapan) standar nasional pendidikan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 19
Tahun 2005.
8.
Apa yang dimaksud dengan student-centered approach? Apa lawan pendekatan tersebut?
9.
KTSP disusun dengan memperhatikan keragaman potensi dan
karakteristik daerah dan lingkungan. Apa maksudnya?
10.
Sebutkan dua dokumen KTSP. Jelaskan dokumen pertama.
Tes Formatif Pertemuan XI:
KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Dokumen II
1.
Sebutkan
dua dokumen yang harus disiapkan oleh sekolah untuk dokumen II KTSP?
2.
Siapakah
yang paling memiliki peran untuk menyusun dua dokumen tersebut?
3.
Apakah
sekolah dapat menjalin kerja sama dengan organisasi profesi pendidik untuk
menyusun dua dokumen tersebut?
Tes Formatif Pertemuan XII:
Praktif Penyusunan Silabus
1.
Apakah
silabus itu?
2.
Siapa
yang harus menyusun silabus?
3.
Apa
landasan penyusunan silabus?
4.
Sebutkan
kolom-kolom yang harus
ada dalam silabus!
Tes Formatif Pertemuan XIII:
Praktik Penyusunan RPP
1.
Apakah yang dimaksud RPP?
2.
Apakah RPP sama dengan lesson plan, atau Rencana
Pengajaran, atau Satuan Pelajaran?
3.
Bagaimana format RPP, dan jelaskan secara singkat!
4. Apakah itu PAKEM?
Tes UAS (Pertemuan XIV)
1.
Dokumen
I KTSP berisi tentang silabus dan Rencana Pelaksanaaan Pembelajaran (B/S)
2.
Dokumen
II KTSP berisi tentang landasan, program, dan pengembangan kurikulum (B/S)
3.
Guru
senior tidak perlu membuat RPP (B/S)
4.
KTSP
dapat disebut sebagai kurikulum nasional (B/S)
5.
KTSP
disusun oleh Pusat Kurikulum (B/S)
6.
KTSP
terdiri atas dokumen I dan dokumen II (B/S)
7.
Kurikulum
1968 adalah kurikulum terintegrasi (integrated
curriculum) (B/S)
8.
Kurikulum
adalah apa yang diajarkan, guru adalah siapa yang mengajarkan, dan siswa adalah
siapa yang diberikan pelajaran (B/S).
9.
Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (B/S)
10.
Kurikulum
dapat diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran yang akan dipelajari oleh
peserta didik (B/S)
11.
Kurikulum
faktual amat ditentukan oleh agen pembelajaran atau guru (B/S)
12.
Kurikulum
sebelum tahun 1968 masih menganut kurikulum terpisah-pisah (separated curriculum) (B/S)
13.
Kurikulum
tersembuny (hidden curriculum) adalah
kurikulum yang tidak diketahui oleh guru (B/S)
14.
Pada
masa lalu RPP dikenal dengan Rencana Pembelajaran (RP) atau Satuan Pembelajaran
(B/S)
15.
Pembelajaran
adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar (B/S)
16.
Proses
penyusunan KTSP melibatkan para pemangku kepentingan pendidikan (B/S)
17.
Rencana
Pelajaran 1947 merupakan kurikulum pertama di Indonesia (B/S)
18.
Rencana
Pelajaran 1947 sampai dengan Kurikulum 2004 termasuk kurikulum sekolah (B/S)
19.
Rencana
Pelajaran 1947 sampai dengan Kurikulum 2004 termasuk kurikulum ideal (ideal curriculum) (B/S)
20.
Rencana
Pelajaran merupakan istilah lama untuk kurikulum (B/S)
21.
RPP
sebenarnya sama dengan rencana mengajar (B/S)
22.
Sebelum
tahun 1968 dunia pendidikan di Indonesia telah mengenal istilah kurikulum (B/S)
23.
Secara
etimologis, kurikulum berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari (B/S)
24.
Semua
kegiatan yang dirancang oleh sekolah juga termasuk dalam pengertian kurikulum
(B/S)
25.
Setiap
guru harus membuat silabus dan RPP (B/S)
1.2 Umpan Balik
1.
Tugas
mandiri dan tes yang akan dinilai adalah: (A) tugas mandiri, (B) tes formatif,
(C) UTS (ujian tengah semester), dan (D) UAS (ujian akhir semester).
2.
Bobot
A = 1, B = 2, C = 3, dan D = 4
3.
Nilai
Akhir Semester adalah (AX1) + (BX2) + (CX3) + (DX4) : 4.
4.
Dengan
skala 4, nilai tersebut dapat dipadankan sebagai berikut:
Baik Sekali
= 80 – 100
Baik =
70 – 79
Sedang =
60 – 69
Kurang =
< 60
2 Referensi
Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II. 1994. Kurikulum Untuk Abad Ke-21. Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
McNeil, John. 1985. Curriculum, A Comprehensive Introduction. Boston: Little, Brown and Company.
Oemar Hamalik. 1995. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Rochman Natawidjaja (Ed). 1979. Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, Alat
Peraga, dan Komunikasi Pendidikan. Jakarta: Depatemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Suparlan. 2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, dari Konsepsi Ke
Implentasi. Yogyakarta:
Hikayat Publishing.
Suparlan. 2005. Menjadi Guru Efektif. Yogyakarta: Hikayat Publishing.
Widiastono, Tonny D. Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
3 Lampiran
3.1 Lampiran 1:
STUDI
EKSISTENSI KURIKULUM DALAM
PENCAPAIAN TUJUAN PENDIDIKAN
Sofyan
Madina
PENDAHULUAN
Pembahasan mengenai kurikulum tidak mungkin dilepaskan dari pengertian kurikulum, posisi kurikulum dalam pendidikan, dan proses pengembangan suatu kurikulum. Pembahasan mengenai ketiga hal ini dalam urutan seperti itu sangat penting karena pengertian seseorang terhadap arti kurikulum menentukan posisi kurikulum dalam dunia pendidikan dan pada gilirannya posisi tersebut menentukan proses pengembangan kurikulum.Ketiga pokok bahasan itu dikemukakan dalam makalah ini dalam urutan seperti itu.
Pembahasan mengenai pengertian ini penting karena ada dua alasan utama. Pertama, seringkali kurikulum diartikan dalam pengertian yang sempit dan teknis. Dalam kotak pengertian ini maka definisi yang dikemukakan mengenai pengertian kurikulum kebanyakan adalah mengenai komponen yang harus ada dalam suatu kurikulum. Untuk itu berbagai definisi diajukan para ahli sesuai dengan pandangan teoritik atau praktis yang dianutnya. Ini menyebabkan studi tentang kurikulum dipenuhi dengan hutan definisi tentang arti kurikulum.
Alasan kedua adalah karena definisi yang
digunakan akan sangat berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan oleh para
pengembang kurikulum. Pengertian sempit atau teknis kurikulum yang digunakan
untuk mengembangkan kurikulum adalah sesuatu yang wajar dan merupakan sesuatu
yang harus dikerjakan oleh para pengembang kurikulum. Sayangnya, pengertian
yang sempit itu turut pula mnyempitkan posisi kurikulum dalam pendidikan
sehingga peran pendidikan dalam pembangunan individu, masyarakat, dan bangsa
menjadi terbatas pula.
Pembahasan mengenai posisi kurikulum
adalah penting karena posisi itu akan memberikan pengaruh terhadap apa yang
harus dilakukan kurikulum dalam suatu proses pendidikan. Tidak seperti halnya
dengan pengertian kurikulum para ahli kurikulum tidak banyak berbeda dalam
posisi kurikulum. Kebanyakan mereka memiliki kesepakatan dalam menempatkan
kurikulum di posisi sentral dalam proses pendidikan. Kiranya bukanlah sesuatu
yang berlebihan jika dikatakan bahwa proses pendidikan dikendalikan, diatur,
dan dinilai berdasarkan criteria yang ada dalam kurikulum. Pengecualian dari ini
adalah apabila proses pendidikan itu menyangkut masalah administrasi di luar
isi pendidikan. Meski pun demikian terjadi perbedaan mengenai koordinat posisi
sentral tersebut dimana ruang lingkup setiap koordinat ditentukan oleh
pengertian kurikulum yang dianut.
Pembahasan mengenai proses pengembangan kurikulum merupakan terjemahan dari pengertian kurikulum dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan dalam bentuk berbagai kegiatan pengembangan. Pengertian dan posisi kurikulum akan menentukan ap yang seharusnya menjadi perhatian awal para pengembang kurikulum, mengembangkan ide kurikulum, mengembangkan ide dalam bentuk dokumen kurikulum, proses implementasi, dan proses evaluasi kurikulum. Pengertian dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan menentukan apa yang seharusnya menjadi tolok ukur keberhasilan kurikulum, sebagai bagian dari keberhasilan pendidikan.
Pembahasan mengenai proses pengembangan kurikulum merupakan terjemahan dari pengertian kurikulum dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan dalam bentuk berbagai kegiatan pengembangan. Pengertian dan posisi kurikulum akan menentukan ap yang seharusnya menjadi perhatian awal para pengembang kurikulum, mengembangkan ide kurikulum, mengembangkan ide dalam bentuk dokumen kurikulum, proses implementasi, dan proses evaluasi kurikulum. Pengertian dan posisi kurikulum dalam proses pendidikan menentukan apa yang seharusnya menjadi tolok ukur keberhasilan kurikulum, sebagai bagian dari keberhasilan pendidikan.
PENGERTIAN KURIKULUM
Dalam banyak literature kurikulum
diartikan sebagai: suatu dokumen atau rencana tertulis mengenai kualitas
pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta didik melalui suatu pengalaman
belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa kurikulum harus tertuang dalam
satu atau beberapa dokumen atau rencana tertulis. Dokumen atau rencana tertulis
itu berisikan pernyataan mengenai kualitas yang harus dimiliki seorang peserta
didik yang mengikuti kurikulum tersebut. Pengertian kualitas pendidikan di sini
mengandung makna bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas hasil
belajar yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten pendidikan
yang harus dipelajari peserta didik, kualitas proses pendidikan yang harus
dialami peserta didik. Kurikulum dalam bentuk fisik ini seringkali menjadi
fokus utama dalam setiap proses pengembangan kurikulum karena ia menggambarkan
ide atau pemikiran para pengambil keputusan yangdigunakan sebagai dasar bagi
pengembangan kurikulum sebagai suatu pengalaman.
Aspek yang tidak terungkap secara jelas tetapi tersirat dalam definisi kurikulum sebagai dokumen adalah bahwa rencana yang dimaksudkan dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran tertentu tentang kualitas pendidikan yang diharapkan. Perbedaan pemikiran atau ide akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik sebagai dokumen mau pun sebagai pengalaman belajar. Oleh karena itu Oliva (1997:12) mengatakan "Curriculum itself is a construct or concept, a verbalization of an extremely complex idea or set of ideas".
Aspek yang tidak terungkap secara jelas tetapi tersirat dalam definisi kurikulum sebagai dokumen adalah bahwa rencana yang dimaksudkan dikembangkan berdasarkan suatu pemikiran tertentu tentang kualitas pendidikan yang diharapkan. Perbedaan pemikiran atau ide akan menyebabkan terjadinya perbedaan dalam kurikulum yang dihasilkan, baik sebagai dokumen mau pun sebagai pengalaman belajar. Oleh karena itu Oliva (1997:12) mengatakan "Curriculum itself is a construct or concept, a verbalization of an extremely complex idea or set of ideas".
Selain
kurikulum diartikan sebagai dokumen, para ahli kurikulum mengemukakan berbagai
definisi kurikulum yang tentunya dianggap sesuai dengan konstruk kurikulum yang
ada pada dirinya. Perbedaan pendapat para ahli didasarkan pada isu berikut ini:
- filosofi kurikulum
- ruang lingkup komponen kurikulum
- polarisasi kurikulum - kegiatan belajar
- posisi evaluasi dalam pengembangan kurikulum
Pengaruh
pandangan filosofi terhadap pengertian kurikulum ditandai oleh pengertian
kurikulum yang dinyatakan sebagai "subject matter",
"content" atau bahkan "transfer of culture". Khusus yang
mengatakan bahwa kurikulum sebagai "transfer of culture" adalah dalam
pengertian kelompok ahli yang memiliki pandangan filosofi yang dinamakan
perennialism (Tanner dan Tanner, 1980:104). Filsafat ini memang memiliki tujuan
yang sama dengan essentialism dalam hal intelektualitas. Seperti dikemukakan oleh
Tanner dan Tanner (1980:104-113) keduanya pandangan filosofi itu berpendapat
bahwa adalah tugas kurikulum untuk mengembangkan intelektualitas. Dalam istilah
yang digunakan Tanner dan Tanner (1980:104) perennialism mengembangkan
kurikulum yang merupakan proses bagi "cultivation of the rational powers:
academic excellence" sedangkan essentialism memandang kurikulum sebagai
rencana untuk mengembangkan "academic excellence dan cultivation of
intellect". Perbedaan antara keduanya adalah menurut pandangan perenialism
"the cultivation of the intellectual virtues is accomplish only through
permanent studies that constitute our intellectual inheritance". Permanent
studies adalah konten kurikulum yang berdasarkan tradisi Barat terdiri atas
Great Books, reading, rhetoric, and logic, mathematics. Sedangkan bagi
essentialism beranggapan bahwa kurikulum haruslah mengembangkan "modern
needs through the fundamental academic disciplines of English, mathematics,
science, history, and modern languages" (Tanner dan Tanner, 1980:109)
Perbedaan
ruang lingkup kurikulum juga menyebabkan berbagai perbedaan dalam definisi. Ada
yang berpendapat bahwa kurikulum adalah "statement of objectives"
(McDonald; Popham), ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah rencana bagi
guru untuk mengembangkan proses pembelajaran atau instruction (Saylor,
Alexander,dan Lewis, 1981) Ada yang mengatakan bahwa kurikulum adalah dokumen
tertulis yang berisikan berbagai komponen sebagai dasar bagi guru untuk
mengembangkan kurikulum guru (Zais,1976:10). Ada juga pendapat resmi negara
seperti yang dinyatakan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 yang menyatakan
bahwa kurikulum adalah "seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi dan bahan pelajaranserta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu" (pasal 1
ayat 19).
Definisi
yang dikemukakan terdahulu menggambarkan pengertian yang membedakan antara apa
yang direncanakan (kurikulum) dengan apa yang sesungguhnya terjadi di kelas
(instruction atau pengajaran). Memang banyak ahli kurikulum yang menentang
pemisahan ini tetapi banyak pula yang menganut pendapat adanya perbedaan antara
keduanya. Kelompok yang menyetujui pemisahan itu beranggapan bahwa kurikulum
adalah rencana yang mungkin saja terlaksana tapi mungkin juga tidak sedangkan
apa yang terjadi di sekolah/kelas adalah sesuatu yang benar-benar terjadi yang
mungkin berdasarkan rencana tetapi mungkin juga berbeda atau bahkan menyimpang
dari apa yang direncanakan. Perbedaan titik pandangan ini tidak sama dengan
perbedaan cara pandang antara kelompok ahli kurikulum dengan ahli teaching
(pangajaran). Baik ahli kurikulum mau pun pengajaran mempelajari fenomena
kegiatan kelas tetapi dengan latar belakang teoritik dan tujuan yang berbeda.
Istilah
dalam kurikulum seperti "planned activities", "written
document", "curriculum as intended", "curriculum as
observed", "hidden curriculum","curriculum as
reality", "school directed experiences", "learner actual
experiences" menggambarkan adanya perbedaan antara kurikulum dengan apa
yang terjadi di kelas. Definisi yang dikemukakan oleh Unruh dan Unruh (1984:96)
mewakili pandangan ini dimana mereka menulis curriculum is defined as a plan
for achieving intended learning outcomes: a plan concerned with purposes, with
what is to be learned, and with the result of instruction. Olivia (1997:8.)
mengatakan bahwa we may think of the curriculum as a program, a plan,
content, and learning experiences, whereas we may characterize instruction as
methods, the teaching act, implementation, and presentation. Olivia
(1997:8) termasuk orang yang setuju dengan pemisahan antara kurikulum dengan
pengajaran dan merumuskan kurikulum sebagai a plan or program for all the
experiences that the learner encounters under the direction of the school.
Lebih lanjut ia mengatakan (Olivia, 1997:9) I feel that the cyclical has
much to recommend. Pandangan yang menyatakan bahwa keduanya adalah
kurikulum diwakili oleh pendapat Marsh (1997:5) yang menulis curriculum is
an interrelated set of plans and experiences which a student completes under
the guidance of the school. Pandangan ini sejalan dengan Schubert (1986:6)
dengan mengatakan the interpretation that teachers give to subject matter
and the classroom atmosphere constitutes the curriculum that students actually
experience.
Pengertian
di atas menggambarkan definisi kurikulum dalam arti teknis pendidikan.
Pengertian tersebut diperlukan ketika proses pengembangan kurikulum sudah
menetapkan apa yang ingin dikembangkan, model apa yang seharusnya digunakan dan
bagaimana suatu dokumen harus dikembangkan. Kebanyakan dari pengertian itu
berorientasi pada kurikulum sebagai upaya untuk mengembangkan diri peserta
didik, pengembangan disiplin ilmu, atau kurikulum untuk mempersiapkan peserta
didik untuk suatu pekerjaan tertentu. Doll (1993:47-51) menamakannya sebagai
"the scientific curriculum" dan menyimpulkan sebagai "clouded
and myopic".
Selanjutnya
Dool (1993:57) memperkuat pendapatnya tentang kurikulum yang ada sekarang
dengan mengatakan:
Education
and curriculum have borrowed some concepts from the stable, nonechange concept
- for example, children following the pattern of their parents, IQ as
discovering and quantifying an innate potentiality. However, for the most part
modernist curriculum thought have adopted the closed version, one where -
trough focusing - knowledge is transmitted, transferred. This is, I believe,
what our best contemporary schooling is all about. Transmission frames our
teaching-learning process.
Dengan
transfer dan transmisi maka kurikulum menjadi suatu focus pendidikan yang ingin
mengembangkan pada diri peserta didik apa yang sudah terjadi dan berkembang di
masyarakat. Kurikulum tidak menempatkan peserta didik sebagai subjek yang
mempersiapkan dirinya bagi kehidupan masa dating tetapi harus mengikuti
berbagai hal yang dianggap berguna berdasarkan apa yang dialami oleh orang tua
mereka.
Dalam konteks ini maka disiplin ilmu memiliki posisi sentral yang menonjol dalam kurikulum. Kurikulum, dan pendidikan, haruslah mentransfer berbagai disiplin ilmu sehingga peserta didik menjadi warga masyarakat yang dihormati. Teori tentang IQ bekerja untuk terutama intelektualitas dalam pengertian disiplin ilmu karena logic yang dikembangkan dalam tes IQ adalah logic disiplin ilmu dan secara lebih khusus adalah logika matematika. Oleh karena itu tidaklah salah dikatakan bahwa matematika adalah dasar pengembangan pendidikan logika.
Dalam konteks ini maka disiplin ilmu memiliki posisi sentral yang menonjol dalam kurikulum. Kurikulum, dan pendidikan, haruslah mentransfer berbagai disiplin ilmu sehingga peserta didik menjadi warga masyarakat yang dihormati. Teori tentang IQ bekerja untuk terutama intelektualitas dalam pengertian disiplin ilmu karena logic yang dikembangkan dalam tes IQ adalah logic disiplin ilmu dan secara lebih khusus adalah logika matematika. Oleh karena itu tidaklah salah dikatakan bahwa matematika adalah dasar pengembangan pendidikan logika.
Gambaran serupa disajikan oleh Jacobs
(1999) yang membahas mengenai kurikulum di Afrika. Hal ini amat difahami jika
kurikulum diartikan dari pandangan kependidikan yang menempatkan ilmu atau
disiplin ilmu di atas segalanya (perennialism atau pun essentialism). Jacobs
(1999:100) menggunakan istilah liberal theory untuk kedua pandangan ini.
Sedangkan istilah perenialisme dan essentialism banyak digunakan oleh para ahli
lainnya seperti Schubert (1986), Longstreet dan Shane (1993), Print (1993),
Olivia (1997).
Banyak kecaman terhadap pengertian
kurikulum yang dikembangkan dari pandangan filosofis ini walau pun dalam
kenyataannya masih banyak orang dan pengambil kebijakan yang menganut pandangan
ini. Kurikulum di Indonesia masih didominasi oleh pandangan ini. Konten
kurikulum dalam pandangan ini adalah materi yang dikembangkan dari disiplin
ilmu; tujuan adalah penguasaan konsep, teori, atau hal yang terkait dengan
disiplin ilmu.
Suatu hal yang jelas bahwa definisi kurikulum oleh kelompok "conservative" (perenialism dan essentialism), kelompok "romanticism" (romantic naturalism), "existentialism" mau pun "progressive" (experimentalism, reconstructionism) hanya memusatkan perhatian pada fungsi "transfer" dari apa yang sudah terjadi dan apa yang sedang terjadi. Pada aliran progresif kelompok rekonstruksionis dapat dikatakan berbeda dari lainnya karena kelompok ini tidak hanya mengubah apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga membentuk apa yang akan dikembangkan. Walau pun tidak begitu jelas tetapi pada pandangan ini sudah ada upaya untuk "shaping the future" dan bukan hanya "adjusting, mending or reconstructing the existing conditions of the life of community". Seperti dikemukakan oleh McNeil (1977:19):
Suatu hal yang jelas bahwa definisi kurikulum oleh kelompok "conservative" (perenialism dan essentialism), kelompok "romanticism" (romantic naturalism), "existentialism" mau pun "progressive" (experimentalism, reconstructionism) hanya memusatkan perhatian pada fungsi "transfer" dari apa yang sudah terjadi dan apa yang sedang terjadi. Pada aliran progresif kelompok rekonstruksionis dapat dikatakan berbeda dari lainnya karena kelompok ini tidak hanya mengubah apa yang ada pada saat sekarang tetapi juga membentuk apa yang akan dikembangkan. Walau pun tidak begitu jelas tetapi pada pandangan ini sudah ada upaya untuk "shaping the future" dan bukan hanya "adjusting, mending or reconstructing the existing conditions of the life of community". Seperti dikemukakan oleh McNeil (1977:19):
Social
reconstructionists are opposed to the notion that the curriculum should help
students adjusts or fit the existing society. Instead, they conceive of curriculum
as a vehicle for fostering critical discontent and for equipping learners with
the skills needed for conceiving new goals and affecting social change.
Secara
mendasar, ada kekhawatiran bahwa kurikulum hanya memikirkan kerusakan atau
persoalan social yang ada dan meninggalkan sama sekali apa yang sudah
dihasilkan. Kontinuitas kehidupan dan perkembangan masyarakat dikhawatirkan
akan terganggu.
Pandangan rekonstruksi social di atas menyebabkan kurikulum haruslah diredefinisikan kembali sehingga ia tidak mediocre karena hanya menfokuskan diri pada transfer kejayaan masa lalu, pengembangan intelektualitas, atau pun menyiapkan peserta didik untuk kehidupan masa kini. Padahal masa kini adalah kelanjutan dari masa lalu dan masa kini akan terus berubah dan sukar diprediksi. Kemajuan teknologi pada akhir kedua abad keduapuluh telah memberikan velocity perubahan pada berbagai aspek kehidupan pada tingkat yang tak pernah dibayangkan manusia sebelumnya. Pendidikan harus lah aktif membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik untuk suatu kehidupan yang akan dimasukinya dan dibentuknya. Peserta didik akan menjadi anggota masyarakat yang secara individu maupun kelompok tidak hanya dibentuk oleh masyarakat (dalam posisi menerima = pasif) tetapi harus mampu memberi dan mengembangkan masyarakat ke arah yang diinginkan (posisi aktif). Artinya, kurikulum merupakan rancangan dan kegiatan pendidikan yang secara maksimal mengembangkan potensi kemanusiaan yang ada pada diri seseorang baik sebagai individu mau pun sebagai anggota masyarakat untuk kehidupan dirinya, masyarakat, dan bangsanya di masa mendatang.
POSISI KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN
Pandangan rekonstruksi social di atas menyebabkan kurikulum haruslah diredefinisikan kembali sehingga ia tidak mediocre karena hanya menfokuskan diri pada transfer kejayaan masa lalu, pengembangan intelektualitas, atau pun menyiapkan peserta didik untuk kehidupan masa kini. Padahal masa kini adalah kelanjutan dari masa lalu dan masa kini akan terus berubah dan sukar diprediksi. Kemajuan teknologi pada akhir kedua abad keduapuluh telah memberikan velocity perubahan pada berbagai aspek kehidupan pada tingkat yang tak pernah dibayangkan manusia sebelumnya. Pendidikan harus lah aktif membentuk dan mengembangkan potensi peserta didik untuk suatu kehidupan yang akan dimasukinya dan dibentuknya. Peserta didik akan menjadi anggota masyarakat yang secara individu maupun kelompok tidak hanya dibentuk oleh masyarakat (dalam posisi menerima = pasif) tetapi harus mampu memberi dan mengembangkan masyarakat ke arah yang diinginkan (posisi aktif). Artinya, kurikulum merupakan rancangan dan kegiatan pendidikan yang secara maksimal mengembangkan potensi kemanusiaan yang ada pada diri seseorang baik sebagai individu mau pun sebagai anggota masyarakat untuk kehidupan dirinya, masyarakat, dan bangsanya di masa mendatang.
POSISI KURIKULUM DALAM PENDIDIKAN
Kurikulum memiliki posisi sentral
dalam setiap upaya pendidikan Klein, 1989:15). Dalam pengertian kurikulum yang
dikemukakan di atas harus diakui ada kesan bahwa kurikulum seolah-olah hanya
dimiliki oleh lembaga pendidikan modern dan yang telah memiliki rencana
tertulis. Sedangkan lembaga pendidikan yang tidak memiliki rencana tertulis
dianggap tidak memiliki kurikulum. Pengertian di atas memang pengertian yang
diberlakukan untuk semua unit pendidikan dan secara administratif kurikulum
harus terekam secara tertulis.
Posisi sentral ini menunjukkan
bahwa di setiap unit pendidikan kegiatan kependidikan yang utama adalah proses
interaksi akademik antara peserta didik, pendidik, sumber dan lingkungan.
Posisi sentral ini menunjukkan pula bahwa setiap interaksi akademik adalah jiwa
dari pendidikan. Dapat dikatakan bahwa kegiatan pendidikan atau pengajaran pun
tidak dapat dilakukan tanpa interaksi dan kurikulum adalah desain dari
interaksi tersebut.
Dalam posisi maka kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang terbuka untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan khusus haruslah dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap masyarakat. Lembaga pendidikan tersebut harus dapat memberikan "academic accountability" dan "legal accountability" berupa kurikulum. Oleh karena itu jika ada yang ingin mengkaji dan mengetahui kegiatan akademik apa dan apa yang ingin dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan maka ia harus melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang ingin mengetahui apakah yang dihasilkan ataukah pengalaman belajar yang terjadi di lembaga pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan hukum maka ia harus mempelajari dan mengkaji kurikulum lembaga pendidikan tersebut.
Dalam posisi maka kurikulum merupakan bentuk akuntabilitas lembaga pendidikan terhadap masyarakat. Setiap lembaga pendidikan, apakah lembaga pendidikan yang terbuka untuk setiap orang ataukah lembaga pendidikan khusus haruslah dapat mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya terhadap masyarakat. Lembaga pendidikan tersebut harus dapat memberikan "academic accountability" dan "legal accountability" berupa kurikulum. Oleh karena itu jika ada yang ingin mengkaji dan mengetahui kegiatan akademik apa dan apa yang ingin dihasilkan oleh suatu lembaga pendidikan maka ia harus melihat dan mengkaji kurikulum. Jika seseorang ingin mengetahui apakah yang dihasilkan ataukah pengalaman belajar yang terjadi di lembaga pendidikan tersebut tidak bertentangan dengan hukum maka ia harus mempelajari dan mengkaji kurikulum lembaga pendidikan tersebut.
Dalam pengertian "intrinsic"
kependidikan maka kurikulum adalah jantung pendidikan Artinya, semua gerak
kehidupan kependidikan yang dilakukan sekolah didasarkan pada apa yang
direncanakan kurikulum. Kehidupan di sekolah adalah kehidupan yang dirancang
berdasarkan apa yang diinginkan kurikulum. Pengembangan potensi peserta didik
menjadi kualitas yang diharapkan adalah didasarkan pada kurikulum. Proses
belajar yang dialami peserta didik di kelas, di sekolah, dan di luar sekolah
dikembangkan berdasarkan apa yang direncanakan kurikulum. Kegiatan evaluasi
untuk menentukan apakah kualitas yang diharapkan sudah dimiliki oleh peserta
didik dilakukan berdasarkan rencana yang dicantumkan dalam kurikulum. Oleh
karena itu kurikulum adalah dasar dan sekaligus pengontrol terhadap aktivitas
pendidikan. Tanpa kurikulum yang jelas apalagi jika tidak ada kurikulum sama
sekali maka kehidupan pendidikan di suatu lembaga menjadi tanpa arah dan tidak
efektif dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi kualitas pribadi yang
maksimal.
Untuk menegakkan akuntabilitasnya maka
kurikulum tiak boleh hanya membatasi diri pada persoalan pendidikan dalam
pandangan perenialisme atau esensialisme. Kedua pandangan ini hanya akan
membatasi kurikulum, dan pendidikan, dalam kepeduliaannya. Kurikulum dan
pendidikan melepaskan diri dari berbagai masalah social yang muncul, hidup, dan
berkembang di masyarakat. Kurikulum menyebabkan sekolah menjadi lembaga menara
gading yang tidak terjamah oleh keadaan masyarakat dan tidak berhubungan dengan
masyarakat. Situasi seperti ini tidak dapat dipertahankan dan kurikulum harus
memperhatikan tuntutan masyarakat dan rencana bangsa untuk kehidupan masa
mendatang. Problema masyarakat harus dianggap sebagai tuntutan, menjadi
kepeduliaan dan masalah kurikulum. Apakah kurikulum bersifat mengembangkan
kualitas peserta didik yang diharapkan dapat memperbaiki masalah dan tatangan
masyarakat ataukah kurikulum merupakan upaya pendidikan membangun masyarakat
baru yang diinginkan bangsa menempatkan kurikulum pada posisi yang berbeda.
Secara singkat, posisi kurikulum dapat
disimpulkan menjadi tiga. Posisi pertama adalah kurikulum adalah
"construct" yang dibangun untuk mentransfer apa yang sudah terjadi di
masa lalu kepada generasi berikutnya untuk dilestarikan, diteruskan atau
dikembangkan. Pengertian kurikulum berdasarkan pandangan filosofis perenialisme
dan esensialisme sangat mendukung posisi pertama kurikulum ini. Kedua, adalah
kurikulum berposisi sebagai jawaban untuk menyelesaikan berbagai masalah social
yang berkenaan dengan pendidikan. Posisi ini dicerminkan oleh pengertian
kurikulum yang didasarkan pada pandangan filosofi progresivisme. Posisi ketiga
adalah kurikulum untuk membangun kehidupan masa depan dimana kehidupan masa
lalu, masa sekarang, dan berbagai rencana pengembangan dan pembangunan bangsa
dijadikan dasar untuk mengembangkan kehidupan masa depan.
Secara formal, tuntutan masyarakat
terhadap pendidikan diterjemahkan dalam tujuan pendidikan nasional, tujuan
pendidikan jenjang pendidikan dan tujuan pendidikan lembaga pendidikan. Tujuan
pendidikan nasional adalah tujuan besar pendidikan bangsa Indonesia yang diharapkan
tercapai melalui pendidikan dasar. Apabila pendidikan dasar Indonesia adalah 9
tahun maka tujuan pendidikan nasional harus tercapai dalam masa pendidikan 9
tahun yang dialami seluruh bangsa Indonesia. Tujuan di atas pendidikan dasar
tidak mungkin tercapai oleh setiap warganegara karena pendidikan tersebut,
pendidikan menengah dan tinggi, tidak diikuti oleh setiap warga bangsa. Oleh
karena itu kualitas yang dihasilkannya bukanlah kualitas yang harus dimiliki
seluruh warga bangsa tetapi kualitas yang dimiliki hanya oleh sebagian dari
warga bangsa.
Jenjang Pendidikan Dasar terdiri atas
pendidikan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) dan Sekolah Menengah
Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) atau program Paket A dan Paket B. Setiap
lembaga pendidikan ini memiliki tujuan yang berbeda. SD/MI memiliki tujuan yang
tidak sama dengan SMP/MTs baik dalam pengertian ruang lingkup kualitas mau pun
dalam pengertian jenjang kualitas. Oleh karena itu maka kurikulum untuk SD/MI
berbeda dari kurikulum untuk SMP/MTs baik dalam pengertian dimensi kualitas mau
pun dalam pengertian jenjang kualitas yang harus dikembangkan pada diri peserta
didik.
Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat (3) menyatakan bahwa kurikulum
disusun sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
- peningkatan iman dan takwa;
- peningkatan akhlak mulia;
- peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
- keragaman potensi daerah dan lingkungan;
- tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
- tuntutan dunia kerja;
- perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
- agama;
- dinamika perkembangan global; dan
- persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Pasal ini jelas menunjukkan berbagai aspek
pengembangan kepribadian peserta didik yang menyeluruh dan pengembangan
pembangunan masyarakat dan bangsa, ilmu, kehidupan agama, ekonomi, budaya,
seni, teknologi dan tantangan kehidupan global. Artinya, kurikulum haruslah
memperhatikan permasalahan ini dengan serius dan menjawab permasalahan ini
dengan menyesuaikan diri pada kualitas manusia yang diharapkan dihasilkan pada
setiap jenjang pendidikan (pasal 36 ayat (2).
Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan juga diterjemahkan dalam bentuk rencana pembangunan pemerintah. Rencana besar pemerintah untuk kehidupan bangsa di masa depan seperti transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, reformasi dari system pemerintahan sentralistis ke system pemerintahan disentralisasi, pengembangan berbagai kualitas bangsa seperti sikap dan tindakan demokratis, produktif, toleran, cinta damai, semangat kebangsaan tinggi, memiliki daya saing, memiliki kebiasaan membaca, sikap senang dan kemampuan mengembangkan ilmu, teknologi dan seni, hidup sehat dan fisik sehat, dan sebagainya. Tuntutan formal seperti ini harus dapat diterjemahkan menjadi tujuan setiap jenjang pendidikan, lembaga pendidikan, dan pada gilirannya menjadi tujuan kurikulum.
Secara formal, tuntutan masyarakat terhadap pendidikan juga diterjemahkan dalam bentuk rencana pembangunan pemerintah. Rencana besar pemerintah untuk kehidupan bangsa di masa depan seperti transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, reformasi dari system pemerintahan sentralistis ke system pemerintahan disentralisasi, pengembangan berbagai kualitas bangsa seperti sikap dan tindakan demokratis, produktif, toleran, cinta damai, semangat kebangsaan tinggi, memiliki daya saing, memiliki kebiasaan membaca, sikap senang dan kemampuan mengembangkan ilmu, teknologi dan seni, hidup sehat dan fisik sehat, dan sebagainya. Tuntutan formal seperti ini harus dapat diterjemahkan menjadi tujuan setiap jenjang pendidikan, lembaga pendidikan, dan pada gilirannya menjadi tujuan kurikulum.
Sayangnya, kurikulum yang dikembangkan di Indonesia
masih membatasi dirinya pada posisi sentral dalam kehidupan akademik yang
dipersepsikan dalam pemikiran perenialisme dan esensialisme. Konsekuensi logis
dari posisi ini adalah kurikulum membatasi dirinya dan hanya menjawab tantangan
dalam kepentingan pengembangan ilmu dan teknologi. Struktur kurikulum 2004 yang
memberikan sks lebih besar pada mata pelajaran matematika, sains (untuk lebih
mendekatkan diri pada istilah yang dibenarkan oleh pandangan esensialis), dan
teknologi dengan mengorbankan Pengetahuan Sosial dan Ilmu Sosial,
PPKN/kewarganegaraan, bahasa Indonesia dan daerah, serta bidang-bidang yang
dianggap kurang "penting". Alokasi waktu ini adalah
"construct" para pengembang kurikulum dan jawaban kurikulum terhadap
permasalahan yang ada.
Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kurikulum 2004 gagal menjawab keseluruhan spectrum permasalahan masyarakat. Kurikulum 2004 hanya menjawab sebagian (kecil) dari permasalahan yang ada di masyarakat yaitu rendahnya penguasaan matematika dan ilmu alamiah (sains) yang diindikasikan dalam tes seperti TIMMS atau tes seperti Ujian Nasional (UN). Permasalahan lain yang terjadi di masyarakat dan dirumuskan dalam ketetapan formal seperti undang-undang tidak menjadi perhatian kurikulum 2004. Tuntutan dunia kerja yang seharusnya menjadi kepeduliaan besar dalam model kurikulum berbasis kompetensi tidak muncul karena kompetensi yang digunakan kurikulum dikembangkan dari diisplin ilmu dan bukan dari dunia kerja, masyarakat, bangsa atau pun kehidupan global.
Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kurikulum 2004 gagal menjawab keseluruhan spectrum permasalahan masyarakat. Kurikulum 2004 hanya menjawab sebagian (kecil) dari permasalahan yang ada di masyarakat yaitu rendahnya penguasaan matematika dan ilmu alamiah (sains) yang diindikasikan dalam tes seperti TIMMS atau tes seperti Ujian Nasional (UN). Permasalahan lain yang terjadi di masyarakat dan dirumuskan dalam ketetapan formal seperti undang-undang tidak menjadi perhatian kurikulum 2004. Tuntutan dunia kerja yang seharusnya menjadi kepeduliaan besar dalam model kurikulum berbasis kompetensi tidak muncul karena kompetensi yang digunakan kurikulum dikembangkan dari diisplin ilmu dan bukan dari dunia kerja, masyarakat, bangsa atau pun kehidupan global.
Posisi kurikulum yang dikemukakan di atas
barulah pada posisi kurikulum dalam mengembangkan kehidupan social yang lebih
baik. Posisi ketiga yaitu kurikulum merupakan "construct" yang
dikembangkan untuk membangun kehidupan masa depan sesuai dengan bentuk dan
karakteristik masyarakat yang diinginkan bangsa. Posisi ini bersifat konstruktif dan antisipatif
untuk mengembangkan kehidupan masa depan yang diinginkan. Dalam posisi ketiga
ini maka kurikulum seharusnya menjadi jantung pendidikan dalam membentuk
generasi baru dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik mengembangkan
potensi dirinya memenuhi kualitas yang diperlukan bagi kehidupan masa
mendatang.
Pertanyaan yang muncul adalah kualitas apa
yang harus dimiliki semua manusia Indonesia yang telah menyelesaikan wajib
belajar 9 tahun? Ini adalah kualitas minimal dan harus dimiliki seluruh anggota
bangsa. Jika pasal 36 ayat (3) Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 dijadikan
dasar untuk mengidentifikasi kualitas minimal yang harus dimiliki bangsa
Indonesia maka kurikulum haus mengembangkannya. Jika mentalitas bangsa
Indonesia yang diinginkan adalah mentalitas baru yang religius, produktif,
hemat, memiliki rasa kebangsaan tinggi, mengenal lingkungan, gemar membaca,
gemar berolahraga, cinta seni, inovatif, kreatif, kritis, demokratis, cinta
damai, cinta kebersihan, disiplin, kerja keras, menghargai masa lalu, menguasai
pemanfatan teknologi informasi dan sebagainya maka kurikulum harus mampu
mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kualitas tersebut sebagai
kualitas dasar atau kualitas minimal bangsa yang menjadi tugas kurikulum SD/MI
dan SMP/MTs.
Jika masa depan ditandai oleh berbagai
kualitas baru yang harus dimiliki peserta didik yang menikmati jenjang
pendidikan menengah maka adalah tugas kurikulum untuk memberikan peluang kepada
peserta didik mengembangkan potensi dirinya. Jika penguasaan ilmu, teknologi,
dan seni di jenjang pendidikan menengah diarahkan untuk persiapan pendidikan
tinggi maka kurikulum harus mampu memberi kesempatan itu. Barangkali untuk itu
sudah saatnya konstruksi kurikulum SMA dengan model penjurusan yang sudah
berusia lebih dari 50 tahun itu ditinjau ulang. Model baru perlu dikembangkan
yang lebih efektif, bersesuaian dengan kaedah pendidikan, dan didasarkan pada
kajian keilmuan terutama kajian psikologi mengenai minat/interest sebagai model
penjurusan untuk kurikulum SMA.
Posisi kurikulum di jenjang pendidikan
tinggi memang berbeda dari jenjang pendidikan dasar dan menengah. Jika
kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah lebih memberikan perhatian
yang lebih banyak pada pembangunan aspek kemanusiaan peserta didik maka
kurikulum pendidikan tinggi berorientasi pada pengembangan keilmuan dan dunia
kerja. Kedua orientasi ini menyebabkan kurikulum di jenjang pendidikan tinggi
kurang memperhatikan kualitas yang diperlukan manusia di luar keterkaitannya
dengan disiplin ilmu atau dunia kerja. Dalam banyak kasus bahkan terlihat bahwa
kurikulum pendidikan tinggi tidak juga memperhatikan hal-hal yang berkenaan
dengan kualitas kemanusiaan yang seharusnya terkait dengan pengembangan ilmu
dan dunia kerja. Kualitas kemanusiaan seperti jujur, kerja keras, menghargai
prestasi, disiplin, taat aturan, menghormati hak orang lain, dan sebagainya
terabaikan dalam kurikulum pendidikan tinggi walau pun harus diakui bahwa
Kepmen 232/U/1999 mencoba memberikan perhatian kepada aspek ini.
PROSES
PENGEMBANGAN KURIKULUM
Unruh
dan Unruh (1984:97) mengatakan bahwa proses pengembangan kurikulum a complex
process of assessing needs, identifying desired learning outcomes, preparing
for instruction to achieve the outcomes, and meeting the cultural, social, and
personal needs that the curriculum is to serve. Berbagai factor seperti
politik, sosial, budaya, ekonomi, ilmu, teknologi berpengaruh dalam proses
pengembangan kurikulum. Oleh karena itu Olivia (1992:39-41) selain mengakui
bahwa pengembangan kurikulum adalah suatu proses yang kompleks lebih lanjut
mengatakan curriculum is a product of its time. . . curriculum responds to
and is changed by social forced, philosophical positions, psychological
principles, accumulating knowledge, and educational leadership at its moment in
history. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam pengembangan kurikulum
focus awal memberi petunjuk jelas apakah kurikulum yang dikembangkan tersebut
kurikulum dalam pandangan tradisional, modern ataukah romantism.
Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan dalam banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih banyak mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang dikembangkan pada langkah awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam belajar suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya. Pada fase pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada permasalahan transfer dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan tujuan yang terbatas.
Keseluruhan proses pengembangan kurikulum dapat digambarkan sebagai berikut:
Model pengembangan kurikulum berikut ini adalah model yang biasanya digunakan dalam banyak proses pengembangan kurikulum. Dalam model ini kurikulum lebih banyak mengambil posisi pertama yaitu sebagai rencana dan kegiatan. Ide yang dikembangkan pada langkah awal lebih banyak berfokus pada kualitas apa yang harus dimiliki dalam belajar suatu disiplin ilmu, teknologi, agama, seni, dan sebagainya. Pada fase pengembangan ide, permasalahan pendidikan hanya terbatas pada permasalahan transfer dan transmisi. Masalah yang muncul di masyarakat atau ide tentang masyarakat masa depan tidak menjadi kepedulian kurikulum. Kegiatan evaluasi diarahkan untuk menemukan kelemahan kurikulum yang ada, model yang tersedia dan dianggap sesuai untuk suatu kurikulum baru, dan diakhiri dengan melihat hasil kurikulum berdasarkan tujuan yang terbatas.
Keseluruhan proses pengembangan kurikulum dapat digambarkan sebagai berikut:
Dalam
proses pengembangan tersebut unsure-unsur luar seperti kebudayaan di mana suatu
lembaga pendidikan berada tidak pula mendapat perhatian. Konsep diversifikasi
kurikulum menempatkan konteks social-budaya seharusnya menjadi pertimbangan
utama. Sayangnya, karena sifat ilmu yang universal menyebabkan konteks
social-budaya tersebut terabaikan. Padahal seperti dikemukakan Longstreet dan
Shane (1993:87) bahwa kebudayaan berfungsi dalam dua perspektif yaitu eksternal
dan internal:
The environment of the curriculum is external insofar as the social order in general establishes the milieu within which the schools operate; it is internal insofar as each of us carries around in our mind's eye models of how the schools should function and what the curriculum should be. The external environment is full of disparate but overt conceptions about what the schools should be doing. The internal environment is a multiplicity of largely unconscious and often distorted views of our educational realities for, as individuals, we caught by our own cultural mindsets about what should be, rather than by a recognition of our swiftly changing, current realities.
Model kedua yang diajukan dalam makalah ini adalah model yang menempatkan kurikulum dalam posisi kedua dan ketiga. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Identifikasi masalah dalam masyarakat dan kualitas yang dimiliki suatu komunitas pada saat sekarang dijadikan dasar dalam perbandingan dengan kualitas yang diinginkan masyarakat sehingga menghasilkan harus dikembangkan oleh kurikulum. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum selalu dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Pencapaian tujuan kurikulum pun diukur dengan keberhasilan lulusan di masyarakat.
The environment of the curriculum is external insofar as the social order in general establishes the milieu within which the schools operate; it is internal insofar as each of us carries around in our mind's eye models of how the schools should function and what the curriculum should be. The external environment is full of disparate but overt conceptions about what the schools should be doing. The internal environment is a multiplicity of largely unconscious and often distorted views of our educational realities for, as individuals, we caught by our own cultural mindsets about what should be, rather than by a recognition of our swiftly changing, current realities.
Model kedua yang diajukan dalam makalah ini adalah model yang menempatkan kurikulum dalam posisi kedua dan ketiga. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Identifikasi masalah dalam masyarakat dan kualitas yang dimiliki suatu komunitas pada saat sekarang dijadikan dasar dalam perbandingan dengan kualitas yang diinginkan masyarakat sehingga menghasilkan harus dikembangkan oleh kurikulum. Dalam model ini maka proses pengembangan kurikulum selalu dimulai dengan evaluasi terhadap masyarakat. Pencapaian tujuan kurikulum pun diukur dengan keberhasilan lulusan di masyarakat.
DAFTAR BACAAN
Abdul Ghofir dan Muhaimin (1993), Pengenalan Kurikulum
Madrasah, Solo, Ramadhani,
Abdul Manab (1995). Pengembangan Kurikulum,
Tulungagung, Surabaya: Kopma IAIN Sunan Ampel
Abdullah
Idi (2011). Pengembangan Kurikulum Teori
dan Praktek. Jakarta: Ar Ruz Media
Adiwikarta, S (1994) Kurikulum Yang
Beroroentasi pada Kekinian, Kedisinian, dan Kemasadepanan” Dalam Kurikulum
untuk Abad 21. Jakarta: Grasindo
Arsyad, Mohammad (1989). Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Proyek Pengembangan
LPTK Ditjen PT Departemen P&K.
Beauchamp, G.A (1975). Curriculum
Theory. Illinois: The Kagg Press, Wilmeet.
Devies, E. (1980). Teachers
as Curriculum Evaluation. Australia: George Allen & Unwin
Hamalik, O. (1990). Pengembangan
Kurikulum: dasar-Dasar dan Perkembangannya. Bandung: Mandar Maju
Hamalik, O (1994). Pengembangan
Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Triegenda Karya
Karsidi, R. (2010).Profesionalisme
Guru. Solo: Universitas Negeri Solo
Maryanto, A. (1994). Kurikulum
Lintas Bidang Studi. Jakarta: Grasindo
Muhaimin, (1991). Konsep
Pendidikan Islam : Sebuah Telaah Komponen Dasar Kurikulum, Solo:
Ramadhani
Mulder, Niels (2001). Indonesian Images. Yogyakarta: Kanisius
Nana Syaodih Sukmadinata, (2002). Pengembangan
Kurikulum: Teori dan Praktek, Bandung, Remaja Rosdakarya,
Nasution, S (1986). Asas-asas Kurikulum. Bandung: Jemmars
Nurgiantoro (1991). Pengembangan
Kurikulum di Sekolah. Yokyakarta: UGM Press
Supriadi,
Dedi (2001). Anatomi Buku Sekolah di
Indonesia. Yogyakarta:
Adicita
Dokumen (wajib dibaca setiap mahasiswa prodi PAI )
1.
Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
2.
Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Peraturan Pemerintah Nomor
19 Tahun 2005 tentang kualifikasi Guru
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 41 tentang
Tunjangan Profesi Guru
4.
Peraturan Pemerintah Nomor 74 tentang 2008 tentang Guru
5.
Permendiknas Nomor 39 tentang Kinerja Guru
dan Pengawas
3.2 Lampiran 2:
PROGRAM INOVATIF SEKOLAH
Oleh Suparlan *)
Mereka yang berfikiran hebat
membicarakan ide-ide.
Mereka yang berfikiran
sedang membicarakan peristiwa-peristiwa. Mereka yang berfikiran sempit
membicarakan orang lain
(Eleanor Roosevelt, 1884 – 1962, mantan first lady AS)
Inovasi membedakan antara pemimpin dan pengekor
(Steve Jobs, pendiri Apple
Computer)
Innovation is
change that creates a new dimension of performance
(Peter Drucker:
Hesselbein, 2003)
Innovation
is the creation of the new or the re-arranging of the old in a new way
(Michael Vance)
Kita
sekarang akan mencoba menjadi orang yang berfikiran hebat. Siapa takut? Kita
sedang membicarakan ide-ide atau gagasan-gagasan, bukan membicarakan
fakta-fakta saja, apalagi membicarakan orang lain. Gagasan apa saja itu?
Tentang program inovatif sekolah.
Benar
sekali. Tapi, gagasan-gagasan yang akan ditulis ini mungkin saja memang bukan
benar-benar baru bagi sekolah tertentu. Namun sekolah yang lain mungkin dapat
menjadi sesuatu yang sangat berharga. Memang, gagasan baru juga harus semua
komponennya harus baru. Gagasan baru itu bisa jadi dari gagasan yang sudah
lama, yang kemudian diperbaiki, disempurnakan dengan memperbaiki satu atau
beberapa elemennya, sehingga menjadi lebih baik dan bermanfaat. Itu pun sudah
dapat disebut sebagai apa yang dikenal dengan inovasi. Innovation is the
creation of the new or the re-arranging of the old in a new way (Michael Vance)
Tulisan
ini akan mencoba membahas tentang program sekolah yang dapat dinilai inovatif.
Peter Drucker menjelaskan kepada kita bahwa inovasi sesungguhnya adalah
perubahan yang menciptakan satu dimensi baru kinerja organisasi. Dalam hal ini,
kinerja lembaga pendidikan sekolah.
Pemberdayaan Kelompok Kerja Guru (KKG) dan
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
Sungguh,
kita harus malu dengan peringkat ke empat di Pesta Olahraga Asia Tenggara. Kita telah jauh ketinggalan dari negara
Thailand. Bahkan juga ketinggalan dari Vietnam. Kondisi ini juga tampak dari
Human Development Index (HDI) Indonesia yang berada di bawah Vietnam. Padalah
dahulu, dalam acara olahraga yang bergengsi ini kita selalu unggul. Boleh
dikatakan bahwa negara yang lain berebut pada urutan kedua. Boleh jadi semua
itu terjadi memang karena dampak negatif dari krisis multidimensional yang
masih belum sepenuhnya usai. Namun, banyak orang yang meneropongnya dari faktor
kemunduran dunia pendidikan kita. Dengan demikian, maka sumber masalahnya adalah
lembaga pendidikan sekolah. Program peningkatan kompetensi SDM secara terencana
dan berkelanjutan memang harus dimulai di lembaga pendidikan sekolah. Setelah
lembaga pendidikan keluarga, maka lembaga pendidikan sekolah harus menjadi
tempat yang strategis untuk dapat meningkatkan kompetensi SDM yang handal.
Untuk dapat membangun SDM yang handal, kita tidak bisa hanya melakukan yang
biasa-biasa saja. Juga tidak hanya dengan program-program yang biasa. Kita
harus melakukan hal yang luar biasa. Dengan kata lain, kita harus melakukan
hal-hal yang inovatif. Lembaga pendidikan sekolah harus merancang berbagai
program yang inovatif. Pemberdayaan KKG dan MGMP harus dapat digunakan sebagai
wahana yang efektif untuk dapat meningkatkan kompetensi guru di sekolah.
Program Pemberian Susu dan Makanan Tambahan
Di Sekolah Indonesia Kuala Lumpur,
Malaysia, sebagai ilustrasi, sebagaimana juga di sekolah-sekolah lain di tanah
air, para siswa harus mengikuti upacara bendera di sekolah. Dalam beberapa kali
upacara bendera, ketika pembina upacara menyampaikan pidatonya, atau ketika
bendera merah putih dinaikkan beberapa anak jatuh pingsan. Selidik punya
selidik, masalah ini terjadi karena banyak anak-anak yang tidak sarapan pagi.
Bukan hanya itu, ada kemungkinan mereka juga mengalami kekurangan gizi dan
dehidrasi.
Penemuan tentang rendahnya kebugaran
jasmani, kesehatan, dan gizi anak-anak kita perlu mendapatkan perhatian kita
semua. Hal ini sama sekali berbanding terbalik dengan keadaan peserta didik di
Negeri Cina. Para siswa di sekolah yang cukup luas di negeri tirai bambu itu
diwajibkan selalu melakukan olahraga dalam cabang olahraga yang mereka suka.
Semua fasilitas olahraga telah disediakan, dan setiap harinya mereka harus
melakukan olahraga sesuai dengan hobinya. Hasilnya? Stamina olahragawan dari
negeri tirai bambu itu sangat luar biasa. Mereka yang suka berolahraga memiliki
kecerdasan fisikal atau kecerdasan ragawi atau kecerdasan yang
dikenal dengan bodily kinestetics yang tinggi. Termasuk di dalamnya
adalah senam dan menari dengan olah tubuh yang penuh dengan rima dan irama itu.
Kalau pun negeri kita pada saaat ini masih
mengalami kesulitan untuk mencari sebelas pemain sebak bola, karena selalu keok
dalam arena pertandingan olah raga yang bergengsi ini, maka masalahnya tidak
lain dan tidak bukan adalah karena kecerdasan fisikal generasi muda kita yang
masih rendah. Selain itu, asupan gizi generasi muda kita masih di bawah
rata-rata anak-anak di dunia. Jika negeri ini masih juga mengalami masalah
mahalnya susu untuk tumbuh kembang anak-anak kita, negeri adidaya Amerika
Serikat telah jauh memikirkan pentingnya makan siang anak-anak sekolah melalui
program makan siang anak-anak usia sekolah melalui National School Lunch
Program Act yang telah ditandatangani oleh Presiden Truman pada tahun
1946. Bahkan pada tanggal 14 Oktober
1940, pemerintah Amerika Serikat juga telah mengeluarkan program susu sekolah (school
milk program). Rupanya, DPR kita masih sibuk dengan urusan politik
ketimbang dengan urusan makan siang anak-anak.
Nah apa yang harus diprogramkan oleh
sekolah untuk mengatasi itu semua? Pemberian bubur kacang hijau, susu, dan
makanan bergizi lainnya secara rutin sudah tentu menjadi kegiatan yang sangat
berguna bagi anak-anak kita. Jangan biarkan anak-anak kita membiasakan jajan di
tepi-tepi pagar sekolah, yang dari aspek kesehatan dan gizinya tidak dapat kita
pertanggungjawabkan.
Penciptaan Lingkungan Sekolah Yang Sehat
Program ini sangat terkait dengan program
sebelumnya. Pertama, program yang
harus dibenahi adalah kantin sekolah. Ciptakan kantin sekolah yang hiegenis
dengan jenis makanan yang bergizi. Kedua,
citakan lingkungan sekolah yang bersih, rindang, dan indah. Program 7K perlu
digalakkan lagi, bukan hanya secara seremonial belaka, tetapi harus menyentuh
perubahan kebiasaan para penghuninya. Memasang papan bertuliskan ”LINGKUNGAN
BEBAS ROKOK” merupakan satu gebrakan yang dapat dilakukan. Tulisan-tulisan
lain, seperti ”TARUH SAMPAH PADA TEMPATNYA”, atau ”CUCI TANGAN SEBELUM MAKAN”,
atau ”KESEHATAN SEBAGIAN DARI IMAN” dapat diharapkan dapat mengisi nurani
anak-anak kita yang masih putih itu. Lomba kebersihan dan keindahan kelas dapat
diadakan pada saat momen-momen tertentu, misalnya peringatan hari besar
nasional dan agama, atau peringatan hari lahir sekolah.
Talent Scouting Bibit Olahraga dan Seni
Pembinaan olahraga memang menjadi tugas
utama guru olahraga dan keshatan. Tetapi, program pembinaan olahraga secara
teroganisasi di sekolah sudah barang tentu menjadi tanggung jawab semua
komponen sekolah. Di samping olahgara rekreasi, pencatatan secara rutin rekor
olahraga prestasi harus tersedia di sekolah. Sekolah harus memiliki catatan,
nama-nama siswa dengan rekor tertingginya dalam cabang olahraga tertentu.
Dengan catatan ini, jika ada kegiatan pertandingan olahraga, maka sekolah
tinggal memilih mereka untuk dapat mengikuti ajang pertandingan olahraga yang
akan diikuti. Pencatatan prestasi olahraga ini dapat dilakukan pada awal tahun
pelajaran atau pada saat usai ulangan semester pertama menjelang libur sekolah.
Dengan demikian, sekolah dapat menjadi tempat pembibitan olahraga dan seni yang
pertama dan utama.
Science-Tech Club
Sama dengan talent scouting dalam bidang
olahraga, sekolah juga harus melakukannya untuk bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sebenarnya para guru telah memiliki pengetahuan dan keterampilan
praktis dalam penelitian sederhana. Namun banyak di antaranya kurang begitu
yakin bahwa anak-anak mampu melakukannya. Padahal obyek penelitian sederhana
bagi anak-anak terbentang luas di sekolah dan lingkungannya. Sayur apakah yang
menjadi kegemaran siswa, sebagai contoh, adalah pertanyaan penelitian sederhara
yang dapat dilakukan bukan di SMP, tetapi sudah bisa dilakukan di SD. Topik-topik
lainnya misalnya: (1) rata-rata jumlah anak dalam satu keluarga, (2) rata-rata
tinggi dan berat badan anak-anak kelas 5 SD, (3) jarak tempuh anak-anak ke
sekolah, dan masih banyak yang lain.
Kebun Sekolah dan Penanaman Sejuta Pohon
Jika secara internasional isu pemanasan
global telah melahirkan Bali Roadmap untuk memecahkan isu tersebut, maka apa
yang dapat dilakukan di tingkat sekolah? Tentu saja pendidikan lingkungan hidup
harus menjadi tanggung jawab sekolah. Untuk sekolah yang tidak memiliki lahan
yang luas, setiap kelas dapat diminta untuk membikin taman di depan kelasnya
masing-masing. Atau dapat meminta kepada para siswa untuk masing-masing dapat
memiliki tanaman kesayangan yang harus dipelihara setiap hari dengan sepenuh
hati. Disiram, dipupuk, dan disiangi kalau ada rumput yang menggangunya. Jika ada
sedikit lahan di depan sekolah, maka sekolah juga dapat membuat taman sederhana
untuk menanam tanaman hias atau tanaman bunga, agar sekolah tidak terasa
gersang. Jika di lingkungan sekolah ada lahan tidur yang tidak dimanfaatkan
oleh yang empunya, sekolah dapat meminjamnya untuk dijadikan kebun sekolah
tempat praktik anak-anak menanam berbagai jenis tanaman. Selain itu, sekolah
juga dapat membantu pemerintah daerah dalam melaksanakan program penanaman satu
juta pohon.
The First Day Festival
Ide ini diusulkan oleh seorang guru di
suatu sekolah di Amerika Serikat. Pada waktu itu, pelibatan peran serta
orangtua dalam penyelenggaraan pendidikan masih menjadi sesuatu yang langka.
Setelah program ini dilaksanakan, antusiasme orangtua dan masyarakat tiba-tiba
meningkat secara drastis. Sejak adanya festival hari pertama sekolah itu,
orangtua siswa dan masyarakat merasakan adanya peningkatan keakraban dan
kekeluargaan antara sekolah dan orangtua siswa secara luar biasa. Orangtua dan
masyarakat tidak lagi merasa sebagai klien, tetapi sebagai pemangku kepentingan
yang memiliki tanggung jawab yang sama besar dengan pihak kepala sekolah dan
para guru di sekolah. Program seperti ini dapat berupa program lain yang tidak
kalah inovatifnya. Acara tutup tahun sekolah, sebagai contoh, dapat menjadi
media untuk menyatupadukan sekolah dengan orangtua dan masyarakat. Dalam acara
tersebut, para siswa dapat menunjukkan kebolehannya, baik dalam bidang akademis
maupun nonakademis, di hadapan orangtua dan masyarakat. Dampaknya, orangtua dan
masyarakat menjadi lebih memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap upaya
sekolah dalam meningkatkan kompetensi siswa. Dampak pengiringnya, orangtua dan
masyarakat menjadi lebih antusias dalam ikut serta memberikan dukungan dan
bantuan terhadap pelaksanaan program-program inovatif sekolah.
Akhir Kata
Masih sangat banyak program inovatif lain
yang dapat dilaksanakan oleh sekolah. Tentu saja berdasarkan kondisi sekolahnya
masing-masing. Sebagai contoh, program sekolah berwawasan imtaq, program sekolah
yang aman dan nyaman, program sekolah ramah anak, kegiatan outbond, dan masih banyak yang lainnya. Penerapan pembelajaran
aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAKEM) dan contextual teaching and learning (CTL) kini menjadi program
inovatif di sekolah yang menjadi primadona.
Pendek kata, dengan program inovatif,
semua warga sekolah dan pemangku kepentingan ingin mencoba sesuatu yang tidak
biasa. Ingin mencoba sesuatu yang baru, yang kalau bisa yang luar biasa. Itu
semua dapat dimulai dengan program inovatif yang sederhana, dan sudah barang
tentu yang tidak memberatkan keuangan orangtua siswa. Yang penting, semua warga
sekolah ingin melakukan sesuatu yang baru, atau sesuatu yang sebelumnya kurang
mendapatkan perhatian. Tentu saja, semua itu harus dirancang adalam rencana
yang matang, yang dikenal dengan Rencana Pengembangan Sekolah (RPS), yang
disusun oleh sekolah bersama dengan pemangku kepentingan. Dengan kata lain, RPS
yang disusun hendaknya memuat program-program inovatif, baik yang terkait dengan
aspek akademis maupun nonakademis di sekolah.
Sulitkah semua itu kita lakukan? Semua itu
memang sulit untuk pertama kalinya. All
beginning is difficult. Semua permulaan itu memang sulit. Tetapi, yakinlah
bahwa semua itu dapat dilakukan jika kita memiliki kemauan. Dimana ada kemauan
di situ ada jalan. Mudah-mudahan.
Depok, 22 Desember 2007
3.3 Lampiran 3:
MEMBERANTAS KORUPSI MELALUI KURIKULUM
Oleh icwweb
Minggu, 17 September 2006 12:28:40
Institusi pendidikan diyakini
sebagai tempat terbaik untuk menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai
antikorupsi. Murid atau mahasiswa yang akan menjadi tulang punggung bangsa di
masa mendatang sejak dini harus diajar dan dididik untuk membenci serta
menjauhi praktek korupsi. Bahkan lebih dari itu, diharapkan dapat turut aktif
memeranginya.
Untuk itu, strategi yang umumnya dipilih dengan mengintervensi secara tidak langsung proses belajar-mengajar melalui penerapan kurikulum antikorupsi. Setidaknya ada tiga perguruan tinggi yang sedang mengembangkan kurikulum tersebut, di antaranya Universitas Islam Negeri, Ciputat; Universitas Katolik Soegipranata, Semarang; serta IAIN Arraniry, Banda Aceh.
Munculnya terobosan-terobosan baru untuk melawan praktek korupsi, seperti membuat kurikulum antikorupsi, mesti disambut positif. Namun, apabila akan diimplementasikan dalam lingkup luas, ada beberapa faktor yang mesti dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Sebab, institusi pendidikan seperti sekolah sangat sensitif, perubahan kebijakan walau kecil, akan berpengaruh pada banyak hal.
Pertama, dari aspek teknis. Berkenaan dengan kejelasan implementasi kurikulum, apakah akan memunculkan mata pelajaran khusus atau diintegrasikan dengan mata pelajaran yang memiliki korelasi, seperti pendidikan agama atau kewarganegaraan. Sebab, pilihan tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi lanjutan, seperti penentuan buku teks.
Apabila pilihannya dibuat khusus, akan muncul buku teks pelajaran baru mengenai antikorupsi. Tapi, jika memilih diintegrasikan, buku teks mata pelajaran yang dianggap relevan otomatis ditambah atau diubah dengan muatan baru mengenai antikorupsi. Tapi apa pun pilihannya, dibutuhkan biaya besar untuk pengadaan buku-buku tersebut.
Masalahnya, siapa yang akan membiayai. Sebab, bila dibebankan kepada orang tua murid, malah menambah masalah. Selama ini mereka sudah direpotkan dengan pembelian berbagai jenis buku teks yang mahal. Tapi, kalaupun kemudian ditanggung pemerintah, jika pengaturannya tidak jelas, bukan mustahil buku teks mengenai antikorupsi justru menjadi lahan baru untuk korupsi.
Untuk itu, strategi yang umumnya dipilih dengan mengintervensi secara tidak langsung proses belajar-mengajar melalui penerapan kurikulum antikorupsi. Setidaknya ada tiga perguruan tinggi yang sedang mengembangkan kurikulum tersebut, di antaranya Universitas Islam Negeri, Ciputat; Universitas Katolik Soegipranata, Semarang; serta IAIN Arraniry, Banda Aceh.
Munculnya terobosan-terobosan baru untuk melawan praktek korupsi, seperti membuat kurikulum antikorupsi, mesti disambut positif. Namun, apabila akan diimplementasikan dalam lingkup luas, ada beberapa faktor yang mesti dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Sebab, institusi pendidikan seperti sekolah sangat sensitif, perubahan kebijakan walau kecil, akan berpengaruh pada banyak hal.
Pertama, dari aspek teknis. Berkenaan dengan kejelasan implementasi kurikulum, apakah akan memunculkan mata pelajaran khusus atau diintegrasikan dengan mata pelajaran yang memiliki korelasi, seperti pendidikan agama atau kewarganegaraan. Sebab, pilihan tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi lanjutan, seperti penentuan buku teks.
Apabila pilihannya dibuat khusus, akan muncul buku teks pelajaran baru mengenai antikorupsi. Tapi, jika memilih diintegrasikan, buku teks mata pelajaran yang dianggap relevan otomatis ditambah atau diubah dengan muatan baru mengenai antikorupsi. Tapi apa pun pilihannya, dibutuhkan biaya besar untuk pengadaan buku-buku tersebut.
Masalahnya, siapa yang akan membiayai. Sebab, bila dibebankan kepada orang tua murid, malah menambah masalah. Selama ini mereka sudah direpotkan dengan pembelian berbagai jenis buku teks yang mahal. Tapi, kalaupun kemudian ditanggung pemerintah, jika pengaturannya tidak jelas, bukan mustahil buku teks mengenai antikorupsi justru menjadi lahan baru untuk korupsi.
Selain itu, kurikulum tidak
akan ada artinya tanpa guru. Sudah tentu, agar bisa diimplementasikan, terlebih
dulu mereka yang akan mengajarkan pelajaran antikorupsi mesti mengetahui dan
memahami apa yang akan diajarkan. Untuk itu, setidaknya dibutuhkan pendidikan
atau pelatihan. Belajar dari penerapan kurikulum berbasis kompetensi, hanya
untuk sosialisasi, waktu dan biaya yang dihabiskan tidak sedikit.
Catatan kedua berkaitan dengan proses penerapan dan evaluasi. Harus ada kejelasan apakah pelajaran antikorupsi nantinya akan ditekankan pada sisi pengetahuan (kognitif) atau praktek (psikomotorik). Jika penekanannya hanya pada sisi pengetahuan, proses pengajaran dan evaluasi tidak terlalu sulit. Tapi masalahnya, pelajaran antikorupsi akan mengulangi kegagalan pelajaran pendidikan moral Pancasila beberapa waktu lalu. Murid mampu dengan baik menjawab nilai-nilai luhur pancasila, tapi tingkah laku jauh dari nilai-nilai tersebut.
Catatan kedua berkaitan dengan proses penerapan dan evaluasi. Harus ada kejelasan apakah pelajaran antikorupsi nantinya akan ditekankan pada sisi pengetahuan (kognitif) atau praktek (psikomotorik). Jika penekanannya hanya pada sisi pengetahuan, proses pengajaran dan evaluasi tidak terlalu sulit. Tapi masalahnya, pelajaran antikorupsi akan mengulangi kegagalan pelajaran pendidikan moral Pancasila beberapa waktu lalu. Murid mampu dengan baik menjawab nilai-nilai luhur pancasila, tapi tingkah laku jauh dari nilai-nilai tersebut.
Apabila menginginkan hingga
tingkatan praktek (psikomotor), akan menemukan kesulitan dalam proses evaluasi.
Alat atau instrumen yang mampu mengukur tingkat kemampuan murid dalam
menerapkan nilai-nilai antikorupsi tidak mudah dibuat. Tes yang dilakukan
berbeda dari tes pelajaran pendidikan jasmani atau olahraga.
Selain itu, proses pengajaran
antikorupsi tidak bisa dilakukan dengan cara konvensional: guru memberi ceramah
di dalam ruang kelas dan sesekali memberi tes. Batasan ruang kelas harus
dihilangkan. Pengelola sekolah mulai guru hingga kepala sekolah mesti menjadi
model bagi murid.
Namun sayang, kenyataannya
tidak demikian. Institusi pendidikan seperti sekolah justru menjadi salah satu
tempat tumbuh subur praktek korupsi. Setidaknya tergambar dari maraknya
pungutan yang dibebankan kepada orang tua murid. Mulai guru, kepala sekolah,
pegawai tata usaha, malah pengawas hingga pegawai dinas pendidikan, dengan
latar belakang penyebab serta modus yang berbeda, secara kolektif ataupun perseorangan
turut menjadi pelaku.
Institusi pendidikan malah
mengajarkan bagaimana cara melakukan korupsi. Kondisi tersebut sangat ironis,
setiap hari kepada murid diajarkan nilai-nilai antikorupsi, tapi ketika keluar
dari ruang kelas atau malah di dalam kelas, mereka menyaksikan bagaimana
korupsi dipraktekkan. Celakanya lagi, biasanya pelajaran yang paling diingat
oleh murid bukan hasil ceramah di ruang kelas, tapi yang dipraktekkan dalam keseharian
guru atau kepala sekolah.
Karena itu, kurikulum
antikorupsi tidak akan berarti apa-apa, jika institusi pendidikan seperti
sekolah yang akan mengimplementasikan masih belum bersih dari praktek korupsi.
Upaya untuk membersihkannya jauh lebih berat dibanding menyusun kurikulum
antikorupsi. Sebab, korupsi sudah sangat sistemik, dengan beragam faktor
penyebab, dari minimnya kesejahteraan hingga ketimpangan kekuasaan.
Berharap banyak pada peranan
birokrasi pendidikan pun tidak mungkin. Bukan rahasia lagi, jika praktek
korupsi di sekolah juga memiliki korelasi dengan lembaga di atasnya, seperti
dinas pendidikan. Mereka menikmati keuntungan melalui setoran-setoran atau jasa
tanda terima kasih, malah tidak sedikit yang aktif menjadi bagian dari rantai korupsi
di sekolah.
Dengan demikian, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sebelum kurikulum antikorupsi diterapkan. Mulai mereformasi institusi pendidikan, sehingga tidak lagi terjadi ketimpangan kekuasaan antara kepala sekolah, guru, dan orang tua murid. Selain itu, terus mendorong upaya peningkatan kesejahteraan guru atau dosen.
Tentu saja, akan ada perlawanan dari orang-orang yang selama ini menikmati keuntungan dari praktek korupsi di institusi pendidikan. Tapi tidak ada pilihan lain, institusi pendidikan sebagai benteng terakhir tempat menyebarkan nilai-nilai antikorupsi sudah menjadi tempat mempromosikan korupsi, karena itu harus direbut. Kalau itu semua sudah dilakukan, tanpa menggunakan kurikulum antikorupsi pun dengan sendirinya sekolah akan menjadi tempat mempromosikan nilai-nilai antikorupsi, karena memang itu khitahnya.
Ade Irawan, MANAJER DIVISI MONITORING PELAYANAN PUBLIK, INDONESIA CORRUPTION WATCH/SEKRETARIS KOALISI PENDIDIKAN
(Tulisan ini disalin dari Koran tempo, 16 September 2011)
Dengan demikian, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan sebelum kurikulum antikorupsi diterapkan. Mulai mereformasi institusi pendidikan, sehingga tidak lagi terjadi ketimpangan kekuasaan antara kepala sekolah, guru, dan orang tua murid. Selain itu, terus mendorong upaya peningkatan kesejahteraan guru atau dosen.
Tentu saja, akan ada perlawanan dari orang-orang yang selama ini menikmati keuntungan dari praktek korupsi di institusi pendidikan. Tapi tidak ada pilihan lain, institusi pendidikan sebagai benteng terakhir tempat menyebarkan nilai-nilai antikorupsi sudah menjadi tempat mempromosikan korupsi, karena itu harus direbut. Kalau itu semua sudah dilakukan, tanpa menggunakan kurikulum antikorupsi pun dengan sendirinya sekolah akan menjadi tempat mempromosikan nilai-nilai antikorupsi, karena memang itu khitahnya.
Ade Irawan, MANAJER DIVISI MONITORING PELAYANAN PUBLIK, INDONESIA CORRUPTION WATCH/SEKRETARIS KOALISI PENDIDIKAN
(Tulisan ini disalin dari Koran tempo, 16 September 2011)
3.4 Lampiran 4:
APA YANG
DIPELAJARI ANAK DI SEKOLAH?
Oleh Anis Suryani -
Artikel, 1- Desember 2004
Cica mencuci cangkir dan
piring
“Cuci tanganmu sebelum makan, Cica!” kata Ibu
“Ya, Bu,” jawab Cica. “Coba cari adikmu!” Cica mencari adiknya. Adik Cica sedang membaca. “Badanmu kotor, Yun. Bersihkan dulu badanmu!”
“Ya, Kak,” kata Yuyun. Mereka biasa hidup bersih. Bersih itu sehat.
“Cuci tanganmu sebelum makan, Cica!” kata Ibu
“Ya, Bu,” jawab Cica. “Coba cari adikmu!” Cica mencari adiknya. Adik Cica sedang membaca. “Badanmu kotor, Yun. Bersihkan dulu badanmu!”
“Ya, Kak,” kata Yuyun. Mereka biasa hidup bersih. Bersih itu sehat.
Teks dialog tanpa judul tersebut terdapat
dalam buku Aku Cinta Bahasa Indonesia terbitan Tiga Serangkai Solo (2002). Buku
ini dimiliki oleh hampir setiap siswa kelas satu di beberapa sekolah dasar di
Yogyakarta dan Jawa Tengah yang menjadikan buku ini sebagai buku utama dalam
pelajaran Bahasa Indonesia. Teks di atas memang dibuat untuk siswa kelas satu
SD yang sedang belajar membaca permulaan, yang biasanya terfokus pada latihan
melisankan bacaan mulai dari melafalkan huruf, suku kata, kata dan kalimat
secara benar, jelas dan lancar. Tetapi apakah dengan demikian teks boleh dibuat
sembarangan tanpa mempertimbangkan logika berbahasa? Perhatikan saja urutan
deskripsi peristiwanya. Bagi umumnya anak-anak, logika peristiwa yang lebih
mudah dipahami tentunya mencuci cangkir dan piring dilakukan setelah makan,
bukan sebelum makan seperti pada bacaan di atas. Juga lebih mudah dipahami jika
badan adik kotor ketika sedang bermain pasir atau tanah, bukan ketika sedang
membaca . Sementara itu dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa kelas
lima SD, Bina Bahasa Indonesia terbitan Erlangga Bandung (2003) terdapat teks bacaan
seperti berikut:
Wajib Belajar
Wajib Belajar
Desa
kelahiran orang tua Dey dan Yojo tergolong
tandus. Penduduk hanya penggali batu
gunung untuk fondasi rumah. Itu pun kalau ada pemesannya. Hasil kebun buah Sarikaya penduduk dan pohon pepaya kurang baik. Keadaan seperti
itu bukan menandakan penduduknya miskin. Justru penduduknya tergolong makmur.
Banyak hal yang dapat mereka kerjakan. Kaum ibu membentuk Home Industry atau
Industri Rumah Tangga berupa tenunan
batik Kaili Watusampu. Jika kita masuk ke toko souvenir, hampir semua souvenir batik di sana adalah karya ibu-ibu yang sudah dikonversi dengan nama batik
Bomba. Begitu pula kalau kita berbelanja kue-kue tradisional. Semua itu
hasil dari desa kelahiran ibunya Dey
dan Yojo. Bagaimana dengan aktivitas bapak-bapak dan para remaja? Di sana tidak kita jumpai
penduduk yang duduk di pojok gang atau di warung kopi. Konon sebagian besar
remaja bekerja di kota
lain. Mereka mengirimkan sebagian gaji ke desa untuk membeli rumah dan menyekolahkan adik-adik mereka.
Jika ada anak usia sekolah berkeliaran pada waktu tersebut, setiap orang wajib
menegur. Jika ternyata orang tua atau kakaknya yang menyuruh, pasti mendapat
sanksi.
Teks bacaan ini berada dalam salah satu bab berjudul Membaca
Pemahaman, yakni bab yang khusus dibuat untuk melatih siswa memahami bacaan.
Setelah teks, diajukanlah pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan isi teks
seperti: apa mata pencaharian ibu-ibu, apa yang dilakukan para remaja, mengapa
penduduk desa Watusampu,
bagaimana kesimpulanmu mengenai hasil perjuangan penduduk. Setelah itu
pembahasan untuk memahami teks pun selesai. Kalaupun siswa dapat menjawab semua
pertanyaan tersebut secara benar sesuai dengan isi bacaan, yakinkah kita bahwa
mereka telah belajar memahami bacaan secara benar pula? Kita pasti tidak yakin
akan keberhasilan pembelajarannya jika teks yang mereka baca adalah teks
seperti tersebut di atas.
Dengan mempertimbangkan logika bahasa yang baik atas sebuah
teks, perlu dipertanyakan dimana kita bisa temukan gagasan pokok yang dimaksud
oleh judul yakni wajib belajar, sementara sebagian besar teks membahas industri
rumah tangga ? Lalu jika kita perhatikan kalimat pada alinea terakhir, “mereka
mengirimkan sebagian gaji ke desa untuk membeli rumah?” , tentulah timbul pertanyaan, rumah mana yang dibeli? Sebuah kalimat yang
kontradiktif dengan deskripsi pada alinea pertama. Dimana ada sawah jika
kondisi desa dilukiskan sangat tandus dan hanya bisa menghasilkan buah Sarikaya dan mangga hutan ?
Teks-teks bacaan yang buruk dalam pengaturan logika berbahasa
seperti ini cukup banyak terdapat dalam buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia
untuk anak-anak SD. Kekacauan logika terlihat mulai dari teks yang tidak
memiliki judul, judul yang kurang menggambarkan isi teks, alinea yang tidak
jelas gagasan utamanya, kalimat-kalimat dalam alinea yang tidak padu, dan
sebagainya. Teks dialog penuh dengan tanya-jawab basa-basi tak bermakna. “Assalamu alaikum Yojo”. “Assalamu alaikum Dey”. “Kamu sudah baca pengumuman belum?” “Pengumuman
apa? Dimana? Aku belum membacanya tuh.” Dan seterusnya. Teks bacaan dan dialog
dengan kualitas seperti ini umumnya teks yang dibuat sendiri oleh penulis buku
yang biasanya adalah para guru atau sarjana ilmu pendidikan.
Kondisi yang
memprihatinkan dari teks-teks bacaan buku pelajaran Bahasa Indonesia tidak
hanya terjadi pada logika berbahasa, tetapi juga pada pilihan tema. Tema
kebersihan dan kesehatan mulai dari mandi, sikat gigi, menyapu, mengepel,
membuang sampah, menanami halaman rumah, kerja bakti di kampung, pemberantasan
nyamuk, makan sayur, muncul berkali-kali dalam banyak bacaan terutama untuk
siswa kelas satu sampai kelas tiga.
Tema yang tidak
menarik, tidak menumbuhkan minat seperti ini menjadi semakin membosankan karena
dibahas berulang-ulang. Sementara teks buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk
siswa kelas empat hingga kelas enam, sarat dengan tema program pemerintah dan
konsep-konsep yang terlalu kompleks untuk diajarkan kepada anak-anak sekolah
dasar seperti urbanisasi dan gerakan kembali ke desa, transmigrasi, ekonomi
koperasi, perlindungan tenaga kerja, krisis moneter, cara-cara memberantas
hama, dan sebagainya. Teks bacaan dengan tema seperti itu disajikan dengan
bahasa penyuluhan sehingga tidak menimbulkan kesan yang bermakna bagi siswa.
Apalagi kondisi di lapangan memperlihatkan kecenderungan guru-guru juga
terbatas wawasannya mengenai program-program pemerintah tersebut.
Salah satu contoh
teks berisi tema program pemerintah adalah teks dialog bejudul Posko Korban
Banjir dalam buku pelajaran bahasa Indonesia untuk siswa SD kelas tiga. (Tim
Bina Karya Guru, Bina Bahasa Indonesia 3A, Penerbit Erlangga, 2000, hal
134-135). Dengan maksud menanamkan kesan dan makna kepada siswa, teks dialog
ini harus diperagakan sebagai permainan peran. Latar belakang dialog adalah
rapat di Balai desa, tokoh yang diperankan adalah Kepala Desa, Sekretaris Desa,
dan dokter Puskesmas. Teks berisi tanya jawab antara ketiga tokoh seputar
kondisi pengungsi, kesiapan Puskesmas, dan kesiapan dapur umum. Bisa kita
bayangkan bagaimana canggungnya anak-anak usia 10 tahun kelas tiga SD memainkan
peran aparat pemerintahan desa. Terbayang pula bagaimana repotnya guru-guru
memandu siswa masuk ke suasana rapat desa yang menjadi konteks dialog itu.
Setelah teks, siswa diminta menyebutkan nama tokoh, sifat-sifat mereka dan
alasan mengapa menyebutkan sifat itu. Bagaimana mungkin siswa dapat
menggambarkan sifat tokoh dari dialog singkat tidak lebih dari 25 kalimat, dari
sebuah peristiwa rapat di Balai Desa yang berlangsung datar-datar saja tanpa
dinamika, dan tanpa pelukisan karakter tokoh-tokohnya? Kesan dan makna apa yang
bisa diharapkan muncul dari anak-anak kelas tiga SD dari bacaan dan dialog
dengan tema yang sama sekali tidak mengundang minat semacam ini? Contoh-contoh
di atas memperlihatkan kepada kita bahwa materi pembelajaran bahasa di kalangan
siswa sekolah dasar sulit diharapkan dapat berperan dalam meletakkan bahasa
sebagai sarana berolah pikir dan sarana ekspresi.
Anak-anak mulai
mempelajari konsep-konsep ilmu sosial pada saat duduk di kelas 3 SD. Diawali
dengan mengenal lingkungan keluarga, kemudian lingkungan sekolah, lingkungan
tetangga sekitar dan seterusnya. Apa yang digambarkan oleh buku-buku pelajaran
IPS kelas 3 SD tentang lingkungan tetangga ? Keadaan wilayah RT yang satu
mungkin berbeda dengan keadaan wilayah RT yang lain. Ada wilayah RT yang
terletak di tanah datar, ada yang di tanah berbukit. Wilayah RT di daerah
perkotaan umumnya terletak di atas tanah datar. Wilayah RT yang terdapat di
daerah pedesaan sebagian terletak di atas tanah berbukit. Wilayah RT 06/ RW 03
terletak di daerah perkotaan. Wilayahnya terdiri atas tanah datar dan rata. Di
sana tidak ada bukit. Juga tidak ada sungai yang mengalir. (IPS Terpadu Kelas 3
SD, Tim Bina Karya Guru Penerbit Erlangga, 2000).
Dua alinea di atas membuka pembahasan mengenai lingkungan RT, RW, Kelurahan, hingga provinsi. Tanpa ada penjelasan yang memadai mengenai lembaga RT, tiba-tiba lembaga administratif itu dihubungkan dengan kondisi geografis yang secara konsep berbeda konteksnya. Deskripsi menjadi lebih kacau dengan kalimat: tidak ada bukit dan tidak ada sungai di perkotaan. Dalam memperkenalkan konsep-konsep ekonomi, buku pelajaran memulainya dengan menyebutkan jenis-jenis mata pencaharian. Mata pencaharian penduduk desa bertani, beternak, berkebun. Penduduk daerah pantai bermatapencaharian sebagai sebagai nelayan. Penduduk kota sebagian besar bekerja sebagai pegawai negeri, pegawai perusahaan swasta dan perusahaan daerah.
Dua alinea di atas membuka pembahasan mengenai lingkungan RT, RW, Kelurahan, hingga provinsi. Tanpa ada penjelasan yang memadai mengenai lembaga RT, tiba-tiba lembaga administratif itu dihubungkan dengan kondisi geografis yang secara konsep berbeda konteksnya. Deskripsi menjadi lebih kacau dengan kalimat: tidak ada bukit dan tidak ada sungai di perkotaan. Dalam memperkenalkan konsep-konsep ekonomi, buku pelajaran memulainya dengan menyebutkan jenis-jenis mata pencaharian. Mata pencaharian penduduk desa bertani, beternak, berkebun. Penduduk daerah pantai bermatapencaharian sebagai sebagai nelayan. Penduduk kota sebagian besar bekerja sebagai pegawai negeri, pegawai perusahaan swasta dan perusahaan daerah.
Berbagai jenis
mata pencaharian disebutkan bagai sebuah daftar jenis pekerjaan. Konsep
“bekerja” itu sendiri tidak banyak mendapat porsi dalam penjelasannya.
“Bekerja” yang merupakan aktivitas ekonomi produksi, menyempit maknanya menjadi
sekedar jenis pekerjaan. Tidak ada gambaran yang memadai mengenai proses. Peran
Guru Deskripsi isi buku di atas hanya merupakan cuplikan kecil saja dari
seluruh isi buku pelajaran yang dipakai anak-anak di sekolah dasar. Buku
pelajaran adalah media pembelajaran yang paling umum dipakai di sekolah-sekolah
di Indonesia. Jika isi buku pelajaran kondisinya sangat buruk, kita tentu
berharap guru dapat berperan menutup kelemahannya, misalnya dengan memberikan
bahan bacaan lain yang lebih baik atau menyusun sendiri bahan bacaan yang
diperlukan.Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Dari pengalaman penulis
bergaul dengan para guru sekolah dasar dan mengamati keseharian mereka dalam
mengajar siswa, ada kecenderungan yang memprihatinkan yakni ketergantungan guru
yang sangat tinggi terhadap buku pelajaran dalam proses belajar mengajar di
kelas. Ketergantungan ini mematikan daya kritis guru terhadap kualitas isi buku
pelajaran.
Ketergantungan terjadi karena beberapa faktor. Pertama, sebagian besar guru tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai teks yang baik. Kedua, sebagian besar guru memiliki minat baca yang rendah sehingga sulit bagi mereka untuk berkreasi menyusun sendiri bahan pelajaran untuk siswa. Ketiga, akses mereka terhadap bahan bacaan sangat terbatas. Dana untuk buku tidak ada, perpustakaan sekolah tidak tersedia dan sekolah tidak punya referensi bacaan yang memadai selain koran. Kondisi menjadi lebih parah karena waktu di luar jam sekolah lebih banyak digunakan para guru untuk memberikan les privat dalam rangka menyiasati pendapatan yang rendah.
Kondisi kurang kritisnya guru terhadap kualitas teks antara lain juga tampak pada hasil penelitian staf pengajar FKIP Universitas Terbuka, Suparti dkk tentang persepsi guru terhadap penggunaan buku teks Bahasa Indonesia SD di Kabupaten Jombang. (Jurnal Pendidikan Vol.3 No 1, Maret 2002, Lemlit UT). Dalam hal persepsi terhadap isi buku, para guru lebih menyoroti kualitas gambar yang kurang menarik, daripada kualitas teks. Yang terjadi kemudian, lebih penting bagi guru adalah menyelesaikan pembahasan materi yang ada di dalam buku pelajaran tepat pada waktunya. Kalau bisa lebih cepat sehingga lebih banyak waktu bisa dicurahkan untuk mengajak siswa berlatih mengerjakan soal. Soal-soal pun diambil dari buku pelajaran itu lagi, atau buku pelajaran yang diterbitkan oleh penerbit lain yang isinya nyaris sama. Wacana guru dan siswa akhirnya hanya berkembang sebatas apa yang ada di buku pelajaran. Bagi umumnya guru, buku dianggap sudah lengkap mewakili konten kurikulum dan organisasi materi sehingga mereka seringkali merasa kurang aman kalau tidak mengikutinya. (Arsyar, 1989). Dampak pada Anak-anak Kualitas isi buku yang rendah ditambah dengan kemampuan guru yang kurang memadai, sangat tidak mendukung perkembangan kemampuan literasi dan pemahaman siswa.
Ketergantungan terjadi karena beberapa faktor. Pertama, sebagian besar guru tidak memiliki pengetahuan yang memadai mengenai teks yang baik. Kedua, sebagian besar guru memiliki minat baca yang rendah sehingga sulit bagi mereka untuk berkreasi menyusun sendiri bahan pelajaran untuk siswa. Ketiga, akses mereka terhadap bahan bacaan sangat terbatas. Dana untuk buku tidak ada, perpustakaan sekolah tidak tersedia dan sekolah tidak punya referensi bacaan yang memadai selain koran. Kondisi menjadi lebih parah karena waktu di luar jam sekolah lebih banyak digunakan para guru untuk memberikan les privat dalam rangka menyiasati pendapatan yang rendah.
Kondisi kurang kritisnya guru terhadap kualitas teks antara lain juga tampak pada hasil penelitian staf pengajar FKIP Universitas Terbuka, Suparti dkk tentang persepsi guru terhadap penggunaan buku teks Bahasa Indonesia SD di Kabupaten Jombang. (Jurnal Pendidikan Vol.3 No 1, Maret 2002, Lemlit UT). Dalam hal persepsi terhadap isi buku, para guru lebih menyoroti kualitas gambar yang kurang menarik, daripada kualitas teks. Yang terjadi kemudian, lebih penting bagi guru adalah menyelesaikan pembahasan materi yang ada di dalam buku pelajaran tepat pada waktunya. Kalau bisa lebih cepat sehingga lebih banyak waktu bisa dicurahkan untuk mengajak siswa berlatih mengerjakan soal. Soal-soal pun diambil dari buku pelajaran itu lagi, atau buku pelajaran yang diterbitkan oleh penerbit lain yang isinya nyaris sama. Wacana guru dan siswa akhirnya hanya berkembang sebatas apa yang ada di buku pelajaran. Bagi umumnya guru, buku dianggap sudah lengkap mewakili konten kurikulum dan organisasi materi sehingga mereka seringkali merasa kurang aman kalau tidak mengikutinya. (Arsyar, 1989). Dampak pada Anak-anak Kualitas isi buku yang rendah ditambah dengan kemampuan guru yang kurang memadai, sangat tidak mendukung perkembangan kemampuan literasi dan pemahaman siswa.
Hasil penelitian
yang dilakukan Tim Program of International Student Assessment (PISA) Badan
Penelitian dan Pengembangan Depdiknas menunjukkan kemahiran membaca anak usia
15 tahun di Indonesia sangat memprihatinkan. Sekitar 37,6 persen hanya bisa
membaca tanpa bisa menangkap maknanya dan 24,8 persen hanya bisa mengaitkan
teks yang dibaca dengan satu informasi pengetahuan (Kompas 2 Juli 2003).
Sangat menyedihkan
mengingat kemampuan membaca dan menulis merupakan kompetensi paling dasar yang
dibutuhkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuan dan meraih kompetensi yang
lain. Membaca buku yang tidak menarik dan sulit dicerna isinya, menjadi beban
berat bagi anak-anak. Yang kemudian dilakukan akhirnya hanya menghafal saja isi
buku. Kebiasaan menghafal menumpulkan daya nalar dan kreativitas dalam
memecahkan masalah dan menghasilkan karya cipta. Penghafalan juga mematikan
rasa ingin tahu, padahal keingintahuan adalah kunci dari eksplorasi dalam
perkembangan ilmu. Banyak penelitian mengungkapkan, kesulitan paling besar yang
dhadapi siswa dalam memecahkan soal matematika berbentuk cerita adalah dalam
membuat model atau memetakan masalahnya dan membuat kalimat matematika. (Hilum,
1997).
Kondisi ini
menunjukkan bahwa kemampuan analisa anak-anak sangat rendah akibat tidak
berkembangnya logika berpikir. Kebiasaan menghafal diperkuat oleh dorongan yang
diberikan para guru. Karena wawasan yang terbatas mengenai bahan yang
diajarkan, guru juga selalu mendorong anak-anak untuk menghafal saja apa yang
ada di buku. “Jangan cuma dibaca teksnya. Latihan-latihan soal juga harus
dikerjakan. Hafalkan jawabannya. Ibu kan sudah berkali-kali mengingatkan
soal-soal itu nanti pasti keluar waktu ujian,” kata seorang guru PPKn
(pendidikan kewarganegaraan) kepada siswa-siswa kelas enam.
Seorang anak bisa
saja hafal nama tokoh pahlawan dan tahun kejadian, tetapi belum tentu paham apa
yang membuat para pahlawan memberontak, melawan dan berjuang. Buku pelajaran
sejarah hanya memuat nama tokoh,tahun kejadian, urut-urutan kejadian, tanpa
memberi penjelasan logis latar belakang terjadinya peristiwa-peristiwa itu.
Buku Pelajaran, Kurikulum dan Pendidikan Tradisional Sebagai salah satu media
pembelajaran, buku pelajaran memang harus memenuhi validitas kurikuler yakni
disusun sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan. Dapat dikatakan, buku pelajaran
mencerminkan kurikulum.
Jika kondisi buku
pelajaran sekolah anak-anak sangat memprihatinkan seperti terpapar di atas,
bagaimana dengan kurikulum pendidikan kita ? Kurikulum di Indonesia baru mulai
populer pada tahun 1950an, dan digunakan oleh mereka yang memperoleh pendidikan
Barat. Definisi kurikulum beragam. Dalam arti sempit, kurikulum didefinisikan
sebagai “a plan for learning”,
sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari oleh anak-anak di sekolah. Namun
para ahli pendidikan saat ini mendefinisikan kurikulum secara lebih luas, yakni
semua pengalaman dan pengaruh yang diperoleh anak di sekolah.
Konsep kurikulum
adalah konsep pendidikan moderen, pendidikan formal sekolah. Konsep kurikulum
tidak dikenal dalam pendidikan tradisional yang ada di masyarakat, baik sosialisasi
maupun pendidikan agama atau pendidikan ketrampilan. Pendidikan tradisional
tidak memerlukan kurikulum, tidak memerlukan perencanaan karena tujuannya
adalah mewariskan nilai dan tradisi, Materi pendidikannya relatif tetap dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Pendidikan formal sekolah memerlukan
kurikulum karena tujuan pendidikannya bukan sekedar mewariskan pengetahuan dan
ketrampilan secara turun temurun kepada anak-anak.
Tujuan pendidikan
sekolah lebih luas dan kompleks karena dituntut selalu sesuai dengan perubahan.
Kurikulum harus selalu diperbarui sejalan dengan perubahan itu. Untuk mencapai
tujuan pendidikan yang ditetapkan, kurikulum harus disusun secara strategis dan
dirumuskan menjadi program-program tertentu. Karena harus selalu relevan dengan
perubahan masyarakat, penyusunan kurikulum harus mempertimbangkan berbagai
macam aspek seperti perkembangan anak, perkembangan ilmu pengetahuan,
perkembangan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja dan sebagainya.
Kondisi materi
buku pelajaran yang memprihatinkan seperti digambarkan di atas, menunjukkan
betapa kurikulum pendidikan sekolah yang ada saat ini belum disusun dan
direncanakan dengan baik. Hal ini terjadi kemungkinan disebabkan oleh pertama,
kelemahan manajemen perencanaan di tingkat operasional, dalam hal ini Pusat
Kurikulum. Kedua, visi dan tujuan pendidikan belum dirumuskan secara jelas
sehingga menimbulkan kebingungan dalam menerjemahkannya ke dalam strategi dan
program. Ketiga, masih kuatnya pengaruh sistem pendidikan tradisional yang
cenderung tidak responsif terhadap perubahan membuat sistem pendidikan sekolah
cenderung hanya mengadopsi aspek formalitasnya sementara esensi sistem yang
bersifat dinamis belum terbentuk.
Pustaka
Pustaka
Abdul Ghofir dan Muhaimin (1993), Pengenalan Kurikulum
Madrasah, Solo, Ramadhani,
Abdul Manab (1995). Pengembangan Kurikulum,
Tulungagung, Surabaya: Kopma IAIN Sunan Ampel
Abdullah
Idi (2011). Pengembangan Kurikulum Teori
dan Praktek. Jakarta: Ar Ruz Media
Adiwikarta, S (1994) Kurikulum Yang
Beroroentasi pada Kekinian, Kedisinian, dan Kemasadepanan” Dalam Kurikulum
untuk Abad 21. Jakarta: Grasindo
Arsyad, Mohammad (1989). Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Proyek Pengembangan
LPTK Ditjen PT Departemen P&K.
Beauchamp, G.A (1975). Curriculum
Theory. Illinois: The Kagg Press, Wilmeet.
Darling-Hammond, L.
(1996). The right to learn and the
advancement of teaching: research, policy, and practice for democratic
education. Educational Researcher, 25, 6:5-17.
Devies, E. (1980). Teachers
as Curriculum Evaluation. Australia: George Allen & Unwin
Doll, W.E. (1993). A
Post-Modern Perspective on Curriculum. New York
and London: Teachers College, Columbia University
Eggleston, J.T. (1977). The Sociology of the School Curriculum. London: Routledge &
Kegan Paul.
Garcia, E.E. (1993). Language, culture, and education. Review
of Research in Education, 19:51-98.
Hamalik, O (1994). Pengembangan
Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Triegenda Karya
Hamalik, O. (1990). Pengembangan
Kurikulum: dasar-Dasar dan Perkembangannya. Bandung: Mandar Maju
Hasan, S.H. (1996). Local Content Curriculum for SMP. Paper
presented at UNESCO Seminar on Decentralization. Unpublished.
Hasan, S.H. (1996). Multicultural Issues and Human Resources
Development. Paper presented at International Conference on Issues in
Education of Pluralistic Societies and Responses to the Global Challenges Towards
the Year 2020. Unpublished.
Jacobs, M. (1999). Curriculum, dalam Contemporary Education:
Global Issues and Trends, disunting oleh Eleanor Lemmer. Sandton:Heinemann
Higher and Further Education.
Karsidi, R. (2010).Profesionalisme
Guru. Solo: Universitas Negeri Solo
Klein, M.F. (1986). Curriculum Reform in the Elementary School:
Creating Your Own Agenda. New York and London: Teachers College, Columbia University
Marsh,C.C. (1997). Planning, Management and Ideology: Key
Concepts or Undertanding Curriculum. London:
The Falmer Press
Maryanto, A. (1994). Kurikulum
Lintas Bidang Studi. Jakarta: Grasindo
McNeil,J.D. (1977). Curriculum, A Comprehensive Introduction.
Boston: Little,
Brown and Company.
Muhaimin, (1991). Konsep
Pendidikan Islam : Sebuah Telaah Komponen Dasar Kurikulum, Solo:
Ramadhani
Mulder, Niels (2001). Indonesian Images. Yogyakarta: Kanisius
Nana Syaodih Sukmadinata, (2002). Pengembangan
Kurikulum: Teori dan Praktek, Bandung, Remaja Rosdakarya,
Nasution, S (1986). Asas-asas Kurikulum. Bandung: Jemmars
Nurgiantoro (1991). Pengembangan
Kurikulum di Sekolah. Yokyakarta: UGM Press
Oliver, J.P. dan Howley, C. (1992). Charting new maps: multicultural education
in rural schools. ERIC Clearinghouse on Rural Education and Small School.
ERIC Digest. ED 348196.
Olivia, P.F. (1997).. 4th
Developing the Curriculum edition. New York: Longman
Print, M. (1993).
Curriculum Development and Design. St.
Leonard: Allen & Unwin Pty, Ltd.
Schubert, W.H. (1986). Curriculum: Perspective, Paradigm, and
Possibility. New York:
Macmillan
Supriadi,
Dedi (2001). Anatomi Buku
Sekolah di
Indonesia. Yogyakarta:
Adicita
Tanner, D. dan Tanner,L.
(1980). Curriculum Development:
Theory into Practice. New York:
Macmillan Publishing Co.,Inc.
Unruh, G.G. dan Unruh, A. (1984). Curriculum Development: Problems, Processes, and Progress. Berkeley, California:
McCutchan Publishing Corporation
Dokumen (wajib dibaca
setiap mahasiswa prodi PAI )
- Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
- Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang kualifikasi Guru
- Peraturan Pemerintah Nomor 41 tentang Tunjangan Profesi Guru
- Peraturan Pemerintah Nomor 74 tentang 2008 tentang Guru
- Permendiknas Nomor 39 tentang Kinerja Guru dan Pengawas
Terima kasih ini sangat bermanfaat bagi saya semoga bermanfaat bagi kita semua
BalasHapusTerima kasih ini sangat bermanfaat bagi saya semoga bermanfaat bagi kita semua
BalasHapus